Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 18

Demi merayakan ulang tahun Diva yang ke tiga puluh lima, divisi desain interior mendapat traktiran dari wanita itu. Niatnya, mereka ingin ke all you can eat, namun, Dinda yang jiwa pengiritannya muncul di saat-saat mepet begini memberi usul untuk meng-grill di apartemen Ardi dengan bahan-bahan semua Diva yang beli. Katanya, biar lebih puas.

"Gue pernah lihat alat nge-grill di kabinet dapurnya Ardi pas mau ambil piring waktu itu," kata Dinda dengan mata berbinar. "Mumpung apartemen dia yang paling oke buat diajak ngumpul, sekalian aja nge-grill di sana."

Dan, Ardi dengan senang hati menerima kunjungan itu.

Alhasil di sinilah mereka. Duduk melingkar menikmati olahan daging di atas pemanggang dan makanan lainnya yang menggugah selera. Juru masaknya tentulah Dinda yang paling bisa masak karena harus menghemat biaya hidup di ibu kota. Candaan demi candaan saling bersahutan, obrolan perihal gosip dan curhat masalah percintaan juga tidak terelakkan. Sementara suara dari TV yang menayangkan film di Netflix hanya terdengar samar-samar.

Diva yang berstatus sebagai istri dengan dua anak itu curhat bagaimana repotnya mengurus rumah tangga dan membayar gaji pengasuh tiap bulannya. Katanya, "Lo pada bayangin deh, gaji gue yang seupil ini cuma cukup bayar pengasuh sama susunya anak-anak doang. Palingan gue pake buat self reward, itu pun nggak seberapa. Jadi, kalian kalo mau nikah harus liat dulu calonnya. Harus siap mental dan finansial karena nggak munafik—gue sebagai pihak cewek merasa, nggak ada duit, suami nggak dipijit."

Banyak sahutan dari mereka dan menyetujuinya. Hanya Diva yang sudah berkeluarga dan wanita itu selalu mewanti-wanti untuk menikmati dulu masa muda dan kejayaan ketika masih melajang sebelum akhirnya memutuskan untuk berumah tangga.

"Tuh, dengerin Dar. Untung elo udah putus dari laki bajingan itu." Dinda menyikut lengan Dara yang masih sibuk dengan makanan di depan mereka.

Wanita itu mengangguk. Ia menelan kunyahannya sebelum akhirnya angkat bicara, "Pada intinya, yang mau sama kita dulu nggak, sih? Terus riset background pasangan, tanya visi misi, baru bisa klik."

"Yang kemarin lupa riset, ya? Mentang-mentang udah mapan," ujar Sabda.

Tawa mereka mengudara seketika. Dinda tentu saja yang paling keras.

"Ya... sorry aja, nih, gue kan realistis, Sab. Umur udah segini tentu gue cari pria matang yang wangi uang," sahut Dara lempeng.

"Tapi ada lho, mbak, pria muda yang banyak uang," seloroh Rinai. Ia melirik ke arah Ardi yang terlihat enggan nimbrung pada obrolan kali ini. Pria itu fokus menikmati makan malamnya di sebelah Dara.

"Iya, ada. Kalau dia dari keluarga konglomerat. Nah, pertanyaannya, anak konglo mana yang sudi jatuh cinta sama gue?" Dara mendengkus geli. Dipikir-pikir, memang tidak ada pria yang tulus padanya. Semuanya penuh tipu muslihat.

"Carinya di PIK, coba. Mana tahu ketemu cowok chindo, terus dibawa keliling eropa," usul Dinda setengah bercanda.

Lalu, mereka mulai membicarakan Nadia yang makin hari kian menempel pada Rio.

"Dan gosipnya, Rio bakal pilih Nadia lagi buat masuk timnya," ujar Diva. Sebagai leader di desain interior, Diva jelas tahu banyak tentang perusahaan atau kabar-kabar terkait proyek dan tim yang akan anak-anaknya pegang.

"Wih... makin kesenengan aja tuh si Nadia." Sabda berdecak.

"Terus untuk interior Rio udah mengajukan Dara," Diva menoleh pada Dara, menilik respon wanita itu, namun ekspresi Dara tetap datar dan melanjutkan makannya. "Tapi dari pihak atas masih belum ACC. Kayaknya Dara direkomendasikan untuk masuk proyek lain yang lebih bagus."

"Gue mau proyek yang lain, itu," gumam Dara.

"Hah? Kenapa, Dar?" Sang kepala divisi mendekatkan telinganya pada Dara karena tidak mendengar jelas gumaman itu.

"Nggak." Ia hanya menggeleng.

"Gue denger gosip kurang sedap. Katanya, Mas Rio ngincer Dara. Tapi ada yang bilang lagi kalau hubungan mas Rio dan Nadia makin dekat mengingat mereka selalu pulang bareng hampir semingguan ini," jelas Dinda entah untuk apa kembali mengangkat topik Nadia pada obrolan mereka.

Diva mengangguk sebelum akhirnya meneguk minumannya. "Nadia akan terus berusaha untuk masuk timnya Rio."

Mereka tahu itu. Semua orang di DirgarsiTeam bisa melihat segigih apa usaha Nadia agar tetap berada dalam jangkauan Rio. Wanita itu tidak sungkan memperlihatkan rasa sukanya, dan seolah Rio membuka jalan untuknya, Nadia kerap kali menyebar kabar bahwa Rio juga menyukainya. Dara pun tahu hal itu sejak mereka berpacaran dulu. Namun, kini ia tak percaya pada kabar katanya. Karena nyatanya, yang Rio cintai hanyalah Karissa Malik.

"Terus, Mas Rio ada konfirmasi nggak, sih, dia tuh sukanya sama siapa?" tanya Rinai penasaran. "Jangan sampai ada keributan cuma karena satu cowok."

Kali ini Dinda berdecak menanggapinya. "Tipe-tipe cowok kayak mas Rio itu, nggak suka mengumbar hubungan romantisme ke khalayak umum. Dia bakal sok rahasia biar bisa menggaet cewek lain ke sana-sini. Buktinya dia welcome aja tuh pas dirusuhin Nadia." Lalu, ia menatap Dara. "Bisa jadi dia maksa Dara buat diskusi masalah kerjaan Minggu lalu itu bukan semata-mata kerjaan, tapi modus pedekate. Ya kan, Dar?"

Salah. "Itu emang masalah kerjaan kok. Mas Rio langsung kirim di email apa aja yang harus kena revisi." Dara berusaha untuk terlihat santai mengenai topik ini meskipun sebenarnya ia merasa muak.

"Tapi kok gue ngerasa mas Rio naksir elo ya, Mbak?" ucap Sabda. Mereka mulai merapat demi mendengarkan kecurigaan pria itu. Ardi pun ikut mendekat karena lehernya didorong oleh Dinda. "Soalnya, pas kita makan siang kemarin itu, dia nanya dulu gue makan sama siapa, terus nanya boleh gabung apa nggak, abis itu... pas elo balik dari toilet, dia merhatiin mbak Dara terus bahkan sampai kita beres makan siang," jelasnya.

"Wah... jadi mas Rio mau sama Dara atau Nadia, nih?"

"Dara, dong? Secara fisik aja Dara jauh lebih unggul. Nadia modal make up menor doang."

"Tapi kalo emang cinta mah pasti milih Nadia nggak, sih? Nadia udah ketahuan ngincer banget."

"Dara lah. Cowok kan suka yang bikin penasaran. Nadia mah nggak perlu ditaklukin juga dateng duluan."

Dara sendiri memilih tidak menanggapi perdebatan mereka. Mereka semua jelas salah. Tidak ada Dara ataupun Nadia dalam opsi pasangan Rio. Hanya satu nama yang pria itu inginkan, yang didamba, dinanti-nanti dan tentunya diusahakan. Karissa Malik. Itu mutlak.

Lalu mereka berpindah membahas Seila—HRD yang terkunci di pantri selama satu jam lebih sore tadi karena ulah pak Hasan yang menutup pintunya tanpa mengetahui ada orang di dalam. Saat itu, Seila tengah membuat kopi untuk Dirgantara—kakeknya—yang sedang berkunjung. Namun, siapa yang tahu wanita itu malah terjebak di sana tanpa ada orang yang tahu. Kakeknya pun mengira Seila kabur dari kunjungan dan sengaja tidak kembali hingga pria tua itu pulang sendirian.

Dara membuka ponselnya yang bergetar karena ada panggilan masuk. Ibunya. Dan Dara memilih mengangkatnya guna menghindari Rio yang menjadi topik utama obrolan mereka. "Gue angkat telepon dulu." Ia melihat sekeliling, bingung karena tidak menemukan sekat atau tempat yang lebih privat.

"Kamu bisa pakai kamar saya dulu untuk angkat telepon," usul Ardi sembari bangkit dari duduknya, kemudian membuka kamarnya untuk Dara. "Saya tahu kamu butuh privasi."

Wanita yang sejak pulang kantor tadi mencepol rambutnya asal menggunakan jepitan, kini tersenyum lega menatap si pemilik rumah. "Thanks."

"It's okay."

Setelah peninggalan Ardi, Dara segera mengangkat telepon ibunya yang kedua kali. Belum sempat ia menyapa, sang ibu sudah lebih dulu meledak dan penuh kejutan. "Daraaa, kakak kamu Dara..."

Sembari membuka pintu balkon kamar untuk menikmati angin Jakarta, Dara mengernyit bingung. "Mbak Tika kenapa, Ma?"

"Mereka bertengkar lagi, lalu Tika membahas gugatan cerai yang akan dia ajukan ke pengadilan."

Dara tidak menyangka kalau kakaknya secepat itu membuat keputusan. Namun, ia salut karena Tika akhirnya bisa tegas dengan hidup dan nasibnya ke depan. Ia bertopang pada pagar balkon yang setinggi perut, masih menempelkan ponsel di sebelah telinganya, diam-diam Dara menghembuskan napas leganya.

"Mama senang dengar Tika bisa memutuskan untuk berpisah setelah banyak hal yang harus dipertimbangkan." Ibu kembali bersuara dengan nada yang tersirat kesedihan. "Tapi mama juga merasa bersalah karena membiarkan si kembar jauh dari ayahnya."

Wanita itu tahu sedekat apa keponakannya dengan Doni. Di mata anak-anaknya, Doni adalah sosok ayah hebat yang selalu ada kapan pun anaknya butuh. Dalam hati Dara mendengkus kala keponakannya beranggapan begitu.

"Tika masih menyembunyikan alasan kenapa dia begitu gigih untuk bercerai...." ibunya terdengar khawatir di sana. "Apa kakakmu ada cerita tentang masalah ini? Apa ada hal yang nggak papa dan mama tahu soal rumah tangga kakakmu, Dar?"

Tentunya wanita itu ingin membeberkan semua kelakuan brengsek nan bajingan si pria iblis bernama Doni. Dara ingin sekali memukuli pria itu dan menyumpah serapahi Doni di hadapan pria itu langsung. Bagaimana bisa ada seorang suami yang tega menjadikan istrinya jaminan atas hutang-hutangnya? Orang gila. Doni memang patut dipertanyakan kewarasannya. Namun, Dara tidak sudi menggocek uang hanya untuk mengecek kesehatan mental pria itu.

Dan yang bisa Dara lakukan saat ini hanya memberi pengertian pada ibunya agar tetap sabar dan mendukung penuh atas keputusan Tika. "Untuk alasan, nanti mbak Tika akan cerita kalau pengajuannya diterima oleh pengadilan. Kita tunggu mbak siap cerita aja ya, Ma. Jangan terlalu memaksa."

"Tapi coba kamu tanya dulu kakakmu ya, Dar. Vertigo papa sampai kambuh karena mikirin ini."

"Iya, Ma, nanti Dara coba hubungi Mbak Tika dulu, ya. Mama dan papa istirahat aja sekarang udah larut."

"Iya, iya. Terus sekarang kamu lagi di mana? Udah pulang kerja?"

Ditanya begitu membuat Dara salah tingkah. "Di rumah temen. Ada temen kantor ulang tahun, lagi makan-makan."

Setelah meyakinkan ibunya untuk tetap Tabang, Dara segera menutup telepon dengan helaan napas kasar yang keluar dari mulutnya. Ia keluar dari kamar Ardi, kemudian mengernyit bingung ketika di ruang tamu tidak ia temukan siapapun, alat-alat makan mereka tidak ada di atas meja. Tatapnya beralih pada kitchen sink yang penuh dengan peralatan dapur yang kotor, juga punggung lebar seseorang di sana yang sedang mencuci piring. Kemeja hitam yang pria itu kenakan terlihat ramping dari belakang, tangannya yang berotot tercetak jelas karena lengan kemejanya yang sudah digulung hingga siku.

"Yang lain pada ke mana, Di?" akhirnya ia berani bertanya atas dugaan-dugaan di kepalanya.

Ardi menoleh sebentar sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. "Pulang. Mbak Diva dapat telepon dari nanny-nya kalau anaknya yang bungsu kena demam tinggi. Karena mereka  ikut sama Sabda di mobil, jadi semuanya ikut pulang juga saat mbak Diva minta antar," jelasnya.

Sebagai tamu yang sudah dijamu dengan baik, tidak etis rasanya kalau Dara juga ikut pulang sementara si tuan rumah masih sibuk membereskan kekacauan yang telah mereka buat. Maka, ia menyingsingkan lengan kemeja soft pink-nya, kemudian bergerak ke samping Ardi, membilas peralatan yang sudah pria itu beri sabun.

"Kamu ngapain ke sini, Dar?" tanya Ardi. Ia menggeser tubuhnya sedikit agar bisa menatap Dara.

"Bantu beresin. Biar cepat selesai," jawab wanita itu.

"Nggak usah. Ini sebentar lagi juga selesai," tolak Ardi. Ia menunjuk sofa di depan TV dengan dagunya. "Kamu duduk aja di sana."

"Nggak."

"Dara...."

"Ardi...."

"Berhenti."

"Nggak."

Lalu, dengan tiba-tiba Ardi berbalik menatapnya membuat Dara refleks mundur perlahan. Pria itu maju satu langkah, Dara pun mundur satu langkah, tatap mereka tidak lepas. Manik tajam itu menatap Dara dengan lekat, memerhatikan bagaimana kelopaknya berkedip perlahan, masih bingung dengan situasi mereka berdua. Ardi senang melihat raut itu. Ia menangkap pinggang Dara lebih dulu sebelum wanita itu menyentuh pantri, merapatkan tubuh, kemudian satu tangannya mengusap sisi wajah Dara, dan ia melihat bibir manis menggoda itu yang terbuka sedikit seperti hendak bicara.

Cium apa, ya?

***

Haloooo
Akhirnya donat bisa update chapter 18. Tadi sempet ketiduran dan lupa ngedit naskahnya wkwkwk.

Ayoo vote + komen yang banyak biar donat semangat nulisnya 🌟💬



08/02/25
donat ♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro