Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 17

Katanya, teras minimarket adalah tempat paling nyaman untuk merenung. Maka, Dara mencobanya kali ini. Ketika ponselnya mati sebelum ia mendapatkan ojek online, wanita itu mampir ke sebuah minimarket yang tak jauh dari halte. Ia hanya membeli satu pouch yoghurt rasa peach, kemudian duduk di kursi yang tersedia di depan minimarket. Dara menikmati rasa asam di yoghurt itu—rasa yang sama dengan kisah cintanya. Tatapannya tertuju pada jalanan yang padat malam ini. Tidak ada yang bisa Dara lakukan selain itu, mengingat semua kejujuran Rio beberapa saat lalu mampu membuat Dara sadar akan posisinya.

Lama ia di sana, hingga beberapa orang mulai menatap ke arahnya yang mungkin sudah terlalu banyak menghabiskan waktu untuk merenung. Dara baru kembali ke kosan sekitar pukul delapan malam dengan modal meminjam charger pada tukang parkir di sana.

Hari ini terasa sangat melelahkan. Dara hanya ingin tidur untuk melupakan sejenak masalahnya hari ini dan kembali beraktivitas besok pagi seolah tidak ada hal yang terjadi di hari kemarin. Namun, semuanya urung ketika ia melihat seorang wanita duduk di depan pintu kosnya dengan kepala yang tenggelam di lipatan tangan di atas lutut. Langkahnya semakin cepat, memastikan bahwa wanita itu adalah saudaranya.

"Mbak Tika?"

Wanita itu menoleh. "Dara...." Wajahnya babar belur, penampilannya berantakan, bibirnya bergetar menahan tangis dengan mata yang sudah berair.

"Masuk dulu, Mbak." Dara bergegas membuka kunci pintu, membawa Tika masuk sebelum mereka mengganggu penghuni kos yang lain.

Tika duduk di atas karpet di bawah tempat tidur, memerhatikan adiknya yang menyimpan barang-barangnya di atas meja kerja, lalu menyiapkan minuman untuknya. Ia merasa tidak enak karena mengganggu Dara malam-malam begini di saat adiknya baru saja pulang kerja. Namun, Tika tidak punya pilihan lain.

"Minum dulu, Mbak." Dara duduk di depannya. "Kenapa nggak ngabarin kalau mau ke sini?"

"Aku mau cerai," ucap Tika setelah menghabiskan setengah gelas air putih. Butuh nyali yang besar untuk ia mentakana hal itu.

Melihat kembali wajah kakaknya yang kini menatapnya dengan sayu, Dara bertanya, "Kalian berantem lagi?" Warna kebiruan di sekitar pelipis dan  darah kering di sudut bibirnya membuat Dara tertegun sesaat. Kali ini apalagi masalahnya?

Tika mengangguk. "Si bajingan itu, menjadikan aku sebagai jaminan atas hutang-hutangnya. Dia bilang ke temannya kalau aku bisa dijadikan istri kedua kalau hutang itu nggak bisa dibayar dalam waktu satu bulan ini."

Rasa-rasanya kepala Dara akan meledak saat itu juga. Si brengsek itu, mau cari mati rupanya. Ia menyembunyikan kepalan tangannya di sisi tubuhnya, mencoba mendengarkan penjelasan Tika lebih lanjut. "Lalu?"

"Kamu bilang, aku punya pilihan untuk jadi janda atau terus menjadi beban keluarga kita."

Dara mengangguk.

"Aku mau pinjam tiga puluh juta untuk melunasi hutang-hutang si brengsek, juga mengurus surat perceraian ke pengadilan. Aku nggak akan kasih tahu papa dan mama perihal ini. Aku nggak mau bikin mereka kepikiran." Tika meraih tangan adiknya, mengusap jemari yang mengepal itu. "Aku janji akan bayar semua hutang-hutangku setelah aku mendapat pekerjaan."

Dara memejam mata sejenak, menarik napas dalam. Tiga puluh juta. Uang sebanyak itu—untuk melunasi hutang si brengsek, Dara tidak sudi. Kerja kerasnya selama ini tentu ia tabung untuk masa depannya, akan ia pakai saat Dara butuh dan ingin merayakan hasil jerih payahnya selama bekerja bertahun-tahun. Tapi Tika... kakaknya lebih membutuhkan itu. Lagi pun, Dara tentunya tidak akan tega membiarkan kakaknya dijual oleh suaminya sendiri. Lebih parahnya lagi, membiarkan orang tuanya mengetahui masalah ini dan menambah beban pikiran mereka. Dara tidak sanggup melihat kesedihan di wajah orang tuanya.

"Aku cuma punya kamu, Dar." Tika mulai terisak. "Aku nggak tahu harus minta tolong siapa. Aku kabur dari rumah setelah setelah tahu Doni menjadikan aku jaminan. Mama dan papa sedang pergi mengajak si kembar main sore tadi. Aku buntu dan yang aku pikirkan... aku harus ketemu kamu." Bahunya mulai bergetar hebat, suara tangisnya begitu pedih membuat Dara merengkuh tubuh rapuh kakaknya.

Kenapa kesedihan mereka harus berada di hari yang sama? Apa tidak ada pria yang tulus pada mereka di dunia selain sang ayah?

***

Pagi-pagi sekali Dara datang ke kantor dengan make up-nya yang lumayan tebal guna menutupi kantung matanya berkat tangisnya semalaman bersama sang kakak. Wanita yang lebih tua tiga tahun darinya itu membuatkan Dara bekal untuk makan siang sebagai ungkapan terima kasih karena Dara bersedia membantunya.

Semalam, ibunya menghubungi Dara dan bertanya keberadaan Tika. Ketika kedua orang tuanya pulang dari salah satu tempat wisata bersama kedua cucu manisnya, mereka tidak mendapati Tika atau pun Doni di rumah. Kamar mereka berantakan dengan barang-barang yang jatuh dan pecah. Tika juga tidak membawa ponselnya, itu yang membuat mereka kesulitan mencari.

Pukul enam pagi Dara mengantar Tika ke stasiun dan memberikannya ongkos. Uang pinjaman Tika juga sudah Dara transfer dan ia siap membantu Tika untuk mengurus perceraian. Setelahnya, Dara bergegas menuju DirgarsiTeam dengan suasana yang masih sepi. Ia hanya bertemu dengan pak Hasan di pantri ketika akan membuat teh hangat.

Dara langsung menyentuh pekerjaannya dan mencatat apa-apa bahan yang kurang untuk pembuatan maket. Setelahnya baru ia melihat email yang masuk dari perusahaan terkait proyek baru yang akan ia kerjakan selanjutnya. Sebisa mungkin Dara menjadi sibuk agar tidak ada teman-teman yang bertanya perihal penampilannya atau kenapa ia menjadi pendiam.

Wanita dengan blouse berwarna salem dan rok span putih selutut itu masih bertahan di kursinya saat jam makan siang tiba. Ia enggan makan siang keluar dan memilih melanjutkan pekerjaannya ketika Rinai dan Sabda membujuknya ikut. Dara benar-benar tidak punya energi untuk menikmati hari ini, kala kemarin sudah dihajar habis-habisan oleh banyak hal. Ia hanya ingin cepat pulang lalu tidur di kasur kesayangannya daripada harus merenung dan menangisi keadaan terus-menerus.

"Ayolah, mbak Dara..." Rinai menarik tangan Dara agar bangkit dari kursinya. "Kita makan di kantin aja kok, nggak jalan keluar. Yuuuk!"

"Kalian aja, deh. Gue lagi banyak kerjaan, nih," tolak Dara.

Dinda berdecak. "Ardi juga banyak kerjaan tapi sempet tuh makan siang sama Raka. Banyak alasan lo, Dar. Kali ini kenapa lagi?" tanyanya sedikit sebal. Ia melihat Ardi keluar tepat jam dua belas tadi dan memberitahu mereka untuk tidak ikut makan siang karena ada urusan.

Sabda pun mengangguk. "Ayo, deh, cerita sama kita di kantin. Gue yang traktir."

"Wih... semalem dapet panggilan dari si Tante, ya?" usil Dinda.

"Yoi. Tante Dinda." Sabda menjawab dengan senyum menyebalkan.

"Ew, najis!"

Mereka akhirnya sepakat makan siang di kantin dan Sabda yang sukarela mengantre untuk mendapatkan makanan sekaligus membayarnya. Kantin tampak penuh dan sesak, hingga batang hidung pria itu tidak dapat dilihat ketika mulai membaur dengan karyawan lain.

"Jadi, kali ini kenapa lo loyo? Kayaknya pas kemarin putus li nggak galau berat, deh?" tanya Dinda pada akhirnya. Sebenarnya ia sudah berusaha menahan mulutnya sejak pagi untuk bertanya.

"Gue baru tahu kalau ternyata selama ini si brengsek nggak pernah cinta sama gue," jawab Dara dengan lirih. "Dia cuma jadiin gue pengganti di saat wanita yang dia cinta nggak bisa dimiliki."

"Anjing!" Dinda menggebrak meja. "Tai banget cowok kayak gitu. Dia pikir dia yang paling cucu dari kerajaan Inggris?!"

Rinai mengusap bahu wanita yang sudah ia anggap sebagai kakak kandung itu. "Sabar Mbak, sabar."

"Ah!" Dinda berdecak. "Emangnya kamu nggak emosi dengernya, Nai?"

"Emosi Mbak. Tapi jangan langsung naik darah, nanti nggak menikmati makan siang," ucap Rinai. Ia beralih menatap Dara yang terlihat kusut. "Tapi kok mbak Dara bisa tahu hal itu?"

"Dia yang jujur."

"Hah?!" Kedua wanita itu terkejut bukan main.

"Emang cowok bangsat." Dinda bersiap beranjak dari kursi dan Rinai dengan sigap menahannya. "Lepas, Nai, aku mau cari bentukkan setan mana yang bilang hal bajingan kayak gitu."

"Mbak Dinda tahan duluuu, daripada mikirin itu, mending kita hibur mbak Dara," ucap Rinai memohon. "Mas Sabda! Buruan sini, tahan mbak Dinda." Ia memanggil Sabda yang berjalan ke arah mereka dengan kedua tangan membawa nampan berisikan sop iga, nasi dan es jeruk pesanan mereka.

"Ada apaan, nih?" Sabda dengan cepat menghampiri meja mereka, menyimpan makanan di atas meja kemudian menatap ketiga wanita itu bergantian. "Mbak Dara? Mbak Dinda? Nai?"

Dara hanya menghela napas kasar, tatapannya berpindah pada sosok pria di belakang Sabda yang masih berdiri. Apa lagi ini?

"Ini mbak Dinda mau ngamuk!" seru Rinai yang masih menahan lengan Dinda.

"Lo ngamuk ke siapa, Mbak?" tanya Sabda heran.

"Ke setan!" sahut Dinda penuh emosi.

"Buset!" Sabda menatap ngeri. "Setan yang mana?"

"Yang jadiin mbak Dara cewek paling tolol karena udah rela berubah demi dia tapi ternyata cuma dijadiin second choice," jawab Rinai tepat sasaran.

Sabda yang awalnya melengos kini menatap Dara yang sudah sibuk dengan makanannya. "Emm... tenang guys, jangan ada huru-hara dulu, mas Rio mau gabung makan siang sama kita karena meja lain udah penuh," katanya.

Kedua wanita yang sejak tadi sibuk sendiri itu mengalihkan atensi pada Rio yang berdiri kikuk di belakang Sabda. Keduanya tertawa canggung, kemudian kembali duduk dan bersikap tenang. Mulai sibuk dengan makanannya.

"Maaf ya Mas Rio, setim sama yang dominan cewek emang bakal berisik gini. Dimaklumi aja," ucap Sabda. "Duduk, Mas."

"It's okay. Maaf kalau saya jadi ganggu waktu kalian. Jangan sungkan untuk ngobrol ya, anggap aja saya nggak ada." Rio duduk di sebelah Dara, tempat yang biasanya diisi oleh Ardi jika pria itu ikut makan siang bersama.

Di mana pun makannya, posisi makan mereka adalah; Sabda, Rinai, Dinda, Dara lalu Ardi. Formasi ini dibuat dengan motto 'menjadi pelindung bagi wanita dalam hal apapun'. Tentu saja ide itu usulan dari Dinda. Katanya, "Berhubung cowoknya ada dua, kalian harus ada di depan-belakang, ujung dan ujung, melindungi kita para wanita yang rentan akan godaan." Mereka hanya menurut karena tidak punya alasan untuk menolak.

Dan kini, Dara menyuapi makanan ke dalam mulutnya dengan perasaan muak. Ia tidak bersemangat menghabiskan sop iga yang biasanya mampu membuat perutnya berdemo untuk minta tambah.

"Jadi..." Suara Sabda memecah kecanggungan itu. "Mbak Dinda tahu di mana lokasi kantor mantannya mbak Dara?"

"Yang pasti satu gedung sama kita. Gue bakal cari dengan modal ciri-ciri setan itu," jawab Dinda sebal. "Mau gue gamparin mulutnya pake heels tujuh senti punya gue karena berani bilang hal sialan itu ke Dara."

"Dia beneran jadiin lo cewek pangganti seperti yang Rinai bilang?" tanya Sabda pada Dara.

Wanita itu memundurkan kursinya, bangkit dari sana. "Gue ke toilet dulu." Ia muak berada satu meja dengan Rio yang lihai menunjukkan wajah tenangnya.

Mengabaikan kepergian Dara, Dinda kembali bicara, "Dari awal gue udah nggak setuju sama pacarnya yang ini. Awalnya gue curiga dia minta backstreet karena udah punya anak-bini, ternyata emang cuma buat pengganti." Ia mendengkus kasar. Wajahnya jelas menahan amarah yang selama ini ia bendung. "Gue nggak bisa diem aja ketika teman gue diperlakukan kayak tai sama cowok yang modal ngatur tanpa mau jadi donatur. Dia pikir dia udah sempurna?" Ia mengusap sudut matanya yang berair, dadanya tiba-tiba sesak. "Lo bayangin... Dara... menahan semua itu sendirian. Dara masih berbaik hati nggak spill muka si bangsat itu karena... dia masih cinta dengan teramat bodoh bahkan sampai mereka putus."

Rinai mengusap-usap bahu Dinda memberi rasa tenang. "Minimal kita lemparin air got ke muka cowok itu," katanya.

Sabda menelan ludah susah payah. Agak ngeri membayangkan kedua wanita ini benar-benar melabrak pria bajingan itu. "Girls, tenang. Jangan pakai cara kekerasan atau—"

"Lo nggak paham, Sab. Karena lo sama brengseknya," seloroh Dinda. "Gue bakal lakuin hal yang sama ke elo kalau lo juga nyakitin Rinai."

Tanpa mereka ketahui, pria yang sejak tadi berpura-pura menikmati makan siangnya di meja yang sama, kini mengepalkan kedua tangan di bawah meja.

***

Halooo, agak malam ya updatenya huhuuu baru sempet revisi.

Hampir 2000 kata lho, part paling panjang. Harus rame vote + komennya ya biar makin semangat nulis hehehehehe. 🌟💬

01/02/25
donat ♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro