chapter 10
Senin paginya benar-benar menyebalkan. Rio dengan mood yang berantakan itu tiba-tiba mengadakan meeting dan meminta laporan tiap divisi untuk disetorkan pada klien. Mereka dengan cepat mengerjakan apa pun yang kurang dan merevisi hal-hal yang Jumat lalu tertunda.
Dara bahkan melewatkan makan siangnya karena terlalu fokus bekerja. Sedangkan Ardi, ia sempat keluar sebentar bersama para petinggi perusahaan dan kembali dengan sekotak bento dari restoran cepat saji untuk diberikan pada Dara. Katanya, perut kosong akan membuat kerja otak melambat dan kurang konsentrasi.
"Makasih ya, Di," katanya disela-sela makannya.
"Anytime, Dar." Ardi tersenyum padanya.
Lalu, mereka kembali bekerja. Sampai pukul setengah lima sore ada pengumuman bahwa seluruh karyawan diajak makan malam bersama para petinggi perusahaan di sebuah restoran yang sudah mereka booking jauh-jauh hari. Tiga puluh menit sisa jam kerja mereka sibukkan dengan membereskan pekerjaan yang belum selesai hari itu. Semuanya semangat tidak terkecuali karena akan mendapat makan malam gratis yang tentunya di restoran mahal.
Setelah semuanya selesai dan beberapa karyawan mulai bersiap ke restoran yang sudah ditentukan, Dara masih setia duduk di closet di salah satu bilik toilet sejak lima menit yang lalu.
[Jongos Diva]
Sandara Hessa
Guys, gue boleh minta tolong, nggak?
Yang lagi sama Rinai atau Dinda tolong bilangin cek pc gueee.
Sabda Manggala
Oke, mbak, gue bilangin Rinai.
Btw lo masih lama di toilet?
Sandara Hessa
:(
Gue butuh anak cewek, Sab.
Sabda Manggala
Nikah dulu lah kalo butuh anak cewek. Nanti bikin, tuh.
Sandara Hessa
Nggak heran sih Rinai nggak mau sama lo.
Sabda Manggala
Wkwkwk anjir.
Sabda Manggala
*Typing*
Dara menutup ponselnya kala mendengar beberapa langkah kaki memasuki toilet.
"Gue nggak habis pikir kenapa Mas Rio malah masukin Sandara ke proyeknya yang baru, sementara hasil kerjanya biasa aja," suara Nadia terdengar pertama kali yang memulai percakapan.
"Padahal Sabda atau si Ardi lebih kompeten nggak, sih?" tanya wanita yang tidak Dara kenali suaranya.
"Nah! Si Ardi kan yang gantiin mbak Dias, kenapa nggak Ardi aja yang masuk?" timpal satu lagi. Dara yakini ada sekitar tiga orang atau mungkin lebih yang berada di depan biliknya.
"Eh, tapi kan pengalaman kerja Dara jauh lebih banyak dari mereka. Dia udah lima tahun di sini. Dan dia udah sering ngerjain proyek gede waktu sama Bu Husna dulu," tukas salah satunya. "Gue pernah seproyek sama dia buat pembangunan hotelnya pak Jatmiko. Dia bagus, kok."
"Duh, Yanti... lo kenapa muji-muji Dara?" Ah, Dara tahu Yanti, wanita itu memang pernah satu tim dengannya. "Kita harus dukung Nadia, dong! Posisinya sebagai kandidat pacarnya mas Rio bakal tersisihkan karena mas Rio kelihatan naksir sama si Dara!"
"Masa, sih?"
"Udah, udah. Buruan, deh, kita ditungguin sama mobil kantor, nih," lerai salah satu dari mereka akhirnya.
Dara melepas cubitan di kedua sisi tubuhnya pada blouse yang ia kenakan ketika tidak lagi mendengar suara apa pun dan langkah kaki mulai menjauh. Setelah Dara digosipkan sedang pedekate dengan Ardi di Minggu pertama pria itu masuk, sekarang ditambahkan lagi Rio. Gosip dari mana lagi itu yang mengatakan Rio naksir padanya? Sungguh, Dara rasa alih-alih naksir, pria itu lebih seperti membencinya tiap kali tatap mereka bertemu. Rio benar-benar menatapnya tajam dan tidak membiarkannya salah barang sedikit pun.
Wanita itu menghembuskan napas kasar. Dinda ataupun Rinai belum ada tanda-tanda membaca pesannya, sementara waktu terus berputar dan ia bisa tertinggal oleh teman-temannya untuk makan malam.
"Dara?" Suara itu terdengar. "Dara, kamu di dalam?"
"Ah, iya!" Dara bangkit dari sana, membuka pintu toilet dan menyembulkan wajahnya di sana. "Lho, Ardi?"
Pria itu terlihat kikuk. Ia mengusap tengkuknya kala Dara terlihat kebingungan. "Mbak Dinda sama Rinai udah berangkat duluan di mobil Sabda tadi sama mbak Diva," jelasnya.
Wajah Dara kontan menekuk.
"Ini... Rinai nitipin ini." Ardi menyerahkan kantung logo minimarket pada wanita itu. "Gue tunggu di depan, ya."
Setelah menerima kantung itu dan Dara menyelesaikan urusannya, ia berkaca di depan cermin guna merapikan penampilannya dan memoles sedikit wajahnya dengan make up. Ia tidak percaya kala Ardi benar-benar menunggunya di depan toilet saat ini. Pria itu terlihat santai menyandarkan tubuhnya di dinding dengan tangan yang dimasukkan di kedua saku celana bahan hitamnya.
Ardi menyadari kehadirannya, kemudian menegakkan tubuhnya. "Ayo berangkat."
"Mm... lo tahu tempatnya?" Mereka jalan bersisian menuju pintu elevator.
"Tahu."
Dara mengangguk. Mereka memasuki elevator dalam hening. Wanita itu berpikir, apa yang akan anak-anak sipil pikirkan tentangnya saat melihatnya kini datang bersama Ardi padahal mereka baru saja menggosipkannya dengan Rio sebelumnya.
"Dar, hari ini saya bawa motor. Nggak apa-apa kan?"
Dara tidak lagi memprotes saat Ardi kadang memakai panggilan lo-gue atau saya-kamu, ia sudah cape mengoreksi dan sepertinya pria itu juga butuh waktu untuk beradaptasi. Maka, Dara hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Hari Minggu kemarin—"
"Dinda dan Rinai main ke kosan," potong Dara.
"O... oke." Ardi mengangguk.
Mereka tidak lagi bicara. Elevator berhenti di basement, Ardi memakaikan helm kuning pastel pada Dara dan memasang stripnya, kemudian Dara menaiki motor itu dengan gugup. Seumur-umur, Dara belum pernah dipakaikan helm begini oleh mantan-mantannya dulu. Hal sepele tapi mampu membuatnya merasakan getaran aneh di dadanya.
Kini motor yang dikendarai Ardi membelah jalanan Jakarta yang macet tiap jam pulang. Namun, seolah tahu celahnya, Ardi berhasil memarkirkan motornya di salah satu restoran di bilangan Senayan dengan waktu singkat. Mereka mulai memasuki restoran dan menuju lantai dua yang sudah di-booking oleh pihak DirgarsiTeam. Sudah ramai di sana.
"Dara! Ardi!" Dinda melambaikan tangannya agar mereka bisa dengan mudah menemukan meja yang sudah terisi itu.
Ardi menarik lengan Dara agar mereka segera duduk di sana. Pandangan wanita itu bertemu dengan tatapan tajam Rio yang menghunusnya. Kemudian netranya berpindah pada anak-anak sipil geng Nadia yang kini menatapnya seolah Dara telah melakukan dosa besar. Tentu Dara membalasnya dengan senyum congak agar Nadia dan teman-temannya semakin panas. Sudah dibilang, Dara itu semakin dibicarakan, semakin tertantang.
"Sorry banget, Dar, gue duluan. Nih, si Sabda ngajak buru-buru banget!" seru Dinda.
"Gila, ya, victim blamming banget!" Sabda menggeleng tak terima. "Mbak Dinda yang mau duluan, mbak, katanya biar lo—anjing!" Pria itu menunduk memegangi sepatunya yang diajak ganas oleh Rinai di bawah meja. "Kenapa, sih?" bisiknya.
"Mas Sabda diem, deh!" balas Rinai.
Dara tidak terlalu mempermasalahkan itu, meskipun ia malu karena Ardi yang mengantarkan barang kramatnya dan menunggunya di depan toilet, toh pria itu juga seperti tahu kegelisahannya dan tidak mengungkitnya.
Acara makan malam dimulai, sebelum menyantap makanan di atas meja, Raka—sebagai CEO baru—memberikan sepatah dua patah kata sebagai sambutan, juga menjelaskan diadakannya makan malam ini. Yang mana bertujuan untuk merayakan ulang tahun perusahaan yang ke empat puluh delapan. Bahkan ada potong tumpeng yang dipimpin oleh Dirgantara-owner sekaligus pendiri DirgarsiTeam. Semua bertepuk tangan meriah. Kemudian dilanjut dengan sambutan dari beberapa petinggi perusahaan.
"Gila ya, bayangin deh lo pada, umur udah uzur tapi duit di rekening ngalir terus kayak pak Dirga, apa nggak sejahtera tuh, hidupnya?" Dinda memulai pembicaraan ketika mereka sudah boleh makan.
"Mau mati juga tenang ya, Mbak, nggak perlu takut ninggalin keluarga dalam kesusahan," tambah Sabda.
"Nah, itu, Sab!" Dinda menjentikkan jarinya di udara. "Raka yang pas SMA kelihatan banyak mainnya, sekarang malah udah jadi CEO. Lah gue? Jadi cungpret dia!"
"Enak ya jadi pak Raka. Nggak pusing mikirin token listrik yang bunyi tiap mau abis." Decakan Sabda mengundang tawa di meja mereka.
"Bener lagi." Dara bergumam dalam kunyahannya. Dulu, ketika Raka masih menjadi arsitek, pria itu sering kali membawakan timnya makanan dari outletnya, bahkan mentraktir di restoran mahal tanpa pikir panjang. Enaknya hidup kaya sejak lahir, melanjutkan bisnis keluarga tanpa repot memikirkan masa depan yang carut marut dan penuh tanggungan. Ia kembali teringat pada keluarganya yang berantakan gara-gara si sialan Doni.
"Mau tahu fun fact tentang pak Raka nggak?" tanya Rinai.
Mereka sontak saja menatap maknae itu dengan dahi berkerut. Pasalnya, Rinai orang baru di DirgarsiTeam, pendiam dan tidak banyak tingkah. Jadi, mereka sangsi fakta menarik apa yang wanita muda itu ketahui.
"Pak Raka itu nggak mau jadi arsitek," ucap Rinai. "Dia sempat nggak mau ke Aussie buat kuliah dan milih kursus jadi baker," jelasnya.
Dinda mengangguk. Sebagai teman SMA pria itu, ia pernah mendengar selentingan kabar kalau Raka ikut kelas baker sebelum kuliah. "Terus?" Ia juga penasaran bagaimana teman serampangannya itu bisa ikut keluarganya ke ranah arsitek.
"Tuntutan keluarga. Dia ngambil double degree dan lulus lama di sana karena beberapa kendala. Salah satunya karena dia sering pulang ke Indo buat ngurus pembukaan outlet Taraka's Bakery. Jadi, apa yang kita lihat enak belum tentu beneran begitu kenyataannya." Rinai mendengar bagaimana Raka mengeluh dengan semua masalahnya tiap kali menyambangi rumah Rinai saat pria itu masih kuliah dan bercerita pada kakaknya. "Dia cuma mau bikin donat setiap hari dan berharap perempuan yang dia cintai balik lagi."
"Ah, tahun lalu juga ada kabar dia nggak masuk kerja beberapa Minggu karena sibuk pembukaan cabang baru Taraka's Bakery, kan!" Sabda mengangguk paham dengan semua masalah orang kaya ini.
"Apa nggak stress tuh si Raka, double degree di jurusan yang nggak dia minati, ngurus outlet kue, sekaligus dapat tuntutan lainnya?" Dinda cukup salut dengan mental Raka.
Ardi menatap lurus minuman di dalam gelas yang ia putar-putar sejak tadi. "Kita akan terus salah paham terhadap hal yang kita lihat melalui satu sudut pandang saja. Nggak semua sisi gelap itu dapat dilihat semua orang."
Dara seolah tertampar dengan itu. Baru saja ia menyanjung bagaimana enaknya hidup menjadi orang kaya dan menikmati harta selama hidupnya, kini ucapan Rinai dan Ardi begitu menohoknya.
***
AM
Pulang sama siapa, Dar?
Sandara Hessa
Naik taksi, Mas.
AM
Pulang sama aku.
Udah lama kita nggak pergi berdua.
Sandara Hessa
Yakin? Apa nggak takut orang kantor curiga?
AM
Tunggu mereka pulang. Nggak lama kok.
Sandara Hessa
Oke, Mas.
AM
I love you.
Sandara Hessa
I love you too.
***
I love you katanya, wkwkwkwk.
Akhirnya update jugaaa. Di chapter depan ada kejutan 🙈
Jangan lupa vote + komen yaaa biar makin semangat nulisnya hehehehe 🌟💬
25/12/24
♡ donat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro