Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. Stomata

Holla, happy baca ❤️
Kalau mau diupate cepat, jangan lupa banyakin komennya ya. Ahahaa
.
.
.

Ajakan Abyasa buat pindah ke rumah keluarga-nya malam ini juga ternyata bukan isapan jempol semata. Laki-laki itu membuktikan omongannya dengan melangkah keluar ingin pamit sendiri pada Oma Dahlia, Mama dan Papa.

Beberapa detik setelah Aby melengang keluar kamar, Aisyah dibuat tak berkutik akibat kembali diserang deru-deru tak biasa yang menghujam jantungnya.

Tarik napas-embuskan pelan-pelan. Dentuman meliar itu masih saja betah menyambangi jantungnya, berakibat detak tak normal yang berlipat kali lebih cepat.

Maklum, baru kali ini Aisyah menerima kebaikan laki-laki dari jarak super-dekat. Selama dua puluh empat tahun hidupnya, dia memang belum pernah dekat dengan pria manapun. Maksudnya dekat dalam artian memiliki hubungan relationship. Palingan saat masih kuliah dulu, interaksi dengan laki-laki hanya sebatas teman biasa, tidak ada yang lebih.

Kesadaran memanggil-pulang gadis itu dari lamunannya tentang Aby. Menggeleng-geleng pelan seraya bergumam tak jelas guna menyingkirkan bayangan Abyasa yang seolah tak mau pergi mengitari batok kepalanya. Aisyah putuskan segera mengemasi barang-barang, sebelum laki-laki itu kembali ke kamar.

Suara pintu terkuak. Abyasa masuk sembari memamerkan dua jempol yang mengacung. Bibir merah alaminya terbuka perlahan saat mulutnya memproduksi kalimat, "Beres. Kamu sudah siap, kan?" tanyanya seraya memerhatikan Aisyah.

Anggukan Aisyah. Menyampir tas selempang kecil tempat meletakkan hape dan dompet, serta di bagian punggung membawa backpack berisi baju-baju dan keperluannya. Aisyah isyaratkan jika dia siap untuk meninggalkan rumah ini.

"Ayo, berangkat sekarang saja, Syah," titah Aby.

"Iya, Pak." Kaki Aisyah terayun, tapi baru beberapa langkah Abyasa menghadang jalannya. Keningnya lantas terlipat mendapati polah laki-laki yang menggeret koper berukuran sedang itu. "Kenapa Pak? Ada yang ketinggalan?"

Tatapan Aby menuruni mata cokelat milik Aisyah. "Syah, sebelum kita pergi, saya mau bikin kesepakatan dulu sama kamu," cetus Aby.

"Kesepakatan apa, Pak?"

Menanggapi pertanyaan Aisyah, embusan napas terlepas dari mulut Abyasa diikuti decakan pelan, "Nanti kalau kita sudah di rumah keluarga saya, kamu jangan panggil saya dengan sebutan 'pak' apalagi di depan Eyang dan yang lain."

Aisyah menarik sudut-sudut bibirnya. Tersenyum tipis. "Tenang saja, nanti saya panggil Abang saja." Sepasang hazelnya mengerling lucu menanggapi permintaan Abyasa.

Mata Aby membola. "Saya bukan tukang bakso, Syah!" Ekspresinya memancar tak suka dengan sebutan yang Aisyah cetuskan.

Jari telunjuk Aisyah menempel di dagu. Gaya khas orang yang sedang berpikir. "Kalau gitu, Ka-kak, gimana?"

Petikan jari Aby menggema tepat di depan wajah Aisyah. "Sejak kapan kita jadi kakak-adik, Aisyah?! C'mon," protesnya tak setuju.

"Aak?"

Gelengan Aby.

"Akang?"

"No!"

"Om Aby."

Tatapan Aby menajam. Manik sekelam malam miliknya beradu dengan sepasang hazel Aisyah.
"Kamu udah enggak pantas disebut sugar baby, jadi jangan bikin saya terdengar seperti sugar Daddy, Syah!"

"Enak aja, umur saya masih dua empat, Pak, belum kepala tiga. Masih imut gini, kok."

Usai menjawab Aby, Aisyah terkikik pelan. Tadi cuma becanda, kok. Lagian mana mungkin memanggil Abyasa dengan sebutan 'Om' apalagi di depan keluarga besar laki-laki itu. Walau saat memindai raut si Aby-Aby ini, dia pikir memang pantas dipanggil Om. Lihat saja, wajahnya yang ganteng--ah, sialan, Aisyah tidak bisa memungkiri kenyataan yang satu itu--dikelilingi bulu-bulu halus bak rumput liar, membentuk five O'clock shadow. Nyambung pula jambangnya antara rahang dengan dagu. Sugar-daddy wannabe banget.

Abyasa mendengkus pelan. "Panggilan yang biasa suami-istri gunakan, Syah. Enggak usah ribet, deh!" Tegas Aby mulai tak sabar.

Pak Aby yang bikin ribet. Jangan playing victim, deh, Pak."

Aby menjambak pelan puncak rambutnya. Rasanya didera frustrasi kalau sudah berhadapan dengan kebawelan Aisyah.
melirik arloji serta menyentuh jam yang melingkari tangannya itu. Seolah isyarat agar Aisyah tidak membuang-buang waktu.

"Kalau orang Jawa biasanya panggil suaminya itu pakai 'Mas', yaudah Mas saja, gimana Pak."

"Not bad." Kedua bahu Aby tertarik ke atas bersamaan.

Debat berakhir. Keduanya menyeret langkah keluar kamar. Melewati ruang tengah, dan saat sampai di ruang tamu, Oma, mama dan papa terlihat duduk di sofa kulit.

Aisyah langsung menyongsong ketiga orangtua itu.
"Ma, Pa, Oma, Aisyah pamit dulu ya. Oma, Mama sama Papa semoga sehat selalu." Bibir Aisyah membentuk lengkungan senyum usai berbicara.

Niskala menyahuti kata-kata anak bungsunya, "Ya-iyalah kami harus sehat, Syah, kamu berharapnya kami sakit gitu, ya?" tudingnya tanpa perasaan.

Aisyah masih tersenyum lembut. Berusaha menebalkan kuping dan dinding hati. "Enggak Ma, Aisyah pasti bakal sedih banget kalau mama atau papa sakit. Jangan banyak pikiran, In Sha Allah Kak Diandra pasti segera pulang."

"Mama juga yakin, secepatnya Diandra akan kembali ke sini. Mama dan papa sedikit lega sudah tahu kalau Kakakmu ternyata baik-baik saja."

"Syukurlah, Ma."

"Syah, ayo jalan, keburu malam. Aby izin pergi bawa Aisyah, Ma, Pa, Oma." Seolah paham akan situasi, Abyasa berinisiatif pamitan. 

"Iya, hati-hati Aby, sering-sering main ke sini nanti. Syah, mulai sekarang kamu jadi tanggung jawab suamimu sepenuhnya." Oma Dahlia berkata seraya memeluk erat Aisyah.

"Jangan malu-maluin Papa sama Mama, ya, Syah, kalau nanti di rumah Aby. Ingat, kamu datang ke sana membawa nama baik keluarga besar kita." Kalimat ini keluar dari mulut Faris Hutama saat memeluk putri bungsunya. Aisyah hanya menyahut singkat dengan kata, iya.

Barter pelukan walau singkat dengan mama dan papa, tapi lumayan mengobati rasa rindu Aisyah akan dekapan orangtua kandungnya itu.
Tidak ada wejangan lagi yang keluar dari mulut kedua orangtua itu, hanya gumaman singkat, hati-hati di jalan.

Range Rover putih kepunyaan Aby melaju membelah jalanan aspal di pukul sembilan malam ini. Aisyah memilih melabuhkan pandangan pada jalanan di luaran sana.

Membunuh canggung serta rikuh, Abyasa menyalakan audio, memutar musik. Dentuman lagu Sky Full of Stars-nya Coldplay langsung mengudara memenuhi seantero mobil.

"Rumah Pak Aby jauh, ya?" Preambule Aisyah membunuh hening antara dia dan laki-laki yang tengah fokus pada roda kemudi itu.

Gelengan Aby. " Enggak terlalu. Kenapa?"

"Enggak papa, nanya aja."

"Aisyah, boleh saya tanya satu hal?"

"Apa, Pak?"

Laki-laki itu menoleh sepintas, lewat lirikan mata mencoba mencari tahu raut wajah lawan bicaranya. "Kamu pasti kecewa ya, sama sikap mama?"

Sudut-sudut bibir Aisyah terangkat ke atas. Sunggingan senyumnya mencuat disertai gelengan lemah. "Enggak, Pak. Baper, sih, tapi dikit aja. Lagian mau gimanapun sikapnya mama, beliau tetap mama saya. Yang udah mengandung dan melahirkan, walau tidak membersamai saya tumbuh besar."

Jawaban Aisyah membikin terenyuh Abyasa. Perlahan tapi pasti,  diam-diam ada setitik kagum meruangi hati pada gadis di sebelahnya itu.

"Kamu terlalu bawel, Syah, makanya mama sama papa bawaannya emosi kalau berhadapan sama kamu." Abyasa berniat melontarkan candaan.  Akan tetapi sepertinya dia harus meralat ucapan itu ketika mata legamnya memerhatikan rona Aisyah yang berubah sendu. Gadis itu menunduk dalam tanpa berniat menyahuti kata-kata Aby.

"Aisyah, maaf, saya cuma becanda. Jangan diambil hati," ralat Aby.

"Enggak papa, Pak. Saya cukup sadar diri, kok. Selain bawel, kayaknya enggak ada lagi yang bisa ditonjolkan dari diri saya ini. Pak Aby enggak usah minta maaf, toh memang itu kenyataannya."

Hening kembali merayapi. Abyasa fokus pada jalanan di depan, sedangkan Aisyah memilih menyandar pada kaca jendela, matanya bergulir memindai langit malam yang menggelap sempurna. Kata-kata Aby barusan terus berputar dalam batok kepalanya. Benar kata-kata laki-laki itu, mungkin mama dan papa jadi ilfeel akibat sikapnya yang terlalu bawel. Sudah tidak pernah membanggakan dengan pencapaian apapun layaknya si kakak kembar- Diandra.

Saat dunia kembali berpusat di depan matanya. Aisyah memilih memejamkan sepasang hazelnya yang tiba-tiba memanas, ingin menangis. Memilih meredam segala bentuk rasa kecewa dengan tak bersuara menjadi pilihan gadis itu.

"Syah, kamu haus, enggak? Mau beli sesuatu?" Setelah beberapa lama disergap saling diam, Aby kembali bersuara. Menoleh sekilas ke samping, mendapati gadis yang telah sepekan mengisi hari-harinya itu terlelap. Aby perhatikan kedua tangan Aisyah menyilang--memeluk dirinya sendiri, sama persis seperti saat gadis itu menangis beberapa waktu lalu akibat diabaikan sang mama.

Abyasa menepikan mobil ke sisi jalan. Menyalakan lampu hazard tanpa mematikan mesin, dia melepas jaket yang melekat di tubuh, lalu menyelimuti Aisyah dengan jaket Hoodie miliknya.

Sunggingan senyum tipis mencuat dari bibir Abyasa. Padahal sebelum mengenal Aisyah, rahang tegasnya itu lebih sering mengetat saking jarangnya tersenyum. Bibir yang biasanya mengatup rapat, sekarang sebentar-sebentar terbuka lebar saat mendapati tingkah lucu Aisyah atau polah polosnya gadis itu. Mau diakui atau tidak, kehadiran Aisyah, ibarat stomata yang membuka pemikiran Abyasa, bahwa dia masih membutuhkan proses fotosintesis untuk menjalani hidup. Selama ini laki-laki itu terlalu abai pada hidupnya sendiri. Hidup Abyasa selama tiga puluh tahun usianya hanya didedikasikan pada kepentingan keluarga, membuat dia menjadi pribadi yang apatis dan tertutup. Jarang tersenyum dan hobi memarahi siapapun yang tidak sesuai dengan kehendaknya.

Tangan Aby melayang, mengacak pelan puncak kepala Aisyah yang tertutup pasmina sifon warna teracotta. Gelengan-nya mencuat saat merasakan sesuatu yang ganjil merangsek menjalari aliran darahnya.
Yang diacak-acak puncak kepala Aisyah, kenapa yang terdengar berantakan isi hatinya. Halah!

___

Studio pemotretan malam ini. Di antara Blitz lampu, serta suara bidikan kamera. Gadis cantik itu berpose dengan banyak gaya mengikuti arahan sang fotografer.

Dagunya terangkat tinggi.
Tatapan mata cokelat terangnya lurus ke arah bidikan kamera, salah satu tangannya bertengger di pinggang, sedangkan satu lagi mengibas rambut dengan gerakan bebas saat kilat lensa menyambanginya.

"Satu, dua, tiga... ganti pose sekali lagi,  ya bagus."

Cekrek

"Oke, cukup untuk hari ini. Kerja bagus, Diandra."

Diandra Flora Kirana mengembuskan napas lega saat Bang Firman- fotografer yang ditugaskan mengambil berbagai pose-nya mengisyaratkan kalau pemotretan malam ini kelar.

Diandra mengempas badan rampingnya ke kursi malas. Salah seorang asisten model itu menghampiri, mengangsurkan sebotol air mineral pada sang model.
Gadis bertubuh proposional itu mengambil botol air dengan gerakan kasar dari sang asisten. Diandra kemudian meneguk isi dalam botol sampai tinggal separuh.

"Kak Diandra mau dibawain makan?" Tawar Tanty- asisten sang model.

Mendengarnya wajah oval Diandra menoleh Tanty. Tatapan maniknya menajam seraya menyahut ketus, "Lo sengaja mau bikin gue gendut gitu?" hardiknya dengan wajah membias kesal.

Tanty hanya diam menunduk. Baginya menghadapi sifat annoying model satu itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Perempuan bertubuh bongsor itu sudah kebal dengan semua perlakuan Diandra.

"Keluar Lo, jangan ganggu, gue mau di sini sendirian!" Perintah Diandra diangguki Tanty. Sejurus asisten model itu melengang keluar dari ruang ganti studio pemotretan.

Diandra memindai ponsel di tangannya. Membuka akun media sosial miliknya hanya untuk melihat unggahan foto kebersamaan-nya bersama mama dan papa. Tidak dimungkiri, gadis berkulit putih itu tengah didera kerinduan setengah mati pada rumah, dan juga orang-orang terdekatnya.

Sudah sepekan ini Diandra kabur dari rumah. Semua berawal dari wacana perjodohan oleh sang Oma. Dari awal sudah enggan menerima. Andai bukan karena desakan mama dan papa, dia tidak akan mengatakan iya saat keluarga calon laki-laki yang dijodohkan datang melamar.

Sejak acara lamaran dadakan itu, Diandra sama sekali tidak mau ikut menemui keluarga calon suaminya. Apalagi harus berbasa-basi dengan laki-laki asing yang tidak dia kenal.

Menghindar adalah pilihan terbaik. Sekali, dua kali, dan ketiga kali, Diandra masih bisa mengelak setiap Oma mengajak bertemu keluarga calon besan. Akan tetapi gadis berparas ayu itu tak lagi bisa menghindar saat dihadapkan dengan urusan persiapan pernikahan.

Pada suatu hari Diandra harus datang menemui Abyasa. Mereka janjian bertemu di salah satu kafe, rencana makan siang bersama, sekaligus digadang menjadi momen pertemuan pertama, dan akan berlanjut dengan mengunjungi butik langganan keluarga Hutama untuk fitting baju pengantin.

Detik-detik langkah Diandra akan menjangkau salah satu meja kafe tempat pertemuan. Namun langkahnya berbalik ketika mendapati laki-laki yang duduk di meja nomor lima belas itu berpenampilan jauh sekali dari ekspektasinya.

Mulut Diandra mengangah tak percaya, dengan mata membeliak saat memindai fisik laki-laki itu jauh dari kata tampan. Perutnya bertumpuk gelambir lemak, rambutnya klimis seperti habis disiram minyak. Lalu, cara berpakaiannya, Diandra menilai sangat norak dan ketinggalan zaman.

Memutuskan menghindar, Diandra bergegas ingin secepatnya enyah dari tempat itu. Saat langkahnya tergesa, dia hampir saja terjatuh ketika tak sengaja bersenggolan dengan seseorang. Untung saja tangan kekar lelaki itu sigap menangkapnya. Diandra sampai dibuat tak berkutik ketika matanya bersitatap dengan manik legam milik laki-laki yang bersenggolan dengannya. Demi Tuhan, dia lebih rela jika berjodoh dengan si pria pemilik jambang halus dan hidung mancung itu, daripada harus menikah dengan Abyasa Rahagi Prasetya yang urung dia temui.

Sampai detik ini Diandra masih dibuat penasaran setengah mati, siapa laki-laki berwajah tampan yang waktu itu dia temui di kafe. Andai tidak buru-buru, pasti waktu itu dia ingin berkenalan, atau meminta nomor teleponnya.

Diandra termenung sendiri oleh lamunannya. Senyuman terbit di wajah cantiknya setiap kali bayangan si laki-laki tampan menyambangi pikirannya.

⚜️⚜️⚜️

Diandra ketemu siapa itu, hayo?

Mau diupate cepat?
Komen aja dulu yang banyak ya.









10-01-2022
2000

Tabik
Chan


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro