Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tertukar?

Kenapa tahun cepat sekali berlalu? Rasanya baru kemarin aku dan sepupu merayakan ulang tahun dan tanggal 31 Oktober datang lagi. Walau menentang habis-habisan rencana untuk mengadakan pesta ulang tahun bersama sepupuku, tetap saja aku kalah suara dari sepasang makhluk yang selalu terlihat mesra seperti slogan iklan—kapan pun, di mana pun, selalu ada untukmu—yang selalu muncul di televisi.

"Kau sudah siap, Titi sayang?"

"Sebentar lagi, Ma!"

***

Sesaat setelah keluar rumah, aku melihat seorang gadis yang dandanannya sama persis denganku. Kesal pasti ada, tapi sudahlah kuanggap ini sebagai tren anak muda zaman sekarang yang suka meniru-niru apa yang mereka anggap keren. Berpikir lurus saja, dengan meniru berarti aku disukai atau malah ... sebenarnya aku telah menjadi idola mereka. Hanya memikirkan kemungkinan ini lebih dari cukup membuatku terkikik. Aku setara dengan para idola di televisi.

Hihihi ... Tidak ada salahnya aku menyapa fans pertamaku, bukan?

Ah, sayang sekali dia tidak melihat lambaian tanganku karena dia terlanjur masuk ke dalam kotak mesin beroda yang sering kulihat lalu lalang di dekat rumah. Ya sudah, mungkin aku bisa bertemu dengannya lain waktu karena rumah kami berdekatan.

Deru suara motor semakin mendekat ke arahku. Aku tidak tahu kenapa kendaraan berisik ini disebut motor, padahal jelas-jelas di labelnya tertulis 'YA MAHAL', kalau mahal kenapa masih dibeli juga? Heran aku dengan kelakukan para manusia yang hobinya mengeluh dan lari terbirit-birit bila kusapa.

Namun, berbeda dengan sosok yang satu ini. Bang Ojek selalu menyapa lebih dulu sambil tersenyum manis.

Ada satu pertanyaan yang sulit terjawab. Sewaktu menempati kompleks perumahan yang sekarang kami diami, setiap pengendara beroda dua—entah YA MAHAL dan SUZUK IH—selalu bernama sama, yaitu Ojek. Setidaknya ini yang selalu mereka lakukan, termasuk sekarang.

Pengendara YA MAHAL membuka kaca helm dan kembali mengenalkan dirinya. "Ojek?"

"Hihi. Iya, iya ... salam kenal, Bang Ojek," balasku berusaha ramah, padahal aku memutar mata mata. Malas dengan basa-basinya.

"Ayo, Neng. Abang antar."

"Iya, Bang. Ke alamat ini, Bang."

Bang Ojek memeriksa alamat yang tertera dan bertanya, "Kok nulisnya di daun sih, Neng?"

"Itu perkamen, Bang."

"Oh. Ayolah."

Jadilah aku diantar oleh Bang Ojek nomor kesekian hingga ke lokasi yang dipilih Papa untuk acara ulang tahunku dan sepupu—tidak—tercinta. Entah sampai kapan aku harus berurusan dengan anak yang lebih suka berdandan seram dan menakuti setiap orang yang lewat, atau memesan makanan di penjual pinggir jalan dan membayar pakai daun.

***

Beruntung sekali, ternyata gadis yang tadi kulihat juga menghadiri pestaku. Namun, aku tidak punya kesempatan untuk menghampiri dia karena para kerabat selalu saja menghampiri dan menyelamati sambil melemparkan harapan-harapan kosong mereka.

Ya, kosong karena harapan 'semoga tambah cantik, panjang umur, dan berbahagia' itu sulit. Kurasa wajahku ini mau didandani atau tidak akan terlihat sama saja—menakutkan.

Panjang umur? Mau seberapa lama lagi aku harus hidup di dunia membosankan ini?

Bahagia? Absurd sekali, bisakah seseorang berbahagia bila terperangkap dalam rutinitas yang sama setiap hari?

Sudahlah, daripada diceramahi hingga ayam berkokok dan terjemur matahari oleh mama, lebih baik aku mengangguk dan memasang wajah bahagia saja.

Selesai meniup lilin dan membelah labu, aku berdiri di pojokan dan menghindari kontak mata dengan siapa pun. Jujur, ingar-bingar di tempat ini membuatku lelah. Aku hanya ingin tidur, bergadang itu tidak baik untuk kesehatan kulit, bukan?

Lihat saja, semakin hari kulitku semakin pucat, pembuluh darah saja sampai terlihat seperti retakan-retakan hitam pada guci porselen. Sepertinya aku harus membeli produk-produk perawatan kulit, atau ... meminjam milik sepupuku, tentu saja tanpa dia tahu.

***

Selesai juga acaranya. Papa menyuruhku menunggu di seberang jalan yang berhadapan dengan gerbang lokasi pesta.

"Sendirian aja, Neng?" Penjual sate menghampiriku.

Aku hanya mengangguk tak acuh karena kesal pada papa yang tak kunjung datang. Entah apa yang dia lakukan di dalam gedung hingga aku dibiarkan seperti patung pajangan seperti ini.

"Duduk dulu aja, Neng. Atau mau makan sate? Makan di sini atau bawa pulang?" Keramahan si penjual sate membuatku tidak nyaman. Aku menggeleng padanya dan memutuskan untuk berdiri di tempat lain saja.

"Yah ... kok buru-buru amat, Neng?"

"Hihi. Maaf, Bang. Baru bubar dari pesta, jadi masih kenyang." Aku mengusap-ngusap perut yang tersembunyi di balik pakaian longgar yang aku kenakan hari ini.

Akhirnya, mobil yang dikendarai papa tengah meluncur dari parkiran. Di saat bersamaan, mataku bertemu dengan gadis tadi—tetangga baruku. Belum juga aku sempat mengulas senyum, dia malah terlihat tegang seperti baru melihat hantu. Tentu saja aku kesal, penampilan dia sama denganku, tapi kenapa malah ketakutan begitu? Apa namanya kalau bukan menghina?

Aku berjalan ke arahnya dengan maksud menegur dan menasehati supaya bisa bersikap sopan, walau tidak kenal. Namun, lampu sorot dari sebuah mobil yang membutakan mata hampir saja menyerempetku. Untung orang itu sempat membanting setir hingga rodanya naik ke trotoar.

Si pengemudi turun dan langsung membentak kasar padaku, "Matamu di mana, hah!"

Aku mendongak hingga seluruh iris kelabu hilang di balik kelopak mata. Tujuanku hanya satu, menghardik balik. Namun, dia langsung gemetar dan langsung meminta maaf berkali-kali sambil buru-buru masuk ke mobil dan tancap gas.

"Dasar manusia!" omelku sambil berkacak pinggang. Aku menoleh dan tidak melihat mobil papa lagi. Gadis yang ingin kusapa tadi juga sudah tidak ada di sana, mungkin sudah dijemput atau diantar seseorang.

***

Mendekati rumah, mobil papa terparkir di depan rumah tetangga baruku. Aku memelesatkan diri untuk menghampiri mereka. Namun, belum juga sampai, papa sudah tancap gas lagi—pulang ke rumah.

Mama yang pulang bersama kakak laki-lakiku menatap heran karena kondisiku yang terengah-engah. "Titi sayang, kamu kenapa?"

"Tanya pada Papa." Aku terlalu lelah untuk sekedar membuka pintu yang masih tertutup rapat dan masuk begitu saja.

"Woi! Sudah berapa kali kubilang jangan main tembus pintu sembarangan!" nasehat kakak laki-lakiku lebih mirip ceramah tante cerewet di pasar malam.

Sial sekali hari ini, biasanya banyak yang menghampiri dan menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Memang banyak yang berhenti di sampingku, tapi langsung buru-buru tancap gas sewaktu aku menelengkan kepala pada mereka dan berusaha tersenyum seramah mungkin.

Sungguh, suasana hatiku sangat buruk karena bisa-bisanya papa tidak mengenali anak sendiri dan malah mengantar anak manusia yang berusaha menjadi diriku.

***

Terekam dalam Recorda Codex halaman 366613 milik E'Rheaz The Words Keeper.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro