Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teh

Pagi yang lain menyapa kehidupan Samuel. Seperti biasa, pemuda tersebut segera bangkit mencari penyegar tenggorokan begitu terbangun dari tidur paginya.

"Morning, Sweetie."

Baru saja keluar membuka pintu kamarnya, Samuel segera terkejut begitu menangkap kehadiran seorang wanita paruh baya yang kini tengah mengikuti instruksi meditasi di televisi.

"Bunda ngapain di sini? Bukannya urusan di Jepangnya masih lama?" tanya pemuda tersebut pada sang wanita paruh baya yang tak lain adalah ibundanya, Monik.

Wanita tersebut kini sudah keluar dari posisi meditasinya, beralih tersenyum pada sang putra. "Ada yang ketinggalan."

Samuel menaikkan satu alisnya. "Kenapa nggak minta suruh sekretaris Ayah buat ngambil?"

"Nggak sembarang orang boleh pegang barang yang ketinggalan ini, Sammy," alibi Monik. Sebenarnya bukan itu tujuan utama wanita berwajah dingin tersebut.

"Terus kenapa Bunda mampir ke sini? Bukannya lagi buru-buru?"

Mendengar pertanyaan yang tak hentinya keluar dari mulut Samuel, Monik terkekeh kecil. "Kenapa? Bunda nggak boleh mampir sini?"

"Bukan gitu sih maksud Sammy," jawab Samuel agak canggung. Pemuda tersebut pun memilih melanjutkan tujuannya—minum air putih. Setelahnya Samuel kembali menemui sang Bunda di ruang tamu—tentu sudah cuci muka kali ini.

"Gimana kabar kamu?" tanya Monik basa basi, sementara manik matanya fokus menatap layar tivi yang masih menayangkan acara meditasi pagi.

"Seperti yang Bunda lihat tuh, baik aja." Samuel menjawab enteng.

"Kalau kabar Ghea gimana?"

Pertanyaan itu membuat Samuel tertegun sesaat. Seharusnya ia tidak terlalu kejut begitu Monik menanyakan kabar 'kekasihnya'. Sebab saat masih berkencan dengan Lila pun Bundanya memang sering menanyakan kabar gadis itu. Bisa dibilang Monik cukup strict dalam urusan asmara putranya.

"Kurang tau, Sammy sama dia udah putus." Akhirnya kalimat itu yang bisa Samuel katakan. Kini malah gantian Monik yang tertegun. Meski begitu, air mukanya tetap terlihat tenang.

"Putus kapan?"

"Semalem."

Monik mengangguk-angguk kecil mendengar jawaban singkat Samuel. Untuk sesaat hatinya merasa lega. Ternyata ini tidak serumit yang dibayangkan. Bahkan Monik belum menjentikan jarinya untuk mengusir gadis itu, namun ternyata gadis tersebut sudah pergi dengan sendirinya. Sungguh kooperatif. Diam-diam Monik tersenyum tipis.

"Kalau gitu, harus nunggu dua tahun lagi sampe kamu move on dong. Sama kayak pas move on dari Lila ke Ghea," celetuk Monik bercanda.

'Move on dari Lila aja belum,' batin Samuel.

"Khem. Iya, mungkin." Pemuda tersebut mengusap belakang lehernya.

*****

----------------------
Warning ⚠️
Terdapat kata-kata kasar, abuse, etc.
Tidak untuk ditiru!
----------------------

30 tahun silam. Saat matahari sudah terjun seutuhnya ke ujung barat. Sedang langit malam tengah bergemuruh dicambuk kilatan guntur. Petang sejauh mata memandang, hanya kilatan-kilatan yang kian lama kian terlihat seperti sulur-sulur iblis yang tengah mengamuk. Menakutkan.

Sungguh menakutkan bagi seorang gadis kecil yang baru saja memasuki usia ke-limanya tahun ini. Gadis tersebut semakin ketakutan saat suara gluduk bersahutan di langit memasuki telinganya. Baginya terdengar seperti gong dari neraka—yang ia yakini sebagai tempat untuk anak-anak nakal.

Namun apa yang bisa ia lakukan selain memeluk lututnya sendiri? Terkunci di kamar kumuhnya yang sempit, dimana lagi ia harus bersembunyi? Bahkan saking takutnya, ia tak bisa mendengar perut keroncongannya sendiri.

PRANK!

Di luar kamar, terdengar pecahan kaca entah benda apa itu. Gadis kecil tersebut tak berani mencari tau. Seseorang yang akhir-akhir ini ia takuti sudah pulang. Dengan segera, gadis tersebut memilih berlari ke pojok kamar. Sembari menghadap dinding, gadis tersebut kembali memeluk lututnya sendiri.

"MILA! KELUAR LO, BABI!"

Nyatanya teriakan di luar kamar berasal dari seseorang yang disebut gadis kecil tersebut sebagai ayahnya. Pemuda dua puluh satu tahun tersebut—seperti biasa—pulang dalam keadaan mabuk. Rambut gondrongnya tak terurus, sedang pakaiannya berantakan.

"Genta! Lo mabuk lagi?"

Seorang wanita seumuran dengannya datang dengan sorot wajah kecewa. Wanita tersebut tak lain adalah istrinya, Mila.

"Lo bilang lo mau kerja, Sialan! Mau makan apa kita kalo lo kayak gini terus?!" lanjut Mila.

Mendengar celotehan istrinya, dalam sekejap Genta terbakar amarah. Rahangnya mengeras, sedang matanya memerah menatap tajam Mila. Pemuda tersebut dengan cepat berjalan mendekat dan menjambak rambut panjang sang istri.

"Lo laper? Kenapa nggak lo masak aja anak lo tuh, lumayan buat stok daging sebulan," ujar Genta tersenyum miring.

"Lo gila, Bangsat!"

Namun teriakan Mila membuat Genta memukul keras perut istrinya tersebut tanpa belas kasihan. Tak berhenti, Genta kembali menjambak rambut Mila, kali ini dua kali lebih erat. Mila merasakan kulit kepalanya seperti hendak mengelupas. Dengan wajah memerah dan mata berair, Mila hanya bisa meringis menahannya.

"Kita lihat siapa yang bakal jadi lebih gila setelah lo milih buat tinggal seatap sama gue." Setelah mengatakan itu, Genta menghempaskan kepala Mila ke tembok. Lalu berjalan tanpa wajah berdosa, melangkahi tubuh sang istri untuk menuju ke kamarnya. Kepalanya pening karena mabuk, namun terasa lebih baik setelah sedikit menyiksa istrinya barusan.

Sementara masih di ruang tamu, Mila memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri, untung saja tidak sampai ada luka luar. Wanita tersebut menangis dalam diam. Raganya terasa remuk hancur, apalagi batinnya. Tubuh bak gitar spanyol yang dulu diidam-idamkan teman satu sekolahnya kini hanya terlihat tulang-tulang yang terbalut kulit. Ia jadi terlihat lebih tua daripada usianya.

Ini semua berawal dari kesalahannya di masa lalu. Mila tidak menyangka semuanya akan berakhir seperti ini. Enam tahun lalu, ia masih seorang siswi populer di sekolah, mempunyai banyak teman, bahkan banyak lelaki yang bertekuk lutut ingin mengencaninya. Namun Mila yang saat itu sedang nakal-nakalnya menjadi remaja malah terjerumus pada pergaulan bebas dengan pacar pertamanya, Genta.

Hal itu yang membuatnya tak diakui lagi oleh kedua orangtuanya. Begitupula yang terjadi pada Genta. Akhirnya keduanya memutuskan untuk tinggal bersama di tempat yang jauh dari kedua orangtuanya, bahkan jauh dari masyarakat. Untuk tiga tahun pertama, Genta yang masih remaja cukup bertanggung jawab dengan memberikan uang hasil kuli panggulnya. Meski begitu, sifat temperamennya masih sama seperti sekarang. Bedanya, sudah dua tahun ini Genta bermalas-malasan. Kadang Mila sampai menahan tidak makan selama tiga hari karena uang yang diberikan tidak cukup.

"Hahahaha ... dia kira gue bakal gila kali ya?" gumam Mila tiba-tiba. Tatapannya kosong menatap tembok. Bibirnya masih merekah tertawa kecil.

"Gue laper banget bangsat. Si Gentanjing sinting ga guna banget jadi suami."

Mila terus mengumpat lirih, sebisa mungkin agar tidak terdengar oleh sang suami. Dengan tertatih, wanita tersebut mulai bangkit dari duduknya. Semuanya terasa ngilu, hampir saja ia menjerit saat merasakan otot perutnya keram mendadak.

"Woi, anak bangsat! Keluar lo!" teriak Mila sembari menggedor-gedor pintu kamar putrinya. Ia lupa kalau ia sendiri yang mengunci kamar sang putri dari luar.

"GAUSAH TERIAK-TERIAK, BABI! GUE DAH BOSEN MUKULIN MUKA LO!" Sahutan lain malah keluar dari mulut Genta yang marah karena suara berisik sang istri.

Kedua pasutri muda tersebut benar-benar tak peduli bahwa ada seorang gadis kecil yang tengah menahan telinganya untuk tidak mendengarkan teriakan-teriakan tersebut. Bahkan rasanya gelegar suara gluduk tak semengerikan teriakan kedua orangtuanya yang sama-sama temperamental.

Cklek.

Gadis kecil tersebut kian merapatkan pelukan di lututnya. Jantungnya berdegup kencang saat dirasa sosok Mila mulai memasuki kamarnya dengan langkah tergesa.

"Ma! Aku mau dibawa temana, Ma?!"

Gadis kecil tersebut berusaha memberontak saat Mila secara tiba-tiba menarik lengannya kasar. Namun tentu saja usahanya sia-sia. Sang mama tak kalah menyeramkan daripada iblis saat seperti ini.

PLAK!

"Gausah berisik, Sat! Lo mau gue diamuk bokap lo lagi? Lo paling demen ya liat gue babak belur gini, hm?"

Dengan air mata yang sudah menganak sungai di pipi tirusnya, bocah tersebut menggeleng cepat. Perih di pipinya masih membekas setelah Mila menamparnya barusan. "Ma ... sakit, Ma," rintihnya.

"Lo pikir gue gak sakit juga hah? Lo pikir di dunia ini harus cuma gue yang sakit sementara lo sendiri awal kesengsaraan di hidup gue, hah?" Mila menekan kata-katanya dengan nada rendah. Mata lentiknya memerah menatap tajam sang putri.

Isak tangis gadis kecil tersebut kian hebat, badannya bergetar antara lemas belum makan dan ketakutan. Ia sungguh tidak paham apa yang mamanya bicarakan barusan.

"Sini, ikut gue."

DUG!

Kepala gadis tersebut terantuk pinggiran pintu saat Mila menyeret pergelangan tangannya dengan kasar. Gadis kecil dengan rambut pendeknya yang lengket—karena satu tahun tak keramas—tersebut meringis saat merasakan lututnya bergesekan dengan lantai rumah yang masih beralaskan semen saja.

Mila membawanya ke dapur. Meraih sebuah pisau, lalu mendekatkannya ke wajah kucel sang putri. Ibu muda tersebut tertawa kecil menatap wajah ketakutan putrinya. "Genta ada benernya juga. Kan gue bisa masak lo kalo kelaperan gini."

"MA, JANGAN, MA! AKU GA BAKAL NAKAL LAGI, JANJI! MAMAAAA HUWEEE."

Bocah tersebut sudah tidak kuat lagi. Ia sudah pernah merasakan bagaimana benda tajam semacam itu saat Mila menggores kecil pahanya dengan silet. Dan itu rasanya sangat perih.

"GUE BILANG JANGAN BERISIK, ANJING!" Teriakan kembali terdengar dari kamar Genta.

PLAK!

"Lo denger, 'kan, kata bokap lo? Jangan berisik."

Hidung mungil bocah tersebut mulai mengeluarkan darah setelah sang mama menamparnya cukup keras. Namun ia berusaha menahan sesenggukannya, membuat dadanya terasa ditimpa batu besar hingga sesak untuk bernapas. Kepalanya terus menggeleng, tubuhnya berusaha memberontak saat tangan Mila yang satunya memelintir lengannya. Sakit, sakit sekali. Hanya iblis tidak berperasaan yang bisa melakukan itu semua pada gadis berusia lima tahun.

DUG!

Tubuh kecil gadis tersebut tak sengaja menubruk meja kecil di sebelahnya, membuat gelas kosong yang berada di pinggiran meja terjatuh dan pecah. Mila yang kurang waspada malah menginjak pecahan kaca tersebut hingga melukai kakinya.

"ARGHHH!"

Karena kesakitan, ia melepaskan cengkeramannya pada lengan putrinya dan jatuh terduduk.  Sialnya Mila menginjak pecahan kaca yang paling besar dan tajam, membuat luka di telapak kakinya menganga lebar dan mengeluarkan banyak darah. Wanita tersebut lantas menatap marah sang putri. Melempar asal pisaunya dengan tujuan mengenai tubuh gadis kecil tersebut.

Namun ternyata bocah tersebut dapat menghindar. Dengan napas yang masih sesenggukan, gadis tersebut meraih pisau yang dilemparkan mamanya.

"Anak sialan lo, Bangsat!"

Mata sembab bocah tersebut terus menatap wajah memerah mamanya. Mila susah payah mengesot, hendak meraih tubuh anaknya lagi. Sementara tangannya menggenggam pecahan kaca paling besar yang tadi mengenai kakinya. Menggapai-gapai ingin mencabik-cabik tubuh mungil sang putri.

JLEB!

"AAARGGHHH!!!"

JLEB JLEB JLEB!

Baik Mila dan gadis kecil tersebut sama-sama berteriak kencang. Darah kental memenuhi wajah keduanya. Bedanya kini wajah Mila penuh dengan lubang-lubang besar menganga. Bahkan kedua bolamatanya sudah tercoblos ke dalam. Mila kelabakan, berteriak histeris, terkejut akan perlakuan putrinya yang tiba-tiba menjadi kesetanan memainkan pisau di wajahnya. Ibu muda tersebut terus mencoba menggapai-gapai keberadaan sang putri dengan kondisi yang sudah tak dapat melihat. Anyir bau darah memenuhi ruangan tersebut.

"AAA IBLIS SIALAN LO—"

SRAAAAK.

Gadis kecil tersebut lanjut menusuk mulut Mila, lalu merobeknya kasar.

"AARGHHH AKU IBLIS! AKU ANAK NAKAL! SEMUANYA MATI AJA!!!"

Wujud wajah Mila sudah tak karuan sekarang. Robekan di rahangnya menganga lebar, bola matanya hancur, telinganya robek, dan pipinya bolong. Kulit kuning langsatnya sempurna tertutupi darah kental. Wanita tersebut nampaknya sudah tak banyak bergerak, hanya histeris kesakitan yang kini mulai terdengar candu di telinga putri kecilnya.

JLEB!

Sentuhan terakhir, gadis kecil tersebut menancapkan pisaunya di ubun-ubun Mila tanpa mencabutnya. Dan tepat saat itu juga Mila menghentikan histerisnya. Tubuh ringkih tersebut tergolek begitu saja di lantai dengan puluhan liter darah yang terus merembes.

"Huweeeee mamaaaaa. Mamaaaa, dimana, Mamaa."

Bocah tersebut menjauh dari mayat mengerikan di hadapannya. Tubuhnya penuh tertutupi cipratan darah. Kaki dan tangannya bergetar hebat, ia terus menangis kencang.

"Wow ...."

Masih dengan isakan hebatnya, bocah tersebut menoleh pada pintu dapur. Ternyata sang ayah tengah tersenyum 'takjub' padanya. Diam-diam Genta sudah berdiri di sana karena mendengar teriakan-teriakan di dapur. Dan apa yang ia lihat saat ini begitu menakjubkan.

"That's my baby," celetuk Genta sembari bertepuk tangan pelan.

==TBC==

Maaf kalau scene di atas menggangu, atau malah kurang detail ya, mentemen 😔

Scene kayak gitu sebisanya nggak bakal kukasih banyak2 kok, paling kebanyakan pas bahas kilas balik doang. Sumpah aku sendiri kangen sama Samuel-Gege yang ceria. Pengin cepet-cepet nulis yang ucul2 lagi soalnya masih banyak stok scene uwwu di otak 😭
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

BTW, YANG PENCET VOTE JODOHNYA GAEUL TXT!🤘

HELP, GAEUL DI FOTO INI GANTENG BANGET SUMPAH. BAJUNYA MIRIP HUENINGKAI TXT PAS PERFORM APATUH LUPA 😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro