Part 45
Assalamu'alaikum...
Selamat malam^_^
Cepet kan updatenya?? Awas kalau ada yang bilang lama, wkwkwk.
Ini Part terpanjang yang aku buat:v
Awas!!!! Typo bertebarann.......
Happy Reading ^_^
Suasana di dalam mobil benar-benar terasa canggung. Rasanya lidahku kelu hanya untuk sekedar berbasa-basi dengan Adrian.
Tapi bagaimanapun aku harus segera memecahkan suasana ini.
"Pak." tidak itu tidak seperti sebuah panggilan, tapi lebih tepatnya cicitan.
"Ada apa?" tanya Adrian.
"Bagaimanapun kita mencoba untuk pura-pura tidak saling mengenal, tapi pada kenyataannya kita tidak bisa merubah apa yang telah terjadi. Masa lalu kita memang cukup tidak menyenangkan. Tapi dengan itu bukan berarti serta merta kita menjadi orang lain yang saling tidak mengenal." aku sengaja menghentikan ucapanku karena ingin melihat reaksinya.
"Saya tahu. Tapi cukup kamu membahas itu sekarang, bagaimanapun sekarang adalah jam kerja dan saya tidak mau karena hal itu keprofesionalan kita hilang." ujarnya.
Perkataannya barusan telak mengenaiku dan sangat sulit untukku melanjutkan ucapan yang tadi sempat tertunda.
"Dini sama eyang apa kabar Pak?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Dini dan eyang, mereka dalam keadaan baik." jawabnya singkat.
"Dini sekarang dimana?" tanyaku lagi.
"Dia kuliah di sini." jawabnya lebih singkat.
Oke sampai disini aku tahu bahwa dia tidak mau terlibat obrolan yang menjurus ke kehidupan pribadinya.
****
Satu jam kemudian kita sudah sampai di lokasi. Jangan bayangkan ini adalah hotel berbintang yang bertingkat banyak. Karena disini hotelnya masih dalam pembangunan dan masih banyak material bangunan disana sini.
Aku merutuki kebodohanku yang lupa tidak membawa sandal dan sekarang aku harus berusaha keras memasuki area hotel dengan mengunakan heels.
"Pak bukannya ini bukan tugas bapak ya?" tanyaku. Sekarang kami sedang berjalan menuju ke dalam bangunan.
"Saya hanya diminta direktur untuk kesini. Ada sesuatu yang harus dibuktikan kebenarannya. Dan saya mengajak kamu karena sebenarnya sekretaris saya sakit dan hari ini dia tidak bisa hadir." jawabnya.
Jadi... Alasan yang tadi dia kemukakan adalah sebuah kebohongan? Aku sekarang disini tak lain berfungsi sebagai sekretarisnya?
Sebelum masuk ke bangunan lebih dalam Adrian mengajakku ke suatu tempat. Oh rupanya dia mengambil helm.
"Pakai ini." ujarnya sambil menyerahkan sebuah helm. Jangan bayangkan helm yang dipakai saat naik motor, tapi bayangkan helm yang biasa dipakai di area kontruksi.
"Kamu yakin pake heels?" Adrian bertanya sambil matanya melirik ke arah kaki ku.
"Gak papa pak. Saya akan hati-hati." ucapku.
Adrian pun mengangguk. Ia segera melangkahkan kakinya menuju ke dalam hotel dan aku segera mengikutinya dari belakang.
"Pak, ini kan lagi dibangun tapi kok sepi?" tanyaku. Aku memang penasaran dari tadi kemana para pekerja yang seharusnya ada disini.
"Mereka sedang diliburkan." ucapnya singkat.
"Lha terus ngapain kita kesini?" tanyaku merasa heran.
"Kita akan bertemu dengan pimpinan proyeknya." jawab Adrian.
Kami sampai di suatu ruangan yang cukup luas dan sepertinya ruangan ini yang paling rapi dibandingkan ruangan lainnya yang belum terpasang lantai keramik. Rupanya disini ada cukup banyak orang yang aku tidak tahu siapa saja mereka.
"Maaf kami agak sedikit terlambat. Ini sudah pukul sembilan padahal dalam rencana itu pukul setengah sembilan." ucap Adrian ketika kami sampai di hadapan orang-orang itu.
"Tidak apa-apa pak Adrian. Silahkan duduk, maaf ini siapa ya?" tanya seorang bapak-bapak sambil melirik ku.
"Oh ya, dia Shaquella pegawai baru di Accounting. Saya membawanya karena sekretaris saya berhalangan hadir, selain itu dia juga yang mengelola pencatatan yang berhubungan dengan hotel ini." ujar Adrian.
Aku tersenyum ke arah mereka semua, dan dibalas senyum ramah oleh mereka.
Perbincangan atau yang bisa dibilang rapat pun dimulai, rupanya ada masalah mengenai bahan yang berbeda dengan apa yang ada di catatan dan juga proyek yang molor sehingga pembiayaan membengkak. Ah aku jadi ingat ketika itu ada keganjilan yang aku rasakan ketika menyusun laporan yang berasal dari proyek ini.
Aku pun mencatat hal-hal yang sekiranya penting. Sumpah aku tidak tahu apa yang harus dilakukan sekretaris ketika semua orang senang berbicara seperti ini.
Satu hal yang aku anggap aneh disini, kenapa mereka harus melaksanakan rapat dibangunan yang masih setengah jadi seperti ini? Padahal masih banyak tempat yang bisa digunakan untuk rapat.
Dua jam telah berlalu dan sungguh sekarang rasanya kepalaku berdenyut karena dari tadi mendengarkan sambil mencatat apa yang mereka katakan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi sekretaris yang harus bisa menangkap pekataan orang dengan benar.
"Boleh saya melihat ke gudang penyimpanan?" tanya Adrian.
"Tentu saja boleh pak." ucap seorang bapak yang ku ketahui bahwa dia adalah kepala bagian perencanaan.
Aku melirik ke arah Adrian. Dia menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa aku harus ikut dengannya. Aku pun segera mengemasi peralatanku yang hanya terdiri dari note dan pulpen.
Kami berjalan beriringan menuju ke gudang, aku berjalan di samping Adrian.
"Kamu tunggu disini saja." ujar Adrian.
Aku melihat ke sekeliling dan mengangguk ke arah Adrian.
Entah apa yang mereka bicarakan di dalam, yang pasti aku merasa bosan disini sekarang. Aku berjalan mengamati sekeliling. Sebenarnya tidak ada yang menarik karena disini hanya dikelilingi dinding yang masih setengah jadi.
"Awww..Adriaann!!" aku berteriak tepat ketika aku tersandung batu dan sialnya aku malah terjatuh.
"Naraya! Kamu gak papa?" tanya Adrian. Aku gak tahu apakah dia berlari atau tidak ke arahku karena yang pasti sekarang dia berada di sampingku.
"Aku malu." cicitku. Entah kenapa setiap aku terjatuh yang pertama aku pikirkan adalah aku malu bukannya sakit atau apa.
Tanpa aku duga Adrian mengangkat tubuhku, dan dengan refleks ku kalungkan kedua tanganku ke lehernya.
Adrian membawaku keluar dari hotel, ia membukakan pintu dan mendudukkanku di kursi penumpang.
"Luruskan kakimu Nay." perintahnya.
Aku pun meluruskan kaki ku keluar pintu mobil karena sekarang aku duduk menyamping.
"Tunggu sebentar." ucapnya.
Dia pun pergi memasuki gedung kembali.
Setelah menunggu hampir 5 menit Adrian kembali lagi.
"Saya tadi udah pamit sama mereka. Coba sini saya lihat kaki kamu." ucapnya sambil berjongkok dekat kaki ku.
Kejadian ini seperti memutar kaset lama. Hanya saja tempat dan waktunya yang berbeda.
Adrian melepaskan kedua heels ku. Aku hanya bisa terdiam kaku mendapatkan perlakuan seperti ini darinya.
"Ini sakit?" tanya dia sambil mengurut pelan pergelangan kaki ku.
"Aku jatuh Ad, bukan keseleo." ucapku sambil menahan senyum.
Dia pun mengangguk pelan dan segera mengambil kotak P3K di belakang mobilnya.
"Boleh saya lihat lutut kamu? Sepertinya berdarah. Darahnya merembes ke celana kamu." ujarnya.
"Apa? Darah? Ya ampun Ad, aku gak mau kalau ada bagian tubuh aku yang terluka sampai berdarah." ucapku panik. Aku sangat menyayangi tubuhku dan rasanya sedikit lecet pun aku gak rela.
Adrian menggulung pelan celana kainku yang untungnya agak longgar. Kulihat ternyata memang benar lututku berdarah.
"Aww..Pelan-pelan Ad." ringisku ketika Adrian mulai membersihkan lukaku. Setetes air bening lolos dari mataku. Ya aku memang cengeng.
"Seharusnya kamu tuh kalau jalan dilihat dong jangan matanya jelalatan. Wanita itu seharusnya tidak banyak luka seperti ini." ucapnya.
"Luka aku juga baru satu kok Ad." ucapku sambil menahan tangis.
"Ya ampun Nay, segini aja kamu nangis?" tanya Adrian tak percaya sambil melihatku.
"Iya, segini juga aku udah nangis. Apalagi pas pisah sama kamu aku nangis lama banget. Itu sakit yang gak berdarah Ad." entah setan apa yang merasuki ku hingga aku mengatakan itu.
Adrian langsung menghentikan aksinya mengobati lututku.
"Kenapa? Kamu gak percaya kalau aku nangis pas putus sama kamu?" tanyaku.
Tidak ada jawaban dari Adrian aku pun melanjutkan kembali ucapanku.
"Aku gak pernah ingin benar-benar putus sama kamu Ad. Kamu tahu aku lebih sakit, aku lebih terluka dibandingkan kamu. Aku menyesali semua keputusanku untuk berpisah denganmu. Selama ini aku melarikan diri, aku menjauh dari segala hal yang mengingatkan ku kepadamu, tapi apa yang kudapat? Takdir seolah mempermainkan ku, aku bertemu kembali denganmu." aku tertawa sumbang dengan air mata yang sudah tumpah ruah.
"Sudah selesai." ucap Adrian sambil berdiri membereskan kotak P3K. Kulihat lututku memang sudah selesai, bahkan celanaku sudah tertutup kembali.
Adrian hendak beranjak, tapi aku menahan lengannya.
"Ad, tak bisakah kamu memberikan aku satu kesempatan lagi?" tanyaku. Sampai disini rasanya harga diriku sudah tidak ada lagi.
"Naraya dengarkan aku." Adrian menjeda ucapannya, dia kembali berlutut mensejajarkan wajahnya dengan wajahku. Hatiku sedikit senang ketika dia mengganti nama panggilannya dengan aku.
"Aku tidak pernah melupakan apa yang telah terjadi pada kita. Semua kenangan denganmu adalah suatu warna indah yang pernah hadir dalam hidupku. Kamu adalah salah satu orang yang dapat masuk ke duniaku. Tapi Nay, kamu tahu bukan itu semua adalah kenangan. Kamu bagiku adalah bagian masa lalu ku, dan aku tidak mau terjebak kembali ke dalam masa lalu. Cukuplah kisah kita sampai disana sampai di masa kamu ingin berpisah denganku. Jangan merasa bahwa kamu yang paling menderita karena perpisahan ini, karena kita tidak akan pernah objektif dalam menilai diri sendiri." Adrian kembali menjeda ucapannya. Air mataku sudah luruh terlalu banyak.
Tanpa aku duga Adrian mengusap air mataku dan kemudian ia menggenggam tanganku.
"Ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kita miliki. Dan kamu, sudah masuk dalam daftar yang tidak mungkin dapat aku miliki Nay.."
"Ad, apa yang kamu bicarakan? Kamu tahu aku bahkan.."
"Syuutt.. Jangan rendahkan diri kamu seperti itu Nay. Kamu itu wanita terhormat, banyak lelaki yang lebih segalanya dari aku yang bisa bersamamu."
"Bullshitt!! Semua itu omong kosong Ad." ucapku.
"Satu hal yang perlu kamu tahu. Aku sudah memaafkan semua kesalahanmu ketika Ibu meninggal. Aku tahu itu adalah takdir, aku tidak bisa menyalahkanmu atau siapapun. Jangan pernah merasa bersalah lagi."
"Aku tidak merasa bersalah Ad. Aku mencintaimu." ucapku sambil tertunduk.
"Kamu salah mengartikan antara rasa cinta atau bersalah. Cobalah pahami lagi dirimu sendiri, jadikanlah aku hanya sebagai kenangan, nanti kamu akan tahu perasaan apa sebenarnya yang kamu miliki. Aku yakin rasa cintamu padaku telah hilang sejak kamu mengatakan bahwa kamu ingin mengakhiri hubungan kita."
"Kamu tidak bisa menyimpulkan seperti itu Ad. Aku yang tahu diriku, aku yang tahu perasaanku, aku sendirilah yang dapat menyimpulkan semuanya." ucapku mulai tak sabar.
"Mulai sekarang mari kita buka lembaran baru Nay. Kita jalani hidup kita masing-masing. Aku yakin seiring berjalannya waktu kamu akan mengerti." ucapnya sambil bangun dari posisinya.
"Kamu memang tidak akan pernah mengerti Ad." lirihku.
Adrian segera berlalu dan memutar menuju arah kemudi, aku hanya bisa tertunduk dan membenarkan posisi dudukku.
Suasana di dalam mobil sangat canggung. Aku tidak suka ini, tapi aku juga tidak mau menjadi orang yang selalu memecahkan suasana.
"Kita makan siang dulu Nay." ucap Adrian. Itu bukan sebuah pertanyaan melainkan pernyataan, karena setelah mengatakan itu Adrian langsung membelokkan mobilnya di salah satu restaurant.
Mobil pun telah berhenti Adrian melepaskan seatbelt nya begitupun aku.
"Kamu bisa jalan?" tanya Adrian.
Aku pun menganggukkan kepala.
Kami berjalan beriringan menuju ke dalam restaurant. Aku yakin dipandang dari sudut manapun kami akan terlihat seperti sepasang kekasih.
Setelah memesan makanan kami duduk dalam keheningan. Entah aku atau Adrian yang sepertinya sangat menyukai suasana hening.
"Makanan disini enak Nay." ujar Adrian tiba-tiba.
"Waktu itu aku pernah makan disini ketika bersama direktur." lanjutnya.
Ya, sejak kejadian tadi aku dan Adrian masih belum mengganti kata ganti masing-masing.
"Kamu sepertinya dekat dengan keluarga yang punya perusahaan." ucapku.
"Seperti itulah, dimulai aku yang dekat dengan Nadira, kemudian berkenalan dengan anggota keluarganya." ujar Adrian.
"Menurut gosip katanya kamu bakalan dijadikan wakil direktur?" tanyaku.
"Jangan bergosip ketika dikantor." ucap Adrian sedikit terkekeh.
Senyum itu aku sangat merindukannya.
"Perusahaan itu didirikan oleh ayah dari direktur dan Nadira. Jadi mereka sebenarnya mempunyai hak yang sama atas perusahaan. Hanya saja Direktur lebih kompeten dalam mengelolanya, jadi yaahh Nadira harus terima kalau dirinya belum bisa mendapatkan apa yang harusnya dia pun miliki." lanjut Adrian.
"Kamu tahu banyak tentang dia?" ucapku sedikit kesal.
"Nggak sebanyak aku mengetahui tentang kamu dan keluargamu." jawabnya.
Aku merasakan panas di pipiku entah mengapa.
"Ad kenapa hari ini kamu terlihat lebih membuka diri kepadaku? Tapi hari ini juga kamu menegaskan bahwa aku bukan siapa-siapa kamu lagi?" tanyaku.
"Sudah aku bilang, mari kita buka lembaran baru dan lupakan masa lalu. Kita memang tidak bisa bersama lagi aku tidak punya cukup keyakinan untuk kita bisa bersama. Tapi bukan berarti kita tidak bisa memulai hubungan yang lain, pertemanan mungkin?" tutur Adrian.
Aku tertawa sumbang mendengar penuturan Adrian.
"Pertemanan katamu? Tapi kamu tahu bukan bahwa berteman denganmu hanya akan menambah daftar rasa sakitku?"
"Jika kamu merasa itu tidak mungkin. Marilah anggap bahwa aku hanya sebatas kenalanmu disini." ujar Adrian.
"Kenalan? Baiklah hanya sebatas kenalan." ucapku sambil tersenyum.
Bukan, bukan senyum biasa. Aku hanya tersenyum untuk menegaskan pada Adrian bahwa aku pasti bisa.
"Apa dari tadi kita bicara informal?" tanya Adrian.
"Lupakan tentang itu semua Ad, makanan di depanmu lebih menarik." ucapku sambil mengalihkan fokus pada makanan yang sudah terhidang.
Kami pun akhirnya menyantap makanan tanpa membicarakan apa-apa lagi.
***
"Apa pemandangan di luar jendela begitu menarik?" tanya Adrian.
Kami sekarang tengah berada di perjalanan menuju Yogya. Sehabis makan tadi kami beristirahat terlebih dahulu sambil menunggu Adzan Dzuhur. Seusai shalat kami pun berangkat kembali.
"Heem." gumamku.
Aku terlalu malas untuk bicara dengan Adrian. Oke tujuan awalku memang untuk memperbaiki hubungan dengan Adrian bukan untuk kembali bersama. Tapi kenapa sekarang rasanya itu semua salah?
"Ad, aku tanya sekali lagi sama kamu." ucapku sambil menatapnya yang sedang mengemudi.
"Apa?" tanya dia.
"Apa kamu benar-benar tidak bisa bersamaku lagi?"
"Tidak." jawabnya singkat.
"Aku akan serius dengan Nadira. Bagaimanapun dia telah membantuku untuk pelan-pelan melupakanmu, walaupun semuanya sia-sia ketika kamu hadir kembali." ucapnya sambil menarik napas.
"Sia-sia? Itu artinya sampai sekarang kamu masih mengingatku?" tanyaku sedikit sumringah.
"Tentu saja aku mengingatmu, bagaimana aku dapat melupakan orang yang sekarang sedang berbicara di depan ku sedangkan dia terpampang nyata disini." ucapnya.
Aku mengerucutkan bibirku kesal mendengarnya.
"Jangan terlalu naif dalam mengartikan segala sesuatu Nay." lanjutnya.
"Tapi jujur rasa sayangku masih ada padamu walau aku tak tahu seberapa besar. Karena pada kenyataannya aku masih tidak bisa melihat kamu sakit atau terluka. Tapi aku yakin rasa sayang itu hanya ada karena aku sudah menganggapmu sebagai bagian dari keluargaku tidak lebih." ucapnya.
Cukup! Aku tidak mau mendengarnya lagi. Aku tidak tahu kenapa Adrian bersikap seperti ini, dia seolah-olah masih menginginkan ku. Tapi diakhir kalimatnya dia seolah-olah menegaskan pada dirinya bahwa aku tidak seberharga itu.
"Jika Nadira membantumu untuk melupakan aku, lalu apa yang kamu lakukan untuk Nadira?" tanyaku.
Aku penasaran dengan kalimat Adrian yang mengatakan bahwa dirinya dan Dira berbagi luka.
"Aku dan Dira sama-sama saling menyembuhkan. Dia pun pernah terluka, dia ditinggal oleh calon suaminya ketika pernikahan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Dia pernah mengalami trauma tentang laki-laki dan tidak pernah mau menjalin hubungan lagi. Tapi tuhan mempertemukan kami, pelan-pelan aku dapat meyakinkan dia lagi kalau tidak semua laki-laki sama seperti itu." jelas Adrian.
"Hubungan kalian ternyata lebih dekat dari yang aku kira. WOW! 3 tahun sepertinya membuat banyak perubahan dalam hidup." ucapku.
"Tinggal kamu Yya yang berubah. Oh ya bagaimana dengan Rio? Kalian sepertinya cukup dekat." tanya Adrian.
"Aku dan kak Rio sudah mengenal cukup lama sejak aku kecil sih karena dulunya dia tetangga aku. Udah gitu aja selebihnya kamu gak perlu tahu, toh itu juga gak akan penting buat kamu." jawabku sambil tersenyum miring.
"Oh ya Ad, jika kamu mau serius dengan Dira aku akan jadi orang pertama yang mengucapkan selamat untuk kalian. Aku sekarang menyerah tentang kamu, aku menyerah tentang kita. Kamu benar kita harus membuka lembaran baru." ucapku kemudian.
Tak ada jawaban dari Adrian. Aku memalingkan wajahku ke arah jendela, setetes air bening jatuh dari pelupuk mataku ya setidaknya aku harus yakin bahwa sekarang semuanya benar-benar berakhir. Aku pun segera menyimpulkan bahwa sebenarnya akhir yang Happy Ending itu tidak pernah ada.
-Tamat-
Ehhh masa tamat sih? Nggak deng becanda masih banyak part-part selanjutnya kok. hahahahahahahaha
Jangan lupa Vote sama Komentarnya biar aku tambah semangat^_^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro