III
Apartemen bos gue ini mungkin lebih layak disebut dengan rumah, sama rumah gue gedean ini kali. Isi apartemennya dua tingkat, dengan interior yang pastinya terlihat berkelas. Nggak heran lah ya namanya juga bos perusahaan terkenal.
Masalahnya gue ngapain dibawa ke sini sama dia, sejak tadi pertanyaan itu benar-benar mengganggu gue.
"Ikut saya," kata dia sambil membuka salah satu ruangan yang gue rasa adalah kamarnya. Karena ada ranjang yang cukup besar di dalamnya. Gue hanya mengekori langkahnya untuk memasuki ruangan itu.
Ayolah, gue nggak boleh berpikrian jelek, batin gue mencoba berpikir positif Tapi cewek sama cowok di dalem kamar orang ketiganya pasti setan. Belom lagi tadi kan bos gue ...
Gue menggelengkan kepala gue untuk menjernihkan otak. Semua karena suara desahan nggak jelas tadi! Otak gue jadi kotor.
Gue ngeliat dia masuk lagi ke sebuah pintu di dalem kamar itu. Ternyata itu walk in closet punya dia yang penuh dengan pakaian dan juga koleksi sepatu miliknya.
Itu yang ada di pandangan gue doang. Walk in closet itu udah kayak departemen store di mall. Gue rasa di dalem lacinya masih ada koleksi dasi atau jam tangan deh. Gue jadi inget Kim Bum di Boys Before Flowers!
"Di sisi ini pakaian yang udah pernah saya pakai, yang ini belum," ucap bos gue tiba-tiba sambil menunjukan sisi yang ia maksud dengan telunjuknya.
Terus? Gue ngapain dong?
Gue masih bergeming. Bingung harus ngapain sampai dia berbalik badan untuk menghadap gue dan menyuruh untuk nurunin kopernya dari lemari bagian atas.
Dih? Dia kan laki-laki, masa nyuruh gue yang perempuan sih?
Satu menit setelahnya, gue baru ingat kalau dia adalah orang yang membayar gue dengan tujuh digit angka nol yang berjajar dengan rapi. Hal itu membuat gue menjalankan perintahnya.
"Saya mau kamu pilih pakaian saya. Mulai dari kemeja, jas, dasi, ikat pinggang dan juga sepatu. Di sana udah tersedia khusus tempat-tempatnya. Setelah itu baru kamu masukin ke dalam koper." Ucapan bos gue membuat dahi gue mengkerut. Ini termasuk kerjaan gue juga?
"Kalo sampai warnanya nggak sesuai keinginan saya, saya nggak akan pakai itu. Semakin banyak pakaian yang nggak saya pakai semakin banyak juga poin kurang kamu dimata saya," lanjutnya yang membuat gue terperangah.
FAK. PANTES AJA GA ADA YANG BETAH.
"Ada pertanyaan?"
Kok lo ngeselin sih?
"Gak ada bos," jawab gue singkat. Gue hanya bisa ngedumel dalam hati karena masih sayang dengan pekerjaan gue. Lagian gue belum dapet gaji.
"Kamu nggak boleh pulang sebelum selesai."
Gue pun pada akhirnya memilah pakaian dia sesuai dengan warna. Gue milih yang kalem-kalem aja warnanya, nggak terlalu mencolok. Dan nggak gue kasih warna yang terlalu bentrok. Untuk sepatu dan ikat pinggang gue memilih warna hitam yang akan masuk ke semuan warna. Gue masukin pakaian-pakaian itu ke dalam tas khususnya, baru gue masukin koper.
Kita disana tiga hari, untuk mengurangi resiko kesalahan gue memilih lima setelan resmi, tiga baju biasa, tiga sepatu resmi dan satu sepatu biasa.
Gue masih ngerapihin sepatu saat pintu ruangan ini terbuka dan menampilkan bos gue yang cuma handukan doang. Belum lagi rambutnya masih basah, dan bulir-bulir air masih netes di badannya.
Sial... ini ujian kehidupan! Ekhem. Sekaligus berkah sih.... hehe
Gue mengalihkan pandangan gue kemanapun asal bukan ke dia. Karena intensitas jantung gue untuk memompa darah sepertinya menjadi lebih cepat. Dia tau ada perempuan di sini dan tetep bertingkah cuek untuk milih baju di depan gue dengan hanya dibalut handuk doang.
Ya ampun... gue pusing!
"Sudah selesai?"
Gue hampir ngejengkang begitu mendengar teguran itu. Bos gue udah make celana training sebagai ganti handuknya, tapi atasnya masih polos. Dia nggak pake baju. Cuma handuknya dia sampirin di bahunya.
Gue bisa ngeliat ototnya yang terbentuk secara jelas dan juga .... bagus. Gue nggak tau gimana cara mendeskripsikannya!
Maybe ... hot adalah rangkaian huruf yang tepat untuk menggambarkannya.
"Saya udah milih lima pakaian formal, tiga pakaian biasa untuk bos," jawab gue mencoba biasa. Jantung gue deg-degan masalahnya ngeliat pemandangan begitu.
"Masih ada yang kurang," kata dia sambil membuka satu laci. Itu isinya daleman dia semua.
"Saya yang pilih bos?" tanya gue dengan tidak yakin. Tetapi anggukan dari bos gue mematahkan ketidakyakinan gue yang hanya bertahan dalam beberapa detik. Gue yakin muka gue udah merah sekarang.
Seumur-umur celana dalem bokap gue aja belum pernah gue pegang. Lah dia?! Nyuruh gue milihin dalemannya.
Gue antara mau nangis sama ketawa sekarang. Konyol banget elah bos gue.
Pada akhirnya gue tetap melakukan titahnya untuk memilih daleman dia yang rata-rata berwarna gelap secara acak, dan langsung masukin daleman itu ke dalem koper tanpa pikir panjang. Nggak mau lama-lama gue megang daleman orang.
"Saya udah mesen makan malem, abis makan kamu saya antar pulang."
Gue menghembuskan napas lega. Ini udah jam setengah sebelas malem, dan gue belum makan malem karena bos gue yang ngeselin ini. Si bos tau aja bos cacing di perut gue udah demo. Hehehe...
Gue pun keluar dari walk in closet dan ngikutin langkah dia yang berakhir di dapur. Gue bisa ngeliat dia yang manasin menunya di microwave sementara gue masih berdiri mematung bingung mau ngapain.
"Kamu mau diem aja di situ?"
Hello?! Terus gue ngapain? Kayang? Sikap lilin? Nari striptease di depan lo?
"Saya harus gimana bos?" tanya gue bingung.
"Duduk sana," jawabnya ketus.
Gue pun akhirnya duduk di meja bar di dapurnya. Nggak lama dia ngeluarin menunya dari microwave dan naruh piring berisi pasta itu di depan gue.
Gue bisa ngeliat dia mulai jalan dan ngambil tempat di samping gue. Dan dia mulai memakan pastanya yang masih mengepulkan uap hangat. Fetucini carbonara adalah salah satu favorit gue.
"Gak suka pasta?" tanyaya begitu ngeliat gue yang masih cengo. Gue masih nggak nyangka aja dia mau melayani gue dalam menyiapkan makan malam ini di saat untuk memilih daleman untuk perjalanan bisnisnya aja nyuruh gue.
"Suka kok," jawab gue sambil nyuapin itu pasta ke mulut gue.
Persetan dengan image dan tatakrama meja makan. Cacing di perut gue gak bisa diajak kompromi sekarang. Laper banget!
Suara ponsel bos gue mewarnai atmosfer yang hanya diisi oleh suara garpu yang beradu dengan piring dan suara seruputan pasta yang berasal dari mulut gue.
Bos gue mendengus, kemudian ia menyerahkan ponselnya ke arah gue. "Angkat," perintah bos gue ke gue.
Karena gue masih ngunyah, gue menunjuk diri gue sendiri seakan memastikan, dan Bos gue mengangguk mengiyakan.
Gue pun akhirnya ngangkat telepon itu. "Yixing! Lo Brengsek! Kenapa lo ninggalin gue sih?!" teriakan histeris terdengar dari seberang telepon, bisa dipastikan jika orang itu berjenis kelamin perempuan dari suranya yang cukup melengking.
Lah ini cewek kenapa marah-marah lagi?
Gue bingung ngejawab apa, tapi bos gue malah ngeliatin gue doang nggak ngomong apa-apa, atau memberikan gesture untuk bagaimana menjawab panggilan ini.
"Halo?" Pada akhirnya cuma kata itu yang gue keluarkan.
"Loh? Kok cewek sih yang ngangkat? Lo siapanya Yixing?! Cewek barunya?! Dengerin ya! Dia cowok brengsek! Playboy! Gak punya perasaan!"
"Saya a-"sistennya..
Telepon itu langsung diambil sama bos gue. Sebelum gue bisa menyelesaikan kalimat gue.
"Gue udah ada yang baru, nggak usah ganggu gue lagi. Dari awal gue udah bilang gue nggak suka komitmen. Gue akan jalan dan tidur sama siapapun yang gue mau. Lo nggak usah ngatur hidup gue karena lo bukan siapa-siapa."
Setelahnya sambungan telepon itu diputus gitu aja sama bos gue tanpa raut bersalah sedikitpun.
Damn... ini bos gue beneran? Yang kaku dan ngomong saya kamu terus?
"Kalau kamu sudah selesai, saya antar pulang."
Gue tau dia nyuruh gue pulang sekarang tanpa nunggu gue kelar makan. Nada ngomongnya itu kayak ngusir. Jadi gue memilih untuk sadar diri.
"Saya udah selesai kok, Bos."
Maaf cacing-cacing perut... padahal pastanya enak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro