Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Prologue before Prologue - Trent Hudson

"Hari ini ayahku sedang tidak masuk karena ada urusan mendadak. Dan aku akan menggantikannya selama beberapa hari ini."

Pemuda berambut kuning pucat itu tampak mengumumkan keberadaannya dengan nada datar didepan semua pegawai H Company yang ada di depannya yang tampak menatap dengan tatapan tidak percaya padanya. Tentu saja, usianya kala itu 17 tahun. Dan mengurus perusahaan sebesar H Company sebagai CEO bukanlah hal yang biasa.

"Mohon bantuannya," ia selalu diajarkan oleh ayahnya untuk tahu etiket dan sopan santun pada siapapun yang lebih tua. Meskipun saat ini ia benar-benar ingin meninju wajah mereka satu per satu yang menunjukkan senyuman ejekan dan beberapa bisikan yang terdengar olehnya.

"Yakin? Aku yakin ia masih menduduki jenjang SMA saat ini."

"Kudengar anak presidir memang sudah dilatih oleh ayahnya untuk meneruskan jabatannya sejak dulu."

"Tetapi bukankah anak ini--"

"Pssst, tidak boleh ada yang mengatakan cerita itu..."

Ia mendengar perkataan mereka, namun memutuskan untuk menulikan telinganya dan berbalik menghampiri sekertaris pribadi ayahnya yang akan membantunya hari itu.

.
.

"Perbaiki laporan di halaman 20, 25, 42. Ada kesalahan perhitungan yang kau lakukan. Lalu untuk laporan dana yang digunakan, aku sudah menghitungnya dari laporan yang ayah berikan, tidak sebanyak yang kau tuliskan. Perbaiki semuanya."

Jika semua orang menganggap dipimpin oleh anak SMA adalah sesuatu yang memudahkan mereka, yang bisa mereka remehkan, maka belasan orang yang dipanggil ke ruangan ayahnya menyesali apa yang mereka pikirkan.

Trent Hudson bukanlah seorang yang hidup dan tumbuh sebagai anak yang normal. Disaat anak berusia 5 tahun pada umumnya mendengarkan bacaan dongeng pembawa tidur, ia sudah mendengarkan tentang kalkulasi dan juga tabulasi.

Disaat anak normal lainnya bermain dengan teman-temannya, rekan ayahnya dan juga pesta mewah menjadi tempat bermainnya.

Ia bukan anak yang jenius, namun ia hanya menganggap semua itu adalah satu-satunya hal yang ia bisa lakukan saat itu.

"Perhitungannya masih berantakan. Perbaiki dari awal dan aku minta harus ada di meja ini nanti sore."

Rasanya semua orang bisa melihat jika pegawai terakhir yang datang itu ingin menangis saat tumpukan kertas ratusan halaman itu dikembalikan dan harus diperbaiki sebelum hari ini berakhir. Semua kecuali Trent yang kembali dengan pekerjaannya.

"Sudah jam makan siang. Apakah anda mau makan sesuatu tuan muda?"

"Apapun," Trent bukan orang yang suka memilih-milih makanan. Lebih tepatnya karena ia tidak memiliki makanan yang ia sukai. Untuknya, makanan hanyalah sesuatu untuk mengenyangkan. Ia tidak memiliki makanan kesukaan, dan hanya kacang polong yang tidak ia sukai. Selebihnya, asalkan mengenyangkan dengan cepat akan ia makan saja.

"Sekalian berikan pada pegawai nomor 12 yang datang tadi, laporan tentang perusahaan XXX yang ia berikan kurang," sekertaris ayahnya tampak sedikit tersentak mendengar itu dan hanya mengangguk dan membungkukkan kepalanya.

"Ayah menyuruhku untuk melihat keadaan perusahaan H hari ini karena tahu jika Mr. Hudson tidak datang dan digantikan olehmu. Ia khawatir, tapi melihat ini semua kurasa yang perlu kukhawatirkan adalah para pegawai disini," suara itu tampak membuatnya menghentikan pekerjaannya. Pemuda berambut biru kehitaman dengan mata merah itu tampak tertawa sambil menyenderkan tubuhnya di bingkai pintu.

"Ayahmu terlalu khawatir denganku. Aku tidak akan menjatuhkan perusahaan ayahku begitu saja," yang tadi menyapa masuk begitu saja dan duduk di sofa yang ada di ruangan itu dengan tenang, "bagaimana keadaan disana?"

...

"Hee?"

"Jangan berpura-pura. Ini bukan pertama kalinya ayah tidak masuk pada tanggal segini. Bedanya, biasanya ayah hanya akan meminta sekertarisnya menggantikan pekerjaannya," Trent berdecak dan kembali dengan pekerjaannya, "ini adalah hari kematian tuan muda yang sesungguhnya kan? Dan bahkan kau... memakai pakaian seperti itu karena baru saja dari acara peringatan kematiannya."

"Benar-benar pemuda jenius kebanggaan tuan Hudson. Aku baru saja mendatangi makam adikku itu kok. Bagaimanapun, kakakmu itu juga adikku walaupun berbeda ibu. Bedanya, ayahku tidak melarangku untuk menghadiri peringatan hari kematiannya," Wills mengangkat bahu dan tampak mengambil minuman yang dibawakan oleh sekertaris ayah Trent, "kau tidak membujuk ayahmu untuk membiarkanmu ikut?"

...

"Bagaimanapun ia adalah kakakmu bukan?"

.
.

"Itu anak yang dibawa tuan besar?"

"Kudengar anak itu hasil hubungan gelapnya dengan mantan pegawainya?"

"Kudengar ibunya meninggal makanya tuan besar membawanya."

Suara bisikan itu terdengar saat anak berusia 5 tahun itu baru saja menginjakkan kakinya di rumah besar milik keluarga Hudson. Digandeng oleh ayahnya yang bahkan tidak melihat kearahnya, Trent hanya diam dan menatap kearah lantai.

"Oh, jadi ini adik baru yang ayah ceritakan?" Suara dengan nada riang, berbeda dengan bisikan bernada dingin itu. Ia mendongakkan kepalanya, menatap pemuda berambut kuning yang tampak membungkuk dan menatapnya beberapa saat. Ia bisa melihat bahwa anak itu jauh lebih tua darinya, "namaku adalah Oliver, mulai sekarang aku adalah kakakmu!"

Orang pertama yang menyapa Trent adalah Oliver. Anak dari istri sah ayahnya yang berusia 10 tahun lebih tua darinya. Disaat ayahnya bahkan tidak peduli padanya, Oliver adalah satu-satunya orang yang menyayangi dan memperlakukannya dengan baik. Istri dari ayahnya bercerai satu tahun yang lalu saat mengetahui jika ayahnya berselingkuh.

.
.

"Trent, ayo main!"

"Tu-tuan muda Oliver, Tuan muda Trent sedang belajar..."

"Trent, aku dengar ada toko kue enak yang baru dibuka dekat sini!"

"Tuan muda Oliver, tuan besar akan marah kalau tuan muda Trent sampai makan di tempat yang sembarang!"

"Kak Oliver!"

Awalnya ia tidak terbiasa dengan semua perhatian dari Oliver yang bahkan tidak pernah diberikan oleh ibunya dulu yang selalu sibuk mengutuk ayahnya. Namun, satu tahun mengenal Oliver dengan sifatnya yang supel dan periang, tidak susah untuk membuatnya menjadi akrab dengan Trent.

"Oh sudah selesai belajar? Hari ini apa kau mau bermain diluar lagi?"

"Ya! Tapi jangan sampai ketahuan papa, kak Oliver bisa kena marah kan?"

"Itu tidak masalah selama kau tidak kena marah," Oliver hanya tersenyum lebar dan menepuk kepala Trent beberapa kali. Trent menyukai apa yang dilakukan kakaknya padanya. Kasih sayang sekecil apapun.

"Hari ini kudengar ada film yang bagus. Kau dan Elena pasti akan menyukainya!"

"Heee," Trent menatap Oliver dengan tatapan penuh selidik, "jadi begitu, kakak menjadikanku alasan untuk mengajak kak Elena?"

"Eh? Ti-tidak kok!"

"Tuan muda, jangan tiba-tiba menghilang seperti itu!" Gadis berambut cokelat bergelombang berlari menghampiri Trent dan juga Oliver, "kalau sampai tuan besar tahu, saya akan kena marah..."

"Ah kak Elena!" Gadis itu, Elena adalah pengasuh pribadi dari Trent sejak ia pertama kali menginjakkan kakinya di rumah keluarga Hudson. Dan bahkan Trent menyadari jika kakak laki-lakinya itu menyukai sang pengasuh yang berusia sama dengan Oliver.

"Ah selamat siang tuan muda Oliver!"

"O-oh iya..."

"Hei kak Elena, hari ini kak Oliver akan mengajakmu menonton film--"

"Hei, Trent--!"

"E-eh?!"

"--kau mau kan?"

"Ah jangan dengarkan omongan anak ini," Oliver menutup mulut Trent sambil tertawa dan menggaruk kepala belakangnya.

"Ka-kalau memang tuan muda memang meminta," Oliver terdiam saat melihat wajah merah dari Elena yang memalingkan wajahnya dari mereka. Dan wajah Oliver saat itupun juga memerah karena satu dan lain hal.

.
.

"Sedang mengenang sesuatu?"

Senyuman dari Wills membuatnya buyar dari lamunan dan berakhir dengan memukul wajah dari Wills dengan satu tonjokan refleks. Wills hanya tertawa sambil memegangi pipi kanannya yang merah.

"Oliver itu, pemuda yang baik ya?"

...

"Terlalu baik... kurasa..."

Suara ketukan membuat keduanya menoleh dan menemukan sekertaris ayahnya yang tampak menghampiri Trent disana.

"Mobil yang anda inginkan sudah siap tuan muda."

"Baiklah..."

"Kau mau pergi ke pemakamannya?" Wills menoleh kearah Trent yang mengenakan jas yang ada di dalam ruangan itu, "dan style pakaian apa itu? Usiamu benar-benar baru 17 tahun kan?"

"Aku ingin ke sebuah tempat dulu. Dan sense pakaianku bagaimana itu bukan urusanmu."

"Uwaa dinginnya, aku tidak tahu kenapa Oliver selalu membangga-banggakanmu," Trent sedikit menghentikan kegiatannya saat mendengar itu sebelum menghela napas dan kembali berjalan kearah luar.

"Aku sendiri tidak mengerti..."

Ia tidak mengerti kenapa Oliver perhatian padanya, menyayanginya seperti ia adalah adik kandungnya, selalu memberikan kasih sayang yang bahkan tidak pernah diberikan oleh ayah dan ibunya.

Padahal ia bahkan mengambil semuanya dari pemuda itu...

.
.

"Eh, apa ayah bilang?"

Trent tampak berada di ruangan ayahnya. Kala itu, usianya sudah menginjak 7 tahun dan Oliver sudah berusia 17 tahun. Ayahnya tidak melihat kearahnya, dan ia tidak begitu lama mendapatkan jawaban dari ayahnya.

"Kau yang akan meneruskan perusahaan H Company."

"Tetapi, bukankah anak tertua adalah kak Oliver? Lagipula--"

"Aku membawamu kemari bukan karena aku memberikan belas kasihan untukmu," suara dengan nada dingin itu membuatnya tersentak dan menoleh pada ayahnya yang menatapnya datar, "Oliver sudah menyetujuinya. Ia tidak akan pernah menjadi penerus perusahaan. Kau yang punya tanggung jawab itu. Kalau kau masih tahu diri, ini adalah caramu untuk membayar semua yang sudah kulakukan padamu selama ini."

Matanya membulat, ia hanya menggigir bibir bawahnya sebelum mengangguk dan membungkuk 90 derajat.

"...baiklah, ayah..."

.
.

"Oh disini," Wills tampak membuka pintu mobil dan melihat bangunan yang ada dihadapannya. Sebuah penjara dimana tampak penjagaan ketat dari luar dikerahkan, " benar juga, kudengar ia akan dibebaskan beberapa bulan lagi."

"Kenapa kau malah ikut," Trent menggerutu dan menatap kesal kearah Wills, "tunggu disini saja, aku tidak suka diikuti orang sepertimu."

"Baiklah-baiklah," Trent menghela napas dan berjalan kearah bangunan itu, memberikan laporan dan juga mencoba untuk mengatakan tujuannya pada penjaga sana yang sudah mengenalnya sebelum dipersilahkan masuk.

Tidak butuh waktu yang lama untuknya masuk dan berada di salah satu ruang tunggu sebelum seseorang dibawa kehadapannya dan tampak tersenyum begitu saja ketika melihat Trent.

"Sudah lama tidak bertemu," gadis berambut cokelat bergelombang itu tetap sama dengan dulu, "tuan muda..."

...tidak ada yang berbeda dari Elena.

.
.

"Kenapa kau cemberut seperti itu?"

"Aku tidak cemberut," Trent tampak mengerutkan dahinya dan menatap kakaknya tidak suka, "aku marah."

'Manisnya,' Oliver malah mencubit pipi Trent yang mengembung dan membuat yang bersangkutan mengaduh kesakitan, "cerita apapun pada kakak, bagaimana?"

"Kenapa kakak tidak pernah bilang?"

"Bilang apa?"

"Ayah sudah bilang kalau aku yang akan melanjutkan perusahaan H Company," Oliver yang tadinya masih menatap Trent dengan tatapan usil membulatkan matanya saat mendengar penuturan anak berusia 7 tahun disampingnya, "ayah bilang kakak tahu. Kalau tahu, kenapa kakak tidak bilang?"

...

"Trent aku--" Oliver tampak akan mendekat dan menyentuhnya. Saat mata Oliver tiba-tiba membulat dan tubuhnya gemetar. Tangannya mencengkram bagian dadanya, dan tubuhnya akan terjatuh begitu saja jika ia tidak berpegangan pada meja yang ada disampingnya.

"...kak Oliver?"

'Obatku,' dengan susah payah ia mencoba berjalan kearah salah satu laci. Ia membukanya dan melihat sebuah botol putih tanpa label disana dan membukanya mencoba untuk melihat apa yang ada di dalamnya.

'Kosong? Tetapi tidak mungkin, aku baru saja membelinya--'

"Ka-kakak tidak boleh memakai obat-obatan! Ia bilang--ia bilang karena itu kakak tidak menjadi penerus ayah!" Oliver membulatkan matanya dan tampak menoleh perlahan kearah Trent, "i--ia bilang... Elena bilang karena obat itu ayah tidak memperbolehkan kakak menjadi penerusnya!"

.
.

"Orang bilang anda adalah anak jenius yang berbeda dari anak-anak lainnya," Elena tampak tersenyum sambil menutup matanya, "tapi kenyataannya, kau sama sekali tidak berbeda dari anak-anak pada umumnya."

...

"...mudah sekali untuk ditipu."

.
.

BRUK!

Suara itu membuat Trent tersentak dan melihat Oliver yang sudah terjatuh dan tergeletak begitu saja di dekat meja yang ada di kamar itu.

"O-Oliver?"

"Tidak bisa... bernapas..." Suaranya tersengal-sengal, napasnya tidak karuan. Trent tahu itu bukanlah tanda bagus. Kakaknya bisa mati jika seperti itu. Kata-kata itu seolah menggema di kepalanya.

"A-aku akan panggil Elena..."

Trent berbalik dan berlari kearah pintu. Hendak membukanya namun ia tidak bisa. Pintunya terkunci, dan ia bahkan ingat seharusnya pintu itu tidak ia kunci. Tetapi kenapa ia tidak bisa membukanya?

"Te-terkunci...? Siapapun... SIAPAPUN TOLONG! BUKAKAN PINTUNYA! CEPAT!"

Ia menggedor pintu kamar itu sekuat yang bisa ia lakukan, mencoba untuk memanggil siapapun yang ada di luar. Tidak menyadari seseorang diluar kamar memunggungi dan tampak tersenyum sambil membawa kunci yang ia gunakan untuk mengunci pintu itu. Dan seolah tidak mendengar apapun, ia berjalan meninggalkan kamar itu.

"Siapapun..."

'Kenapa...'

"Kalau tidak... kalau tidak..."

'Ini salahku?'

"Oliver..."

"Kau pernah mendengar tentang orang yang kecanduan obat bukan? Karena itu ayahmu tidak menjadikan Oliver sebagai penerusnya."
.
.
"Kalau kau ingin membantunya, bagaimana jika kau membantuku membuang obat yang ada di laci ruangan Oliver?"
.
.
"Ini rahasia kita berdua... Tuan muda."


"Ta-tapi aku tidak--" Trent tampak bingung, semua perkataan dari Elena sebelum ini menggema, namun kekelutan yang ada di dalam dirinya mengatakan ada yang salah dengan keadaan ini. Ada sesuatu yang salah--dan ia tahu semua ini salah--

"Ini bukan salahmu," saat ia bingung dan tampak ketakutan, suara Oliver yang masih tidak bergerak yang membuatnya tersadar. Ia menoleh ke belakang dan segera menghampiri Oliver, "ini bukan... salahmu."

"A-apa yang harus kulakukan?! Ka-kau akan mati kalau seperti ini!"

"Aku tidak akan apa-apa, kita akan menunggu seseorang membukakan pintu oke?" Bahkan disaat seperti ini Oliver mencoba untuk tersenyum dan menenangkan Trent yang masih ketakutan. Namun, melihat kearah Oliver yang menepuk kepalanya, Trent berusaha untuk tenang dan mengangguk.

Ia hanya diam dan berjongkok di samping kakaknya dan menggenggam tangannya erat.

.
.

"...nt, Oliver! Trent! Kalian ada di dalam?!"

Suara itu membangunkan Trent. Entah sejak kapan ia tertidur, namun ia tahu ia masih berada di samping kakaknya dan masih menggenggam tangannya seolah itu akan membuatnya tetap bersama dengannya.

"Papa... PAPA KAMI DISINI!"

"Suara itu, Trent?! Ayo cepat buka pintu ini," ia tampak senang, mencoba untuk menghampiri pintu, namun ia segera menyadari kalau ia masih memegang tangan Oliver. Ia harus memberitahu kakaknya tentang ini. Oliver akan baik-baik saja.

"Oliver, papa akan menyelamatkan kita! Ayo bangun!" Ia mengguncangkan tubuh kakaknya, mencoba untuk mengajaknya ke depan pintu, "Oliver, ayo bangun!"

Namun tidak ada jawaban.

...

"...Oliver?"

.
.

"Katakan padaku Elena," Elena menoleh pada Trent yang hanya diam menatap kearahnya, "apakah kau pernah sedikit saja menyukai Oliver?"

...

"Aku pernah menyukainya," pernah. Ia sedikit menyerengit mendengar itu, "tetapi salahkan keluarga kalian yang terlebih dahulu menghancurkan semua yang ayahku miliki..."

Elena  adalah anak tunggal dari salah satu perusahaan besar yang dibuat bangkrut oleh H Company. Itu diketahui olehnya saat Trent mencoba untuk mencari kebenaran apa yang membuat kakaknya meninggal.

"Harusnya aku tidak berada disini. Harusnya kau yang berada disini, kau yang membuang semua obat itu hingga membuatnya meninggal bukan?" Trent tidak mengubah ekspresi datarnya dan hanya menatap kearah Elena yang tertawa seperti orang gila, "bukankah seharusnya itu yang kau lakukan dan bukan malah menaruhnya di kamarku?"

"Kau sudah menipuku. Dan aku hanya membalikkan apa yang bisa kulakukan. Saat itu aku hanya merasa takut dan merasa kau bohongi," Trent tampak menyunggingkan senyuman dingin, "aku hanya membalikkan apa yang kau lakukan padaku..."

"Kita lihat apa yang akan kau lakukan saat aku keluar dari sini dan membalaskan dendamku..."

"Tentang itu," Trent mengeluarkan sebuah amplop dari saku jasnya dan menaruhnya di depannya. Menatap kearah Elena yang melihat amplop itu dengan tatapan bingung, "aku sudah mengajukan banding untuk memperpanjang masa tahananmu."

"Apa?"

"Aku mencari semua bukti yang bisa memberatkan hukumanmu. Dan ternyata aku berhasil melakukannya, kutemukan banyak tulisanmu yang mencoba merencanakan beberapa pembunuhan pada ayahku dan juga Wills serta keluarganya. Lalu tentang penggelapan uang yang kau lakukan saat masih menjadi pelayan dulu, serta rekaman ini," Trent mengeluarkan handphonenya dalam mode rekaman, "tentang percakapan kita dan juga bagaimana kau mengancamku."

...

"Kurasa itu cukup untuk memberikanmu hukuman tambahan 10 atau 20 tahun lagi," Trent memasukkan kembali amplop itu dan berdiri dari posisinya, "selamat tinggal... Elena."

"Kau tidak bisa melakukan itu," Trent tidak berhenti saat mendengar perkataan dari Elena, "kau dengar itu? Kembali kemari dan cabut tuntutan itu. KEMBALI KAU TRENT HUDSON!"

.
.

PLAK!

Suara itu menggema di ruangan yang dipenuhi karangan bunga belasungkawa. Perempuan yang berumur itu tampak menampar pipi anak itu dengan keras hingga menimbulkan bekas merah di pipinya.

"Ibu, hentikan!"

Pemuda berambut biru dengan iris merah mencoba menghentikan ibu tirinya itu yang masih menatap dengan tatapan benci kearahnya.

"Kau sudah membunuhnya..."

"Ibu, itu bukan salah Trent," anaknya mencoba untuk menghentikannya, "ia tidak tahu apa-apa..."

"Semuanya hancur karena dia! Semenjak ia ada, semuanya menjadi lebih buruk! Kau yang membuat Oliver meninggal!"

"Tenanglah bu," Wills mencoba menenangkan ibunya yang masih menyalahkan Trent. Dan anak berusia 7 tahun itu, hanya bisa diam dengan tatapan kosong. Ia tahu saat ini, ini adalah pemakaman Oliver. Yang artinya Oliver sudah meninggal.

Ini salahnya?

"Trent tidak tahu menahu tentang penyakit Oliver, ibu tahu itu," Wills mencoba membawa ibunya yang masih menangis meninggalkan Trent yang tampak masih diam menatap kearah Wills dan ibu tirinya.

'Penyakit?'

"Kudengar itu sebabnya tuan besar membawanya ke keluarga Hudson. Karena Tuan Muda Oliver tidak memiliki waktu hidup yang lama..."

'Huh?'

"Kudengar ia punya penyakit jantung yang parah. Ia tidak akan bisa bertahan tanpa obat-obatan."

'Apa?'

"Tetapi sangat jarang tuan muda kehabisan obatnya. Saya sudah mengingatkannya beberapa kali, saya tidak berpikir kalau ia akan kehabisan obat..."

Trent melihat Elena yang sedang menangis bersama dengan beberapa orang yang sepertinya para pelayan dan juga teman dari Oliver. Sangat jelas bahwa hanya dia yang tidak tahu tentang penyakit kakaknya itu.

'Tetapi bukankah Elena...'

"Kau tidak perlu mendengarkan perkataan ibu," Wills tampak kembali dan menghampiri Trent sambil menepuk bahunya. Namun, saat ia merasakan bahu itu gemetar, ia segera menoleh untuk melihat keadaan Trent, "Trent?"

"Tidak, semua ini... Oliver... i-ini semua salahku..."

"Hei, tenanglah..."

"Tidak... I-INI SEMUA SALAHKU! AAAAAH!!!"

.
.

"Benar-benar sudah 10 tahun sejak kejadian itu ya..."

Sementara Trent sedang menghampiri penjara dimana Elena berada, Wills yang memutuskan untuk ikut tampak berada di dekat mobil sambil menyalakan api dari rokok yang ada di mulutnya. Ia melihat kearah sekeliling dan menatap kearah langit kala itu.

'Aku tidak akan pernah menyangka semua ini akan terjadi...'

.
.

"Hei Wills!" Pemuda itu menoleh kearah kakak tirinya. Ayahnya menikah dengan ibu dari Oliver setelah mereka bercerai. Dan Oliver beberapa kali masih bersama dengan ibunya di kediaman dari Wills dan ayahnya. Tentu saja Wills yang merupakan anak dari mantan istri pertama ayahnya itu menjadi adik tiri dari Oliver, "dengar-dengar! Hari ini Trent sangat manis, ia benar-benar tidak ingin lepas dariku dan ia memeluk kakiku dengan erat saat aku akan pergi kesini! Lalu, ia menatapku dengan tatapan yang hampir membuatku tidak bisa meninggalkannya hari ini."

Wills menatap kakak tirinya itu dengan tatapan kesal. Orang ini terlalu hyperaktif dan ia bukanlah orang yang bisa menghadapi orang seperti itu.

"Lalu--"

"Bisakah kau sehari saja berhenti untuk membicarakan anak itu?"

...

"Heee? Apakah kau cemburu?" Wajah Wills yang mendengar itu tampak memerah. Anak laki-laki berusia 9 tahun itu tampak menoleh dengan tatapan kesal kearah Oliver yang menatapnya dengan penuh harapan.

"Persetan dengan kalian berdua, sana pergi saja ke tempat anak itu!"

"Ahahaha," Oliver hanya tertawa saat ditendang oleh Wills, "kalian berdua adik yang baik," ia mengusap kepala Wills, "kau adalah saudara yang baik Wills. Makanya, kalau aku tidak ada... Jaga Trent baik-baik. Oke?"

...

"Tetapi sungguh, kalau kau tidak bersikap pemalu seperti itu aku akan susah memilih keimutanmu jika dibandingkan dengan Trent," Oliver menghela napas, terlihat benar-benar kecewa saat itu.

"Kalau begitu mati saja sana!!!"

.
.

'Walaupun menyebalkan, entah kenapa sifatku malah berubah sepertinya lama kelamaan,' Wills tertawa sendiri mengingat itu. Hingga sekarang, janjinya pada Oliverpun tampaknya tidak pernah bisa ia lupakan. Kenyataannya ia yang meminta ayahnya untuk memperbolehkannya menjenguk Trent hari ini.

Pada kenyataannya, hingga sekarang ia peduli dengan Trent dengan caranya sendiri.

Suara langkah kaki membuatnya menoleh di puncak tangga tinggi yang ada di depannya. Ia bisa melihat Trent yang berjalan menuju kearahnya dengan santai. Dan ia sudah siap menyambutnya dengan senyuman.

Namun, sosok yang ada di belakang Trent membuatnya menghentikan pembicaraannya. Seseorang yang berdiri, tampak mencurigakan di belakang Trent.

"Kenapa kau masih ada disini? Aku tidak memintamu untuk menunggu--"

"TRENT BELAKANGMU!"

Teriakan Wills sukses membuatnya menoleh ke belakang. Namun terlambat, saat orang itu menusukkan sesuatu padanya begitu saja. Hingga membuatnya kehilangan keseimbangan, merasakan rasa sakit di dadanya, dan perlahan jatuh ke belakang.

"TRENT!"

Ia bahkan tidak sempat mendengar teriakan Wills saat tubuhnya mendapatkan impact dari benturan di tangga beton dan berguling begitu saja ke bawah. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun yang ia tahu--ia sempat melihat siapa yang ada di belakangnya kala itu.

'Oliver...?'

.
.

"...nt...Trent..."

"Papa tidak apa kan mama?"

"Tenang saja, mungkin ia hanya kelelahan..."

Ia tidaklah bodoh untuk tahu jika ia baru saja ditusuk dan terjatuh dari tangga tinggi disana. Dan membentur kepala terlebih dahulu, jika ia bisa menambahkan. Sebodoh apapun dia, ia akan mengerti jika itu tidak akan berakhir dengan bagus.

Tetapi kenapa ia seolah mendengar suara yang asing dan seseorang mencoba mengguncang tubuhnya agar bangun? Seorang perempuan? Dan anak kecil?

Dan matanya mengejap beberapa kali, menemukan gadis berambut [h/c] yang tampak menatapnya dengan tatapan cemas dan juga seorang anak kecil yang mengingatkannya dengan dirinya saat kecil. Kecuali rambut anak itu yang lebih panjang sedikit darinya. Ia tahu ia tidak mengalami amnesia. Ia bahkan masih ingat seseorang yang harusnya sudah tewas, mendorongnya dari puncak tangga itu. Dan ia tahu, ia tidak pernah mengenal perempuan itu ataupun anak laki-laki itu.

"A-ah, papa bangun," anak itu tampak berada di dekatnya, sedikit gugup sambil menatap kearahnya.

"Syukurlah kau bangun. Aku mencoba membangunkanmu karena tidak biasanya kau bangun sesiang ini..."

Ia menatap manik [e/c] gadis itu sebelum menoleh sekeliling. Ini adalah kamarnya, dan ia tahu jika gadis berusia dua puluh tahunan itu tidak ia kenal sama sekali. Tetapi kenapa--

"Trent?"

...

"Kalian, siapa...?"

Prologue before Prologue - End

Tag para istrinya #...

Angstlicious _Amy_desu  Ath_ena0-0 yuzutsu_yoshikawa allynscarleta sil___ RbccaYui Kotonoha_hime fallyndanella04 Kuroi_Yumi LunaRachel07 ButiranPasir archellio_kyori

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro