Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

My Name Is Clara

Perlahan terdengar gesekan biola. Semua mata mencari asal suara itu. Lampu panggung menyorot ke tengah panggung, seorang gadis cantik sedang menggesek biolanya. Gadis bersurai hitam panjang itu mulai bernyanyi. Suaranya sangat teramat merdu.

Imagine there's no heaven

It's easy if you try

No hell below us

Above us only sky

Imagine all the people living for today


Lagu dinyanyikan dengan penuh penghayatan, seolah menyayat hati para pendengar. Mengajak para pendengar untuk menyadari melalui lagu yang dinyanyikannya. Mengatakan betapa menyedihkannya dunia ini. Menghipnotis para pendengar melalui suara emasnya.



You may say I'm a dreamer

But I'm not the only one

I hope some day you'll join us

And the world will be as one



Mengakhiri sebuah lagu dengan sangat indah. Para penonton bangkit dari kursi nikmatnya, memberi sebuah apresiasi atas gugahan jiwa yang telah diberi sang gadis. Yah, sebuah tepuk tangan. Tidak hanya sebuah, tapi ribuan tangan tengah bertepuk tangan.



Sang gadis menunduk, menerima tepukan tangan para penonton.

Seorang lelaki naik ke atas panggung, menuntun sang gadis untuk turun dari panggung. Beberapa orang mulai saling lirik, mulai berbisik begitu melihat pemandangan di hadapan mereka.



"Gadis yang malang," ujar seorang lelaki gembul dengan setelan jas mahal di tubuhnya.



Wanita di sebelahnya menimpali. "Yah, Tuhan terkadang memberi kelemahan di atas seluruh kelebihannya. Gadis yang cantik, sayang sekali."



"Suaranya sangat merdu. Menggugah jiwaku, seolah baru disadarkan atas segala kebodohanku. Caranya bernyanyi benar dari dalam hati," sahut pria tua di depan wanita tadi.



"Andaikan dia di sisiku, aku pasti akan menjaganya sepenuh hatiku," gumam lelaki muda di belakang lelaki gembul tadi. Matanya menerawang, melihat betapa menyentuhnya nyanyian si gadis. Membuatnya, benar tersentuh.



Sang gadis yang sudah turun dari atas panggung, mendengar jelas semua bisik-bisik para penonton. Dia memejamkan matanya kuat-kuat, menghela nafas panjang. Seulas senyum tercipta di bibir tipisnya.



"Kau tak apa?" tanya lelaki yang tadi menuntun sang gadis.



"Yah. I'm fine."


***

Tuk. Tuk. Tuk.

Suara ujung tongkat saling bertabrakan dengan lantai marmer. Sang gadis beberapa kali mengetukkan tongkatnya, menjaga langkahnya agar tak terjatuh. Penglihatan yang tak dimilikinya membuat sang gadis untuk selalu melakukan hal yang dirasa melelahkan setiap hari.

"JAMES!" teriak sang gadis.

Seorang lelaki datang tergopoh-gopoh menghampiri sang gadis. Matanya memicing, menandakan dirinya masih diambang kesadaran dan ketidak sadaran.


"Ada apa, Nona Clara?" tanyanya bingung.

Sang gadis -Clara-berkacak pinggang, dia mengetukkan kakinya. "Cih. Memangnya harus ada apa jika aku memanggilmu? Apa saja sih yang kaulakukan? Kau tak tahu ini jam berapa?" Ia meninggikan nada suaranya.


Lelaki yang dipanggil James, menghela nafas. Matanya mencari jam di dinding. Jarum pajang berada di angka dua sedangkan jarum panjang berada di angka dua belas.

"Ini masih jam dua, Nona."

Clara tampak tergelak. Sekali lagi, penglihatan yang tak dimilikinya membuatnya kewalahan. Melihat jam saja tak bisa. Sangat menyebalkan.


"Lantas, aku harus peduli?!" ucapnya dingin, "kau hanya harus mematuhi perintahku. Itu tugasmu. Dan dengan itu aku membayarmu. Kau tahu?!"


James mengerutkan dahi dalam-dalam, berusaha menahan semua emosi yang bergejolak di hatinya. Sudah sekian lama, dirinya bekerja untuk Clara, namun tak sekalipun dirinya dihargai. Hanya caci maki yang selalu diterimanya dari sang Nona Besar.


"Baik, Nona Clara. Maafkan kelancangan saya. Apa yang bisa saya bantu?" tanyanya lembut, sangat berbanding terbalik dengan hatinya yang sudah terbakar emosi.


"Ah, masih terlalu pagi untuk aku makan. Siapkan mantel untukku, aku ingin berjalan-jalan. Temani aku," cetus Clara.


James membulatkan matanya. Menemani Clara berjalan-jalan di pagi buta?! Gila apa?! Yah, nonanya memang sudah gila. Sangat gila. Dia tak tahu, kegilaan apa saja yang sudah dilakukannya untuk sang Nona Besar.


Tanpa perintah ulang, James segera mengambilkan mantel untuk nonanya. Dia memakaikan mantel putih tulang pada punggung Clara. Ada sengatan magnet yang membuat detakan jantungnya berpacu dengan kegilaan yang tak pernah diduganya, saat tak sengaja menyentuh punggung Clara.


Clara masih tetap dengan wajah datarnya, menarik kasar mantel yang dipakaikan James di punggungnya. "Kau lamban sekali. Ingin rasanya, aku memecatmu," ejek Clara.


Yah, pecat saja. Pecat. Kau sangat membutuhkanku, tapi perilakumu sangat menghinaku. Tidakkah kau sadar? Mana mungkin kau sadar, batin James.


Suara tongkat saling bertabrakan dengan jalan aspal, menemani suasana pagi buat yang sunyi. Suasana antara James dan Clara hanyalah ditemani ketukan tongkat dan kicauan burung. Clara terus berjalan santai, James setia mengekor di belakangnya.


James menatap lekat punggung Clara. Punggungnya begitu tegap, menunjukkan seolah keberanian besar selalu ada padanya. James tertawa hambar, bagaimana bisa dia bekerja untuk nona yang sangat kasar, dingin, dan tak berperasaan.


Wajah topeng yang selalu ditampakkan Clara adalah wajah malaikat baik hati, tanpa ada seorang pun menyadari jika Clara memiliki sifat yang sangat buruk. Hanya James dan segelintir orang yang mengetahuinya.


Dan, James membencinya karena... dia menjadi segelintir orang yang mengetahui sifat buruk Clara. Akan menjadi lebih baik baginya jika dia mengira Clara adalah malaikat tanpa sayap yang jatuh ke bumi.


Mata hitam pekat, hidung mancung, bibir tipis, kulit putih, kaki yang jenjang. Sangat sempurna. Sangat cantik. James jatuh cinta pada awalnya, sampai dia tahu semua sifat kasar yang dimiliki Clara. Semua perasaan itu hancur lebur seketika.

***



"Nona Clara, lima menit lagi anda akan tampil," James mengingatkan.


Clara tak mengacuhkan kata-kata James. Dirinya masih sibuk biolanya, jemari lentiknya menyentuh senar-senar biolanya. Suara merdu yang dihasilkan biola membuat James terlena, begitu juga dengan wajah Clara yang tampak menikmati permainannya dengan mata terpejam.


"Permainan yang bagus, Nona," puji James.


"DIAMLAH! Kau mengganggu konsentrasiku. Aku tidak dapat menemukan feel untuk permainanku, Bodoh," bentak Clara. Wajahnya memerah karena menahan amarahnya.


James memukul udara, dia begitu bodoh karena dengan santainya telah mengganggu Clara yang sedang berlatih. "Maaf."

Tok. Tok. Tok.


"Masuk," perintah Clara. Suaranya terdengar anggun dan merdu, berbanding terbalik dengan bentakannya pada James.



Pintu terbuka, bersamaan dengan lelaki muda berseragam hitam khas para kru pertunjukan. "Nona Clara, ini giliran anda." Lelaki itu tersenyum pada Clara.

Hati James bergejolak melihat tingkah lelaki itu. James tahu jika Clara tak mampu melihat senyum itu, tapi tetap saja itu mengganggu bagi James. Entah kenapa, hal-hal seperti ini menjadi beban dalam hati James.


"Mari, Nona." James menuntun Clara menuju panggung.


Sama seperti biasa, Clara bernyanyi dengan merdu dan menyentuh hati. Begitu juga dengan permainan biolanya yang sangat indah. James lagi-lagi terpukau.


Suara tepukan riuh menggema di seluruh auditorium. James naik ke panggung untuk membantu Clara turun dari panggung.


Namun, sebelum dia melakukan itu. Seorang lelaki telah lebih cepat mendahuluinya ke atas panggung. Membawa Clara turun ke panggung.


Clara merasakan sentuhan yang berbeda, membuatnya bertanya-tanya. "James?! Kau mengganti parfummu?" tanya Clara.


"Nay. Kau salah orang, Nona. Aku bukan James. Aku adalah Mario, penggemar beratmu."


Kedua alis Clara terangkat ke atas. Menunjukkan kebingungan pada dirinya. Baru kali ini seorang fans berani melakukan hal itu pada Clara.


Kaupikir aku tersentuh? Ini sangat menjijikkan, batin Clara.


Genggaman Mario pada tangan Clara, direnggut kasar oleh James. "Maaf, tapi anda tidak bisa seenaknya melakukan hal itu pada Nona Clara," ucap James dingin.


Mario mengangkat kedua tangannya. "Uh, calm down. Aku hanya memperkenalkan diri pada idolaku," keluhnya.


"Tak apa, James. Kenapa kau harus terlalu kasar pada penggemarku?" ucap Clara sangat-sangat lembut. Membuat hati para pendengarnya seakan berada di atas awan.


Lelaki muda bernama Mario, menjentikkan jarinya. Seorang lelaki tua datang dengan membawa se-bucket bunga mawar.


Mario berlutut di hadapan Clara. "Untukmu. Special dariku. Ingat namaku... Mario Pramadja. Oke?"

Clara salah tingkah. Wajahnya sudah semerah kepiting rebus. Dengan malu-malu, tangannya meraba-raba mencari keberadaan bucket bunga itu.


Berakting lagi, batin James.

"Thank you," ucap Clara terdengar tulus. Seulas senyum tercipta di bibir mungilnya.

"Aku akan sering mengunjungimu, asal kau bilang pada pengawalmu agar jangan membuatku takut dengan wajah garangnya." Mario mengelus rambut Clara, dan melenggang pergi.


"Ayo pulang," ucap Clara dengan wajah datar.

***

Brak!


Bucket bunga dilempar asal oleh Clara. "Buang jauh-jauh bunga itu dari aku. Tubuhku bergidik saat menerima bunga itu. Aku mau mandi dulu. Siapa laki-laki itu? Berani sekali menyentuhku," omel Clara. "Lain kali, jangan biarkan satu orang pun menyentuhku. Kau sudah tahu kan?! Tapi kenapa tetap terjadi hal-hal seperti ini?! Dan... lakukan hal seperti biasa."


"Maaf, Non-"


"Maaf, maaf. Hanya itukah kosa kata yang kaumiliki?! Akh! Ini menyebalkan. Seharusnya, aku memecatmu dari dulu," potong Clara. "Jangan lupa, nanti persiapkan semuanya dengan baik. Aku tidak ingin ada satu kecacatan lagi.


James menyipitkan matanya, menatap tajam Clara. Dirinya benar-benar jengah dengan sifat Clara.


"Ini sangat melelahkan. Belum lagi aku harus melakukan hal itu. Clara, kau membuatku jengah. Kau menambah dosa yang harus kutanggung dan aku selalu menurutimu," gumam James saat Clara sudah masuk ke kamarnya.



Drrtt...

Ponselnya bergetar, menunjukkan ada sebuah pesan masuk. James membuka pesan itu, dia menghela nafas panjang. Namun, sedetik kemudian sebuah seringai terpampang di wajah tampannya.

From: Clara's Dad

Lakukan semua perintah Clara. Jangan pernah membantahnya! Turuti dan lakukan dengan baik! Jangan sampai ada yang bocor dan membuat oknum lain mencari tahu. Periksa rekeningmu! Aku sudah memberi sejumlah uang seperti yang kauinginkan.

***


Seperti perintah Clara, James mempersiapkan semuanya dengan baik. Dia tidak mau kena omel Clara lagi. Dia memperhatikan setiap detail persiapannya, tak ada satupun yang terlewat.


"Sudah siap?" Clara muncul di belakang James.


James sedikit berjengit karena kedatangan Clara yang tiba-tiba. "Sudah siap, Nona. Mau kita mulai sekarang?"


"Iya lah. Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Bodoh sekali."


James memukul udara, dia sebal karena pertanyaannya dibalas dengan omelan dingin. "Ya. Maaf." James menuntuk Clara masuk ke dalam mobil.


James mengutak-atik ponselnya, mencari kontak lelaki itu.


"Nona akan berangkat sehabis ini. Kau duluan saja. Nona akan segera menyusul ke Cafe Warm. Jangan sampai telat! Nona Clara tak suka pada orang yang tak tepat waktu," ucap James datar. Dia mematikan panggilan dan mengecek pesan yang baru saja masuk.


Seulas senyum tipis timbul di bibir Clara. Nyaris tak tampak. James segera duduk di bangku kemudi yang mengendarai mobil ke tempat tujuan. Rencana James tak boleh gagal.

"Dia sudah masuk dalam jebakan, Nona. Mereka sudah stand by di sana." Clara tak mengindahkan laporan James.

Perjalanan terasa sangat panjang. Jemari Clara bergerak di udara mengikuti alunan musik yang didengarnya.

"Nona, kita sudah sampai."


"Kau tak perlu melaporkan hal seperti itu, James. Cukup bukakan pintu untukku dan bawa aku ke sana." Clara membuang nafas jengah. "Aku sudah merindukannya, hingga nyaris mati."


James sedikit tergopoh membukakan pintu untuk Clara. Dia menggandeng lengan Clara dan membawanya masuk ke ruangan yang sudah disiapkannya.


Bau apek yang memusingkan langsung mengganggu penciuman Clara. Dia menutup hidungnya, untuk mengurangi rasa mual yang sudah mengocok perutnya.


"Huek. Bau sekali. Kau tak pernah membersihkannya?! Gila!" keluh Clara.


James hanya diam, tak berniat menjawab keluhan Clara. Dia menuntun Clara pada orang itu. Yah, orang itu yang sudah menunggu Clara sedari tadi.


Suara gemerincing rantai langsung memenuhi ruangan yang sedari tadi senyap. Buk! Lelaki yang berada tak jauh dari situ langsung tumbang begitu pria bersetalan jas memukul rahangnya.


"Sudah hentikan," perintah Clara, "serahkan semua padaku dan James. Kau boleh kembali. James berikan uangnya."


Pria bersetelan jas langsung mematuhi kata-kata Clara. Dia menerima uang pemberian James dan segera keluar.


Lelaki yang tumbang sudah bangkit lagi. Wajah tampannya sudah hancur dengan beberapa lebam di wajahnya.


"C-clara?" Suaranya terdengar sangat parau.


"Clara?! Kau memanggilku Clara?! Ini sangat tak pantas." Clara memukulkan tongkatnya pada lelaki yang terikat rantai. "Kau itu hanya seorang FANS, sangat gak pantas memanggilku dengan nama. Dasar pria bodoh. Panggil aku Nona."


Lelaki itu merintih begitu tongkat Clara mengenai wajahnya. Dia tampak telah kehilangan seluruh tenaganya. "Tolong, lepaskan aku."


Clara tersenyum miring. "Lepaskan?! Yah, kau akan dilepaskan setelah kami melepaskan kedua bola matamu."

Wajah lelaki itu menegang begitu mendengar penuturan Clara.

Seolah mengerti kode Clara, James langsung membius lelaki itu. "Maafkan saya, Tuan Mario," bisik James.


Ponsel milik James bergetar. Segera, dia membukanya. Sebuah pesan singkat membuatnya menghela nafas panjang. Tugasku berakhir, batinnya.


"Nona, ternyata dialah orang yang tepat. Dr. Theo mengatakan, kita bisa melakukan operasi dua hari lagi."


"Serius? Wow. Cepat bawa dia pada Dr. Theo, aku juga harus bergegas untuk lusa. Ternyata, Mario Pramadja lah orangnya, seharusnya, aku berkenalan lebih cepat dengannya." Senyum Clara langsung mengembang. "Setelah ini, aku akan dapat lepas dari kegelapan yang memuakkan ini."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro