Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3

Akhirnya aku sampai rumah. Senang bisa kembali menginjakkan kaki di tempat yang damai dan aman. Bebas dari huru-hara Nora dan geng anak kelas 2.

Rumah masih terkunci. Ibu belum pulang. Hari ini seharusnya dia pulang lebih cepat. Kami sudah janji makan malam meriah karena besok Ibu akan berangkat ke Jepang untuk urusan kerja. Aku merogoh kantong depan tas sekolahku, mencari kunci. Di sekitar rumah sepi. Bukan karena cuaca yang masih terik, kami memang tinggal di perumahan kecil dan sunyi. Rumah kami paling ujung, berbatasan dengan tembok pembatas. Di balik tembok ada tanah kosong entah milik siapa. Rumah di sebelah kami kosong. Antara belum berpenghuni atau ditelantarkan pembeli. Rumah di seberang kami dihuni pasangan muda yang jarang terlihat. Kata Ibu, keduanya bekerja. Aku kadang berpikir, kompleks tempat tinggal kami ini memang diperuntukkan bagi orang-orang yang ingin mengasingkan diri. Interaksi di sini sangat minim.

Begitu pintu terbuka, aku langsung menuju kamar, menyalakan laptop, lalu masuk kamar mandi. Kebiasaan bersih-bersih sepulang dari luar masih belum aku tinggalkan. Padahal kasus COVID-19 sekarang hampir bersih, tapi rutinitas ini masih terekam jelas di memori gerak. Seperti sebuah langkah dalam tutorial yang tidak bisa dihilangkan. Tidak ada ruginya juga. Guyuran air setidaknya bisa membantuku melupakan keributan di sekolah tadi.

Setelah bersih dan ganti baju, laptopku menyala sempurna. Siap untuk digunakan. Aku masuk ke sosial media. Akun anonim. Tidak ada DM baru dari Pio. Percakapan terakhir kami hari Minggu kemarin tentang Keluarga Pinus 2 yang baru masuk Sampol. Untuk ganti topik, mungkin ada baiknya aku menceritakan kejadian tadi siang.


Masih ingat sama cewek yang duduk di belakangku? Dia dibully lagi. Masih soal rebutan cowok. Tapi yang ini agak parah. Tiga senior keroyokan. Mereka sampai dipanggil ke ruang guru. Anehnya, kata orang-orang, yang duduk di belakangku ini nggak ngaku kalau dia dibully. Dia bilang ke guru kalau mereka cuma berdebat karena beda pendapat. Terus, dia minta maaf sama senior-senior itu karena udah nggak sopan sebagai junior. Jadi kasusnya dilepas gitu aja. Aku nggak ngerti kenapa dia ngalah di depan guru.


Sebelum menekan enter, aku baca ulang hasil ketikanku. Tidak ada nama asli, tidak ada lokasi. Setelah yakin, baru kukirim. Sepertinya Pio sedang offline. Jika online, biasanya dia langsung membalas. Apalagi kalau aku cerita tentang masalah-masalah di sekolah. Dia suka drama anak sekolah.

Aku tidak kenal siapa Pio sebenarnya. Aku panggil dia "Pio" berdasarkan kesepakatan bersama. Diambil dari nama penggunanya. Miss Scorpion. Katanya nama itu berasal dari karakter film Jepang yang sempat bikin dia lepas dari kenyataan. Kami kenalan di media sosial.

Pesan-pesan Pio terdengar ramah. Dia suka berbagi saran dan pendapat. Entah memang begitu dari sananya, atau karena dia pikir aku laki-laki (nama penggunaku @rolan.o). Awalnya kami cuma diskusi soal film. Wawasan Pio lumayan luas. Dia penikmat semua genre. Dia juga suka menganalisis adegan atau karakter yang ditonton, tidak langsung menilai buruk antagonis, tidak langsung memuja-muja protagonis. Pio suka melihat kejadian dari sisi yang tidak pernah aku pikirkan.

Bisa dibilang, Pio satu-satunya teman yang aku punya sekarang.

Meski kami tidak saling kenal di dunia nyata, meski kami tidak tahu nama asli masing-masing, kami sering bertukar kabar kehidupan sehari-hari. Pio tidak pernah membeberkan usia atau pekerjaannya (aku yakin dia sudah tamat SMA), tapi dia sering bercerita tentang tetangganya yang berisik, abang laki-lakinya yang bossy, dan pertikaian tanah warisan keluarga. Aku sendiri terang-terangan mengaku masih SMP waktu pertama kali berkenalan dengannya. Karena itu, Pio sering meledekku bocil.

Hampir satu jam kemudian, Pio membalas.


itu bukan ngalah namanya, tapi lagi mengendalikan permainan. justru kalo dia ngaku korban bully, posisinya jadi lemah. dengan dia minta maaf, dia lagi mengerdilkan superioritas senior-senior itu. guru pun makin respek sama dia. nih anak pridenya beneran nggak bisa dilawan ya. jadi pengen gw ajak kenalan wkwk.

20 Feb 2023 4.56 PM


Tapi, imbasnya tiga senior itu jadi dibebasin gitu aja. Seharusnya mereka dihukum, kan? Biar ada efek jera.

20 Feb 2023 4.57 PM


aduh dek, udah hampir setahun jadi anak sma tetap aja pikiran lo kayak bocil. ini bukan masalah adil nggak adil. ini masalah siapa yang bisa ambil kendali. kalo dia minta bantuan guru, orang-orang malah semakin rendahin dia.

coba besok-besok mainnya lebih jauh lagi ya dek. wkwkwk

btw nyokap jadi ke luar negeri?

20 Feb 2023 5.08 PM


Iya. Besok berangkat.

20 Feb 2023 5.08 PM


jadi udah punya rencana apa aja selagi nyokap lo nggak di rumah?

20 Feb 2023 5.09 PM


Rencana? Kenapa harus punya rencana? Aku ingin bertanya pada Pio, tapi terdengar orang masuk dari pintu depan.

Ibu pulang. Di belakangnya ada Bibi Okta. Oh. Jangan bilang Bibi Okta akan mulai menginap malam ini.

"Halo, Oina. Ngerjain PR?" sapa Bibi Okta saat melewati pintu kamarku. Dia menenteng plastik besar ke dapur.

Aku tersenyum dan mengangguk kecil. Anggap saja berdiskusi tentang Nora memang pekerjaan rumah. Bibi Okta kedengarannya sibuk memanaskan sesuatu di dapur. Aku menyusul Ibu yang baru masuk kamar. Kamarku dan kamar Ibu terpisah oleh ruang tamu. Kamar Ibu di ujung. Kamarku dekat dapur. Aku bisa melihat pintu kamarnya terbuka dari meja makan.

Saat melintasi ruang tamu, dari balik jendela tampak mobil Bibi Okta terparkir di pekarangan. Berarti dia tidak menumpang mobil Ibu. Kemungkinan besar Bibi Okta tidak menginap malam ini. Aku ingin memastikan, tapi Ibu sudah telanjur masuk kamar mandi. Sama sepertiku, membasuh diri sehabis dari luar.

"Ina?" Ibu ternyata menyadari kehadiranku. "Besok berangkat pagi-pagi sama Ibu, ya?"

"Memangnya Bibi Okta nggak nginap malam ini?" jawabku agak keras agar terdengar ke dalam kamar mandi. Aku merebahkan diri ke tempat tidur. Seprai Ibu selalu harum pewangi pakaian.

"Bibi ikut makan malam aja. Harus balik buat urus keperluan mamangmu." Bibi Okta ternyata sudah di ambang pintu. Dia memeriksa ke sudut kamar dekat meja kerja. Satu koper berukuran sedang berdiri tegak, berisi keperluan Ibu sepuluh hari ke depan. "Teh Sienna, kopernya satu aja?"

Ibu tidak langsung menjawab. Aku masih terlentang menatap langit-langit putih.

"Memang cukup?" lanjut Bibi Okta.

"Kelihatannya aja dari luar kecil, tapi isinya muat banyak." Ibu keluar dari kamar mandi setelah berganti pakaian dan menghapus riasan. Aroma lemon segar memenuhi kamar. Aku berguling, tengkurap di tepi ranjang.

"Katanya di sana masih winter. Bawa jaket yang banyak, atuh."

Andai Bibi Okta tahu Ibu sudah selesai berkemas seminggu lalu. Kalau mau lomba siapa yang paling jago siap-siap, dia mungkin kalah telak.

"Tenang. Semua aman. Aku ikut tips di YouTube, makanya muat satu koper." Ibu mengeluarkan ponsel dari dalam tas kerjanya, menyalakan sekali, lalu menyambungkannya ke pengisi daya. "Mesa jadi nyusul kemari?"

Bibi Okta mengangguk. "Katanya kelas terakhirnya jam lima. Kayaknya ini udah otewe."

"Mesa mau ke sini?" Ups, keceplosan. Seharusnya tidak aku panggil dengan nama saja. Soalnya dia lebih tua dua tahun.

"Teh Mesa." Ibu membenarkan. "Hari ini kita makan malam sama-sama. Sebelum Ibu berangkat besok."

Aku pikir malam ini cuma untuk kami berdua. Tidak masalah sebenarnya, Bibi Okta dan Mesa bisa menghidupkan suasana. Hanya saja, Mesa? Sejak kapan dia mau repot-repot mampir. Bukankah dia sibuk kuliah?

"Ina," Ibu duduk di sebelahku, merapikan rambutku yang kemungkinan acak-acakan sehabis berbaring tadi. Beberapa helai diselipkan di balik telinga. Biasanya jika begini selanjutnya pembicaraan akan serius. "Mesa katanya mau temani kamu selama Ibu di Jepang. Kalian nanti baik-baik, ya."

"Nggak jadi Bibi Okta?"

Bibi Okta mendekat, menyenderkan pinggulnya ke tepi meja kerja Ibu. "Mamangmu mendadak ada dinas ke Jakarta Rabu lusa. Tiga hari. Harusnya sih Bibi nggak perlu ikut, tapi Mesa pengertian. Dia bilang mau jagain kamu. Bibi pikir, dia udah mulai mau belajar tanggung jawab."

Itu kabar mengejutkan. Aku kurang yakin Mesa bisa sedermawan itu. Selama ini, kakak sepupuku itu hanya akan melakukan sesuatu jika diperintah ibunya. Kalau ada acara keluarga, dia jarang beramah-tamah dengan anak-anak. Memang, aku bukan anak-anak, tapi Mesa semacam punya alergi dengan manusia yang lebih muda darinya. Diminta membantu jaga dua adik laki-lakinya saja harus diiming-imingi tas baru dulu.

Mungkin Mesa memang sudah berubah sejak masuk universitas, atau mungkin dia sedang khilaf, tapi buat apa diperdebatkan? Tinggal dengan Bibi Okta atau Mesa selama sepuluh hari ke depan tidak ada bedanya. Sama-sama tidak ada Ibu. Jadi, aku hanya bergumam kecil, menyatakan kesediaan untuk baik-baik selama berpisah dengan Ibu. Mataku perlahan kupejamkan untuk merasakan tangan Ibu yang menyisir rambutku. Sentuhannya lebih halus dari tangan yang sering membelai pipiku sebelum tidur saat kecil dulu, tapi sudah cukup berhasil membawaku ke masa-masa itu. Seandainya setiap hari seperti ini.

Tiba-tiba bunyi bip bip kecil terdengar dari arah dapur. Aroma masakan bersantan. Pasti gulai. Resep andalan keluarga Ayah.

"Oh! Gule-na geus ready!" Bibi Okta lekas-lekas kembali ke dapur.

Ibu ikut beranjak. "Ayo kita bantu Bibi siapkan makan malam."

Aku kembali menatap langit-langit kamar, baru sadar sejak siang tadi belum makan apa-apa.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro