Bab 2
Enaknya belajar daring selama pandemi, kamu tidak harus menghafal nama dan wajah teman sekelasmu. Kalau ingin tanya tugas, tidak perlu mencari wajah atau memanggil nama, tinggal cari kontaknya di grup kelas. Kamu juga tidak perlu mencari teman untuk makan siang, atau menunggu angkutan umum saat pulang, atau terlibat dalam kejutan ulang tahun yang direncanakan sekelompok sahabat.
Pada awal-awal SMA, selama satu semester aku terlena dengan kemudahan itu. Hingga tiba sekolah kembali tatap muka, aku ternyata ketinggalan banyak. Sekolahku ternyata lebih ramai dari grup kelas. Anehnya, hampir semua saling kenal. Hampir semua teman sekelasku sudah punya teman akrab, bahkan mereka tahu topik-topik terhangat.
Misalnya guru yang sekarang mengajar di depan kelas: Pak Don. Menurut kabar yang beredar di kalangan siswi-siswi, Pak Don diam-diam dekat dengan salah satu murid di sekolah ini. Aku kurang mengeti dekat yang bagaimana yang mereka maksud, tapi banyak yang berspekulasi tentang hubungan romantis. Tidak jelas sumbernya dari mana, dan bagaimana mereka mengetahuinya. Padahal Pak Don staf BK, jarang masuk ke kelas-kelas. Hanya kebetulan beberapa minggu ini menggantikan guru bahasa Inggris kami yang cuti melahirkan. Seharusnya hanya segelintir murid yang terlibat dengannya. Mungkin karena Pak Don masih muda, penampilannya rapi dan terawat, jadi banyak yang suka membicarakannya.
"Ada yang bisa kasih contoh penggunaan I would?" Pak Don menunggu satu dari kami menjawab tantangan.
Sudah pasti bukan aku orangnya.
"Ya, Nora."
Seisi kelas menoleh ke arah perempuan yang duduk di belakangku. Aku berusaha tidak ikut memutar kepala.
Jawaban Nora terdengar jelas di telingaku, nyaring dan percaya diri. "I would break my back to make you break a smile."
"Ehem, ehem." Teman-teman lainnya seketika batuk-batuk. Satu orang di belakang meledek dengan siulan. Sebagian lagi saling lempar kode negatif.
"Biasa, caper."
Perempuan yang duduk di sebelahku mencibir. Aku menoleh enggan, hanya untuk memastikan bahwa lawan bicaranya bukan aku. Kami tidak menerapkan sistem semeja berdua. Masing-masing murid duduk sendirian, tidak tahu memang begitu sejak awal atau peraturan pasca-pandemi. Karena keterbatasan ruang, jarak antar-meja lumayan sempit, hanya bisa dilewati satu orang dewasa. Jadi, meski perempuan yang duduk di sebelahku hanya bergumam rendah, suaranya bisa terdengar jelas di meja sekitarnya.
Ketika aku menoleh, dia tersenyum meleceh. Cepat-cepat aku kembali fokus ke papan tulis. Aku tidak mau menanggapi. Aku tidak mau terlibat dalam gosip-gosip.
"Nice one." Di depan, Pak Don tersenyum formal. "Sekarang ada yang bisa kasih contoh penggunaan I will?"
Aku bisa merasakan Nora hendak kembali angkat tangan karena Pak Don segera menambahkan, "Ayo, cowok-cowok nggak ada yang mau balas?"
Cara itu bekerja dengan baik. Kelas bahasa Inggris semakin berisik. Pembahasan I would vs I will berubah menjadi balas-balasan gombal.
Nora sebenarnya sudah mencuri perhatian sejak hari pertama SMA. Saat itu kami disuruh mengunggah video perkenalan diri di media sosial. Dari satu angkatan, pengikut Nora yang paling banyak jumlahnya. Dia super-aktif di dunia maya. Postingannya ratusan. Ada rekaman siaran langsung, video riasan wajah, tanya-tanya soal outfit, before-after pangkas rambut, dan banyak lagi. Hampir semua caption berbahasa Inggris. Aku perhatikan, kebanyakan bongkar-pasang lirik lagu. Bisa jadi jawaban pertanyaan Pak Don barusan juga diambil dari lirik lagu.
Punya banyak pengikut di dunia maya bukan berarti otomatis punya banyak pengikut di dunia nyata. Yang dekat-dekat dengan Nora sejauh ini cuma cowok-cowok yang suka bergerombolan. Itu pun bukan niat berteman. Sementara cewek-cewek lebih tertarik menjadikannya bahan gunjingan.
Kalau kamu kasihan dengan Nora, tahan dulu. Kamu juga harus tahu bagaimana tanggapanya setiap digoda cowok-cowok yang nangkring di depan kelas.
"Nora, ntar siang main sama aku, mau?" Begitulah yang sering mereka lontarkan, diiringi tawa-tiwi orang-orang sekeliling.
Biasanya Nora akan berhenti, menatap wajah si laki-laki, kemudian membalas sadis.
"Ngaca dikit lah. Obati dulu jerawat bisulmu itu,"
atau,
"Malas ah. Gigimu maju, otakmu mundur,"
atau,
"Bentar-bentar. Bapak-mamakmu kerja di rumah potong hewan, ya? Soalnya seragammu bau lemak kerbau."
Pernah ada gosip yang dimulai anak perempuan kelas sebelah. Mereka yakin, selama live streaming, Nora bersedia menerima permintaan tidak senonoh asal dibayar.
Nora membalas dengan tenang. "Tau dari mana? Cowok kalian yang kere itu? Soalnya mereka sering ngemis-ngemis minta dikasih gratis."
Yang paling parah, jika ada yang mempermasalahkan cara berpakaiannya, Nora akan menyindir balik keras-keras, "Makanya, kalau makan jangan barbar. Jadi nggak bisa pake baju sepan kayak aku, kan? Itu lengan atau kaki gajah?"
Jadi, perundungan tidak hanya satu arah. Ini yang kumaksud dengan ramai. Sekolahku terlalu ramai. Balas-balasannya lebih ramai dari balas-balasan pesan di grup kelas. Mereka juga suka ajak-mengajak. Seperti perempuan yang duduk di sebelahku tadi. Aku harus hati-hati dan menahan diri. Senyum atau mengangguk kecil saja bisa dianggap sependapat. Jika ada pertikaian, lebih baik jadi tembok sekolah. Hanya menanggapi jika ditanyakan tentang pelajaran atau tugas. Hindari kantin sebagai pusat sosial (beruntungnya setiap hari Ibu membuatkan bekal). Pulang sekolah, langsung bergegas menuju rumah, kerjakan tugas atau chatting dengan Pio. Di sekolah ini, lebih baik menjadi penonton daripada naik ke atas pentas untuk memainkan drama yang diciptakan orang-orang sekitar.
Bel istirahat berbunyi, Pak Don memberi kami tugas kecil. Dikumpul minggu depan. Murid-murid satu per satu keluar kelas; ke kantin, lapangan basket, toilet, atau ke tempat lain yang ingin mereka datangi.
"Bawa bekal?"
Perempuan yang duduk di sebelahku kembali terang-terangan mengajak bicara. Entah menebak atau bertanya. Dia baru selesai memasukkan semua buku ke dalam tas. Satu pengakuan: aku tidak hafal namanya, tapi ada alasannya. Namanya panjang dan sulit dibaca. Kebanyakan huruf konsonan. Awalannya V. Seperti nama orang Rusia. Teman-temannya sering memanggilnya "Vi", atau "Vy", atau mungkin "Vee".
Atas nama tenggang rasa, aku mengangguk kecil sambil mengeluarkan kotak bekal dari dalam laci meja. Menu hari ini udang tumis brokoli. Dilengkapi beberapa iris kiwi. Aku kurang suka kiwi. Asam. Tapi aku suka udang tumis. Brokoli biasa saja. Sambil membuka kotak bekal, kulihat V keluar kelas tanpa bertanya apa-apa lagi. Tidak berselang lama, tiba-tiba masuk gerombolan senior. Anak kelas 2, jumlahnya tiga orang, perempuan semua. Mereka menghampiri mejaku. Bukan, mereka melewati mejaku dan berhenti di meja belakangku. Orang-orang yang tersisa di kelas menoleh penasaran.
"Kamu yang bikin Tata putus sama pacarnya?" Kakak senior yang paling depan langsung menembak.
Lagi-lagi tentang rebutan pacar. Aku ingin mulai makan bekal, tapi teman-teman sekelasku mulai ikut mengerubungi Nora. Otomatis mereka juga berdesak-desakan di samping mejaku. Aku dikepung tembok kelas dan kerumunan manusia.
"Tata? Yang mana orangnya? Pacarnya siapa?" Suara Nora terdengat tidak gentar.
"Halah, sok lugu. Kau yang kegatalan DM-DM si Dimas, kan? Padahal dari postingannya jelas dia udah punya cewek. Sengaja mau rebut pacar orang?" Teman si kakak senior pertama kehilangan kesabaran (kita sebut saja kakak senior kedua).
"Akunnya didimaskansaja." Kakak senior ketiga menambah.
"Tata hari ini sampai bolos sekolah karena masih patah hati. Katanya kamu yang hasut pacarnya buat putusin Tata. Benar?" Kakak senior pertama kembali memastikan. Dari nada dan pilihan kata-katanya, sepertinya dia ketua mereka.
"Oh. Yang itu." Nora terdengar bosan. "Gimana, ya. Dia curhat soal ceweknya yang tukang ngatur-ngatur. Ya aku suruh putusin aja. Pesan-pesannya juga kayak orang depresi. Nggak mungkinlah aku cuekin."
"Tapi, kamu yang duluan DM dia, kan?" tanya kakak senior kedua.
"Aku DM karena dia boom vote postingan aku. Terus dia kasih reaksi emoji mata love-love di Story aku. Ya aku balas di DM, bilang makasih, eh, dia keterusan curhat soal ceweknya."
Murid lain semakin mengerubungi meja kami. Bahkan semakin banyak berdatangan dari luar kelas. Bekalku masih terbuka setengah. Aku menimbang-nimbang. Makan saja atau tutup kembali? Tapi, siapa yang bisa makan dengan tenang kalau situasinya rusuh begini?
Kakak senior kedua terdengar semakin berapi-api. "Halah, sok ngeles. Kalau kau nggak mulai DM dia, nggak bakal gini kejadiannya. Bilang aja dari awal kau memang mau godain dia. Kalau enggak, ngapain kau suruh Dimas putusin Tata?"
Kakak senior pertama mencoba meredakan. Kurang jelas apa yang diucapkan, suaranya setengah berbisik.
"Yaelah, mending kalian tanya langsung sama si Dimas itu. Sekalian bantu sadarkan si Tata, biar nggak ngatur-ngatur anak orang lagi besok-besok."
"Eh, sopan dikitlah sama senior. Di mana adabmu? Memang, ya, anak sama mamak sama aja. Mamaknya perek, kelakuan anaknya juga kayak perek."
Mendadak kepalaku berdengung. Tidak terdengar jelas balasan Nora selanjutnya. Keributan di sekeliling kami juga berubah menjadi suara-suara rendah dari kejauhan.
"Sienna, jaga baik-baik anakmu, jangan sampai terjerumus pikirannya kayak bapaknya."
Aku harus pergi dari sini. Kututup lagi kotak bekalku karena bau udang dan brokoli sekarang membuat perutku bergejolak. Kubawa bekal itu menerobos bahu-bahu murid yang semakin ramai. Begitu berhasil keluar kelas, aku bergegas menuju tong sampah besar di ujung koridor. Aneh sekali kadang-kadang. Saat jam istirahat seperti ini, yang berisik malah di dalam ruangan. Di luar sini lengang, hanya ada satu-dua murid yang kebetulan lewat. Di depan tong sampah, aku melihat kiri-kanan, memastikan aman, kemudian cepat-cepat kutuang semua isi bekal ke dalam. Semoga nanti ada kucing liar yang memakannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro