Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 9

Suasana di bandara terlihat begitu ramai. Lalu lalang, orang silih berganti datang. Wanita berpostur tinggi dengan dress motif bunga di atas lutut terlihat menggandeng putra sulungnya. Dari pintu kedatangan terlihat sosok tampan berambut coklat gelap.

"Daddy!"

Nino berteriak sembari berlari ke arah sosok itu. Rose tersenyum, keduanya semakin nampak serupa. Sebenarnya ia merasa bersalah pada Wisang. Ia membuat kekasihnya harus menjemput dua anaknya, sedang dirinya menjemput Brandon, demi menuruti Nino, putranya.

"I miss you so much!" Brandon menggendong Nino sebelum menciuminya. Rose merentangkan tangan dan Brandon meraih tubuhnya, menghujani kecupan di pipi, kening, dan bibir.

          "Welcome to my hometown," ucap Rose.

            “Aku nggak nyangka bisa balik ke sini. Mama pasti seneng kalau tahu aku datang ke kampung halaman Daddy,” ucap Brandon.

            Rose tersenyum sebelum kembali merangkul kakak tirinya, mengajak ke arah dimana mobilnya terparkir. Wanita beranak tiga itu, melajukan mobilnya membelah jalanan kota Solo. “Aku mau ke Melbourne minggu depan.”

            Mendengar sang ibu berkata begitu, Nino segera menyahut. “Aku mau sama Daddy. Jangan titipkan aku ke Papa.”

            Ada senyum terukir tipis di bibir Brandon sementara kerut terlihat di kening Rose. “Nino, mami atur jadwal dengan papamu, kalian bertiga akan tinggal dengan Papa selama mami pergi.”

            Nino baru akan mengucap rentetan protesnya, tetapi Brandon sudah menyela. “We can go together, Mommy, daddy, and you, my boy.”

            “What? Hey, Bran, I—“

            “Yeyey! We go on trip to Aussie! Yeyeyy!” seru Nino. Brandon mengode Rose untuk tidak mematahkan semangat Nino.

            Mobil jenis hatchback berwarna merah milik Rose yang dibelikan sang kekasih akhir bulan lalu itu kini memasuki parkiran RR hotel, dimana Brandon akan tinggal selama berada di Solo. Hotel yang sama dengan hotel tempat Gendhis menginap. Rose agak terkejut saat mendapati wanita yang khas dengan sanggulnya berada di lobby.

            “Roseanne?”

            Rose tersenyum saat mendengar ipar dari kekasihnya menyapa. “Hai, Gen, aku kira sudah pulang ke Jogja.”

            Gendhis tersenyum. Senyum yang hanya ia gambar pada orang-orang tertentu saja. “Ini siapa?” tanya sang wanita.

            “My Brother, Brandon. Dia baru datang untuk memastikan adiknya baik-baik saja atau tidak, di sini,” ucap Rose. Brandon mengulurkan tangan pada Gendhis. Keduanya saling sapa dengan wajah pura-pura ramah masing-masing. Gendhis dan Rose berbincang ringan sebelum keduanya berpisah. Gendhis sedikit bersyukur karena ia tepat waktu, membatalkan janji pertemuan dengan Kinza dan Wisang. “Untung tadi aku cancel, coba kalau nggak, bisa runyam kalau si janda itu tahu Wisang datang sama Kinza.”

            Gendhis, mengubah tempat pertemuannya di sebuah kafe, tak jauh dari pusat kota. Ia melakukannya karena bosan dengan makanan hotel. Wanita itu mengendarai mobil sedannya, meninggalkan hotel.

            Sementara itu, Wisang dan rombongannya sudah sampai di tempat, dimana Gendhis mengajak untuk bertemu. “Bu Gendhis kenapa tiba-tiba minta pindah tempat, Pak?” tanya Kinza memastikan.

            “I don’t know,” jawab Wisang singkat sembari mengutak-atik ponsel. Kinza kembali terdiam. Noah yang tertidur di gendongannya menggeliat, mencari posisi ternyaman.

            “Sini, biar saya gendong Noah.”

            “Tidak apa-apa, Pak. Kasian kalau dipindah-pindah malah kebangun nanti, capek kayaknya dia.” Kinza menyeka peluh sang bocah, menyibakkan poni di rabut coklat gelap itu.

            “Kinza, i wanna ask you something, about you and Abimanyu. Apa kalian benar mau menikah?”

            Saking terkejutnya dengan pertanyaan yang tak ia sangka itu, Kinza menatap lurus pada lawan bicara yang duduk di seberang meja. “Mm ... maaf, Pak, memangnya kenapa, Pak?”

            Wisang menggeleng cepat. “Tunggu, jangan salah paham, saya bukan kepo atau apa. Tapi saya penasaran bukankah Abimanyu jauh dari kesan agamis? Sedang latar belakang keluargamu sangat agamis. Apa iya seorang kyai Bahruddin mengijinkan putrinya menikah dengan laki-laki biasa?”

            Kinza tersenyum sembari menundukkan kembali pandangannya. “Oh,” responnya.

            “Sorry,  saya hanya penasaran. Bukankah akan timpang nanti. Well, kalau kamu bukan putri kyai, saya bisa simpulkan semua ini semata-mata karena uang. Ya, karena Abimanyu berasal dari keluarga kaya, tapi karena saya tahu karaktermu, jelas harta, tahta, rupa, bukan dasar dari pemilihan pasangan hidupmu, kan?”

            Wisang tengah menjalankan misinya. Ia ingin Kinza sadar jika gadis itu beda kasta dengan Abimanyu, berharap Kinza akan mundur tanpa harus ia singkirkan. Namun, seperti apa yang ia katakan, jika menilik tentang latar belakang keluarga Kinza, jelas tak mungkin, harta dan tahta Abimanyu yang akan menjadi acuan utama diterimanya dia di hadapan keluarga Kinza.

            “Saya ... saya juga belum tahu, Pak. Wallahu alam. Jodoh itu hak paten Allah. Saya hanya bisa berharap yang terbaik, siapapun yang dipilihkan untuk saya, akan saya terima dengan senang hati dan penuh rasa syukur.”

            Wisang menatap Kinza. “Abimanyu itu kurang pengalaman soal cinta. Kamu juga. Saya tidak bisa membayangkan jadi apa kalian nanti? Astaga, pasti bakal weird.”

            Tanpa angin tanpa hujan, Kinza tiba-tiba tertawa. Ia tak tahu kenapa ia merasa ucapan Wisang terdengar sangat lucu. Sementara yang ditertawai bingung. Ia menatap Kinza. “Ada yang lucu?”

            Kinza berusaha menghentikan tawanya. “Mm Maaf, Pak. Kenapa bapak berpikir sejauh itu? Saya saja tidak berpikir sampai sana. Biarlah semua mengalir.”

            “Jadi, kamu juga tidak ada ikatan apapun dengan Abimanyu?”

            “Dalam islam, tidak diperkenankan adanya ikatan semu seperti itu, pacaran, kencan, dan lain sebagainya, sebelum terjadinya pernikahan, itu haram, Pak. Dan saya tidak akan melakukannya. Jadi, bapak bisa menyimpulkan sendiri.”

            Wisang mengernyitkan dahi, ia kemudian tersenyum. “Jadi, kalian tidak ada hubungan, kan?”

            “Ada. Beliau atasan saya, dan saya karyawan beliau, Pak.”

            Obrolan keduanya terhenti saat Gendhis datang. Sena yang sedari tadi menemani Neyna bermain di area bermain anak, melongokkan kepala. “Ratu ular datang,” batinnya.

            Gendhis yang berjalan dengan anggun mendekati. Kinza segera berdiri, sembari menggendong Noah yang masih terlelap. Wisang hanya menggeser posisi duduknya saja. “Kita mau pertemuan bisnis, bukan sedang halal bi halal keluarga, Wisanggeni Prahasta. Kenapa bawa anak-anak?”

            Wisang tak menanggapi serius ucapan itu. “Sulit menjelaskan hal ini dengan orang yang tidak punya anak,” sindirnya.

            Kinza melirik dua orang itu bergantian. “Sepertinya tidak masalah, Bu. Noah tidur, dia tidak akan menganggu.”

            “Apa yang akan Abimanyu katakan kalau tahu kekasihnya sedekat ini dengan laki-laki lain? Sepertinya, kamu sudah dekat dengan anak-anak Wisang, Kinza?” Tawa Gendhis jelas tak bersahabat, meski terdengar renyah.

            “Kenapa memangnya? Apa ponakanmu cemburuan?” tanya Wisang santai.

            Gendhis menunjukkan ponselnya, ada foto Wisang tengah tersenyum dengan Kinza yang ia ambil tadi ketika masuk ke dalam kafe. Ia mengirimnya pada kontak bernama Abimanyu. “Just wait and see, seperti apa reaksinya.”

            Kinza berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. “Maaf, Bu, dari data yang sudah saya kirimkan tadi malam, apakah ada yang ditanyakan? Mengenai pembebasan lahan di area perluasan proyek di Karanganyar.”

            Gendhis malah memanggil pelayan dengan kode tangannya, ia menyebutkan beberapa menu yang sudah ia idamkan dari tadi. Menu terbaik di kafe itu, menurut review dari para netizen di sosial media milik kafe yang ia datangi. Kinza menunggu, Wisang pun sama. Ia malah lebih fokus dengan tabletnya, memantau bisnis di Melbourne, Australia, dan berkomunikasi dengan tangan kanannya di Texas, Amerika,

            “Ada yang lebih penting dari pembebasan lahan. Soal kamu dan Abimanyu.”

            Kinza mengembus napas, ia tak habis pikir kenapa bisa dirinya seolah diserang dengan pertanyaan seputar dirinya dan Abimanyu. Memang sepenting apa hal itu? Bukankah tidak ada urusannya jika memang ia menikah dengan Abimanyu, atau pun tidak.

            “Menjadi bagian dari Dewangga itu tidak mudah. Bahkan Arimbi, ibu Abimanyu pun sampai saat ini tidak diterima di keluarga kami, meski ia berasal dari keluarga yang cukup terhormat, anak seorang dosen. Sedang kamu, hanya seorang karyawan biasa yang pulang pergi kerja naik bis. Penampilanmu? Biasa saja, dan maaf, bahkan ART saya pun punya sepatu dan baju yang lebih mahal dari apa yang kamu pakai sekarang. Harusnya kamu sadar diri, meski Dipta setuju, Arimbi juga dekat denganmu, bahkan kedua orang tua saya menyambut baik kamu, tapi tolong sadar diri, kamu hanya akan mengotori keluarga kami. Kamu hanya akan menjadi noda di keluarga kami.”

            Gendhis cukup keras melancarkan aksinya. Wisang meletakkan gadgetnya di meja. Ia penasaran Kinza akan menjawab apa. Tak ia sangka, gadis itu malah tersenyum.

            “Apa Bu Gendhis berencana memisahkan saya dengan Pak Abimanyu? Saya sadar saya bukan siapa-siapa, tetapi saya pun tak punya kuasa atas takdir. Kalau memang Pak Abimanyu jodoh saya, biasa apa saya? Semua ini Allah yang tentukan, Bu.”

            Gendhis melotot, ia tak percaya Kinza bisa melawannya. “Nggak usah bawa-bawa Tuhan. Hidup kita ya urusan kita. Kamu lebih baik sadar diri, Kinza. Saya peringatkan kamu seperti ini, biar kamu nggak susah nanti di akhir. Biar kamu nggak merana kayak Arimbi.”

            “Bu, terima kasih atas nasihatnya. Saya terima. Tapi, untuk saat ini saya tidak punya alasan untuk menolak Pak Abimanyu jika memang beliau berniat menikahi saya. Selama kedua orang tuanya menyambut baik hal tersebut, orang tua saya juga, semua sudah cukup menjadi dasar saya untuk menerimanya. Karena restu orang tua bisa menjadi salah satu dasar terbaik dalam membangun rumah tangga. Ridho Allah bergantung pada ridho orang tua, bukankah begitu?”

            Gendhis berdecih. Di saat yang sama, Abimanyu datang bak orang kesetanan. “Za! Ngapain kamu di sini? Kenapa nggak nunggu aku dulu, tadi?”

            Kinza terkejut. Noah yang ada digendongannya pun terbangun. “Ayo pulang,” ajak Abimanyu.

            “Bung, saya peringatkan pada anda! Jangan pernah mendekati Kinza dengan dalih apapun. Saya bisa batalkan kerja sama kita kalau anda nekat melampaui batas. Bude, tolong beritahu adik ipar Bude kalau merusuh hubungan orang lain itu tidak baik.” Abimanyu mengambil tas Kinza dan menunggu sang gadis segera berdiri.

            Noah masih dipelukan Kinza. Ketidak sabaran Abimanyu ia perlihatkan dengan mengambil Noah dan menyerahkan pada Wisang. “Mas, jangan kasar sama anak-anak, Noah nggak salah.”

            “Ayo pulang,” bentak Abimanyu sembari menggandeng tangan Kinza pergi.

            Gendhis dan Wisang mengamati gerak-gerik Abimanyu yang seperti orang kebakaran jenggot akibat cemburu.

            “Wisang, kamu cepat bereskan dia! Dia ternyata cukup bernyali melawanku,” geram Gendhis.

            Wisang yang sibuk menenangkan Noah yang ketakutan akibat tingkah Abimanyu hanya menghembus napas kasar.

            “Singkirkan dia sekarang juga! Aku transfer bayaranmu, tapi cepat lenyapkan dia. Bagaimanapun caranya, aku mau dia pergi dari Abimanyu.”

            Sena yang dari kejauhan melihat Noah rewel bertindak cepat, ia segera mengajak Noah untuk bermain dengan kakaknya di playground kafe. Wisang kini bisa kembali fokus pada lawan bicaranya.

            “Mbak mau aku bunuh dia? Dan kita jelas jadi tersangkanya karena kita yang terakhir bertemu dengan Kinza.”

            Gendhis mendengkus. “Kamu bisa mengerahkan anak buahmu, seperti biasanya, merekayasa semua seperti seolah hal itu adalah kecelakaan. Kamu sudah ahli di bidang itu tanpa harus Mbak tuntun kan, Wisanggeni!” Sang wanita berbicara berbisik tetapi penuh penekanan.

            “Akan aku pikirkan cara lain. Toh, tugasku hanya mengenyahkannya kan? Membuatnya jauh dari Abimanyu? Aku bisa membuatnya jatuh hati atau semacamnya. Tapi untuk membunuhnya, aku tidak bisa. Dia bukan anggota gang, dia bukan penjahat, dia bukan lawan bisnisku, dia bukan orang yang layak untuk dihentikan napasnya.”

            “Aku akan membayarmu dua kali lipat dari biasanya! Jangan konyol seperti ini hanya karena aku baru membayar seperempat dari perjanjian kita.”

            Keduanya segera terdiam karena para pelayan satu persatu berdatangan menyuguhkan pesanan mereka.

******



            Abimanyu menyetir bak orang kalap. Kinza sesekali harus mengucap istigfar. “Mas! Bisa lebih pelan?” tanya Kinza.

            “Kamu ngapain pergi sama Wisang? Sudah dibilang, jangan pergi sendiri apalagi sama Wisang dan Bude Gendhis!”

            Kinza menggigit bibir, ia baru kali ini meihat Abimanyu marah. “Kenapa kamu nggak lapor sih? Kenapa nggak ngabarin?!”

            “Mas ... mas, aku bisa jelasin. Aku udah bilang ke Bu Arimbi soal pertemuan kami di luar. Dan kalau soal Pak Wisang, memang tadi mendadak jadi ya, belum sempat kasih kabar. Maaf kalau ... kalau mas nggak berkenan.” Kinza benar-benar ketakutan.

            Abimanyu memukul setirnya. Sejujurnya ia sudah tahu jika Wisang menjemput Kinza, karena saat ia kembali bersama Rauf ke kantor, ia meihat mobil Wisang keluar dari kantornya. Saat ia tanya pada frontliner di kantornya, mereka membenarkan jika Kinza pergi dengan seorang pria. Awalnya, Abimanyu membiarkan saja, ia memang sengaja berakting kecolongan. Saat dikabari oleh Gendhis yang mengiriminya foto Kinza dan Wisang pun, ia malah tertawa.

            Ia senang, pancingannya berhasil. Ia bahkan puas bisa akting dengan sempurna hingga mebuat Gendhis, Wisang, dan Kinza yakin dirinya tengah marah akibat cemburu. Namun, terbersit sesuatu di pikirannya. “Gila, kalau hal ini sampai keulang. Kinza bakal deket sama Wisang dan dia pasti dimanfaatin buat ngorek hal-hal dalam perusahaan. Kinza juga bisa aja malah ngaku kalau nggak punya hubungan apa-apa sama aku. Bisa kacau semuanya!” batin Abimanyu.

            Abimanyu menyadari sesuatu, saat ia melihat tubuh gadis yang duduk di sapingnya berguncang sesekali. Kinza menangis?

            “Za? Kamu nangis?”

            Kinza menghapus airmatanya. Ia takut, sungguh takut. Ada rasa bersalah menjalar di benaknya. “Maafin Kinza, ya Mas.”

            Abimanyu menghela napas. Ia menepikan mobil di area dekat taman kota.

            “Za, maafin aku ya. Aku emosi. Aku ... aku nggak bermaksud buat marahin kamu. Aku ... aku cemburu, Za. Maaf ya. Aku juga khawatir. Aku takut Bude sama Wisang nyerang kamu. Aku khawatir Za. Aku sayang sama kamu, Kinza. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa.”

            Ada suasana berbeda ketika Abimanyu mengucapkan serentetan kata yang ia karang untuk Kinza. Gadis itu menghapus air matanya, meski sesekali masih sesegukan. “Mas ....”

            Abimanyu tersenyum dengan mata penuh penyesalan. “Za, maaf ya. Lain kali tolong kasih tahu Mas kamu mau ke mana, lagi di mana, sama siapa. Ya? Biar Mas nggak khawatir. Tadi, Bude ngobrol apa sama kamu?”

            Kinza percaya dengan segala omong kosong Abimanyu yang memang berhubungan dengan serangan pertanyaan Gendhis dan Wisang tadi. “Bu Gendhis tanya soal kita, Mas. Bu Gendhis mau aku pergi dari Mas. Bu Gendhis nyuruh aku mundur kalau memang Mas mau ... mmm ... itu ....”

            Abimanyu tersenyum. “Apa? Mau apa?”

            Kinza malu, ia tak melanjutkannya.

            “Apa? Mau nikahin kamu?” goda Abimanyu. Akhirnya gadis polos itu mengangguk.

            “Aku bakal nikahin kamu, tapi tunggu aku selesai kuliah dulu. Oke?”

            Kinza malu-malu menatap Abimanyu. “Mas, serius?”

            Abimanyu tersenyum lebar. “Apa aku keliatan main-main?”

            Kinza kembali menunduk, keduanya melanjutkan perjalanan. Abimanyu mengantar gadis itu kembali ke kontrakan yang tak jauh dari GrandMall. “Ya Allah, kenapa Mas Abimanyu semakin ke sini semakin menunjukkan kalau dia serius dengan ucapanya? Kenapa dia bisa semarah tadi? Beginikah rasanya dicemburui?” batin Kinza, menahan sipu.

 ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ


Assalamualaikum

Hai semuaa

❤❤❤

"Aku hanya akan memisahkan mereka, bukan membunuh, Kinza."

-Wisanggeni Dikara Prahasta-

           

 

           

           

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro