Part 8
Aroma parfum keluaran Clive Christian seketika menyapa hidung Kinza. Belum tampak sosoknya tetapi gadis yang baru selesai sembahyang dhuha di pojok khusus ruangannya tahu, siapa yang datang.
Pria itu sudah duduk di kursi. Kinza memang tak menutup pintu ruangan yang sebagian besar sisinya berdinding kaca itu.
"Pak Wisang? Maaf, ada perlu dengan Pak Pradipta atau Pak Abimanyu?"
Gadis itu segera melepas mukenanya. Wisang dengan wajah angkernya menatap Kinza. "Saya sebenarnya ingin bertanya beberapa hal mengenai Dewangga Kingdom. Saya sudah menghubungi Pak Dipta dan beliau melimpahkan ke sekertarisnya, dan itu kamu, kan, Kinza?"
Kinza bergegas kembali ke mejanya. "Betul Pak. Tadi Bu Arimbi sudah menelpon, beliau bilang kalau Bu Gendhis mengundang saya ke alamat yang sudah dibagikan via pesan singkat."
"Ya, saya ke sini untuk jemput kamu karena Mbak Gendhis sangat tepat waktu. Dari sini ke hotel tempat Mbak Gendhis menginap, butuh waktu kan? Kalau kamu naik bus, tentu terlalu lama. Saya tidak mau kamu dapat masalah karena itu. Jadi, saya jemput kamu. Sekalian tolong bawakan file tentang perjanjian kerja samanya. Kemarin saya belum baca, tapi jangan bilang Mbak Gendhis kalau saya minta ini ke kamu. Jangan bertanya alasannya, saya rasa kamu cukup tahu diri batasan apa yang perlu kamu tahu dan apa yang tidak."
Kinza tersenyum. "Baik, Pak. Saya paham. Sebentar saya carikan filenya. Bapak mau yang softcopy-nya atau yang hardcopy?"
"Yang hard juga boleh, kalau ada."
Kinza segera berdiri dan berjalan ke file cabinet-nya. Semua tertata rapi di sana. Wisang melihat setiap dokumen tertata begitu sempurna. Bahkan meja kerjanya pun terorganisir dengan baik.
"Ini Pak, filenya. Mm ... tapi sepertinya saya berangkat sendiri saja, Pak. Saya tidak enak kalau nanti hanya berdua akan menimbulkan fitnah."
Wisang mengangkat satu alisnya setelah menerima satu bendel kertas.
"Kamu takut Abimanyu cemburu? Dia pergi kan? Dia nggak akan tahu kamu pergi dengan siapa."
Kinza tersenyum tipis. "Ini bukan hanya tentang Pak Abimanyu. Ini tentang adab, Pak. Saya seorang muslimah, tidak dibenarkan untuk pergi dengan pria yang bukan mahram saya. Saya bisa order ojek online khusus wanita, Pak."
Wisang mengeluarkan ponselnya. Sebuah nomor yang ia dapat dari Sena ia tekan. Jangan heran, Wisang bukan orang biasa yang tak mempelajari seluk beluk dan kebiasan sang korban sebelum bertindak. Ia sudah mempersiapkannya.
"Assalamualaikum, Mas Abid? Mas ini saya Wisang. Saya mau ajak Kinza untuk bertemu dengan kakak saya, Mbak Gendhis, urusan bisnis. Tapi dia menolak karena saya laki-laki asing. Saya berangkat dengan dua ponakan saya laki-laki dan perempuan, juga driver saya. Apa boleh saya ajak Kinza untuk ikut berangkat bersama?"
Kinza mengerjapkan mata. "Abid? Mas Abid?" gumamnya.
Wisang mengulurkan ponselnya. "Kakakmu mau bicara," ucap Wisang.
"Kakak?" Kinza masih gagal connect. Anggukan Wisang membuatnya segera menerima ponsel itu. Kinza memposisikan kedua tangannya di depan, agar Wisang memberikannya dengan cara menjatuhkan pelan ponsel tersebut di kedua telapak tangan sang dara. Cara yang selalu ia lakukan agar tak bersentuhan ketika memindah tangankan barang dengan lawan jenis.
Wisang menahan tawa. Kenapa gadis yang terlihat sangat dewasa itu bertingkah seperti anak kecil. Memajukan kedua tangannya dengan mata bulatnya yang mengerjap-ngerjap bak boneka.
"Assalamualaikum, Mas?"
"Wa alaikumussalaam. Dek Kin? Kamu mau diajak bareng sama Mas Wisang? Yaudah kalau sama orang lain juga, rame-rame nggak apa-apa. Yang penting kasih kabar terus ya. Nanti kalau sudah sampai kasih kabar Mas, ya?"
"Nggih, Mas. Aku pamit berangkat ke tempat Bu Gendhis dulu, nggih, kalau gitu. Salam kagem Abah kalih Ummi."
"Yowis sana. Nanti tak sampaikan. Hati-hati ya. Besok malem jangan lupa ke sini. Kamu yang mimpin khataman. Ummi masuk angin, suaranya hilang, batuk dari kemarin."
"Nggih, Mas. Assalamualaikum warahmatullah."
Jawaban salam terdengar dan Kinza mengembalikan ponsel pada sang pemilik.
"So? Boleh, kan?" tanya Wisang. Kinza mengangguk. "Iya, Pak, boleh."
"Saya sama Noah dan Neyna. Sekalian jemput mereka sekolah, tadi. Kalau gitu ayo berangkat. Jangan sampai Mbak Gendhis marah kalau kita telat."
Kinza segera mematikan PC-nya dan mengambil tas sebelum mengikuti Wisang keluar ruangan.
"Mbak Kinza mau keluar?" tanya salah satu petugas kebersihan yang sudah terlihat berumur.
"Nggih, Pak. Mau ketemu sama kakaknya Pak Dipta di luar. Pak, titip ruangan nggih, belum saya kunci. Sama ini, titip buat cucunya."
Kinza mengulurkan amplop yang memang sudah ia persiapkan. Sang penerima mengucap syukur.
"Alhamdulillah, kok dua Mbak?"
"Satu buat Pak Haryo. Buat beli kopi," ucap Kinza sembari tersenyum ramah.
Wisang hanya meliriknya. Keduanya masuk ke dalam lift bersamaan. Kinza tak ragu masuk karena ia tak mau dibentak si manusia angker itu kedua kalinya seperti kejadian kemarin.
Saat keluar dari lift, ia bertemu dan officeboy yang terlihat masih sangat belia. "Lukman! Sini!"
"Dalem, Mbak Kinza."
"Nih, sana jajan."
"Alhamdulillah, semoga jadi amalnya, diterima sama Allah ya Mbak. Sering-sering ya Mbak. Tiap Jum'at kasih jajan ke saya sama temen-temen," ucap Lukman gembira.
Tak hanya Lukman, dua anak perempuan yang juga menjadi petugas kebersihan di sana ikut disalam tempel oleh Kinza.
"Kamu cosplay jadi Santa?" tanya Wisang ketika ia kembali berjalan beriringan dengan Kinza.
"Santa? Oh, itu, ng ini kan hari Jum'at, Pak. Saya terbiasa berbagi dengan kadar sedikit lebih banyak dari hari biasanya. Ya cuma sedikit, tapi melihat senyuman mereka, rasanya luar biasa. Saya jadi ketagihan untuk terus bersedekah, lagi dan lagi. Kadang lima puluh ribu untuk kita paling cuma bisa buat beli bensin, kadang habis untuk secangkir kopi. Tapi untuk yang benar-benar membutuhkan, bisa jadi sumber kehidupan selama seminggu untuk beberapa nyawa, Pak."
Wisang mendengarkan penjelasan dari wanita bertutur lembut itu.
"Kamu bisa bicara panjang lebar juga, ya? Aku pikir kamu nggak normal."
Seketika Kinza terdiam dan kembali menunduk. Wisang mencebik. "Dasar Kinza Mimosa Pudica."
"Hm? Maaf? Saya, Pak?"
"Iya, Kinza Mimosa Pudica."
"Nama saya, Kinza Mahdiya Putri, Pak."
Wisang membelokkan langkah kaki menuju parkiran samping. "Ya, tapi kamu seperti Mimosa Pudica Linn. Putri malu. Kalau dilihat dari jauh, biasa saja. Tapi begitu ada yang mendekat langsung tertutup. Menunduk terus itu kepalamu."
"Bapak dulu anak Ilmu Alam ya? Kenapa bisa hafal nama latin dan nama otot-otot tubuh seperti kemarin?"
Wisang tiba-tiba tertawa. "Dasar orang Indo. Apa-apa dihubungkan ke IPA dan IPS. Kamu pasti anak IPS ya?"
"Kok bapak tahu?"
"Anak IPA di Indo terkenal cupu, kalau anak IPSnya terkenal goodlooking. Dan, sepertinya untuk ukuran orang Indo kamu lumayan juga," ucap Wisang.
"Papa! Papa!" Teriakan Noah dan Neyna terdengar.
Beruntung! Ya sangat beruntung! Wisang baru sadar ia telah melontarkan hal yang chessy. "Damn! Kenapa aku bisa keceplosan sih? Gimana kalau Kinza menganggapnya serius?" batin Wisang.
Neyna dan Noah yang meminta gendong Wisang menyadari keberadaan Kinza.
"Auntie cotton candy?!" Neyna menunjuk Kinza.
"Hai, kita ketemu lagi, ya? Wah, pulang sekolah ya? Sekolah di Afsheena? Muridnya Miss Sabira dong?" Kinza melihat seragam dua bocah itu.
"Miss Sabira? Auntie kenal Miss Sabira?"
Kinza mengangguk. "Kenal banget, Miss Sabira tinggal di pesantren Abahnya Auntie. Mmm ... Papanya Auntie. Jadi kayak islamic boarding school gitu. Tapi Miss Sabira sudah lulus, cuma masih bantu-bantu di rumah Papanya Auntie."
"Really?" tanya Neyna.
Tanpa segan, Neyna meminta turun dari gendongan Wisang dan menggandeng Kinza sembari bercerita. Noah pun ikut-ikutan kakaknya. Ia menggandeng Kinza di sisi yang lain.
"Ayo masuk dulu, baru cerita lagi. Kalian mau ikut ke tempat Nenek Gendhis atau mau diantar pulang dulu?"
"Ikut! Ikut! Auntie ikut kan?"
"Iya, Auntie dan Papa, juga Nenek Gendhis, bekerja sama-sama. Kami mau urus pekerjaan." Kinza menjelaskan. Ia takut jika nanti bocah-bocah ini salah paham dan bercerita yang tidak-tidak pada ibunya.
Neyna dan Noah duduk bersama Kinza di belakang. Wisang duduk di samping Sena yang sedari tadi mengajaknya bicara tanpa suara.
"Cewek spek surga, Bos," ucap Sena tanpa suara.
Wisang tak menggubrisnya. Ia sesekali mendengar Kinza menanggapi ocehan Neyna.
"Auntie, pakai kain kayak gini di kepala panas nggak?"
"Ini? Jilbab? Enggak panas, Sayang. Kan ada banyak pilihan kainnya. Pilih yang nyaman."
"Kenapa Auntie pakai jilbab?"
Kinza tersenyum dan membelai kepala si bocah cilik.
"Jilbab itu, kalau menurut keyakinan Auntie, adalah salah satu bentuk perlindungan Allah, untuk perempuan. Allah sayaaaaang banget sama kita. Laki-laki, perempuan, semua Allah sayang. Tetapi, perempuan, seperti kita, punya keistimewaan. Kita dibuat dengan penuh kasih sayang, sehingga lahir dengan kecantikan yang begitu sempurna. Nah, biasanya barang yang cantik, kan rawan dicuri, diambil, disukai, sama orang, kan? Maka, Allah, memerintahkan setiap perempuan, untuk menutup auratnya. Agar tidak dijamah tangan-tangan yang tidak berhak atas dirinya."
Neyna berpikir. "Maksudnya?"
Kinza terkikik. "Jadi gini, mmm Neyna suka sama boneka hello kitty kan? Ini kayak gini. Kalau misal Neyna suka, berarti Neyna pengen beli dong karena bonekanya gemesin. Ya kan?"
Neyna mengangguk.
"Nah, boneka ini, saking cantiknya, gemesin, lucu, semua orang pengen pegang, pengen meluk, pengen cium. Misal ada dua hello kitty, satu masih diplastik, dan satu enggak. Neyna milih yang mana?"
"Yang mana aja sih," ucap Neyna santai.
"Coba pikir lagi, kalau yang nggak dibungkus kan kecenderungannya udah dipegangin orang, diciumin orang. Gimana? Kuman-kuman di tangannya pindah, ada virusnya juga, apa nggak jijik? Nah kalau milih yang ada plastiknya, insyaallah kan lebih terjaga. Setidaknya meminimalisir kotoran yang menempel. Orang kalau mau peluk, harus beli dulu. Bukan cuma asal lewat boleh pegang, kan?"
Neyna kemudian mengangguk-angguk. "Iya juga ya Auntie. Jadi kalau mau peluk Auntie harus beli dulu?"
Kinza tertawa. Sena ikut terpingkal. "Nggak gitu konsepnya, Princess Ney! Kalau mau peluk Auntie, yang cowok-cowok, misal Papamu atau Om, harus nikah dulu sama Auntie baru boleh pegang. Gitu. Itu baru namanya halal. Sah. Boleh dipegang. Bukan beli bayar, bukan. Tapi menikah."
"Ooooh I See ... Aku mau juga seperti Auntie, biar aku nggak kotor kena virus dan bakteri."
Kinza mencium pipi Neyna. "Masyaaallah, tabarakallah. Anak saleha," puji Kinza.
"Auntie, I'm sleepy," ucap Noah. Kinza memangku anak laki-laki itu, dielusnya kepalanya pelan. Neyna masih mengobrol dengan Sena dan sesekali merusuhi Wisang.
Sholawat lirih terdengar dari bibir Kinza. Wisang meliriknya dari spion.
"Apa aku bisa menyingkirkan dia?" batin Wisang.
Ia baru saja membuka pesan dari Gendhis. "Lenyapkan Kinza sekarang! Romo sudah menelpon, Abimanyu akan melamarnya bulan depan! Bunuh dia sekarang juga!"
Begitulah isi pesannya.
Wisang melonggarkan dasinya. "Harus dengan cara apa aku membunuhnya?"
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaaa
Gimanaa???
Mau bilang apa sama Wisang?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro