Part 7
Azan subuh berkumandang. "Wake up, Mas. Wake up."
Pria yang tengah terlelap itu seketika terbangun. Ia membuka matanya. Semalam, ia pulang dalam keadaan sadar. Sangat sadar, karena bir lokalan yang disuguhkan Gendhis tak akan berpengaruh padanya.
Ia mencoba menajamkan pendengaran. "Hayya Alash Shalah!"
Suara muadzin terdengar merdu. Pria itu terlihat bingung. Baru saja ia mendengar suara merdu seorang wanita. Lembut sekali. Tapi hanya ada bocah berumur tiga tahun, Noah dan si lima tahun, Neyna yang entah sejak kapan ikut tidur di sana.
Wisang mengecup satu persatu bocah itu. Ia menggeser tubuh pelan, memposisikan Noah di samping tembok dan Neyna di sebelahnya, sebelum ia turun perlahan.
"Suara siapa?" gumamnya.
Tak biasanya ia bangun jam segini. Hanya untuk waktu tertentu dan mendesak saja dia bangun sepagi ini. Dilihatnya suasana pagi itu dari jendela. Tampak beberapa laki-laki berjalan menuju ke bangunan berkubah emas di ujung komplek.
"Papa? Papa liat apa?"
Neyna terbangun. Ia turun dari ranjang dan berjalan mendekati calon ayah sambungnya. Ia melongokkan kepala.
"Liat orang. Mau ke masjid."
"Masjid? Mosque? Kata temen sekolahku, masjid itu rumah Tuhan. Tapi pas Neyna ke masjid, Neyna nggak ketemu Tuhan."
Wisang terkekeh, digendongnya bocah itu. "Tuhan tidak hanya di masjid. Tuhan ada dimana-mana."
"Papa pernah ketemu Tuhan?" tanya Neyna sembari menatap Wisang.
Pria itu tersenyum. "Mmm ... Sepertinya papa terlalu nakal, jadi Tuhan nggak mau ketemu papa."
Kening Neyna berkerut. "Tuhan nggak mau ketemu Papa? Kalau gitu aku mau cari Tuhan dan aku mau bawa Tuhan ketemu sama papa. Kata teman dan guruku Tuhan baik. Tuhan akan mengampuni semua dosa manusia. Yang nakal asal udah janji nggak nakal, pasti Tuhan sayang."
Wisang menciumi pipi gadis cantik bermata biru itu.
"Papa, temenku punya mukena. Tapi aku nggak punya. Kata mami, mami nggak tau cara pakainya jadi buat apa beli. Tapi aku pengen. Kalau di sekolah temen-temen salat, aku cuma liat."
Mata cantik itu mendadak berkaca-kaca, membuat hati Wisang bergetar. Sungguh polos dia.
"Neyna mau mukena?"
Gadis itu mengangguk. "Mau Pa! Mau!"
"Nanti papa belikan. Tapi, Neyna harus janji, kalau Neyna punya mukena, Neyna harus pakai itu. Neyna harus tanggung jawab dengan pilihan Neyna. Ya?"
"I swear!" ucap sang gadis cilik sembari membentuk huruf V dengan jarinya.
"Ya sudah. Sana tidur lagi. Papa mau mandi. Hari ini, papa harus berangkat pagi."
"Tapi, nanti papa jemput Neyna dan beli mukena kan?"
Wisang mengangguk. "Oke. Nanti jam sepuluh, Papa jemput kamu dan Noah."
Gadis cilik itu mengecup pipi Wisang sebelum turun dari gendongannya. Bukan naik ke ranjang lagi, dia malah menghidupkan lampu di meja belajar dan membuka buku. Wisang terkekeh. Ia seolah mengingat dirinya saat kecil. Itu adalah kebiasaannya ketika bangun tidur, membaca buku pelajaran yang nanti akan diajarkan di sekolah.
Pria itu mengambil handuk dan segera masuk ke kamar mandi. Saat ia selesai, pembantu rumah tangga Rose baru pulang dari masjid. Pasangan suami istri itu menyapa Wisang.
"Pak, sudah siap-siap berangkat?"
"Ya. Mbok, minta kopi ya. Sama Neyna sudah bangun, tolong bikinin dia susu. Dia di kamar."
"Baik, Pak."
Wisang menunggu di meja makan sembari mengecek tabletnya. Ada beberapa laporan masuk dari rekan bisnisnya di Melbourne. Jangan tanya bisnis apa, yang jelas ini bukanlah bisnis yang halal dilakukan. Penyelundupan barang, jual beli barang rampasan dan curian, dan bisnis gelap lain sudah ia jalani sepuluh tahun belakangan. Sejak ia dikenalkan oleh rekannya di Amerika dulu.
Ia tak peduli halal haram. Asal pekerjaan itu menggembungkan kantong dan menambang pundi-pundi uangnya, kenapa tidak? Namun, hidupnya tak seratus persen tenang. Dalam melakoni bisnisnya, beberapa kali Wisang harus menyingkirkan lawan bisnis maupun para traitor yang mengancam usahanya.
Selalu ada pistol dan belati di saku jasnya. Bahkan, selama ini, ia tak pernah benar-benar tidur. Kalaupun ia tidur, ia akan bersembunyi di salah satu tempat. Berpindah-pindah, takut jika sewaktu-waktu musuhnya akan menyerangnya dikala ia tidur. Bagi Wisang, tidur adalah musuhnya. Ya. Karena di saat tidur, ia lemah dan lengah.
Kepulangannya ke tanah air pun, salah satu imbas dari kelelahan dirinya menjalani bisnis di dunia hitam. Ia berharap memulai kehidupan baru bersama Rose dan anak-anaknya. Meninggalkan dunia mengerikan dan menjemput kehidupan normal sewajarnya manusia.
Namun, tak serta merta ia bisa meninggalkannya. Karena banyak orang yang takut jika Wisang keluar dari perkumpulan pebisnis gelap, maka ia akan membongkar sindikat itu pada pihak penegak hukum.
Salah satu orang yang berpikiran seperti itu adalah Brandon. Kakak tiri dari calon istrinya, Rose. Ayah Rose menikah dengan ibu Brandon ketika mereka masih sama-sama sekolah di tingkat junior highschool.
Brandon begitu membenci Wisang. Terlebih ketika Brandon tahu jika adik tirinya memiliki hubungan lebih dengan sang lawan bisnis.
Wisang pernah, menyerang Brandon ketika pemuda itu tengah bersama ibunya hingga menyebabkan kematian sang ibu. Begitu benci, Brandon pada Wisang. Belum lagi ketika ia kalah diperebutan tender besar di salah satu perusahaan konstruksi di Texas.
Mata Wisang menyipit ketika ia mendapatkan pesan dari Danial.
"Boss, Brandon terbang ke Indo pagi tadi. Kami sudah tutup mulut, tapi, Nino yang telpon. Dia yang kasih info. Apa saya harus ikut ke sana?"
Wisang membalasnya, menyuruh Danial tetap tinggal dan mengawasi bisnis mereka di sana.
"Monggo, Pak." Secangkir kopi disuguhkan sang pembantu.
"Makasih, Mbok," ucap Wisang.
Pria itu kemudian menelpon Sena. Ia meminta dijemput pagi ini, ada hal yang harus ia selesaikan sebelum musuh besarnya merusuh.
"Sen, jemput aku. Aku harus menyelesaikan tugas Mbak Gendhis sekarang."
"Ha? Sekarang, Bos? Ini orangnya sedang di sini. Saya sudah di sini, di masjid Baitussalaam. Ada target di sini. Sesuai perintah Bos."
"Kirim fotonya. No picture, hoax."
"Ah sebegitunya. Ya sudah, sepuluh menit lagi saya datang."
"Hm. Nanti jemput Neyna dan Noah jam sepuluh kurang seperempat."
"Bos, kita ini mafia, bukan baby sitter. Kenapa malah sekarang kita jadi bolak-balik ke kindergarden sih Bos? Mafia kok disuruh momong anak."
Wisang sudah hafal dengan cara bicara Sena, sehingga ia tak tersinggung. "Shut your mouth off. I give you ten minutes. Kalau kamu telat, potong gaji."
Sena mengumpat di ujung telepon sementara Wisang terkekeh. Setelah memutuskan sambungan telepon, ia mendapat sebuah kiriman gambar dari Sena. Sebuah foto yang menampakkan sosok Kinza tengah bermain dengan kucing.
"Aku candid dengan extra zoom yang luar biasa. Harusnya foto ini mahal. Tidak bisa sembarang orang bisa ambil foto sebagus ini."
Sena masih saja membual, Wisang tak menggubrisnya. Tujuannya hari ini hanya satu. Merebut Kinza dari Abimanyu. Menjauhkan dua orang itu, apapun caranya.
"Kinza, semoga kamu mau bekerja sama dengan baik. Agar aku nggak perlu melenyapkanmu. Putri malu, mohon kerjasamanya. Aku butuh uangnya dan kamu hanya perlu menyingkir dari hidup Abimanyu."
****
Hari Jum'at, hari pendek yang entah kenapa sangat ditunggu para buruh korporat. Semuanya sumringah hari ini. Langkah Kinza pun ringan menyusuri lobby setelah turun dari bis kota yang mengantarnya sampai ke halte depan kantor.
"You're my angel ... Angel baby angel ... You're my angel baby ... Baby you're my angel."
Suara merdua terdengar dari sosok yang sengaja menunggu di sofa lobby.
"Pak?" Kinza menyapa ragu. Abimanyu tersenyum lebar. "Hai, cantik."
Beberapa karyawan yang berlalu lalang melirik. Mereka saling berbisik. Gelagat Abimanyu memang cukup menggambarkan jika ia sengaja ingin para pekerjanya tahu jika ada sesuatu antara dirinya dan Kinza.
Cokelat berpita di tangan Abimanyu kini diulurkan pada Kinza.
"Tolong pencetin liftnya, ini bayarannya."
Kinza berusaha untuk menetralisir perasaan tetapi ia tak bisa menyembunyikan rasa malunya. Ia hanya mengucap terima kasih dan menerima pemberian Abimanyu sebelum dirinya kembali berjalan menuju lift.
Ia menekan tombol di sana. Keduanya menunggu hingga pintu terbuka. Ada Rauf menyusul setengah berlari.
"Bim!" panggilnya pada Abimanyu. Kinza reflek membuka kembali pintu lift, mempersilakan Rauf masuk.
Setelah pintu tertutup Rauf dengan wajah tegangnya bercerita. "Bim, beneran ada yang nguntit aku sama Tata. Kayaknya mending aku terima tawaran Pak Dipta untuk urus cabang di Semarang. Mas Yusuf kemarin juga bilang dia bakal backup kantor dari Jogja. Kayaknya kali ini Bu Gendhis nggak main-main. Dia sengaja mau memecah brlah kita."
"Tapi, kamu sama Tasha nggak apa-apa kan?"
"Istriku takut. Dia sampai nyuruh aku resign aja. Dia denger dari mantan atasannya dulu kalau ada yang sengaja nyari info soal dia ke sana. Ke Hwang Group. Aku nggak bisa ambil resiko. Apalagi sekarang kami punya anak bayi. Aku mau minta kebijakanmu, apa boleh aku pindah ke Semarang. Sampai semuanya kembali normal."
Mendengar pujaan hatinya terancam, Abimanyu berang. "Oke, Uf, yang penting Tasha sama anak kalian aman. Kamu harus janji jaga Tasha."
Tak mudah memang untuk seorang Abimanyu melepaskan sosok Tasha Aluna. Meski ia tahu jika Tasha kini sudah kembali menjadi istri sah Rauf, sahabat sekaligus tangan kanannya.
Ya, semua ini berawal dari pertemuan Abimanyu dan Tasha sebagai rekan bisnis. Abimanyu jatuh cinta pada Tasha. Ia tak tahu jika Tasha adalah mantan istri dari tangan kanannya, Rauf. Rauf dan Tasha yang mengerjakan proyek dari Abimanyu secara bersama-sama, malah menemukan jalan untuk kembali bersama.
Abimanyu sejujurnya tak rela melepas Tasha tetapi begitu besar cintanya membuat ia akhirnya merelakan Tasha untuk kembali pada Rauf. Meski sampai saat ini dia masih sangat mencintai Tasha.
"Kinza, kamu aman-aman aja kan? Ada yang nguntit kamu juga?"
Kinza menggeleng. "Nggak ada apa-apa, Pak."
Abimanyu mendekati Kinza sebelum berbicara dengan Rauf. "Kamu jaga Tasha, Yusuf jaga Ayun, dan dia punyaku."
Kinza menundukkan pandang ketika Abimanyu memangkas jarak dengannya.
"Alhamdulillah, halalkan dong. Biar jelas. Tasha harus tahu nih," ucap Rauf sambil tertawa.
Abimanyu terkekeh. "Ya, memangnya cuma kalian yang bisa bahagia. Aku juga bisa," tukasnya.
Kinza hanya diam. "Ya Allah, apa Mas Abimanyu serius? Apa benar ucapannya semalam? Ya Allah, dekatkanlah jika memang Engkau menginginkan kami bersama, jika tidak, jauhkan dia sejauh mungkin. Wahai Dzat pembolak balik hati."
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaa
❤❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro