Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 6

           

            Lampu kamar sudah diganti redup. Selimut sudah menyembunyikan tubuh sampai ke dada. Posisi sudah sangat nikmat untuk tidur tetapi Kinza masih saik dengan ponselnya. Sabira yang malam ini tidur bersamanya, mendadak kepo.

            “Chatting sama siapa sih, Kin?”

            “Atasanku Ra. Anaknnya bosku.”

            “Yang namanya Abimanyu itu? Kok aneh sih Kin, kenapa dia chat sekertaris bapaknya? Ada apa̶ apa pasti ya?”

            Kinza menggeleng, tetapi ia tak bisa menahan senyumannya. Bagaimana tidak, Abimanyu tengah mengirimkan chat yang membuat si anak baik-baik mendadak salah tingkah.

Pak Abimanyu

[Kinza, kau belum tidur ya?]

Kinza Mahdiya

[Belum Pak, memang kenapa?]

Pak Abimanyu

[Oh, pantes, bintang-bintangnya nggak muncul malam ini.
Pada minder sama kamu.
Takut kesaingan cantiknya.
Atau memang karena mataku udah rusak ya?
Nggak bisa ngeliat yang lebih cantik dari kamu
Karena memang nggak ada yang lebih cantik dari kamu]

Kinza Mahdiya

[Pak, leluconnya mohon dikondisikan]

Pak Abimanyu

[Udah dibilangin jangan manggil Pak.
Panggil Mas dong. Kita lagi nggak di kantor.
Atau jangan-jangan kamu udah ngebet banget
Mau jadiin aku bapak dari anak-anakmu?
Mau dihalalin sekarang, hm?]

Kinza Mahdiya

[Astagfirullah Mas, jangan gitu dong
Bercandanya serem]

Pak Abimanyu

[Emang siapa yang lagi bercanda?
Aku serius. Cuma kalau disuruh halalin
Tunggu bentar ya, aku kelarin sekolahku dulu.
Dua bulan lagi aku kan balik ke Inggris
Nanti kalau memungkinkan semuanya aku percepat deh]

Kinza Mahdiya

[Mas, ini skenario baru apa gimana?
Aku nggak paham.
Ini bagian dari pura-puranya kita kan?}

Pak Abimanyu

[Kinza, setelah aku pikir-pikir
Daripada berdosa
Daripada pura-pura
Mending kita beneran aja, gimana?
Kamu udah deket sama orang tuaku
Kamu tahu betul keluargaku
Tinggal aku yang datang ke rumahmu
Gimana?]

Kinza Mahdiya

[Maksudnya, Pak?]

Pak Abimanyu

[Kamu udah siap membina hubungan serius kan?
Siap nikah?]

            Kinza menutup mulutnya, ia menyerahkan ponsenya pada Sabira yang setia menunggu di sampingnya demi mecari berita teraktual yang bisa ia dapat sebelum tidur malam ini. “Ra, aku ngimpi nggak? Dia bercanda kan?”

            Sabira membaca kolom pesan itu. Sesekali matanya mebulat, bibirnya memekikkan ‘cie .. cie’. Kinza meraih botol minum di samping jendelanya kemudian meneguk tiga kali.

            “Kin, dia chat lagi nih. Kinza, kok nggak bales, udah bobok ya? Ya udah besok lagi. Sampai jumpa di kantor, bidadari surga. Kalau ketemuan di mimpi dosa nggak sih? Hehe, soalnya udah kangen nih. kebayang-bayang kamu terus. Maaf ya Kinza, aku nggak bisa bohong kalau aku ada rasa sama kamu. Met bobok sekertaris ayahku yang cantik dan saleha.” Sabira membacakan pesan di sana.

            “Astagfirullah! Kin, dia beneran suka sama kamu, Kin! Bener kan tebakanku! Pasti ada apa-apanya. Tapi kenapa ya? Kok bisa?” tanya Sabira.

            Kinza mengusap wajahnya beberapa kali. “Kayaknya aku halu, Ra. Aku butuh diruqyah. Besok pagi kita berangkat subuh ya, aku mau minta diruqyah Mas Abid.”

            “Tak laporin ke Gus Abid ya?” Sabira menggoda sahabatnya.

            “Eh jangan! Awas jangan macem-macem, bisa diceramahin dari alif sampai ya’ aku!”

            Sabira terkekeh. “Yaudah bales nih chatnya ayang. Eh tapi jangan sih, dosa loh. Kasian abah sama kakak-kakakmu keseret ke neraka.”

            “Naudzubillahi min dzalik. Wis ayo bobok, kesiangan besok.” Kinza mematikan ponselnya dan memilih tidur.

****

           

            Aroma kopi semerbak memenuhi ruangan berukuran 6x9 meter di lantai dua kediaman Pradipta Dewangga. Tiga orang anak laki-laki kebanggan Pradipta tengah berbincang di sana.Abimanyu, Haikal, dan Aksa, masing-masing duduk di tempat favorit mereka. Aksa menyenggol Haikal, mengode agar melihat ke arah kakak tertua mereka. Haikal menoleh. “Serius amat, Kak. Chat siapa sih?”

            “Bude Gendhis kali,” sahut Aksa.

            “Widiiiih! Horror amat. Eh, Kak, katanya Bunda. Bude melunak akhir-akhir ini? Malah mencurigakan. Bude katanya nanya kapan kakak nikah. Dia juga nanya ke Eka, siapa pacar kakak dan nanya siapa itu Shasa. Dia kepo sama Mbak Shasa?” tanya Haikal.

            Abimanyu meberi kode diam untuk adiknya. “Jangan ada yang pernah menyebut nama Shasa lagi. Sebut dia Tasha. Jangan sampai bude tahu kalau Shasa itu Tasha, bukan Kinza.”

            “Kinza? Wait ... Kak, kakak nggak serius kan? Soal yang kakak ceritain ke aku kemarin?’ tanya Aksa sembari mengubah posisi dari setengah berbaring hingga duduk tegak. Haikal mendekatkan posisinya duduknya ke arah sang kakak. “Ceritain sedetail mungkin!” tuntut Haikal.

            Abimanyu mengembus napas. Ia butuh banyak oksigen mengisi paru-paru untuk menjelaskan serangkaian cerita yang akan ia beberkan.

            “Bude, dia nggak akan tinggal diam kalau sampai aku nikah. Bude pasti tahu kalau aku beneran nikah, dia nggak bakal bisa ngutik-utik posisiku. Aku udah tahu jalan pikirannya. Dia gagal pasang Tamara buat gaet aku, sekarang dia makai Wisanggeni. Aku tahu, dia pasti sengaja jadiin Wisang salah satu investor di DK buat mata-matain aku. Wisang sudah nunjukin itu terang-terangan, dia beberin kalau dia tahu soal Rauf dan Sha— Tasha, dia juga udah nelusurin soal Yusuf sama Ayun. Dia tahu aku kasih dua pasangan itu perlakuan khusus karena kemampuan mereka yang mumpuni. Misal sapai diumbar, dia tahu aku bakal kelabakan. Rauf, Ayun, Yusuf, mereka kan orang-orang terbaikku. DK bisa limbung kalau nggak ada mereka.”

            Haikal, pria yang tengah menunggu kelahiran anak pertamanya itu menatap serius pada sang kakak. “Terus? Apa hubungannya sama Mbak Shasa dan Kinza?”

            “Aku takut, Bude tahu soal Tasha. Kalian tahu secinta apa aku sama dia dan aku nggak bisa move on dari Tasha. Aku takut, aku parno, aku takut Bude sampai tahu hal ini dan pas kejadian kebakaran itu, Rauf kasih info kalau Bude nyebut nama Kinza. Dia pikir, Shasa itu panggilan Kinza. Panggilan sayang yang aku kasih ke Kinza. Dan, aku memanfaatkan itu demi melindungi Tasha.”

            “Astagfirullah! Gila kamu Kak! Kamu cuma mau mainin Kinza? Astagfirullah, dia seupu sohibku loh! Dia anak kyai loh! Jangan main-main kamu, Kak!”

            “I don’t care, yang penting Tasha aman. Buatku, nggak ada orang lain yang lebih penting dari Tasha Aluna, cinta pertama dan terakhirku.”

            Aksa menelan ludah dan menggelengkan kepala mendengar ucapan bucin sang kakak. “Kak, sadar! Dia itu istri orang. Istri sahabatmu sendiri, sekaligus tangan kananmu! Jangan gila, Kak!”

            “Aksa bener, Kak. Istigfar deh, taubat Kak. Coba pikir gimana kalau Bude sampai tega nyakitin Kinza?”

            “Itu bukan urusanku. Aku hanya fokus ke Tasha. Yang penting Tasha aman dan nggak terdeteksi sama Bude.”

            "Nggak bisa gitu, Kak. Jangan jahat dong. Kinza nggak salah."

"Tenang, ini cuma sementara kok. Aku cuma kasih pelajaran sama Bude Gendhis, kasih shock terapi. Kinza juga udah tahu kok, aku kasih dia pengertian dan dia mau bantu. Kami pura-pura ada hubungan. Biar meyakinkan Bude kalau langkahnya menghancurkan hubunganku dengan Kinza, seolah benar. Biar dia kena zonk. Dua bulan ini, aku bakal panas-panasin Bude, biar dia tambah panas. Wisang udah ditugasin buat ngerusuh kami, dan kali ini, aku bakal menang."

Aksa mencoba mencerna ucapan sang kakak. "Kak, tapi beresiko loh buat Mbak Kinza. Apa kakak nggak kasihan sama dia?"

"Aku yakin, Wisang cuma disuruh ngerusuh aja. Nggak mungkin dia sampai disuruh nyerang secara fisik."

"Tapi kamu harus hati-hati, Kak. Bahaya. Kamu harus memastikan Kinza juga aman. Jangan sampai dia kena imbas rencanamu." Haikal mengingatkan sang kakak.

*****



Rumah berlantai dua yang dikontrak oleh Rose selama lima tahun itu menjadi tujuan Wisang malam ini. Sambutan sang kekasih membuatnya sedikit hilang penat. Tubuh mulus sang kekasih terpampang berbalut gaun tidur berwarna putih tulang. Kontras dengan kulit eksotisnya.

Segelas anggur menemani Rose menghabiskan malam.

"Too late," ketus Rose. Wisang paham, ketika sang kekasih sedang begitu, artinya ia sudah menunggunya. Membutuhkan pelampiasan biologis.

"Sorry, Mam. Apa aku akan dapat punishment malam ini?" Wisang membuka kemejanya, berniat mandi sebelum melakukan aktivitas lain malam itu.

Rose yang sudah tak bisa menahan diri langsung menubruk kekasihnya. "Hey! Wait wait! Rosie!" Wisang justru terkekeh mendapatkan perlakuan seperti itu dari kekasihnya yang tengah kesal.

Ia membiarkan Rose melakukan apa yang dia mau.

"Cewek bau surga itu beda sama yang kebuka-kebuka Bos. Beda."

Wisang mengumpat saat ia tiba-tiba mengingat ucapan Sena. Seketika gairahnya padam. Terlebih bayangan kyai Din dan Gus Abid juga berseliweran membuat ia melompat dari atas sofa bed tempat Rose mengungkungnya.

Rose terlihat sudah puas dengan apa yang ia lakukan, tubuhnya mengejang dan nafasnya terengah sembari meneriakkan umpatan seperti setiap kali ia 'trip to heaven'.  Wisang segera menutupi tubuhnya dengan kain pantai yang tadi dikenakan Rose untuk menyelimuti tubuh.

"Enough for tonight, kamu capek kan? Tidur sana. Aku mandi dulu, besok aku harus berangkat pagi."

Rose yang tengah menikmati euphorianya sedikit heran menatap Wisang. "Tapi kamu belum apa-apa."

"Sana tidur. Jadwalmu bulan ini padat. Manfaatkan baik-baik sebelum nanti kita menikah. Kita sudah sepakat kan setelah kita menikah, tinggalkan profesimu ini. Aku nggak mau kamu terus-terusan menjadi model dewasa. Jangan sampai anak-anak nanti kena imbas. Kita sudah setuju stay in Solo so, kita juga harus adaptasi dengan budaya di sini. Pekerjaanmu bukanlah hal yang wajar di sini, Rosie."

Rose mengangguk. Ia mencium kekasihnya.

"Thanks Darl, kamu berpikir sejauh itu. Demi anak-anak. Thank you for loving me, and my kidds."

"Our kids." Wisang mengoreksi. Keduanya tertawa sebelum berpisah.

Wisang segera masuk kamar mandi dan Rose naik ke ranjangnya. Sudah biasa keduanya tidur bersebelahan tetapi malam ini, Wisang entah kenapa lebih memilih tidur bersama Noah.

"Oh Shit! Aku kenapa malam ini? Apa aku kena sihir? Wait, sejak kapan aku percaya sihir? Tapi kenapa aku jadi aneh? Kenapa nggak bisa lanjutin permainan sama Rose?" Wisang yang selesai mandi berjalan ke arah dapur dan mengambil bir kalengan di sana.

Ia yakin jika dirinya mengambil bir kalengan. Namun, ia saat menelannya, justru minuman vitamin C berbulir jeruk yang ia rasakan. Matanya menatap ke arah kaleng itu.

"What the fㅡ"

Wisang menghentikan ucapannya saat melihat sebuah kertas di kaleng itu. Ada tulisan khas anak-anak. "Mommy, Papa, don't drink alcohol again. It's not healthy."

Neyna, dialah pelakunya. Wisang terkekeh, tak jadi ia marah. Ia membuka pintu kulkas bagian atas kembali, beberapa memang benar berisi bir kaleng, tetapi beberapa lagi berganti dengan minuman vitamin C, dan minuman bulir buah.

Pria itu kemudian menenggak minumannya, membuang kaleng di keranjang sampah sebelum masuk ke kamar si bungsu.Rose sempat mencari keberadaan kekasihnya. Ia kesal, tetapi ketika melihat Noah tidur sembari memeluk Wisang, ia tak jadi marah. Ia membiarkan sang putra menikmati pelukan hangat sosok ayahnya.

"I love you so much, Darl. Kamu bisa nerima aku dan anak-anakku. Bahkan kamu tulus cinta sama mereka," ucap Rose sebelum mencium kening Wisang dan putra bungsunya, Noah.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaaa

Gimana? Lanjut nggak?

Nggak ada yang mau nyapa abimanyu?
Wisang?
Kinza?





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro