Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 5

            Bau asap rokok beradu dengan alkohol di seantero ruangan. Bergantian, pria berjambang itu menyecap minumannya dan menyesap rokok di tangan. Wanita di depannya melempar sebuah amplop berwarna coklat. “Beresin secepatnya. Mbak tau, kamu butuh banyak uang kan untuk menghidupi jandamu itu? Dasar, memalukan, kenapa bisa suamiku punya adik nggak berguna kayak kamu. Memilih menikahi janda beranak tiga.”

            Wisang meneguk habis minumannya. Sejujurnya, minuman yang disajikan oleh sang ipar bukanlah kelasnya. Ia yakin, minuman itu sama seperti yang diminum oleh pemabuk pinggir jalan. Suara sengak dari sang kakak ipar tak ia pedulikan. Ia hanya butuh uang dari wanita itu. Akhir tahun ini,ia akan menikahi sang kekasih. Namun, semua itu terhalang dengan keinginan sang istri untuk membeli penthouse serta sebuah villa di kaki gunung Lawu.

            Bukan hanya itu, ia juga harus menyiapkan banyak tabungan untuk ketiga anak Rose. ia benar-benar mencintai wanita itu dan ingin menunjukkan kesungguhannya. Menunjukkan rasa tanggung jawabnya, menjadi ayah sambung dari ketiga anak kekasihnya.

            “Ini baru seperempat?” Wisang menaikkan satu alis.

            Gendhis mengembuskan asap vapornya. “Kamu belum bekerja apapun, hancurkan dulu hubungan keponakanku sayang dengan kekasihnya. Pastikan dia batal menikahi Kinza, dan setelah itu baru aku bayar sisanya.”

            Wisang tahu, Gendhis sangat licik. Hanya Dewanata yang ditakuti wanita itu yang tak lain adalah kakak Wisang. Tak ada hubungan darah memang, karena Wisang tahu dirinya hanyalah anak angkat. Ia bahkan tak tahu siapa orang tua kandungnya. Namun, keluarga angkatnya sangat menyayanginya. Ya, setidaknya mencukupi hidupnya dan membuatnya tak pernah kekurangan materi, meski semenjak sang ibu angkat meninggal ia sama sekali tak kenal indahnya kehangatan keluarga.

            “Harus aku apakan Putri Malu itu?”

            Gendhis menenggak mirasnya sebelum menjawab. “Terserah. Kamu bisa bunuh dia, kamu bisa lenyapkan dia, intinya aku mau dia pergi dari Abimanyu. Aku dengar dari Romo kalau Abimanyu akan bertunangan secepatnya. Itu artinya dia sudah yakin mengajak gadis itu menikah. Kalau sampai Abimanyu menikah, Romo pasti akan segera mengukuhkannya menjadi pewaris! Aku nggak bisa biarin itu.”

            Wisang mengembus napas. “Mbak yakin aku harus membunuh gadis itu? Apa itu nggak berlebihan?”

            “Kalau pacarnya mati, dia pasti akan terguncang. Dan aku punya kesempatan untuk merebut tahta kalau dia lengah. Bisa juga dia jadi nggak berpikir buat punya hubungan baru lagi. Abimanyu itu aneh, dia tertutup, aku tahu dia nggak sebrengsek adiknya yang gonta-ganti pacar.”

            “Mbak, di sini, sasaran utamanya kan Abimanyu, kenapa harus melenyapkan yang lain? Kenapa nggak langsung kita habisi Abimanyu?”

            Gendhis menggebrak meja. “Kamu tolol ha? Kalau Abimanyu mati, jelas semua orang bakal nuduh aku! Karena mereka tahu hanya aku yang nggak dukung Abimanyu. Sementara dua adikku yang lain sudah angkat tangan dan berada di pihak Arimbi. Mereka terlalu lemah, mereka mau saja dijilat Arimbi.”

            Wisang tertawa. “Mbak saja yang kurang kerjaan. Apa kekayaan Mas Dewa, semua aset yang Mbak punya, itu nggak cukup?”

            “Aku nggak rela Romo memberikan perusahaan hasil jerih payahnya ke Dipta. Memang benar dia anak laki ̶ laki satu  ̶satunya, tapi, Dipta pernah mempermalukan keluarga kami. Dia kawin lari dengan Arimbi. Romo dan Ibu sangat malu waktu itu. Namun, begitu cepatnya mereka memaafkan Dipta saat Abimanyu lahir. Seolah Dipta tak ernah membuat kesalahan. Sedangkan, aku serta dua adikku yang lain harus tersiksa dengan pernikahan bisnis yang dirancang Romo untuk kami. Aku benci Dipta dan aku kesal orang tuaku sepicik itu, membedakan kami hanya karena jenis kelamin saja.”

            Wisang mengembus napas, ia memasukkan uang itu ke dalam tasnya sebelum bangkit. “Aku nggak mau tahu soal itu, oke aku lakukan tugasku. Karena bayarannya cuman segini, aku hanya akan sampai ditahap memisahkan mereka saja. tapi kalau Mbak mau sampai aku mengeksekusi Kinza, Mbak tahu kan harus membayarku berapa. Ini bukan kerja sama kita yang pertama.”

            Gendhis sudah terlalu mabuk saat Wisang berjalan pergi. “Kalau kamu ... nggak sanggup. Aku yang akan maju sendiri. Aku ... Aku habisi dia. Calon menantu kesayangan adikku. Aku akan membunuhnya. Agar keluarga bahagia itu, tak lagi bisa pamer ... kebahagiaan bodoh mereka.”

            Wisang acuh pada iparnya. Ia berjalan keluar dari kamar hotel yang disewa oleh sang ipar selama di Solo. Sembari memasuki lift, pria itu mengecek ponsel. Ada beberapa chat dari sang kekasih, mengirimkan tanda hati dan foto seksinya. “I miss your touch.”

            Pria itu menyungging senyum. “Wait for me, my bitch,” batin Wisang. Jemarinya terus memainkan layar ponsel hingga sebuah pesan masuk. Sebuah kontak bernama Mimosa Pudica Linn tertera di layar.

            “Assalamualaikum, Pak. Mohon maaf, saya baru buka pesannya. Untuk hari Jum’at, Pak Pradipta biasanya tidak ke kantor, beliau hanya memantau dari rumah dan pada siang hari beliau akan mengunjungi orang tuanya di Jogja. Selama seminggu nanti, beliau cuti. Tugasnya akan digantikan oleh Pak Abimanyu. Jika ada yang ingin dibicarakan, silakan hubungi saya, nanti saya sampaikan kepada Pak Pradipta maupun Pak Abimanyu. Terima kasih.”

            Wisang membalas pesan itu sembari keluar dari lift. Ia segera menuju ke tempat mobilnya terparkir. Sudah ada Antasena, tangan kanannya yang menunggu di dalam mobil. Tanpa basa ̶basi, pria itu masuk ke mobilnya.

            “Sen, gimana soal nama yang kemarin?” Wisang melepas jasnya melempar ke belakang, kemudian mengambil mouth spray beraroma barleymint untuk menghilanhkan bau alkohol murahan suguhan Gendhis.

            “Oh, yang cewek itu Bos? Kinza Mahdiya, kan?”

            “Iya, kamu sudah dapat datanya?”

            Sena mengirimkan sebuah file pada bosnya lewat aplikasi chat. “Dia anak kyai, pesantren ayahnya di pinggiran kota Bos, arah Sragen. Namanya pondok Baitussalaam. Dia bungsu dari empat bersaudara. Tapi, ngekos di dekat Dewangga Kingdom. Cuma ada info juga kalau selama ini, dia tinggal di tempat lain. Pondok juga tapi kecil, daerah sana, Kartasura.”

            “Jauh dari sini?”

            “Kenapa Bos? Bos mau cek lokasi sekarang?”

            “Not now, Rose sudah nunggu. Seminggu kami sama ̶sama sibuk, jadi mau Qtime.”

            Sena terkekeh. “Mau bikinin Noah adik ya?”

            Wisang terbahak, ia menggeplak kepala Sena. “Sen, misi kali ini, jangan sampai Rose tahu. Aku udah janji sama dia buat nggak main kotor lagi. Tapi, Gendhis maksa. Kamu tahu sendiri tingkah Gendhis. Jangan sampai dia merusak citraku di depan calon mertuaku. Makanya, aku mau kamu diam dan jangan bilang pada siapapun. Lagian ini kasus kecil”

            “Bos, tapi ... Bos nggak akan memindah alamkan Mbak cantik ini kan? Dia anak kyai loh Bos. Jangan main ̶main. Bisa dihujat sama malaikat Bos. Malah kalau ada nanti Bos yang kualat sama dia. Dia deket sama Tuhan Bos, nggak kayak kita, sampah neraka. Dia bau surga Bos.”

            “Bau surga? Memang kamu tahu apa tentang surga, heh?” ejek Wisang.

            Sena melajukan mobilnya tak kencang tapi juga tak pelan. “Kata mama, cewek bau surga itu beda, Bos. Dilindungi sama tuhannya. Kecantikannya itu bukan yang diumbar ̶umbar. Mata penuh dosa kayak kita ini nggak bakal nemuin langsung itu kecantikan bidadari surga. Tapi sekalinya ketemu, hmm, jiwa kita bakal bergetar, tapi yang lebih aneh lagi, kita jsutru mati langkah Bos. Misal kalau sama yang cewek seratus ribuan kita bisa langsung sat set sat set, nah sama cewek spek bidadari surga, kita itu dibuat mati otaknya. Nggak akan bisa kita jamah mereka. Ah pokoknya gitu deh. Beda, Bos, beda.”

            “Sok tahu kamu.”

            “Ih, si Bos nggak percayaan. Coba ya, besok kalau sama Mbak Kinza, bos buktikan sendiri. Liat dia dalem ̶dalem, kenali dia, pasti beda deh sama cewek bos yang lain. Coba aja.”

            Ketika di lampu merah, Sena memelankan laju mobilnya. Di sampingnya ada seorang pria bersorban berboncengan dengan pemuda bersarung. Baru dua detik Sena menetralkan tuas kontrol mobilnya, sebuah benturan keras terdengar. Pengendara motor di samping mobil yang ditumpangi Sena dan Wisang tertabrak mobil dari belakang. Ada dua motor yang terkena imbas.

            “Bos, ngawur nih,” seru Sena. Wisang awalnya cuek, tetapi ia heran ketika melihat pria bersorban yang jatuh dari motor malah berdiri dan menghampiri sang penabrak. Wajah pria itu terlihat khawatir. Wisang membuka kaca, ia mendengar sang pria malah bertanya hal yang menurut Sena aneh.

            “Mas, sampeyan ndak apa ̶apa?”

            Dalam hati, Wisang bertanya ̶tanya. “Ini bapaknya kenapa malah tanya penabraknya kenapa? Jelas dia yang sakit, dia yang dirugikan.”

            Pria itu akhirnya menyuruh Sena minggir. “Sen nepi, aku turun,” ucapnya.

            “Ngantuk Pak saya, maaf ya Pak,” ucap sang pengendara mobil box. Dua korban lain sudah mencak ̶mencak karena merasa dirugikan.

           “Minggir dulu, Bang. Selesaiin dulu. Saya saksi kalau abang yang salah, nabrak bapak ̶bapak ini.” Wisang ikut campur.

            Akhirnya semua yang terlibat minggir ke tepi jalan. Dua korban lain minta ganti rugi karena slebor dan lampu belakang mereka pecah. Sementara pria bersorban tadi malah tidak mau diberi ganti rugi. “Sudah, ndak usah. Alhamdulillah kita semua masih diberikan keselamatan. Lain kali hati ̶hati ya Mas. Istirahat dulu. Kalau ndak punya tempat ampiran, silahkan istirahat di tempat saya. Sudah deket dari sini, di Baitussalaam. Monggo. Dari pada ngantuk nanti berbahaya.”

            “Pak Kyai, mohon maaf. Ustaz mohon maaf,” ucap sang sopir box sambil menangis.

            “Sudah ̶sudah ndak apa ̶apa, namanya juga musibah, Pak. Tidak ada orang yang ingin terlibat dalam kecelakaan seperti ini. Monggo mampir, pinarak di pondok. Bapak istirahat dulu, nanti kalau sudah segar lagi baru lanjut perjalanan.” Abid, pemuda itu menawari.

            Sang sopir truk dan keneknya mencium tangan sang kyai dan sang gus berkali ̶kali karena merasa bersalah. Wisang tertegun, Sena pun yang ikut turun heran. “Loh, Pak ini ndak diselesaikan di kantor polisi?”

            “Ndak usah Mas, cuman gini aja, saya sama bapak ndak apa ̶apa.”

            “Tapi, motornya rusak,” sahut Wisang sembari menunjuk bagian belakang motor bebek milik Abid.

            “Ndak apa ̶apa, Mas. Bisa dibenerin itu. Terima kasih sudah menolong. Oh iya, monggo pinarak ke rumah kami. Sudah dekat kok. Itu pintu masuknya di sana.”

            Sena melongokkan kepala. “Pondok Pesantren Baitussalam,” gumam Sena membaca baliho yang ada tak jauh darinya.

            “Bapak sama Mas ini yang punya pondok?” tanya Sena kemudian.

            Abid tersenyum, sang kyai yang masih berbincang dengan penabraknya tak begitu menggubris Sena. “Punya Simbah saya, sekarang dipimpin Abah saya ini. Saya cuman bantu ̶bantu di sana, ngabdi.”

            Sena menepuk bahu Wisang. “Woh, jadi Mas ini kakaknya Mbak Kinza?”

            Mendengar nama Kinza disebut, kyai Din langsung menoleh. “Kinza? Mas kenal anak saya?”

            Sena membulatkan mulutnya terkejut, benar tebakannya. “Saya nggak kenal Pak, tapi Bos saya yang kenal.”

            Wisang yang disenggol Sena akhirnya mengangguk. “I ̶iya benar, Pak. Saya Wisanggeni. Saya ipar dari kakak bosnya Kinza. Intinya masih keluarganya dengan pemilik Dewangga Kingdom, tempat kerja Kinza.”

            “Oalah, kalau begitu malahane, mari mampir. Main ke tempat kami, Mas. Tapi, Kinzanya di rumah bulik. Ndak di sini. Besok malam Senin, baru ke sini mungkin, ada acara khataman.” Abid begitu ramah pada teman adiknya.

            Wisang memaksakan diri untuk tersenyum. Agak aneh jika ia harus beramah tamah, tetapi keluarga Kinza beraura berbeda. Ia seperti dipaksa untuk menundukkan pandang ektika bersapa dengan mereka. “Monggo, Mas Wisanggeni, mampir dulu.”

            “Sudah malam Pak Kyai. Lain waktu saya mampir. Mohon maaf, saya pamit dulu.” Wisang mengulurkan tangan. Kyai Din menyambutnya sembari menepuk bahu Wisang. Entah kenapa, untuk  pertama kalinya ia bersalaman dan mencium tangan orang yang ia salami tanpa sadar.

            “Barakallah, Barakallah,” ucap sang kyai.

            Abid mengulurkan tangan juga dan memeluk Wisang serta Sena bergantian.

            “Kalau begitu Fii amanilah.” Abid berucap pada Wisang. Pria itu melirik Sena, ia tak paham apa maksud Abid.

           “Amiin Amin, Ustaz, sampai jumpa lain waktu.” Sena sok akrab.

            “Assalamualaikum,” ucap Wisang dengan logat aneh. Ia bahkan tak tahu ada kosakata itu di dalam memorinya.

            “Wa alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”

            Kedua pria itu segera kembali ke dalam mobil. Sena si ekspresif, jelas langsung mengutarakan apa yang ada di pikirannya. “Bos, kayaknya bener omonganku tadi. Bos nggak boleh main ̶main sama Mbak Kinza. Tuh, liat aja, sama Tuhan kita langsung diteuin sama ayah dan kakaknya loh. Nah loh. Bos tega mau nge ̶cut napas Mbak Kinza? Lagian ini kan yang salah bukan Mbak Kinza. Mending Bos hati ̶hati. Lagi pula, kehilangan seorang wanita nggak akan menghentikan ponakan Bu Gendhis buat naik tahta kan?”

            Wisang melonggarkan dasinya. “Kenapa kebetulan sekali bisa bertemu keluarga Kinza? Apa ini memang jalan Tuhan untuk memudahkanku melenyapkan dia? Tapi, benar juga kata Sena. Kinza nggak salah. Membunuh Kinza, bukan hal yang bisa menghentikan Abimanyu. Abimanyulah yang harus dimusnahkan kalau memang Gendhis tak mau ponakannya naik tahta. Argh! Kenapa harus aku yang memusingkan hal itu?”

            ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaa

Akankah Kinza Aman? Abim bakal diem aja nggak ya? Wisang gimana?

Nih dia Om Wisang yang disuguhin minuman lokalan ama Bu Gendhis
😭🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro