Part 4
Jamaah rutinan malam Jum’at satu persatu meninggalkan masjid. Kesibukan terlihat dari para santriwati yang membereskan sisa-sisa hidangan yang disuguhkan pada para jamaah yang hadir. Kinza, baru akan mengangkat sebuah krat gelas saat seorang pemuda mencekal tangannya. “Sini, kamu ke dapur saja.”
Kinza mengangguk, ia segera membawa plastik berisi sampah dan setengah berlari ke dapur. Pemuda tadi mengikutinya.
“Sini saja, Mas. Aku cuci sekalian.”
Hanya anggukan yang ia dapat, sebelum si pemuda menghilang dan muncul sampai tiga kali membawa krat gelas dan beberapa piring bekas tempat saji.
“Minggir, kamu yang bilas.” Pemuda itu menaikkan sarungnya agar tak basah, menyisakan celana hitam semata kaki sebelum mendekati Kinza.
“Sampun, Mas. Biar aku aja. Nanti Mas dicari sama Abah.”
“Nggak ada ceritanya adik perempuanku satu-satunya ngelawan perintah kakaknya.”
Kinza mendongak menatap wajah sang pemuda. Ia kemudian tersenyum dan menyingir, menghidupkan kran dan membilas gelas-gelas yang sudah ia sabun beberapa, membiarkan sang kakak melanjutkan tugas menyabunnya. Ada rasa hangat setiap kali berdekatan dengan pemuda yang usianya terpaut sembilan tahun darinya.
“Kamu nggak mau pulang ke Baitussalaam?”
Kinza tak segera menjawab. Bagaimana bisa ia menjawab tidak, jika hatinya sedari dulu ingin sekali menjadi penghuni tetap di tempat itu. Namun, bisa apa dia?
“Memangnya boleh, Mas?” tanya Kinza lirih.
Pemuda yang akrab disapa Gus Abid itu tersenyum. “Siapa yang berani ngelarang putri kyainya tinggal di pesantren sang ayah?”
“Tapi Mas aku kan cuman ....”
Abid menggosok tangannya dengan cepat hingga membuat gelembung sabun yang banyak di sana kemudian ia letakkan di hidung sang adik. “Mas!” pekik Kinza.
“Laah, laaah, malah mainan sabun. Astagfirullah, kayak murid-muridku aja, anak PAUD.” Sosok lain muncul sembari membawa keranjang berisi pisang, jeruk, dan sisa makanan yang masih utuh dari masjid.
“Ning, Gus, silakan istirahat, ini bagian kulo.” Gadis yang baru masuk mengusir dua anak kyainya dari dapur.
“Berani kamu ngusir anak kyai?” celetuk Abid.
“Demi kebaikan. Toh nggak pantes, manusia bernasab mulia kok kotor-kotoran di sini. Sudah, silakan bubar jalan. Gus, ini pisangnya manis loh. Asli mateng di pohon. Gus biasanya suka, kan?”
Kinza berdehem. “Duh, perhatian banget sampai kesukaan Mas Abid aja, kamu tahu, Ra.”
“Ya gimana nggak hapal kalau sudah lima belas tahun aku ngabdi di rumahmu, Kin. Dari umur delapan tahun, aku ikut sama Umi dan Abah.”
“Udah tua juga ya kamu, Bira. Dulu dateng masih ompong, sekarang udah tua aja.”
“Woh, ngajak gelud. Astagfirullah, ini kalau bukan perkara nasab, bukan perkara ahlul baitnya Abah Yai, udah aku ajak spariing kakakmu, Kin.”
Kinza tertawa mendengar keributan kecil antara sang kakak dan sahabat masa kecilnya, Sabira. Ketiganya berakhir bekerja sama, mencuci gelas dan piring sembari mengobrol.
“Kin, mending kamu pulang ke Baitussalaam. Aku khawatir sama kamu, kalau kamu kerja diluar. Kamu sudah dewasa, di lingkungan luar sana semakin berbahaya buat kamu. Kalau kamu ngabdi di Baitussalaam, aku, Abah, Rayyan sama Zayyan bisa ngawasin kamu.”
“Mas, tapi aku takut sama saudaranya Umi dan saudara Abah yang lain. Mas tahu kan, mereka nggak nerima keberadaanku.”
“Kamu tenang aja, ada kami, kami yang akan ngelindungi kamu.” Abid meyakinkan sang adik. “Ada Sabira juga, yang pasti akan selalu ada dipihakmu, ya kan, Dek Bira?”
Sabira mengangguk dan tersenyum. “Aku selalu ada di pihakmu, Kin. Sampai kapanpun, aku janji.”
Kinza bimbang. Ia memang sah putri dari kyai Bahruddin Al Asyari, tetapi dari istri keduanya. Tidak seperti ketiga saudara laki-lakinya, Kinza terlahir dari rahim berbeda. Ibunya, adalah seorang mualaf yang dulu diislamkan oleh sang ayah. Keduanya menikah, sah, tetapi tak dapat restu dari keluarga ayah Kinza. Ia dianggap menyederai nama baik keluarga. Setelah setahun pernikahan, lahirlah Kinza. Dan, selama menikah, ibu Kinza tak diijinkan tinggal di rumah kyai Bahruddin. Ia hanya tinggal di sebuah rumah petak, hingga saat Kinza umur enam bulan ibunya wafat karena sakit.
Sejak kematian sang ibu, Kinza yang awalnya akan diasuh ayahnya, tetap ditolak, dianggap sebagai anak dari pelakor, sehingga ia dititipkan di panti asuhan. Namun, adik sang ayah menjemputnya kembali, meminta ijin untuk mengasuh Kinza, menjadikan putri angkatnya karena kebetulan ia tak kunjung memiliki momongan, dulu. Dan sejak dua puluh dua tahun lalu, Kinza tinggal di sini, dibawah asuhan paklik dan bulik yang ia panggil Abi dan Ummah.
Meski begitu, sang ayah dan kakak tertuanya tetap sering mengunjunginya seminggu sekali. Perlahan pun, Kinza mulai diterima keberadaannya oleh sang ibu tiri yang ia panggil Umi Husna. Namun, ia sudah tak punya keinginan kembali ke sana. Takut jika luka masa lalu akan terulang. Takut mendengar cibiran, jika dia adalah putri dari seorang perebut suami orang, putri dari seorang istri kedua, putri dari seorang wanita tak benar.
“Umi juga sering nanyain kamu, Kin. Kadang kalau pas aku chat kamu itu, yang nyuruh Umi. Nanya kamu lagi dimana, kamu lagi sama siapa, ngapain, kerjanya gimana. Kemarin juga kan rencananya mau ziarah itu ngajakin Kinza, nggih Gus?” kata Sabira.
Abid mengangguk. “Makanya, pulang aja, ya?”
Ada orang lain yang datang, wanita bertubuh kurus dengan jilbab besar dan gamis hitam. “Pulang? Siapa pulang? Kalian mau pulang?”
“Kinza, bulik,” jawab Abid sembari mengelap tangannya yang sudah selesai ia bilas.
“Kinza berangkat kerja dari sini besok, kalau Jumat dia agak siang berangkatnya.” Wanita itu mengambil gelas. Sabira segera paham meladeni. “Air putih menapa teh, Ummah?”
“Putih wae, Ra,” ucap wanita itu sembari duduk di dipan. Sabira meladeninya.
“Maksud Abid, Kinza mau Abid ajak pulang ke Baitussalaam, Bulik.”
Wanita yang hampir menyecap minumannya itu mengurungkan niat. Matanya menatap tajam pada sang keponakan. Ia marah. “Apa? Ngapain? Kinza itu anakku. Rumahnya di sini. Bukan di Baitussalaam.”
Sabira segera menyingkir dan menutup pintu belakang dari samping. Meski ia sering kali berlaku bak teman dengan Kinza dan Abid, tetapi ia hanya berlaku seperti itu pada keduanya dan dalam posisi mereka hanya beritga. Selebihnya, ia tetap memegang adab kesopanan dan tahu tempat siapa dirinya di sana.
“Bulik, Kinza masih punya Abah. Kinza anak Abah. Adiknya Abid. Dia Ning Baitussalaam.”
Rosyidah menatap keponakannya. “Kalau memang Baitussalaam merasa memiliki Kinza, harusnya mereka tidak membuang dia dulu. Termasuk Umimu. Harusnya, Mbak Husna mau menerima Kinza. Dia bukan anak haram. Mbak Husna sendiri yang mengijinkan Mas Din nikah lagi. Kinza ini bukan anak haram! Tapi mereka semua tega membuang Kinza. Dan sekarang setelah dia tumbuh menjadi anak soleha secerdas dan secantik ini, mereka baru mengklaim Kinza Ning mereka?” Mata Rosyidah berkaca-kaca.
“Ummah,” ucap Kinza sembari mendekati sang ibu angkat.
“Sampai kapanpun, aku nggak akan nyerahin Kinza ke kalian. Terutama ke Umimu. Sekarang setelah butuh penerus, Umimu baru bingung kan? Bingung karena tidak ada yang meneruskan dia! Apalagi adik-adikmu juga lebih memilih menikahi wanita ahwal! Lalu sekarang dia mau menerima Kinza, agar bisa menjadi penerusnya. Tidak bisa! Tidak! Kinza adalah putriku. Dia kakak Arafah dan Muzzamil. Bukan anak Mbak Husna, bukan juga adikmu!”
Abid hanya bisa diam. Upayanya membawa pulang Kinza gagal lagi. Memang benar apa yang dikatakan oleh Rosyidah. Selama lima tahun terakhir, ibunya mulai gelisah. Ia tak punya penerus untuk melanjutkan mengurus dan membina para santri putri. Adik keduanya, Zayyan lebih memilih menikahi seorang wanita biasa yang tak berlatar belakang agamis. Jelas jauh dari kriteria yang diinginkan oleh orang tuanya tetapi Zayyan adalah pribadi yang keras, tak seperti Rayyan dan Abid. Apa boleh buat dari pada tergoda untuk zina, lebih baik mereka disegerakan menikah.
Hanya Kinza harapan mereka. Rosyidah dan Safaruddin berhasil mendidiknya dengan baik, menjadi seorang hafidzah, yang sudah melahap banyak kitab sejak usia belia. Kemampuan ayah mereka menitis pada Kinza dengan sempurna. Abid pun merasa jika ia dan Kinza justru seperti anak kembar, meski terlahir dari rahim berbeda. Hanya Kinza yang mapu memahami jalan pikirannya. Hanya Kinza yang mampu memberi arahan jika ia tengah kebingungan akan suatu hal. Hanya Kinza yang mau dan mampu membersamainya dalam menjalankan dawuh-dawuh ayah mereka, menyambut tongkat estafet kepemimpinan pondok.
“Sampaikan ke Umimu kalau aku ndak akan melepas Kinza. Ndak akan pernah melepas Kinza. Dia anakku, sah anakku! Aku yang ngurusin dia! Aku yang besarin dia! Aku ibunya!” jerit Rosyidah.
Kinza memeluk Rosyidah. “Ummah, sampun Ummah.”
Abid berusaha untuk menahan diri, tetapi ia tidak bisa sepenuhnya mengerem mulutnya untuk tak bicara. “Bulik, ini demi Baitussalaam. Ini demi pondok kita. Bulik, kalau sampai ndak ada penerus Umi, terus nanti gimana?”
“Pikiren dewe! Pikir saja sendiri. Suruh Umimu mikir. Makanya, jadi orang jangan sok jual kesakitan. Umimu itu kebanyakan drama. Sekarang, baru tahu kan? Dia yang sudah nyiksa ibunya Kinza sampai mati karena hidup tak layak dipengasingan. Bayangkan! Umimu itu yang disalami banyak orang, yang dihormati banyak orang, kelakuannya seperti itu. Tega dia, katanya ikhlas suaminya nikah lagi tapi dia diam-diam menyiksa madunya. koar-koar di sana sini kalau dia tersakiti. Suaminya direbut perempuan lain. Sampai akhirnya Sarah meninggal dan membuat Kinza terlantar! Dia bahkan tega menyuruh abahmu memberikan Kinza ke panti asuhan. Wanita macam apa dia!”
Rosyidah kembali tersulut emosi. “Bahkan, kamu tahu, kenapa Bulik sama Paklikmu angkat kaki dari Baitussalaam? Karena Umimu! Setiap hari mengungkit soal bulik yang tak kunjung hamil, dulu. Mebuat Paklikmu bahkan hampir menceraikan bulik dan Kinza yang menyatukan kami kembali! Di tahun-tahun berikutnya, keberkahan terus mengalir di keluarga kami, sejak merawat Kinza. Bahkan setelah itu kami akhirnya punya anak kandung sendiri, Arafah dan Muzzamil. Kami bisa membangun majelis ini. Dan kamu mau mengambil Kinza? Jangan harap. Aku nggak nggak menyerahkan Kinza. Tidak akan, meski sekarang suamiku sudah meninggal. Aku akan tetap merawat Kinza dan adik-adiknya.”
Tiga tahun lalu Syafaruddin telah berpulang. Itulah kenapa Kinza merasa ia punya tanggung jawab untuk menyekolahkan adik-adik yang sejatinya adalah sepupunya karena ayah mereka kakak beradik kandung.
“Bulik tap—“
“Mas,” potong Kinza cepat.
“Bira! Sabira!” panggil Kinza.
Sabira yang menunggu di luar segera masuk. “Dalem Ning?” ucapnya sopan karena ada Rosyidah.
“Buatkan teh untuk Ummah, anter ke kamar ya. Kamu nanti nginep sini, besok subuh bareng aku, tak anter.”
“Nggih, Ning.”
Abid diam, ia mengalah. Percuma jika sudah begini. Ia memilih untuk pamit pulang. Kinza yang sudah mengantar ibunya masuk ke dalam kamar, kini keluar menemui kembali sang kakak yang sudah bersiap pulang.
“Kinza, namamu, Kinza Mahdiya itu nama pemberian Umi. Nama tengah Umi pun sama kayak namamu. Kalau Umi benci kamu, nggak mungkin Umi kasih namanya ke kamu. Mas masih ingat dulu Mama Sarah minta Umi kasih nama kamu. Umi juga nyusuin kamu. Waktu itu Umi kan baru selesai lepas ASI Rayyan, tapi Mama belum keluar ASI jadi kamu disusuin Umi. Hampir tiap hari Umi datang buat kasih ASI kamu. Tapi sayang, cumah Abah, aku, dan Zayyan yang tahu itu. Percayalah, keluarga kita tidak semengerikan itu. Umi tidak membencimu. Meski aku juga nggak tahu kenapa sepeninggal mama Sarah mereka mau nyerahin kamu ke panti. Aku nggak tau, aku juga baru umur sepuluh, dulu. Tolong, pikirkan lagi. Abah pengen kamu pulang, Umi juga, apalagi aku. Dek, adikku yang paling cantik, tolong, Baitussalaam memanggilmu pulang. Kami butuh kamu.”
Kinza mengembus napas. “Ini bukan karena Mas diburu-buru menikah kan?”
Abid terlihat putus asa. “Jangan sangkutkan ke sana. Misal aku menikahpun, tetap saja Baitussalaam membutuhkan Ningnya. Penerus para pendahulu, yang berdarah asli Al Asyari.”
Kinza terkikik. “Rabi loh, tinggal rabi, Mas. Nanti keburu tak duluin. Di langkahin adik-adiknya, nggak malu?”
“Ngapain malu? Aku aja pake celana, pake sarung, pake baju, kecuali kalau telanjang, nah baru malu.”
Keduanya tertawa. Abid mengulurkan tangan dan disambut sang adik. Dari dalam rumah Sabira berlari. “Gus! Gus! Jaketnya,” teriak Sabira.
“Eh iya, lupa.”
“Kirain mau ditingalin, sengaja buat aku,” celetuk Sabira tanpa dosa. Kinza terkekeh. “Ngarep wae, hmm.” Gadis itu menoyor kepala sahabatnya.
“Ya kali aja, aku kan nggak bawa jaket, di sini dingin. Tadi kan niatnya nggak nginep, Kin.”
Abid yang awalnya menerima jaket itu kini melemparkan ke Sabira. “Yaudah nih pake, besok cuciin sekalian. Sama sepatuku yang habis buat main bola kemarin, cuciin sekalian ya.”
Sabira yang terkena lemparan jaket di bagian muka, mendengkus. “Hmmm buruan nikah Gus makanya, biar nggak ngerepotin gadis tercantik sedapur ndalem Baitussalaam, mulu. Nanti kalau aku boyong, geger. Bingung. Siapa yang mau ngurusin?”
“Ndak usah ngancem mau boyong. Dari dulu tiap kali marah kamu ngancem boyong, buktinya lima belas tahun juga kamu sudah berakar, ngoyot, di Baitussalaam.”
“Woh, ngece. Astagfirullah, hmm. Tunggu aja, kalau nanti ada yang ngelamar aku lagi lewat Umi, bakal aku terima, biar Gus tahu rasa, kacungmu ini pergi dan Gus jomblo bakal kesepian. Ndak ada yang ngurus.”
Kinza terpingkal. Baginya, cekcok sang kakak dengan sahabatnya itu memberi kebahgiaan tersendiri. Ia lupa sedikit akan kepenatan di tempat kerja, juga tentang omongan miring dari para jamaah dan orang sekitarnya tentang status anak tak dinginkan yang selama ini disandangnya.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaaa
Salam kenal dari Mas Abid yaa sama Bira
Btw ini tokohnya banyak banget yes
😅😅😅
Tapi akan mengerucut dengan sendirinya
Tenaaang
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro