Part 38
Suasana pegunungan yang dingin dan asri memanjakan netra. Sebuah rumah kecil dari kayu, menjadi tempat istirahat Kinza dan dua anaknya.
"Papa dimana Ummi?"
"Katanya sih di surau, Ummi juga nggak tahu. Mau nyusul? Deket rumah Mbah yang tadi loh."
Noah dan Neyna mengangguk. "Iya, Mi."
Ketiganya berjalan menyusuri kebun sayur yang menurut cerita istri Mbah Maskur, Wisang yang mengolah tanahnya sedemikian rupa.
Terlihat beberapa anak bermain di halaman surau. Beberapa yang lain ada di dalam surau. Noah dan Neyna yang pintar membawa diri, segera bergabung dengan anak-anak lain yang bermain di sana. Sementara sang ibu menunggu di teras.
"Ustaz, saya itu loh, suka kesel sama istri saya. Dia itu sudah tak cukupi, sudah tak kasih nafkah, tapi masih aja ngomel. Saya kasih tahu satu kata eh dia nyambungnya kayak kereta."
Kinza mengintip dari celah jendela yang sedikit terbuka di dekat pintu masuk. Terlihat suaminya yang duduk di depan beberapa laki-laki tersenyum.
"Cerewet, itu sudah kodrat wanita. Saya malah tergelitiknya dengan kata-kata bapak yang 'sudah tak cukupi'. Ingat loh Pak, yang punya hak memberi rejeki itu Allah. Jangan ambil tugas Allah," kata Wisang sambil terkekeh.
Kinza mengamati gerak-gerik suaminya.
"Kita itu, hanya sebagai jalan penyampai rejeki saja ke anak istri. Jangan sampai kita jadi merasa superior. Nah, mungkin masalahnya ada disitu. Kecenderungannya, kita yang bertugas menjadi pencari nafkah, merasa lebih berkuasa, hingga tanpa sadar kita jadi semena-mena. Coba diingat, apakah kita selama ini hanya sebatas 'nih duit' atau kita juga mengambil peran dalam keluarga."
Kinza tersenyum, suaminya sungguh luar biasa.
"Beban kita bekerja, memang kadang terasa berat. Namun, beban istri di rumah, itu juga berat. Apalagi yang punya anak. Mereka harus mengurus semuanya. Uang yang kita beri belum tentu cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga. Belum lagi, rasa capek yang mereka rasakan selama mengurus rumah dan anak-anak itu sama atau bahkan lebih capek dari kita yang bekerja di luar rumah. Tapi, karena kita merasa tugas kita hanya mencari nafkah, kita nggak mau tahu soal rumah. Itu salah, bapak-bapak sekalian. Salah besar. Tanggung jawab mengurus rumah tangga ada di tangan kita. Kita kepala rumah tangganya, itu artinya kita juga harus ikut andil di dalam sana. Bukan cuma sebagai kepala saja tak mau tahu urusan anggota lainnya. Kita loh yang akan mempertanggung jawabkan mereka. Coba bayangkan kalau besok di akhirat, kita disidang tentang tanggung jawab kita sebagai kepala keluarga dan anak istri kita bersaksi, 'Ya Allah, suamiku, bapakku, taunya kasih duit doang. Nggak pernah ngurus kami'. Gimana coba?"
Si penanya tadi diam-diam tertohok. Namun, Wisang yang menyampaikan dalam nada lembut, dengan sesekali tersenyum, membuatnya tak sakit hati.
"Dalam Al Quran, banyak surat yang mengisahkan tentang hubungan ayah dan anaknya. Nabi Yakub dengan anak cucunya, nabi Ibrahim dengan nabi Ismail. Di sini artinya memang ayah harus mengambil peran juga dalam mengurus anak. Harus ambil peran dalam rumah tangga. Tapi, uniknya, tidak ada yang khusus bercerita tentang pengajaran ibu yang harus mendidik dan dekat dengan anaknya. Kenapa? Karena bidadari kita yang di rumah itu, yang dasteran dan nggak pernah make up-an. Nalurinya luar biasa. Speknya surga. Nggak usah diperintah Quran, mereka sudah mengurus anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang."
Wisang terbatuk dua kali sebelum melanjutkan ucapannya. "Yuk coba kita mulai untuk membantu istri mengurangi beban pekerjaan rumahnya. Siapa tahu ketika kita bantu, pekerjaannya menjadi ringan, suasana hatinya menjadi baik, merasa diperhatikan, dan akhirnya rumah kita akan terasa seperti surga. Mulai muhasabah diri. Introspeksi, kenapa kok si bidadari yang dulu lembut, manja, cantik, berubah menjadi galak kayak buto cakil. Pasti ada sesuatu di sana. Mereka kadang hanya butuh diperhatikan. Mereka kadang cerewet agar dinotice, agar bapak meluangkan waktu untuk bisa bicara berdua. Kadang wanita seaneh itu. Mancing masalah hanya karena rindu ingin berbicara berdua. Rindu menjadi pusat perhatian bapak-bapak sekalian."
Suara tawa para jamaah terdengar. "Wanita itu makhluk spesial. Harus dihadapi dengan cara yang spesial pula. Jika memang marah itu memang hobinya, ya coba sabar. Wanita marah itu obatnya gampang, coba panggil sayang, kalau masih belum berhasil, coba beri sentuhan, dipeluk, dicium, atau diajak ibadah. Kalau belum bisa reda juga, kasih uang. Kalau nggak punya uang, ya sudah pasrahkan pada Allah saja," canda Wisang.
Ada banyak pertanyaan lain setelahnya. Kinza mendapati sang suami begitu lihai menjawab bahkan lengkap dengan dalilnya. Saat majelis usai, para jamaah keluar, Wisang yang masih mengobrol sembari keluar surau pun mendapati sang istri duduk di pojok teras.
"Assalamualaikum, Gus," sapa Kinza mencandai suaminya.
"Wa alaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh, Ning," jawab Wisang sambil terkekeh.
"Masyaaallah, jadi ini kegiatan suamiku sela menghilang?"
Wisang memeluk istrinya. "Apaan sih? Cuma gosip doang kok sama bapak-bapak sini tiap habis ashar."
"Hmm, pantes ya Ummi sama Abah dulu langsung say yes pas Mas ngelamar. Ternyata mereka sudah tahu kalau Mas punya kemampuan buat ini. Jujur aja dulu aku agak ragu loh, apalagi kan Mas angker dulu. Serem," jujur Kinza.
Pria itu terkekeh. Ia pun juga tak tahu mengapa mertuanya yang seorang alim ulama, mau memiliki menantu sepertinya. Ummi Husna utamanya, yang sangat perhatian dan baik padanya. Tempo hari, beliau yang tengah berada di Madinah, diberi kabar oleh Kinza atas kepulangan Wisang. Beliau sontak menangis haru dan bersujud syukur. Doanya terkabul.
"Mas, Mbah Maskur semalam bilang apa?" tanya Kinza.
Wisang menatap istrinya sembari mengelus perut membuncit itu. "Mbah Maskur agak berat melepas aku pergi. Tapi, aku sudah janji mau tetep ke sini seminggu sekali buat ngadain kajian. Rencananya giliran sama Mas Abid, sama Mas Zayyan."
"Jadi apa bener surau ini makmur lagi setelah Mas datang ke sini?" tanya Kinza.
Wisang tersenyum. "Bukan karena aku. Tapi karena Allah yang memang memakmurkan surau ini kembali, kebetulan pas aku di sini."
Kinza tersenyum. "Masyaaallah, ngimpi apa aku. Kenapa suamiku hmm ... Ganteng, gagah, soleh. Paket komplit. Beruntung banget aku," ucapnya.
Wisang mencubit hidung sang istri yang tertutup niqab. "Jangan gitu. Yang beruntung itu aku. Si sampah masyarakat yang dapat istri spek bidadari surga."
"Mana ada spek bidadari surga. Aku masih jauh dari kriteria itu. Aku masih manja, ngambekan, tukang protes, suka ngedebat suami, ngeluh. Mana ada bidadari surga begitu." Kinza mengerucutkan bibir, meski tak terlihat karena tertutup niqabnya.
"Kalau minta dipuji, nggak usah merendahkan diri. Dasar cewek. Merendah buat meroket," tukas Wisang. Kinza terkikik.
"Mas, aku mau loh kalau kita tinggal di sini. Apalagi kalau warga sini memang membutuhkan Mas."
Wisang menatap istrinya. "Beneran, Sayang?"
Kinza mengangguk. "Enak banget suasananya, adem. Meski rada terpencil, tapi seger. Di Solo panas."
"Kamu serius, mau tinggal di sini?"
"Iya, rumah di Solo kalau nggak dipake dijual aja, buat beli tanah dan bangun rumah di sini. Cukup kan? Beberapa kali Mas Dewa bilang mau bayar itu rumah. Tapi, aku nggak kasih. Itu kan punyamu."
Wisang benar-benar bersyukur, istrinya begitu memahami dirinya. Kinza juga tak protes harus hidup sederhana dengannya di desa. Anak-anak pun senang karena mereka bebas bermain di sana tanpa takut lalu lalang kendaraan. Tanah di sana masih lapang. Permainan tradisional sangat dilestarikan.
"Kalau begitu, ayo menua di sini, bersama. Kita bangun rumah di sini. Dan, pondok sederhana di sini, buka cabang Baitussalaam. Nggak ada salahnya kan? Syiar bisa dimana saja kan?"
Kinza mengangguk. "Bismillah, niatkan untuk ummat ya."
"Tapi kamu yakin bisa tinggal di desa terpencil begini?"
"Mas, Mas lupa? Aku Mimosa Pudica Linn. Si tumbuhan perdu berduri yang berbunga cantik. Bisa tumbuh dimanapun. Aku bisa hidup dimanapun. Selama dalam naungan rahmat Allah, aku akan baik-baik saja."
Wisang tertawa. "Hmm ... Masyaaallah istriku, Mimosayangku. Meski berduri, alias suka galak dan nggak mau ngambekan. Tapi, aku akan tetap memelukmu, demi melindungi bunga pink cantikmu. Tetaplah tertutup untuk yang lain dan hanya terbuka untukku. Maaf, aku egois soal itu. Aku tidak mau membagimu pada yang lain."
"Aku nggak cantik kayak mantan-mantanmu sih, jadi Mas nggak malu nunjukin aku, ya kan?"
Wisang menghembus napas, ia memilih untuk pergi dari istrinya jika sudah begitu.
"Iya kan? Aku jelek kan?" tanya Kinza.
Wisang mengelus dada. "Ya Allah, aku bisa bilang ke orang-orang, ceramah untuk sabar menghadapi makhluk berstatus istri ini. Tapi, kadang pertanyaan yang berulang-ulang tentang cantik tidaknya dia, sayang tidaknya aku ke dia, bikin gedeg juga ya. Hmmm... Sabar Icaaang, sabaaar ... Untung cantik, untung sayang, kalau enggak ... Hmm ...."
"Mas Icaaaaang! Aku jelek ya? Mas! Ih! Mas Icaaaaang!" rengek Kinza.
Wisang berdiri di pinggir tebing. Ia menatap gunung yang berdiri gagah sepuluh kilo di atas sana. "YA ALLAAAAAAAAAAH, KENAPA ENGKAU KIRIMKAN MAKHLUK INI? KENAPA ENGKAU KIRIMKAN MAKHLUK CANTIK, CERDAS, SALEHA INI PADAKU! SAMPAI AKU TIDAK KUAT UNTUK JAUH DARINYA! SAMPAI HABIS RASA CINTAKU KARENA SEMUA TERTUMPAH PADANYA! SAMPAI AKU TIDAK BISA MELIHAT KEINDAHAN WANITA LAIN YANG ADA DI DUNIA INI! MIMOSA PUDICA!!!! KAMU ISTRIKU SATU-SATUNYA DAN TERCANTIK DI DUNIA DAN DI SURGA! APA KAMU DENGAR?!" teriak Wisang.
Kinza seketika tersipu. "Mas udah eh, udah, ih Mas ih malu-maluin!"
"Biar, biar kamu puas!" tukas Wisang.
"KINZA MAHDIYA PUTRI AL ASYARI! KAMU CANTIK SEKALI MESKI SERING CEREWET, MESKI SERING GALAK, MESKI NGAMBEKAN!"
Kinza berusaha mengentikan ucapan suaminya. Banyak orang menertawai keduanya. "Yank! Malu! Udaaaah!" rengek Kinza.
"Biar kamu puas!" Wisang tak mau kalah. Ia ingin membuat efek jera pada sang istri dengan cara seperti itu. Keduanya pada akhirnya tertawa akibat kekonyolan mereka.
"Kamu itu anak cerdas, lulusan terbaik di angkatanmu. Tapi masih aja nanya aku sayang kamu enggak. Udah dinikahin loh, udah punya ini nih, hasil dari kerja kelompok kita nih, diperutmu. Masih aja nanya aku cinta enggak."
Kinza terkikik. "Maafin, kan aku butuh kepastian."
"Kurang pasti apa sih aku ke kamu Kinza Mahdiya, ibunya anak-anakku, hm?"
Kinza menggelayut manja pada suaminya. "Pokoknya aku mau Mas bilang cinta ke aku tiap hari dan bilang aku cantik tiap hari."
"Iyaaaaaaa iyaaaaaa," tukas Wisang gemas.
Pada akhirnya, semua menemukan pelabuhan yang tepat. Si mafia pun bisa bertaubat. Semua itu semata-mata karena rahmat. Kita, manusia memang tak luput dari maksiat. Namun, bukan berarti kita jadikan hal itu sebagai alat, untuk tidak bertaubat. Allah akan senantiasa membuka pintu taubat bagi seluruh umat. Yang senantiasa memohon rahmat. Agar selamat dunia akhirat.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
"Dear, all muslimah. Malu adalah mahkotamu. Jadikan rasa malu sebagai pelindungmu. Jangan umbar apa yang kau miliki hanya untuk sebatas pujian 'kamu seksi'. Nyatanya, yang memujimu seperti itu tak dari hati, hanya bentuk ekspresi dari naiknya birahi. Bukankah itu ngeri? Hal seperti itu hanya akan membuatmu rugi. Menjadi perlambang rendahnya harga diri. Naudzubillahi min dzalik."
ㅡWisanggeni Dikara Prahastaㅡ
Or Call Me
Mas Icang
❤
"Dear All Ukhties, ingatlah satu hal. Pilih laki-laki, bukan hanya semata karena rupa. Jangan pula karena harta saja. Tapi lihat dari agamanya. Karena jika kita benar dalam memilih suami, kita akan menjadi ratu dalam hidupnya. Kita akan merasakan kebahagiaan surga FIRDAUS. Sedang jika salah memilih suami, sepanjang hidup kita akan menghabiskannya dengan FIR'AUN.
Coba, pilih yang mana? Suami Spek Bidadara Surga FIRDAUS atau Spek FIR'AUN?"
ㅡKinza Mahdiya Putri Al Asyariㅡ
Or Call Me
-MIMOSA PUDICA LINN-
❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro