Part 37
Alarm ponsel Kinza berbunyi. Setelah membuka mata dan menggeliat, wanita berbadan dua itu melirik ke ranjang di sampingnya. Ada dua bocah berpelukan di sana sembari tertidur. Ia menoleh ke sisi lain. Seketika ia ingat sesuatu.
"Mas Icang!" pekiknya.
Apakah semalam ia hanya bermimpi jika suaminya itu telah pulang? Kinza setengah berlari keluar kamar, berharap suaminya ada di kamar mandi. Namun, nihil.
Ia kemudian berlari ke dua kamar lain, berharap suaminya ada di sana, dan nihil. Kinza seketika menangis. Benarkah ia hanya bermimpi?
Namun, disela sedunya, ia mendengar suara seseorang dari arah dapur. Kinza melangkahkan kaki ke sana. Dan betapa leganya ia saat mendapati pria yang ia cari di sana, tengah mengolah sesuatu sembari melantunkan ayat suci tanpa melihat mushaf.
Surah Yunus ia lafalkan tanpa cela. Kinza mematung di ambang pintu. Tangan si pria begitu cekatan mengolah bahan-bahan dapur sembari murojaah. Air mata meleleh di kedua pipi Kinza. Benarkah itu suaminya? Laki-laki yang ia dengar masa lalunya begitu kelam. Laki-laki yang ia dengar masa lalunya ia gunakan untuk bergelimang dunia haram. Kini, tak ada sedikitpun terlihat cela dari tampan wajah berseri dengan pandangan menyejukkan itu.
"Sayang, udah bangun ya."
Kinza tersentak. Wisang segera mencuci tangan dan mendekat pada sang istri.
"Kamu nangis? Kenapa? Ada yang sakit? Mual? Pusing? Laper?" Serentetan pertanyaaan diucap sang pria sembari mengecup kening dan mengelus perut istrinya.
Kinza menggeleng. "Aku pikir Mas pergi lagi," lirih Kinza.
Wisang terkekeh. Ia mendekap istrinya. "Misal Mas pergi, Mas akan pamitan sama kamu, sama anak-anak juga."
"Jangan pergi," rengek Kinza manja.
"Mmm ... Tapi nanti Mas harus pergi. Mas harus ke Tirtomoyo. Tempat Mas tinggal selama tiga bulan ini. Ada amanah yang belum Mas selesaikan di sana, Sayang."
"Ikut!"
Wisang mencubit pipi istrinya. "Iya, tapi kita di sana sampai malam takbiran ya? Soalnya Mas tugasnya sampai hari itu. Kalau kamu sama anak-anak mau ikut, ya alhamdulillah."
"Emang Mas mau ngapain?"
Wisang tak menjelaskan, ia malu. Kinza sangat tahu siapa dirinya, tak mungkin jika ia mengaku-ngaku menjadi ustaz dadakan di sana. Bisa apa dia? Kemampuannya hanya seujung kuku sang istri, meski di Tirtomoyo ia dianggap mumpuni karena tAk hanya pandai mengaji, ia juga bisa mengolah hasil kebun, memberdayakan banyak orang di sana dan mengajari anak-anak desa itu ketrampilan kerja.
"Nanti kamu liat sendiri. Sana salat dulu. Mas lanjutin masaknya. Nanti kalau mau mandi bilang ya, Mas siapin airnya."
"Mas, nggak usah gitu ih. Nanti aku manja kalau tugas rumah Mas yang ambil alih."
Wisang menatap manik sang istri. "Mimosayang, memang tugas mengurus rumah tangga itu hanya tugas istri? Kalau iya, kenapa Rasulullah selalu membantu istri beliau jika sedang di rumah? Rumah tangga ini, kita bangun berdua. Ya kita selesaikan semuanya berdua, kecuali hal-hal khusus seperti ini, kamu hamil, karna yang bisa hamil kamu ya kamu lakukan tugas spesialmu ini. Dan aku, karena tanggung jawabku menafkahi, ya sudah, aku yang fokus cari nafkah, meski kamu diberi rejeki dari pekerjaanmu, anggap itu sebagai uang jajanmu sendiri. Bukan nafkah untuk keluarga. Semua adil kan, sesuai porsinya."
Kinza menatap suaminya. "Mas Icang ... istrimu ketar ketir. Masyaaallah, suamiku kok jadi begini. Meresahkan dunia akhirat."
Wisang terkekeh. "Udah sana, keburu subuh. Salat dulu, biar si dedek juga besok rajin salat malamnya."
Kinza mengangguk. Ia segera menunaikan salat lailnya. Sujud syukur ia lakukan, betapa banyak doa yang kini diijabah oleh Allah di waktu yang tepat.
Tiga bulan ia menanti tanpa kepastian. Tiga bulan, ia mulai pupus harapan dalam penantian. Ia mulai menyusun skema membesarkan keempat anak itu seorang diri tanpa sang suami. Namun, kesabaran dan keikhlasannya berbuah manis. Di saat ia sudah pasrah, Allah mengembalikan suaminya dengan cara tak terduga.
Tak hanya wujudnya saja yang pulang. Namun, Wisang pulang dalam versi yang sudah diupgrade oleh sang Pencipta. Bukankah itu luar biasa? Kini mereka sudah satu jalan, satu tujuan. Tak seperti dulu ketika jalan masih terjal dan bercabang.
"Ya Allah. Aku percaya skenario-Mu adalah yang terbaik di antara yang terbaik. Aku berpasrah atas apapun yang akan terjadi di hidupku dan bersyukur atas apapun yang telah terjadi di hidupku. Sesungguhnya, untuk-Mu aku hidup, dengan-Mu aku hidup, dan kepada-Mu aku kembali."
****
Mata hijau milik bocah berusia sepuluh tahun yang baru saja bergabung dengan pondok Baitussalaam itu menatap kosong ke arah lapangan depan masjid yang ramai akan para jamaah tarawih.
"Assalamualaikum, Mas Bule," sapa bocah kecil berjilbab yang membawa sebuah plastik.
Nino menoleh. "Wa alaikumsalaam."
Gadis cilik itu mengulurkan sebuah makanan berbalut kertas nasi dan sebotol minuman dari kantong plastiknya. Nino tak langsung menerimanya.
"Ini sandwich isinya lettuce, tomato, onion, tomato sauce, egg, ham, and mayonaise. Please take it."
Melihat wajah Nino yang ragu-ragu, gadis itu menghembus napas. "Oke, kalau kamu nggak mau. Memang ini nggak enak kok. Kang santri di sana semua nggak ada yang suka. Mereka cuma ambil ham dan eggnya. Mereka bilang ini makanan bule."
Wajah cantik dengan pipi chubby itu bergelayut sendu. Matanya mulai berair. Ia kecewa saat masakannya ternyata tak disukai oleh sasaran sedekahnya pagi itu.
Nino yang menyadari hal itu segera mengambil makanan yang hampir dimasukkan kembali ke plastik yang dibawa si gadis kecil. Ia memakannya dengan lahap.
"Wow, siapa yang bikin ini?"
"Fiza bikin sendiri," jawab si gadis cilik.
"Really? Wow, kamu pinter masak ya. Enak loh. Kayak sandwich yang dulu mamiku buat kalau aku laper malem-malem."
Mata yang tadi berair itu kini menatap ke netra hijau lawan bicaranya. "Bener enak?" tanyanya tak percaya.
Nino mengangguk. "Kamu bisa tambah cheese juga, bisa juga pakai saussage. Kalau scrambled egg gini agak susah makannya, tapi enak kok."
"Mas bule bohong ya? Mas cuma kasian kan sama Fiza?" telisik bocah bernama Hafiza, Ning kecil putri dari Ustaz Hafiz Ibrahim dan Ustazah Gaziya, yang tengah ikut orang tuanya mengisi majelis di Baitussalaam.
Nino tersenyum. "Katamu ini makanan bule, aku kan bule. So, ini makananku. Aku suka."
Sekarang, senyum Fiza mengembang sempurna. "Sayaaang Mas Bule," ucap Fiza.
Nino terkekeh melihat kelucuan bocah yang usianya terpaut dua tahun darinya. "Mmm, Fiza kamu bisa ajari aku hapalan surat An Naba?"
"An Naba? Bisa. Tapi kata ayahku, kalau mau hafalan, mulai murojaah dulu aja, ulang yang kemarin dulu yang udah hapal itu. Biar otaknya dipanasi dulu, setelah itu baru mulai ziyadah, tambah hapalan baru."
Nino mengangguk-angguk. Ia menatap Fiza dalam sembari menghabiskan makanannya. "Waduh, makan apa nih? Enak kayaknya."
Wisang berjalan dari dalam masjid ke luar bersama Ustaz Hafidz dan Abid menyenggol putranya.
"Om mau? Fiza punya sandwich ini. Katanya Mas Bule enak, isinya lettuce, tomato, onion, tomato sauce, egg, ham, and mayonaise."
"Enak Pa," ucap Nino meyakinkan Wisang.
"Kamu makan lettuce sama onion? Wow, bukannya kamu paling beㅡ"
Nino menginjak kaki sang ayah angkat. Ia memberi kode agar tak mengatakan jika dirinya benci selada dan bawang bombai.
"Paling apa, Om?" tanya Fiza.
"Suka, paling suka sama lettuce and onion." Nino menyerobot sambil tersenyum.
Wisang dan dua orang dewasa lain terkekeh. Ustaz Hafidz menepuk kepala Nino. "Hmm kecil-kecil udah jadi gentlemen. Tapi lain kali kalau kamu nggak suka bilang aja nggak apa-apa."
Fiza yang sibuk melayani Rayyan tak menggubris ucapan sang ayah pada Nino.
"Tidak suka bisa jadi suka kok, Ustaz. Lagipula memang enak kok masakan Fiza. Sama kayak buatan mami," ucap Nino.
Wisang mengelus kepala anaknya bangga. Ia senang Nino sekarang mulai tumbuh dewasa. Bukan lagi Nino yang anti sosial. Bukan lagi Nino yang arogan. Bukan Nino yang hanya kenal kemewahan.
"Anak soleh, mau nggak mondok di tempat Fiza? Di Nurul Ilmi 2. Kamu bisa main sama Fath, Fal, Fiza, Far, dan dedek Faz."
Nino menatap ayahnya. "Boleh Pa?" tanya sang santri cilik.
"Kalau Kak Nino mau, kenapa enggak. Toh deket kan."
Nino memeluk ayahnya sebelum menatap Ustaz Hafidz. "Nino mau, Ustadz."
Fiza yang sudah selesai berurusan Rayyan menoleh. "Mau apa?"
"Mau mondok di pondoknya ayahmu."
Mata bocah itu berbinar. "Beneran? Mas Bule mau mondok di tempat ayah?"
Nino tersenyum. "Iya."
Fiza seketika bertepuk tangan. "Yeeeeeey! Nanti Fiza masakin banyaaak-banyak buat Mas Bule. Resep-resep di cooking class kan makanan bule semua," tutur Fiza dengan polosnya.
Wisang dan yang lain hanya bisa tertawa.
"Tapi, Ustadz, Nino masih belajar. Salat juga baru hapal bacaannya." Nino malu-malu mengaku.
"Nggak apa-apa, kan memang di sana nanti diajarin. Dibimbing. Kamu nggak usah takut. Ya?"
Nino mengangguk. Ia sejujurnya minder dengan kondisinya yang berbeda jauh dengan rekan-rekannya di pondok. Bentuk fisiknya, latar belakangnya yang mualaf, belum lagi meski ia diangkat menjadi anak Wisang dan Kinza, dirinya tetap terlahir dari ikatan yang tak halal. Kesalahan masa lalu orang tuanya. Namun, Wisang, Kiinza dan keluarga besarnya terus membesarkan hati Nino.
"Manusia punya suratan takdir sendiri, Nak. Jangan pernah mengeluh atas apa yang terjadi pada kita. Syukuri semua. Sekarang, kamu malah punya dua orang tua yang lengkap, yang sayang dengan tulus padamu. Punya adik-adik yang juga sayang. Keluarga besar yang tak membedakan kamu dengan mereka meski kamu bukan keturunan langsung. Kami sayang kamu, El Nino. Sangaaat sayang," ucap Kyai Din setiap kali membesarkan hati cucu angkatnya.
Nino perlahan paham, jika ia ditakdir berpisah dengab orang tua kandungnya, hanya karena Allah ingin menempatkannya di tempat yang lebih baik. Dalam kehangatan keluarga yang utuh dan tulus sayang padanya.
"Mami, Nino di sini bahagia. Nino di sini baik-baik saja. Mami jangan khawatir ya. Mami, Nino janji, Nino akan bawakan mahkota terindah untuk Mami, kelak di surga. Tunggu Nino ya Mami. I love you so much, Mami. Meski ada Ummi Kinza, posisi Mami tak terganti. Nino sayang Mami," batin Nino dalam hatinya.
Semangatnya menghadiahkan mahkota untuk sang ibu kelak di surga membuatnya terus berjuang meski ia harus mengejar ketertinggalan teman-temannya dalam belajar agama. Ia ingin menjadi seorang penghafal Quran, seperti wasiat terakhir sang ibu.
"My boy, maaf, mami nggak bisa didik kamu dengan baik. Mami percaya Ummi bisa didik kamu dengan baik. Patuh sama Ummi, nurut sama Ummi, jadilah penghafal Quran seperti Ummi. Hanya itu pesan mami. Mami yakin, Allah akan menjagamu meski mami tak lagi ada di sampingmu, El Nino. Doakan daddymu semoga Allah memberinya hidayah, seperti yang mami rasakan. Begitu indah, dalam peluk kasih Allah."
Pesan sang ibu menjadi cambuk semangat El Nino Brandon Johnson.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai....
End yuuuuk
❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro