Part 36
"I'm sorry for your lost."
Wisang melepas Noah, ia berdiri dan mendekap orang yang memberi ucapan empati padanya.
"Ikhlas ya. And welcome home, Papa."
Wisang mendekapnya sangat kuat, sangat kuat. "Mas, i can't breath," rintih wanita itu.
"Heh! Adikku bisa mati!" Zayyan mengetuk kepala Wisang dengan ponselnya.
"I'm sorry, I'm sorry, Sayang aku pikir kamu yang ㅡ" Wisang tak sanggup meneruskan kalimatnya. Wanita berniqab itu ia tatap lekat dan diciuminya tanpa henti.
"Jadi, itu makam siapa?" tanya Wisang.
Kinza memicingkan mata. "Kamu beneran nggak tahu?"
"Aku nggak tau apapun. Terakhir kali aku sadar, kamu ... Kamu ditembak, aku pikir kamu ... Mimosayang, aku ... Aku disekap dan aku melarikan diri. Aku nggak tahu arah, aku nggak punya apapun. Aku terakhir bertanya pada orang yang menyekapku, aku tanya kamu dimana and he said that you die."
Kinza tersenyum dibalik niqabnya. Ia bersyukur suaminya pulang dengan selamat.
"It's very long story, we can talk later at home. But, first, send your dua, for her. Rose."
"Rose?" tanya Wisang.
"Yes, she died. Setelah kejadian itu, dia menghilang. Cindy yang ketakutan menceritakan semua pada Sena dan Danial. Mereka mencarinya. Rose, ditemukan dalam kondisi bleeding. Aku sempat bicara dengannya, dia titip anak-anak, dia titip kamu. Dia sempat membaik, dia mengucap syahadat. Dia bertaubat sesungguh-sungguhnya dan ... Dia berpulang setelah itu. Anak-anak tinggal di pondok, sama aku."
Wisang menatap pusara itu.
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, mengirimnya ke rumah sakit terbaik, maaf ya, aku takut Mas marah. Mas pasti kehilangan banget," cicit Kinza.
Wisang tak melepas rangkulannya dari sang istri. Tiga bulan lebih ia berpikir istrinya yang meninggal. Namun ternyata bukan. Antara lega dan sedikit tak enak hati. Bagaimanapun juga, Rose pernah hadir dalam hidupnya.
"Hai, Rosie, maaf kalau perpisahan kita dulu nggak baik-baik. Maaf aku memutuskanmu begitu saja. Maaf aku lebih memilih Kinza, dan maaf aku tidak memenuhi janjiku menikahimu. Tapi, aku janji akan merawat mereka bertiga seperti anakku sendiri. Terima kasih untuk semuanya. Dan maaf untuk semuanya," ucap Wisang pada pusara yang sudah ditaburi bunga oleh Noah dan Neyna.
Kinza berusaha berjongkok, dan mengelus kayu penanda makam Rose. "Kakak madu, dia datang. Katamu kalau dia pulang mau kamu tampar karena sudah jahat mempermainkan kita? Apa boleh aku wakili, Kakak Madu?"
Wisang menoleh pada istrinya. "Kakak madu?" tanya Wisang.
Kinza mengangguk. "Waktu kami di rumah sakit sama-sama, kami tidur sebelahan. Aku minta Kak Rose untuk terus semangat biar cepet sembuh dan dia pun menyemangati aku. Kami nunggu Mas pulang, aku mau jadiin dia maduku. Aku rela Mas nikah lagi, sama dia. Tapi ... Allah lebih sayang dia. Aku manggil dia Kakak Madu."
Wisang mencubit hidung tertutup niqab milik Kinza. "Jangan sembarangan! Aku hanya menikah satu kali ingat itu. Aku tidak akan pernah memadumu. Tidak akan pernah."
Noah merengek haus, sementara Neyna dan Nino sudah duluan pergi bersama Sabira dan Karen.
"Kita pulang dulu aja, ngobrol di rumah. Yuk," ajak Rayyan.
Wisang merangkul ipar dan istrinya, sementara Noah meminta gendong Rayyan.
"Abah sama Ummi dimana?" tanya Wisang.
"Abah, Ummi, Ummah, bapak, Daddy, Mas Dewa, Sena, Muzzamil, sama Arafah umroh. Pulang H-2 lebaran besok."
****
Wisang benar-benar bersyukur, ia bisa kembali ke tempat yang begitu ia rindukan. Nino kini resmi menjadi santri, bukan di Baitussalaam tetapi di Nurul Ilmi. Dua adiknya tinggal dengan Kinza di griyo alit, rumah mungil di belakang rumah Kyai Din.
Tempat dimana Kinza tinggal selama ditinggal sang suami. Lepas tarawih, Wisang kembali ke rumah istrinya.
"Ummi, Ummi, aku mau ikut rutinan malem Jum'at di tempat Mbah Yai ya?" Neyna meminta ijin.
"Ya, hati-hati."
Wisang menerima salam dari putri angkatnya. Si kecil Noah masih bermain di masjid, belum mau pulang. Dia cukup lengket dengan Rayyan.
Setelah memastikan semua pintu terkunci rapat, Kinza membuka niqabnya. Cuaca panas membuatnya sering kegerahan. Ia berdiri di depan kipas angin sembari memakan cemilan.
"Ditinggal tiga bulan mmm hampir empat bulan, tambah chubby aja," goda Wisang.
"Ngejek! Ya udah aku nggak jadi makan. Mulai besok aku bakal diet." Kinza meletakkan cemilannya.
Wisang terkekeh. Ia tak mempermasalahkan bentuk tubuh istrinya. Tak peduli kurus, berisi, atau apapun itu. Selama dia Kinza, Mimosanya, tak apa. Ia cinta.
Wisang mengambil cemilan sang istri. "Nih, makan."
"Nggak mau!" ketus Kinza kesal. Baru tadi siang mereka bertemu lagi, dan kini sudah ada pertengkaran kecil seperti yang selalu mewarnai rumah tangga mereka dulu.
Wisang sengaja menggoda Kinza. "Mimochubby, ngambek ih."
Kinza kesal dan menangis.
"Dih, cengeng. Ngambek. Habisnya kamu lucu, badanmu kurus, tapi perutnya gendut. Lucu tau."
Tangis Kinza semakin kencang. Wisang berusaha memeluknya.
"Nggak usah pegang-pegang! Papa jahat sama Ummi!" teriak Kinza.
Wisang terkekeh. "Sayang eh jangan ngambek dong, lucu kok. Gemesin."
"Aku kayak gini gara-gara anakmu! Mas sih nggak ngerasain gimana payahnya mual muntah sampai harus di infus berkali-kali di rumah sakit. Nggak bisa makan, minum, bawaannya lemes terus. Dua bulan aku ngerasain itu sampai mau mati rasanya! Buat anakmu! Sekarang, aku gendut dikata-katain! Jahat kamu! Nak, Papa jahat sama Ummi." Kinza mengelus perutnya.
Wisang mengamati sang istri. "Sayang, kamu ... maksud kamu, kamu hamil?"
"Bukan! Cacingan!" ketus Kinza sembari merebahkan diti di kasur.
"Sayang! Mimosayang! Aku serius tanya, kamu hamil? Bener?" tanya Wisang dengan mata berkaca-kaca.
Kinza yang berbaring di kasur diam saja. Wisang menyusulnya, ia berbaring dengan kepala di dekat perut istrinya.
"Assalamualaikum, ada anak Papa di sini ya?" Wisang mengelus perut istrinya.
"Wa alaikumussalaam. Papa nakal nggak usah deket-deket dedek sama Ummi." Kinza menjawab bak anak kecil.
Wisanh terkekeh, ia menciumi perut istrinya. "Ummi galak ya, Dek. Ngambekan, manja, tapi gemesin. Bikin kangen."
Kinza berusaha tak menggubris suaminya meski ia senang, Wisang begitu bahagia mendengar kabar kehamilannya yang sudah tiga bulan.
"Dedek, mau denger cerita Papa? Tentang si dia? Si Cantik yang membuat Papa jatuh cinta. Bukan mawar, bukan melati, bukan juga kenanga. Dia adalah si Mimosa Pudica Linn. Ya, si putri malu. Dia berduri dan selalu menutup jika didekati. Namun, bunga pinknya yang indah, sangat menarik untuk dimiliki."
Kinza menggigit bibir, ia gampang tersentuh sekarang. Tak lagi bisa tahan untuk marah lama-lama.
"Papa dulu pernah berdoa, Tuhan, bolehkah aku memiliki makhluk-Mu yang begitu unik ini? Aku rela meski harus terancam nyawaku, tertusuk durinya, terluka karenanya. Asal aku bisa memilikinya, menikmati keindahannya dari dekat. Tapi, papa terlalu malu untuk menyampaikan perasaan papa ke ummimu. Kamu jangan bilang-bilang ummi ya, pasti ummi pikir papa gombal."
Kinza menghapus air mata harunya. Ia mengelus rambut sang suami.
"Dedek kasian banget sih, belum lahir eh bapaknya udah ubanan. Perasaan kita cuma beda delapan tahun, kenapa Mas udah ubanan sih?" tanya Kinza saat melihat uban di kepala suaminya.
Wisang terkekeh. "Tapi masih ganteng kan?"
Kinza mengangguk. "Iya," jawabnya jujur.
Wisang merayap naik, menyejajarkan wajahnya dengan wajah sang istri. Ia mengecupnya beberapa kali.
"Mas ngapain aja selama pergi? Mas tau, pas hari itu, siapa yang nyekap Mas?"
"Brandon?" Wisang menebak.
"Bukan, Daddy. Daddy, Mas Dewa, dan Sena bersekongkol. Mereka sengaja nyulik Neyna dan Nino biar Mas nggak jadi terbang. Mereka kesel sama Mas karena memperlakukan aku kurang baik. Katanya sih gitu dan semua itu ternyata tujuannya agar Mas sadar, kalau aku cinta sama Mas dan mungkin begitu juga sebaliknya. Daddy mau kasih Mas pelajaran, makanya seolah Daddy bunuh aku. Well, Sena waktu itu yang pakai topeng."
Wisang melotot. "Sena?"
"Iya, dia ngebius kita setelah itu. Aku dibawa pulang dan kamu dibawa ke villa Daddy. Aku nggak tahu gimana ceritanya tapi paginya aku dapat kabar kamu hilang. Semua orang nyoba nyari tapi nggak ketemu dan kami pun mulai bingung soal Kakak Madu. Dia hilang juga. Terus Sena bawa kabar lagi kalau Kakak Madu lagi di tempat dukun gitu entah dia dilecehin, sampai perdarahan dan itu anak Brandon. Brandon bener-bener terpukul. Dia sekarang pulang ke Amerika. Aku nitip anak-anak ke kakak-kakakku. Karena aku sendiri dipusingkan sama anakmu ini. Susah banget makan, tiap makan bisa masuk kalau makan mie jawa. Lainnya nggak mau padahal gizinya dari mana. Akhirnya aku sempat diopname beberapa kali. Sering pingsan juga. Rada rewel nih Icang kecil nih. Tap sekarang udah pinter. Ummi jadi laper mulu."
Wisang terkekeh mendengar cerita istrinya. Ia sangat bersyukur, dipersatukan kembali dengan orang-orang tercintanya, terlebih dengan kabar kehamilan sang istri. Bunyi perut Kinza terdengar.
"Kamu laper, Mimosayang?" tanya Wisang.
Kinza mengangguk.
"Makan yuk."
"Nggak mau, udah malem, gendut."
Wisang mencubit hidung istrinya. "Tunggu di sini, Papa masakin dulu, ya."
"Masak? Mas mau masak? Jangan deh, jangan, tar malah kebakaran itu dapur."
Wisang tak menggubris istrinya. Ia memasak nasi goreng. Ia sangat ingat istrinya suka nasi goreng. Kini Wisang cukup cekatan di dapur. Ia terbiasa membantu istri Mbah Maskur dan Aziz di dapur.
Kinza yang penasaran, akhirnya ke dapur. Ia melihat suaminya lihai mengupas kulit bawang, mengulegnya kemudian menumis bumbu hingga harum gurih tercium membuatnya semakin lapar saja.
"Mas pinter banget masaknya," puji Kinza.
Wisang terkekeh.
"Aku siapin piringnya kalau gitu," celetuk si ibu hamil.
Wisang mengamati penampilan sang istri yang sedikit berbeda itu. Ia tak tahan untuk tidak memeluk istrinya yang tengah menyiapkan minum dan piring.
"Mas Icang ih, geli! Gosong loh nanti itu nasinya."
"Udah aku matiin kompornya," bisik Wisang dengan suara seraknya.
Kinza yang sudah lama merindukan sentuhan sang suami, akhirnya pasrah. Ia membiarkan Wisang menjamah tengkuknya, menciumi pipi dan lehernya, sembari mengelus perutnya, seolah meminta ijin jika ia akan sedikit menganggu ketenangan calon anak mereka malam ini.
"Mimo sayang, may i ng ...."
Kinza menatap suaminya dan mengangguk. "But not here."
Wisang membopong istrinya dan beribadah bersama setelah sekian lama mereka tak melakukannya.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Dahlah
1821 tar... Bahaya...
🤧🤧🤧🤧
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro