Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 35

Hari demi hari dilewati Wisang. Setiap rindu menyerangnya akan sosok sang istri, dia selalu segera berlari ke surau, berwudu dan salat sunnah wudu sebelum membaca mushafnya.

Jangan tanya berapa kali ia khatam Quran dalam kurun waktu tiga bulan ini. Dalam sehari saja ia bisa khatam dua kali, siang dan malam. Terlebih kini, Bulan Ramadhan tiba.

Banyak sekali jamaah yang kini memakmurkan surau. Wisang yang kini membantu mengurus kebun Mbah Maskur dan mengolah kayu hasil dari hutan jati milik ustaz kampung itu mulai menabung, dari upah kerja kerasnya tiga bulan ini.

Beberapa orang juga kadang memberinya sedekah makanan, baju, bahkan ada yang memberinya uang setiap kali Wisang membantu mereka membenahi instakasi listrik, mengajari anak-anak mereka pelajaran sekolah dan mengaji.

Si mafia itu, kini menjadi guru. Bahkan sekarang ia dikenal dengan sebutan, Ustaz Icang. Satu hal yang masih menjadi keinginannya, ia ingin kembali ke Solo, menemui keluarga istrinya. Berziarah ke makam belahan jiwanya.

Setiap hari, ia mengirimkan doa untuk kekasih hatinya, berharap sang pujaan hati diberikan tempat terindah oleh Tuhan mereka.

"Mas Ustaz, Mimosa itu, apa sih?" tanya Aziz.

"Kenapa kok Mas ngukir Mimosa di setiap meja, kursi, dan rak yang Mas buat?"

"Nama istriku."

"Istrinya bule ya? Namanya kayak bule."

Wisang terkekeh. "Nggak, dia orang asli jawa. Nama aslinya Kinza Mahdiya Putri Al Asyari. Dia putri Kyai Bahruddin Al Asyari, pimpinan pondok Baitussalaam, Solo."

"Pondok Baitussalaam? Kok kayak nggak asing ya, Mas. Aku kayak pernah denger namanya. Dimana ya?" Aziz berpikir sembari melanjutkan memukul paku di rak yang ia buat.

Ya, Wisang mengajarinya membuat furnitur. Kayu yang mereka gunakan adalah kayu dari hasil kebun Mbah Maskur."

Sebuah truk pengangkut pesanan furnitur sudah datang.

"Mas, bisa bantu bongkar muatnya? Soalnya tenaga yang biasanya ikut saya ndak mau kerja. Katanya udah deket lebaran, mau pulang kampung."

Wisang tentu saja setuju. Ia tak mau mengecewakan Mbah Maskur. Toh, ia juga berniat untuk pulang lebaran nanti, meninggalkan Desa Tirtomoyo, yang sudah menemaninya bertumbuh di sana. Menemaninya mendekatkan diri pada Illahi.

Menjadikannya pribadi yang benar-benar berbeda dengan dirinya yang sebelumnya. Ia paham kini, kenapa banyak orang miskin yang hidupnya terlihat tenang, bahagia, meski tanpa harta.

Ia juga mengerti rasa nikmatnya berpuasa meski tetap bekerja keras. Tak ada ia teguk khamr tak lagi ia sulut rokok. Tak ada barang haram masuk ke tubuhnya. Selama di Tirtomoyo, ia hanya makan sayur hasil kebun dan umbi-umbian. Buah pun pisang pemberian tetangga.

Sudah lama tak ia rasakan panas hawa perkotaan. Kulitnya yang biasanya terlihat coklat, kini bersih, putih, terjaga air wudu.

"Mas, ini beneran ndak apa-apa kan? Kuat nggak puasanya? Kalau nggak kuat nanti pulangnya kita mampir makan dulu, restoran padang."

Wisang terkekeh. "Malu sama anak-anak, Mas. Sudah tua kok masih aja bolong puasa."

Kegiatan bongkar muatan pun dilakukan oleh Wisang, Aziz, dan si sopir truk. Beberapa orang membantu mereka.

"Gus Wisang?"

Wisang menoleh. "Gus? Saya bukan Gus," kekehnya.

Pemuda itu menatapnya. "Gus Wisang suami Ning Kinza kan? Mantunya Abah Yai? Gus ingat saya? Saya Bachtiar. Saya santri dalemnya Abah Yai Din."

Wisang yang tadi fokus menurunkan rak dan meja kini turun dari truk. "Bach? Kamu? Ka-kamu bisa anter saya ke tempat Kinza?"

"Ning Kinza? Bisa, Gus, bisa. Monggo. Ada di makam Banalaya. Naik motor aja ya?"

Wisang mengangguk. Ia ingin melihat sang istri. Ya, meski mungkin tak lagi bisa ia jumpai raganya.

"Ziz, kamu kalau mau pulang, pulang dulu. Aku mau di sini dulu, ya."

Aziz yang bingung hanya mengangguk-angguk. Ia kemudian sadar sesuatu, Baitussalaaam. Ya, nama itu tidak asing karena Pondok Baitussalaam-lah yang memesan rak dan meja untuk perlengkapan kamar santri.

Wisang dibonceng Bachtiar, menuju area pemakaman yang jaraknya setengah kilometer dari lokasi pesantren.

"Di sebelah sana itu, bawah pohon beringin besar itu, Pak."

Kaki Wisang lemas rasanya saat akan melangkah masuk ke area pemakaman.

"Wisang?"

Ia mendapati Abid, kakak iparnya di sana.

"Mas, Mas Abid." Hanya itu yang bisa Wisang katakan. Ia memeluk kakak iparnya.

"Mas, sepurane, saya baru bisa pulang sekarang. Saya ... Saya mau ketemu Kinza, Mas. Saya ... mau ketemu Kinza."

Abid mengembus napas. "Ya sudah sana. Wis nggak usah nangis. Semua sudah takdir. Jalannya memang seperti ini."

Abid menuntun Wisang ke arah sebuah makam yang kini di kelilingi banyak orang. Wisang mengenali mereka, ada Zayyan, Karen, Sabira, Rayyan, Noah, Neyna, dan Nino.

Wisang menghapus cepat air matanya. Tanah kubur itu masih merah, masih baru. Jika dihitung, tepat seratus hari, Wisang pergi, begitu juga dengan kekasihnya. Langkah Wisang semakin berat.

"Papa!" teriak Noah yang sedari tadi sibuk bermain bunga.

Semua orang menoleh. Wisang berjongkok, memeluk ketiga bocah yang menubruknya.

"Papa! Papa we miss you! Papa!"

"Pah, Ummi Pah, Ummi!" ujar Noah dan menunjuk-nunjuk ke arah makam tempatnya menabur bunga tadi

Wisang mengangguk dan tak kuasa menahan tangis. Menciumi ketiga anak tak berdosa yang terlanjur sangat ia cinta.

Wisang terus memeluk mereka. "Sabar Brother," ucap Abid sembari mengelus bahu Wisang.

"I'm sorry for your lost. Ikhlaskan, dia sudah ada di tempat terbaik. Insyaallah."

Ucapan penuh empati itu membuat hati Wisang tak karuan. Air mata mengucur deras, memancing keharuan siapapun di sana. Wisang kehabisan kata-kata ia hanya bisa menangis dan menangis.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hmmmm Mas Icang

🤧🤧🤧🤧

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro