Part 34
Hawa dingin menyeruak saat pintu tempat disekapnya Wisang terbuka. Sebuah nampan diletakkan di sebalik pintu. Wisang yang tertidur meringkuk di karpet, membuka matanya.
"Makan." Satu kata perintah dari orang yang tak ia kenal membuat Wisang terbangun.
"Tell me where's she?"
"Who?"
"My other half of course! Istriku."
"She's die. Poor you, Wisanggeni."
Wisang baru akan menyerang orang itu dan berusaha keluar dari sana untuk melihat orang tersayangnya yanh terakhir kali tetapi ia kalah cepat. Pintu besi itu sudah tertutup kembali.
"Kinza!!" raung Wisang.
Ia butuh waktu satu jam untuk kembali tenang. Hingga ia melihat sendok di atas tempat makan dari alumunium di dekat pintu. Pikirannya bekerja. Ia menggunakan sendok itu sebagai alat bantunya mencongkel kaca dekat ventilasi di atas ruangan.
Cukup hati-hati, Wisang merusak satu persatu bagian ventilasi dari alumunium tersebut. Ia dapat mengintip ke luar. Ada pagar dengan kawat berduri di sana. Hal seperti ini jelas bukan masalah baginya. Ya, Wisang harus bisa pergi dari sana.
Ia melarikan diri. Namun, satu hal bodoh lagi ia sadari. Dia tak tahu dimana posisinya sekarang. Semua tempat terasa asing. Ia yakin ini bukan kawasan tempat tinggalnya. Malam menjelang, ia hanya berusaha berlari sejauh mungkin, hingga menemukan sebuah surau di desa terdekat. Wisang memperkirakan ia sudah berjalan sejauh empat kilometer atau bahkan lebih.
Wisang tak tahu pasti ini jam berapa, ia hanya ingat dirinya belum salat Isya. Surau gelap itu coba ia nyalakan lampunya, beruntung pintu di sana tak dikunci.
Sadar jika celananya kotor, ia pun meminjam sarung yang tersedia di rak tua, berjajar dengan mukena dan Quran. Setelah bersuci, pria itu segera menjalankan salat isya, ia sambung salat lail dan witir. Karena ini sudah lewat tengah malam dan ia sempat tidur, seperti sunnah yang ia ingat sebelum menindakkan salat malam.
Perut Wisang bergolak. Ia ingat masih sempat membawa jeruk dan pisang yang diberikan oleh penyekapnya. Diambilnya dua buah itu. Andai Kinza ada di sini, ia pasti sudah mengupaskan jeruk untuknya, membersihkan serabut di dalam daging buah, dan menghilangkan isinya.
"Mas Icang, maem jeruk dulu nih."
"Aku cuma suka jus jeruk, nggak suka makan jeruk."
"Cobain dulu. Udah tinggal makan kok, nih, aku dengar dari Mas Dewa sama Daddy, kalau Mas nggak pernah makan jeruk lagi setelah ibu meninggal. Karena nggak ada yang mau ngupasin, bersihin daging buahnya sampai kayak gini kan? Nih sekarang aku suapin ya? Noah aja habis banyak. Manis kok."
Wisang mengupas jeruk sembari kembali meneteskan air mata. Hal sekecil itupun, kenapa baru sekarang ia rasakan, dan ia rindukan.
"Kamu memangnya pernah ngobrol sama Daddy?"
"Iya lah, liat nih. Aku chat sama Daddymu, Mas Dewa yang kasih nomornya. Ajak aku ke sana dong, Mas. Sebelum kamu ninggalin aku ... Boleh nggak aku minta kamu buat ajak aku ke rumah Daddy. Aku pengen kasih salam langsung ke mertuaku. Pas aku masak gulai itu aku kirim ke sana. Nitip sama Mas Dewa. Katanya Daddy suka. Aku nyuri resep ibu, dari ibunya Kang Sena."
"Kamu diem-diem nelusurin semua tentang aku hmm? Deketin semua orang terdekatku?"
Wisang masih ingat wajah Kinza yang menunjukkan cengiran khasnya. "Sejak aku sadar aku ini istri sahmu. Aku mulai belajar untuk memahami suamiku, mengenal tentang suamiku, dan lama-lama kecanduan. Cassingmu nih, lookmu, kan angker, tapi hatimu kayak hello kitty. Aku pun kepoin soal kamu dari Sena dan Danial."
"Danial? Kamu kenal Danial juga?"
"Iya dong, kenal. Dikenalin sama Mas Sena. Dia kasih kita gift pernikahan juga loh. Katanya sih, dia mau ke sini juga, akhir tahun nanti. Dari mereka aku tahu, si bengis ini, memang bengis tapi untuk tujuan yang manis. Mas mengembalikan uang-uang curian yang diambil para penjahat kepada pemiliknya dengan cara yang agak ekstrim kan? Kayak Robinhood ih, tapi jangan diulang lagi. Mencuri hasil curian, menyelewengan hasil penyelewengan, mengorupsi hasil korupsi, tetap saja nggak baik. Nggak ada barokahnya. Tinggalin aja ya, Mas? Mas bisa bangun pabrik furnitur di sini. Mas ternyata lulusan design interior juga ya? Keren ih, gelarnya berjejer gitu. Aku jadi insecure."
Ia biasanya menyelidiki tentang orang-orang dan lawan bisnisnya, tetapi kali ini Kinza justru melakukan hal itu pada dirinya dan dalam waktu singkat Kinza bisa tahu segalanya.
"Mimosa, kalau kamu tahu, aku nangisin kamu. Pasti, kamu bakal ngeledek aku, kan? Kamu pasti bakal ngungkit-ngungkit ini, dan tanya apa Mas Icangmu ini mulai jatuh hati sama kamu. Dan ... andai ada kesempatan, kelak di akhirat, kita bertemu lagi, i will say I love you, yes i do. I love you so much, My Mimosa Pudica Linn."
Wisang kembali membuka Qurannya, ayat demi ayat, ruku' demi ruku', lembar demi lembar, surah demi surah, dan juz demi juz ia baca. Ia tanpa sadar khatam dalam semalam. Rasa nyaman, ketenangan, dan suara Kinza yang seolah terngiang membersamainya mengaji, membuat Wisang tak mau berhenti membaca kitab itu.
Terus dan terus ia tak rasakan lelah. Ia tak rasakan lidahnya terselip atau salah melafalkan huruf-huruf di sana. Semua lancar, sangat lancar, seolah Kinza meminjamkan kemampuan membaca Qurannya.
****
Tepukan di pundak membuat Wisang terkejut. Ia yang sudah selesai mengumandangkan azan subuh terkejut. Seorang pria berjanggut putih tersenyum.
"Mas, musafir?" tanya pria itu.
"Iya Pak, saya, maaf saya lancang masuk ke sini. Saya pinjam sarung juga."
"Ndak apa-apa, ndak apa-apa. Saya seneng, akhirnya ada yang mau ke surau ini lagi. Biasanya cuma saya, istri, dan cucu saya yang di sini."
"Warga kampung yang lain, Pak?" tanya Wisang heran. Ia melihat pemukiman itu cukup banyak rumah meski letaknya berjauhan.
"Milih di masjid sana, di bawah bukit. Di sini kan saya lama kalau ngimami. Sudah ndak gesit kayak dulu. Mereka mungkin malas. Kalau diimami cucu saya, mereka juga ndak mau, soalnya cucu saya yang satu masih SMP, yang satu SMA. Ndak mau diimami anak-anak."
Wisang baru paham. Dua orang yang diceritakan muncul. Dua anak yang berpakaian sederhana dengan baju koko dan sarung, keduanya bergantian menyalami Wisang.
"Wah, Mase gagah," puji salah satunya. "Tapi, itu kenapa Mas? Kok luka-luka?"
Wisang tersenyum. "Panjang ceritanya. Salat dulu saja, monggo."
Wanita bermukena putih datang dan menggelar sajadah di posisi belakang.
"Monggo, Pak," ucap Wisang mempersilakan sang pria sepuh untuk mengimami.
"Mas saja, monggo."
Wisang hampir menolak saat ia seolah melihat bayangan istrinya tengah tersenyum di ambang pintu musala. "Go on." Begitulah yang Wisang dengar hingga ia memutar arah ke samping mimbar.
"Kamu yang iqomah ya?" ucap Wisang dan bocah SMA itu mengangguk. Lantang ia kumandangkan iqomah, kemudian ia letakkan mic di stand mic yang berada di samping Wisang.
Wisang terlalu fokus dengan niatnya, sehingga tak tahu jika mic di sampingnya masih menyala.
"Allahu Akbar." Takbiratul ikhram menjadi permulaan Wisang, debut sebagai imam. Biasanya ia hanya berani mengimami Kinza di salat Dzuhur dan Ashar, selebihnya ia kabur ke masjid. Kenapa? Karena ketika menjadi imam Dzuhur dan Ashar, ia tak perlu membaca nyaring bacaannya. Perkara ia membaca Al Ikhlas pun, ia tak malu, toh Kinza tak tahu ia membaca surah apa.
Namun, kali ini, ia berani mengimami dengan surah yang bahkan ia sendiri tak sadar jika ia hapal surah itu. Ayat awal surah Al Baqarah di rakaat pertama dan ayat terakhir surah Al Baqarah di rakaat ke dua.
Semua berjalan lancar. Bacaannya yang indah didengar seluruh penjuru kampung. Ia terkejut, di saat salam, ada beberapa makmum masbuk yang tengah menambah rakaat. Shaf yang tadi hanya berisi tiga orang, bertambah menjadi sepuluh orang.
"Masyaallah, berkah Mas. Njenengan wali Allah," ucap si kakek yang tadi menemui Wisang, sambil menangis haru. Betapa tidak, surau yang dulu ramai, sudah lima tahun ini sepi. Warga kampung memilih turun untuk salat di masjid desa sebelah.
Mbah Maskur, sudah terlalu sepuh untuk mengimami. Mereka tak betah jika harus berlama-lama salat menunggu pria yang sudah sepuh itu melafalkan surah-surah. Kini, hadirnya Wisang, membuat surau yang ia bangun sejak puluhan tahun lalu, kembali diisi jamaah.
"Sudah dapat gantinya to, Mbah. Gini loh, jadi semangat. Bacaannya bagus, ndak lama salatnya, pas. Jadi seneng kami salat," jujur salah satu warga.
Wisang mendengar ucapan itu. Ada rasa malu teramat saat Mbah Maskur memujinya dengan sebutan 'wali Allah'. Wali dari mana? Dia saja sudah berkali-kali membunuh orang meski tak secara langsung. Ia juga sudah menyakit ratusan orang. Bagaimana mungkin pantas disebut sebagai salah satu orang pilihan Allah?
"Mas ini dari mana?" tanya cucu Kyai Maskur, Aziz.
"Dari Solo."
"Solo? Wah jauh juga Mas."
"Ini memang di mana? Aku buta arah," jujur Wisang.
"Ini perbatasan, sebelah sana Jogja, situ Boyolali, sana Magelang."
Wisang mengernyit. Kenapa ia bisa sejauh itu dibawa pergi oleh penyekapnya?
"Kalau mau ke Solo, jauh?"
"Jauh Mas. Naik motor bisa dua jam. Mas mau pulang?"
Mbah Maskur mendengar pembicaraan itu. "Mas, kalau Mas di sini dulu sementara untuk membantu memakmurkan surau, gimana? Saya rasa warga sini jadi tergerak hatinya setelah kedatangan penjenengan ke sini. Selama di sini, Mas bisa tinggal di rumah saya, tapi ya seadanya. Ya kiranya Mas berkenan."
Wisang menimbang-nimbang. Memaksakan diri untuk kembali ke Solo pun, ia butuh tenaga dan uang. Tubuhnya masih belum fit. Hatinya? Apalagi. Ia harus siap menghadapi sakitnya kehilangan sang istri. Belum lagi dengan apa yang harus ia lakukan di depan keluarga istrinya.
Ia butuh amunisi jiwa raga.
"Baik kalau begitu, Mbah. Saya di sini dulu. Tapi, saya ngerepotin Simbah, nanti. Saya numpang tidur di sini ya? Saya ndak bawa apa-apa, saya ndak punya uang, ndak bawa baju."
"Nggak apa-apa Mas, soal sandang, papan, tenang. Pangan juga. Saya bersyukur, akhirnya doa saya terkabul, dikirimkan seorang pilihan Allah, yang akan melanjutkan dakwah di kampung ini. Memakmurkan surau ini kembali."
Wisang tersenyum. Ia menatap ke arah dimana matahari menyorotkan sinarnya, menyinari daerah pegunungan itu. Ia seolah melihat bayangan istrinya di sana tengah menatapnya dengan cengiran khasnya setiap kali Kinza benar akan sesuatu hal yang Wisang yakin itu hal yang salah.
"I've told you, right? Allah loves you so much, Allah choose you, untuk menjadi pejuang di jalannya. Seperti ketika Allah membalik hati Umar bin Khattab yang begitu benci pada Rasulullah dan seketika mencintai Rasulullah. Aku percaya akan hal itu, Mas Icang. Abah mengijinkanmu menikahiku juga tak mungkin sembarangan. Abah pasti bisa melihat ketulusanmu dan aura kebaikanmu dibalik topeng sangar yang kamu kenakan, Mas Icangku."
"Mas ... Namanya siapa?" tanya Aziz, membuat Wisang tersadar.
"Aku Icang. Biasa dipanggil Icang."
"Icang? Weh, gagah-gagah kok namanya unyu, gemoy," sahut Aziz terbahak sampai dijewer sang kakek.
Wisang ikut tertawa. Ia tak tersinggung. Padahal awalnya ia tak suka dipanggil seperti itu, tetapi, kini rasanya ia suka panggilan itu. Icang. Icang kesayangan Mimosa. Kinza Mimosa Pudicanya.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaaa
❤❤❤❤❤❤❤
Mas icang luka niiih.... Luka hati dan fisik.... Atit....
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro