Part 33
"Mas Icang, kalau masih punya waktu bersama, aku pengen ngajak Mas ke makam mama. Aku mau pamer sama mama. Aku mau bilang ke mama kalau anak gadisnya udah punya pawang. Pawang yang lebih ganteng dari suami mama. Lebih keren dari suami mama. Dan pastinya lebih bertanggung jawab dari suami mama."
"Suami mama? Bukannya suami mamamu itu abah?"
"Iya. Coba kalau waktu itu abah bisa tegas, abah bisa adil, abah berani mengambil resiko dari keputusan yang ia ambil. Mama nggak akan tersiksa. Mama pasti bakal bahagia, kayak aku sekarang."
"Kamu bahagia? Sekarang?"
"Sure. I'm very happy. I think i'm so lucky to have you. So lucky to be your wife."
Suara lembut yang sesekali bernada manja itu seolah masih terngiang di telinga Wisang. Sorot dari manik kecoklatan milik Kinza setiap menatapnya malu-malupun masih ia ingat jelas.
"Mimosa ... Sayang ... maaf. Maaf."
Pria bertubuh kekar dengan luka di beberapa bagian tubuh tersebut sayup-sayup mendengar azan. Di ruangan tempat ia disekap tak ada siapapun dan tak ada apapun kecuali sebuah karpet lawas. Wisang meraba jaketnya, berharap masih menemukan sesuatu. Ponsel mungkin atau apalah. Namun, nihil. Hanya sebuah benda berukuran kecil di sakunya. Benda yang pagi sebelum ia berangkat, diselipkan Kinza di saku jaketnya. Sebuah mushaf yang isinya sudah dihapal Kinza di luar kepala.
Wisang mengambil benda itu. Ia merabanya. Mushaf ini begitu harum, seperti aroma khaa Kinza. Mushaf yang sudah lama menemani sang istri kemanapun ia pergi.
"Mas bisa ngaji?" Teringat obrolan ketika pertama kali mereka tinggal bersama.
"Ibuku cukup keras untuk soal ini. Sangat taat dengan agamanya. Aku dan kakakku punya guru privat untuk ngaji, dulu. Teman bapaknya Sena. Namanya kyai Sulaiman, waktu kami masih di Jogja. Sudah lama tapi aku nggak ngaji," jujur Wisang kala itu.
"Masyaallah. Mas keren deh. Udah lama nggak ngaji tapi masih inget. Keren banget. Mas bener-bener disayang Allah ya." Wisang masih ingat raut wajah sang istri saat memujinya dulu. Matanya yang bulat dan cerah mengerjap-ngerjap. Bibir ranum kemerahan itu menyungging senyuman. Begitu cantik, bak boneka hidup berkulit porselen. Bahkan barbie tak ada apa-apanya dibanding kecantikan Kinza, di mata Wisang, meski ia tak pernah mau mengungkapnya. Terlalu gengsi Wisang untuk mengakui bahwa ia jatuh hati pada wanita yang baru saja ia kenal dan ia nikahi.
Kinza tak segan memujinya. Termasuk ketika Wisang mengatakan ia lama tak mengaji. Menurut Wisang, hal itu tak masuk akal. Bukankah harusnya Kinza ilfeel dengannya? Jelas-jelas ia tak menjalankan perintah tuhannya selama ini.
"Kamu kalau mau nyati perhatian, mujinya yang logic dong. Kelihatan bohongnya. Disayang Allah apanya. Aku itu sudah lama nggak ngaji. Bukan setiap hari ngaji."
"Mas, justru itu kerennya. Mas sendiri bilang banyak sekali keburukan yang Mas lakukan di masa lalu. Setahuku, ketika kita bermaksiat, maka jarak kita pada Allah semakin jauh. Mulai lupa dzikir, lupa salat, lupa ngaji, lupa sedekah, dan hal-hal lain. Tapi buktinya, Mas masih bisa ngaji walau udah lama nggak ngaji. Itu artinya, Allah masih mengijinkan Mas Icang buat menyimpan ilmu membaca kalam-Nya. Allah tau jika suatu hari nanti Mas akan kembali pulang. Kembali ke jalan Allah, menegakkan salat lagi, membaca Quran lagi. Allah tetap menjaga ilmu itu di dalam memori Mas, setelah bertahun-tahun. Tidak semua orang diberikan kemuliaan seperti ini. Dan satu lagi, suara Mas bagus kalau ngaji. Irama jiharkah yang Mas pakai, irama kesukaan Rasulullah."
Wisang tak habis pikir, meski kadang Kinza sering membuatnya gemas karena tak mau menurut di hal-hal kegiatan rumah tangga biasa, tetapi ia selalu punya cara untuk memuji Wisang meski dari sisi buruknya.
Ketika tahu Wisang meminum khamr pun, Kinza punya cara sendiri untuk menyentilnya.
"Wah, Mas minum alkohol? Nggak takut mabuk?"
Saat itu Wisang pikir, Kinza akan marah atau menjauhinya atau kecewa dengannya. Namun, tidak. Ia malah menggoda Wisang.
"Aku sudah biasa mabuk. Kenapa? Mau lapor sama abahmu kalau aku minum barang haram?"
"Nggak, aku tungguin kalau gitu, buruan habisin. Aku pernah baca di novel kalau orang yang mabuk mainnya lebih hot dan lebih lama. Sampai semaleman. Pengen eksperimen aku tuh, lecet nggak ya? Penasaran deh. Buruan, aku pengen tahu itu bener atau enggak."
Wisang yang berniat menghabiskan sebotol minumannya seketika berhenti. Istrinya justru duduk manis menunggunya dengan sleepwear begitu menggoda, mengatakan jika ingin bercinta dengannya saat tengah mabuk.
Kadang kepolosan dan pemikiran sederhana Kinza justru membuat Wisang kesal dan gemas. Sejak saat itu, ia tak pernah menyentuh alkohol lagi. Ia tak mau jadi bahan ekperimen Kinza. Setiap kali tengah duduk sendiri di tempat kerjanya, Kinza yang menyelinap masuk tiba-tiba bertanya. "Mas, mabuk dong. Buruan, eksperimen." Dan jika sudah begitu, Wisang akan mencubit pipi sang istri hingga Kinza menjerit kesakitan atau kadang segera membungkam bibir manis itu dengan bibirnya.
Satu hal ajaib lagi yang membuat Wisang begitu nyaman bersama Kinza adalah dia bisa tertidur lelap dengan tenang setiap kali berada di samping Kinza. Kadang, ia bahkan menyusul Kinza yang tengah murojaah malam, berpindah tidur dari ranjang ke atas sajadah dengan berbantal paha istrinya yang sedang menjaga hapalan Qurannya.
Kinza tak pernah protes soal itu. Belum lagi perhatian seperti menyiapkan air hangat untuk mandi karena water heater mereka rusak dan sengaja tidak diperbaiki oleh Wisang, agar Kinza tetap perhatian dengannya setiap kali akan mandi, sangat menyentuh hati.
Ia pikir, Rose sudah sangat mencerminkan diri sebagai sosok ibu hebat dan istri idaman. Namun, Kinza mematahkan semuanya. Kinza terlalu sempurna untuk dibandingkan dengan wanita manapun.
"Sayang ... aku kangen kamu," lirih Wisang sembari menciumi mushaf milik sang istri.
Suara tetes air terdengar dari sudut ruangan. Ada kamar mandi di ruang lembab dengan cahaya temaram itu. Wisang berjalan ke arah air. Ia melepas jaketnya, melepas alas kakinya, membersihkan diri dengan air dingin. Ia memperkirakan jika azan itu adalah azan maghrib karena kuningnya senja masih terlihat dari celah kaca di atas ventilasi.
Wisang membersihkan dirinya, tak ia pedulikan betapa perih luka di tubuhnya saat terkena air. Ia segera melaksanakan kewajibannya bersujud dengan sangat khusyuk. Setiap gerakan salat ia nikmati, ia baca bacaan perlahan dengan benar, ia maknai sedalam-dalamnya. Dan, air mata itu mengalir deras.
Saat salat usai ia kerjakan, Wisang menoleh kebelakang dan mengulurkan tangan. Ia lupa, ia lupa tak ada lagi makmumnya di sana. Tak ada Kinza, tak ada Neyna dan tak ada Noah di sana. Wisang kembali menangis. Serapuh itu dia ternyata. Kebahagiaan yang ia ingkari selama dua minggu bersama Kinza dan anak-anaknya, kini direnggut darinya.
"Ya Allah, bodohnya hamba-Mu yang hina ini. Engkau tunjukkan betapa bahagia, betapa indahnya, rumah tangga penuh keberkahan-Mu, yang meski hanya dua minggu kami jalani bersama, rasanya begitu membekas di hati hamba. Sementara hubungan terlaknat hamba jalani dengan wanita yang tak seharusnya, yang tak sesuai dengan ketentuan-Mu, ternyata hanya hambar berselimut nafsu. Ya Allah, aku titipkan istriku pada-Mu. Ku titipkan anak-anak tak berdosa itu pada-Mu. Laa illa ha illa anta, subhanaka inni kuntu minnadzolimin. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim."
Wisang menangis dalam sujudnya, sebelum ia membuka mushaf milik istrinya, melantunkan ayat-ayat suci tersebut. Ada sosok mendiang ibu yang terbersit di pikirannya. Wisang seolah melihat wanita itu tersenyum dan sosok lain, wanita yang begitu ia cintai, jika sama tengah berdiri menatap ke arahnya. Dua wanita yang sangat ia cintai, ada dalam bayangannya.
"Ibu ... Mimosa ... " batin Wisang dalam hati.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaa
Selamat pagi
Udah salat subuh kaaan????
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro