Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 32

Kinza yang mendapat telepon dari sang suami segera berlari mencari Sabira.

"Bira! Bira! I need your help!" teriak Kinza. Beberapa santri putri yang tengah duduk di dapur bersama Sabira sontak menoleh.

"Ada apa, Ning? Kok panik?" tanya mereka.

"Siapin bow sama arrow-ku. Kalian nanti siap di depan, kalau ada ibu-ibu bawa anak bule, ajakin anaknya main. Itu ponakan suamiku, namanya Noah. Nanti kalau Ning Karen sudah datang, kalian titipkan Noah ke Ning Karen, ya?"

Sabira yang masih membawa parut kelapa segera berdiri dan mengambil benda yang diminta Kinza. Sementara Kinza mengambil fingertab dan armguard yang ia simpan di kamarnya.

Kinza menelpon Sena, memberitahukan hal yang tadi dikabarkan oleh Wisang. Baru saja, Sabira dan Kinza siap untuk keluar sembari menaiki motor,  Abid menyetop mereka.

"Mau kemana?" tanya Abid.

"Ng, nganterin Kinza."

"Bawa busur?" Abid curiga.

Kinza dan Sabira saling pandang. Abid menatap keduanya tajam.

"Ng ... Mas Wisang butuh bantuan. Dia ngejar ponakannya diculik."

Abid mengembus napas. "Dan kalian mau nekat?"

"Mas! Suamiku butuh bantuan!"

"Bukan gini caranya, Dek! Kamu di rumah aja. Biar Mas yang susulin Wisang."

"Ikut!" rengek Kinza.

Abid akhirnya pasrah, ia menyuruh Kinza dan Sabira masuk ke mobil.

"Gus, Ning, mau kemana?" tanya salah seorang penjaga gerbang.

"Jalan-jalan! Bach, nanti kalau ada ibu-ibu nganter anaknya tolong ya suruh masuk, kamu awasin semuanya jangan sampai ada orang yang masuk tanpa menunjukkan identitas," titah Kinza.

"Mas, koordinatnya ini, ikutin arah ini. Posisi mas Wisang di sini."

Kinza memberi tahu sang kakak. Sabira di jok belakang mengutak-atik ponsel.

"Ndak usah ngabari Bosnya Kinza!" sentak Abid. Sabira yang kaget sampai terlepas ponselnya.

Kinza mengamati dua orang di sana sebelum terkikik. "Neraka bocor, fix. Apinya nyembur sampai sini," celetuk wanita itu. Sabira menelan ludah, ia duduk diam di belakang.

Sementara itu, di tempat lain, Wisang terus mengikuti mobil Van di depannya. Namun, fokusnya yang terlalu, justru membuat dirinya lemah. Ya, ia tak sadar jika dirinya tengah dikepung. Sebuah tembakan bersarang di ban mobil Wisang, kendaraan yang dinaiki pria tiga puluh tahunan itu seketika oleng.

Beruntung ia berhasil mengendalikan laju mobilnya. Wisang yang belum kembali dari keterkejutannya, kini diberondong tembakan dari luar. Ia tak bawa satu pun senjata. Tidak ada satu pun. Meski mobilnya berkaca anti peluru tetap saja jika dalam tembakan jarak dekat akan berpengaruh juga.

Ia baru sadar jika dipancing masuk ke dalam gang sempit di komplek pabrik terbengkalai. Pintu mobilnya ditarik paksa. Ia kini bak kambing congek diseret keluar oleh antek Brandon.

"Lihat, Wisanggeni Prahasta selemah ini, tanpa senjata," ejek salah satu diantara pelaku.

"Bisa apa dia tanpa senjata kebanggaannya?" teriak orang itu lagi. Orang-orang yang lain tertawa. Wisang pasrah bukan karena kalah, ia tengah mengatur strategi sebelum Sena datang. Sejujurnya, ia sedikit kesal dengan Sena.

Anak itu akhir-akhir ini tak patuh perintahnya. Ia juga terang-terangan mengatakan jika Wisang harus segera mengakhiri hubungan dengan Rose dan hidup bersama Kinza.

Wisang yang diseret masuk ke dalam gudang bekas pabrik menurut saja. Namun, tangannya bergerilya mengambil belati di sisi kiri salah satu penyeretnya. Ia mengincar airgun yang ada di saku belakang pria penuh tato di kanannya.

Satu tendangan didapat Wisang. Ia terima dengan lapang dada. Ia tidak boleh gegabah. Sudah terbaca skema Brandon kali ini. Dia pasti akan menggunakan Wisang untuk mengancam Rose. Padahal, Wisang dan Rose sudah berakhir.

Andai Brandon tahu Wisang memutuskan Rose, ia pasti tak perlu repot membayar orang-orang jalanan ini. Menurut pengamatan Wisang, Brandon yang orang baru di sini, pasti hanya bisa menyewa preman pasar. Berbeda dengan anteknya di Texas yang pasti tak segan mengulitinya.

"Telpon Bos sekarang!" titah salah satu orang bertopeng yang duduk di dalam gudang.

Pria bertopeng tadi memberi Wisang tamparan keras. Hingga Wiaang tersungkur. Kini pria itu menyuruh orang-orang di sana mengikat Wisang. Ia menggeledah Wisang.

"Ah," tukas si pria saat menemukan belati curian tadi.

Wisang hampir saja mengumpat. Siasatnya terbaca. Ia kemudian menendang pria itu. Tak ada cara lain. Ia pun melawan. Hanya ada empat orang di sana. Bukan hal yang sulit meski ia sedikit repot karena tangannya terikat.


Wisang berusaha menghajar semua orang di sana. Ia yakin, sebelum bos orang-orang itu datang, dirinya tak akan dieksekusi. Satu demi satu pukulan dan tendangan bergantian ia daratkan di tubuh orang-orang itu. Hampir ia menang, tetapi sebuah pukulan di tengkuk membuat Wisang tumbang.

"Kinza ... Tolong lindungi Kinza ... Ya Allah." Satu kalimat yang Wisang pikirkan sebelum ia tumbang

****



Bau kemenyan begitu menyengat. Rose, kembali ke tempat ini. Ia memaksa Cindy membawanya ke tempat ini. Bukan mencari anaknya, ia justru kembali ke rumah dukun tempo hari.

"Mbah, namanya Mimosa. Dia wanita yang merebut tunangan saya. Cepat bunuh dia. Santet dia."

"Tulis namanya di sini."

Cindy yang takut hanya menunggu di mobil. Ia tak berani turun. Sementara Rose masuk sendiri. Ia menuliskan nama Mimosa Pudica Linn, sesuai dengan nama yang ia dapat dari Brandon.

Dukun itu memasang foto Kinza dan namanya di dalam sebuah boneka. Rose tak tahu apa mantra dukun itu, tetapi ia mendengar nama Mimosa disebut berkali-kali.

"Mimosa, mati kau!" pikir Rose.

"Kita harus menunggu, ritualnya kamu harus mandi kembang, lepas bajumu dan gunakan kain jarit ini. Setelah itu Simbah akan memulai ritualnya. Ingat, tidak boleh putus selama sebulan. Atau kamu akan mati."

Rose hanya mengangguk. Ia pikir dia bisa kabur ke Amerika jika nanti Kinza sudah mati sebelum sebulan. Dukun ini tak akan tahu siasatnya.

Rose pasrah saat dukun itu melakukan hal-hal yanh tak seharusnya, bahkan hingga menyatukan tubuh mereka. Ritual abal-abal yang dipercayai Rose akan membuat Kinza mati itu berlangsung selama satu jam.

"Kamu mau wanita ini cepat mati? Kalau iya, kamu harus tinggal di sini. Dan ritual bisa dipercepat, tidak perlu satu bulan. Satu minggu saja pasti sudah tuntas."

Penawaran sang dukun jelas membuat Rose senang. Ia menganggukinya. Wanita itu segera menghubungi Cindy untuk meninggalkannya di sana tanoa sedikitpun curiga. Ia bahkan melayani sang dukun dengan senang hati hanya karena  dijanjikan dibantu melenyapkan Kinza, si pelakor yang begitu ia benci.

"Mimosa! Kamu sudah merebut Wisang dan anak-anakku. Sekarang, waktunya aku merebut mereka kembali."

*****


Kinza tak sabar melihat kakaknya menyetir. Ia terlihat panik saat koordinat suaminya tiba-tiba menghilang.

"Arah sini? Bener? Tapi ini tuh kawasan kosong, ini kan bekas komplek kawasan berikat yang di pindah ke SoBa." Abid celingukan.

"Astagfirullah, itu! Itu mobil Mas Icang!" pekik Kinza.

"Iya bener, apa jangan-jangan suamimu disekap di dalem, dihajar orang-orang?"

Kinza memukul kepala Sabira dengan busurnya.

"Kalau ngomong jangan sembarangan!" bentak Kinza.

"Kinza! Jangan kasar sama Sabira!" bentak Abid reflek.

Kinza segera melompat keluar dari mobil kakaknya yang sudah dalam posisi berhenti. "Belain aja pacarmu!" balas Kinza sembari berlari ke luar.

"Kinza! Kin! Tunggu!" teriak Abid.

Sabira ikut keluar. Kinza sudah tak dapat menahan diri lagi. Ia sangat khawatir pada suaminya. Tak peduli seberapa besar luka yang sudah Wisang torehkan di hatinya.

"Ya Allah, beri suami hamba perlindungan. Hanya Engkau satu-satunya yang berhak atas kami. Hanya Engkau satu-satunya tempat berharap, memohon, dan berserah. Dengan menyebut nama-Mu, Wahai Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Aku datang ke tempat ini, untuk membantu suamiku. Meski akhirnya ini menjadi kesempatan terakhir untuk kami saling bersua. Aku rela. Aku rela. Ijinkan kami bersama kelak di Surga-Mu yang kekal. Yaa Malikal Mulk."

Kinza menerobos masuk. Ia melihat beberapa orang tengah menyerang satu orang yang diikat di sebuah kursi. Wanita itu membidikkan anak panahnya dari ambang celah gerbang masuk.

Tanpa takut Kinza terus melakukan hal itu. Ia tepat membidik bahu dan punggung penyerang suaminya hingga mengerang kesakitan. Namun, Kinza tak mempehitungkan jika jumlah anak panahnya tak berimbang dengan orang penyerang sang suami. Ia kalah.

"Mimosa?" gumam Wisang saat menyadari sosok wanita berniqab di sana.

"Tangkap dia!" teriak salah seorang penyerang Wisang dan reflek, Wisang yang sudah lemah kini kembali bereaksi. Ia harus melindungi istrinya.

"Mimosa! Go away!" teriak Wisang.

"No, i can't."

"You'll be die here, Nyonya Wisanggeni." Salah satu orang di sana meledek Kinza.

"Lebih baik aku mati membela suamiku dari pada harus berdiam diri, membiarkan suamiku disiksa di sini!"

"Mimosa, go! Go away! Please just go!" teriak Wisang sembari memohon.

Rambutnya dijambak, satu pistol ditodongkan di kepala Wisang.

"Nggak, Mas. Nggak akan pernah aku pergi ninggalin kamu. Nyawaku nggak ada artinya." Kinza tiba-tiba berlutut.

"Tolong, jika memang kalian mengincar nyawa kami, tolong ... Tembak aku dulu, tolong bunuh aku dulu, sebelum suamiku."

"Nggak Mimosa! Pergi! Pergi! Tolong lepaskan istriku! Biarkan dia pergi! Dia tidak punya urusan dengan semua ini, tolong lepaskan dia. Mimosa pergi! Cepat!"

Kinza diam saat didekati pria bertopeng yang menodongkan pistol di kepalanya.

"Yakin, dengan ucapanmu, Nyonya?"

"Ya, silakan. Jika memang kalian mau nyawa kami berdua."

"Kenapa? Kami hanya butuh nyawa suamimu!"

Kinza menangis mendengar ucapan itu. "Kalau begitu bunuh aku juga! Aku tidak akan bisa melihat suamiku tidak bernyawa! Tidak akan pernah bisa! Jadi tolong, tolong, bunuh aku dulu. Sayang, maaf kalau selama menjadi istrimu aku membuatmu tak berkenan." Kinza menatap suaminya.

"Kinza pergi! Aku mohon! Sayang! Pergi! Pergi! Biarkan dia pergi!" Wisang menangis ya, dia meraung memohon agar sang istri dilepaskan.

Suara tawa terdengar dari pria yang menodongkan pistol ke kepala Kinza. "Sayaaang, pergi!" isak Wisang.

Pria yang menodongkan pistol pada Kinza berdecih. "Drama apa ini? Ah, terlalu manis tapi sayang, kalian harus berakhir setragis ini."

Sang eksekutor sudah mengokang pistol.

"Apa boleh, aku mati dipangkuan suamiku?" pinta Kinza.

Si pria bertopeng berdecih. Ia menjejak Kinza hingga tersungkur. Wisang kalap. Ia tak peduli tubuhnya ditali dan dijaga banyak orang. Ia berusaha mendekati sang istri yang terjatuh.

"Sayang! Sayang! Sayang!" panggil Wisang pada Kinza.

Kinza menatap sang suami. "Mas Icang," panggilnya.

"Ucapan cintamu terlambat, Wisanggeni!"

Sebuah letusan pistol terdengar, dua kali.

"Kinza!!!" teriak Wisang sebelum ia tak sadarkan diri karena dipukul benda tumpul.

Kinza merasakan perlahan matanya dipaksa menutup. Ia melayang, ya, terakhir kali, ia mendengar sang suami menyebut namanya dengan begitu keras. Ia tersenyum, menutup mata.

"Kamu memang tolol Wisanggeni, dan lucunya istrimu lebih tolol lagi." Si pria bertopeng melepas topengnya sebelum ia meminta anteknya menyeret tubuh berniqob itu pergi dan merapikan TKP agar tak tertinggal barang bukti apapun di sana.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ


Assalamualaikum

Hai semuaaa

❤❤❤❤❤


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro