Part 30
Pagi ini rasanya tak ada daya untuk bangun. Mata Kinza bengkak, menandakan semalaman ia terus menangis.
"Kin, kamu mau gimana?" tanya Sabira.
Kinza mengembus napas. "Apa semalam Mas Wisang nalak aku, Ra?"
Sabira menggeleng. "Nggak ada. Nggak ada kata talak. Nggak ada kata mengembalikan ke orang tua juga. Meski kayaknya dia marah banget."
"Aku mau nunggu dia, Bira. Aku mau nunggu dia pulang. Aku mau bicara baik-baik sama dia. Dia pasti capek banget kemarin. Bira, tolong jangan cerita ke siapapun ya? Jangan cerita ke Abah, Ummi, Ummah, Mas Abid. Ya? Aku bisa selesaiin semua sendiri."
Sabira memeluk sahabatnya. Ia tak tega melihat Kinza yang biasanya ceria, kini berduka.
"Kin, jujur aja aku benci sama suamimu. Nggak pantes dia disebut laki-laki. Nggak pantes. Tapi, aku tahu, kamu terlalu sabar dan saleha. Kamu disakitin kayak apa oasti juga bakal maafin." Sabira terisak.
Kinza malah tersenyum. "Kamu nggak tahu gimana baiknya Mas Wisang, gimana sabarnya dia ngadepin aku dan anak-anak. Kemarin, dia pasti capek, banyak pikiran, dan khawatir sama Nino juga pacarnya. Jadi ya gitu."
Sena yang berdiri di ambang pintu bersama Arafah mengepalkan tangan.
"Mas Wisang yang keterlaluan Mbak. Mbak patut marah kok," sahut Sena.
Kinza melongokkan kepala, ia kemudian tersenyum. "Nggak, jangan gitu. Kang Sena sendiri tahu kan sebaik apa suamiku. Kang, Mas Icang ngabarin nggak hari ini kerja di mana?"
"Bos udah mau pergi , Mbak. Sampai waktu yang tidak ditentukan. Dia pulang ke Amerika. Dia bekerja dari sana."
Ada rasa nyeri di dada Kinza.
"Bos menyerahkan surat rumah, mobil, dan semua asetnya di sini untuk Mbak."
"Apa ... Apa aku nggak bisa hubungi dia buat yang terakhir?" tanya Kinza dengan senyuman di bibir tetapi air mata mengalir.
Sena tak tega, ia akhirnya nekat mengantarkan Kinza meski ia tahu Wisang bisa marah padanya.
"Arafah, bantu aku." Sena mengode adik Kinza itu.
Ia menyuruh adik Kinza untuk menelpon Wisang. Mengatakan pada Wisang jika pihak keluarga si anak bayaran tempo hari menemuinya dan mengatakan jika dirinya dibayar oleh Rose untuk disuruh mengaku melakukan kejahatan yang tidak ia perbuat.
"Mas, Mas lagi sama Mbak Kinza nggak? Ada orang yang dateng ke sini, katanya sih dia yang dipaksa ngaku buat nyelakain Mbak Kinza. Dia udah inget nama orang yang nyuruh dia. Roseanne katanya, model. Ini mau Mas yang nyelesaiin sendiri atau aku suruh ke Abah aja?"
"Apa? Emang Kinza sekarang dimana? Tahan dia dulu, tahan dia. Jangan suruh ke Abah. Jangan. Aku ke situ sekarang."
Sena menunggu jawaban Arafah setelah gadis itu mematikan telpon dari nomor khusus yang dimiliki Sena.
"Gimana?"
"Dia kepancing. Gimana sama bocah yang kemarin?"
"Beres, itu urusanku. Kamu breefing Mbak Kinza, suruh dia bilang dari pasar kek dari mana kek gitu."
"Nggak usah kalian main kucing-kucingan. Nggak perlu. Aku sudah tahu kok, aku tahu, aku cuma pengen bisa ketemu dengan suamiku untuk yang terakhir kalinya."
Kinza yang muncul tiba-tiba membuat Sena dan Arafah saling pandang. "Aku mau masak dulu buat Mas Icang."
Kinza mengenakan abaya hadiah suaminya, ia juga mengenakan jilbab yang membuat sang suami selalu memujinya cantik saat menggunakannya.
Sepiring lotek ditata dengan bentuk hati tersaji. Milkshake strawberry dengan topping almond ada di sampingnya. Suara gerung mobil Wisanh terdengar. Pria itu berlari masuk ke dalam rumah.
"Eh, suamiku pulang," sambut Kinza seolah tak ada apapun yang baru saja terjadi.
"Arafah mana?"
"Arafah? Pergi sama Kang Sena sama orang nggak tahu siapa, aku tadi ke pasar terus langsung masuk, kata Arafah itu temennya."
Wisang mengembus napas.
"Makan dulu, Mas. Nih, lotek, katanya kemarin pengen nyobain lotek buatanku?"
"Aku pergi dulu."
"Mas mau terbang jam dua kan? Ini baru jam sembilan. Sepuluh menit aja, duduk di sini, makan dulu, minum, bisa kan?" tanya Kinza.
Wisang tak menggubrisnya, ia melangkah pergi.
"I beg you. For the last time, please, let me serve you like always."
Langkah pria itu terhenti. Ia tak mau termakan drama. Wisang kemudian memutar arah, duduk di kursi dan memakan sarapannya.
Sejujurnya sejak kemarin ia belum makan. Ia awalnya berpikir akan makan di rumah Kinza tetapi hilangnya Nino dan kepanikan Rose membuatnya lupa semuanya.
Rose bukanlah Kinza yang akan menyiapkan segala sesuatu untuknya. Yang akan bangun pagi untuk sekedar menyiapkan air hangat untuknya.
Kinza pergi saat Wisang mulai makan. Ia mengambil sesuatu dari kamar anak-anak.
"Mas, Noah itu suka banget main bikin-bikin bentuk gitu. Jangan kasih dia pistol atau mobil-mobilan yang jadi. Kasih yang masih betuk lego, atau yang sekiranya dia rakit sendiri. Kalau Neyna, kemampuan menggambarnya diatas rata-rata. Dukung dia ya. Kamu pasti bisa ngarahin, kan kamu jago gambar juga. Dan, Nino. Dia itu mending diajarin coding. Dia bukan anak yang suka gerak, tapi pikirannya jalan terus. Kemarin aja dia coba aku tes main yang itu lo coding for kids, dia bisa cepet banget nangkepnya."
Kinza meletakkan sebuah box berisi mainan anak-anak yang masih tertinggal.
"Noah masih kecil, dia masih seneng physical touch. Beda sama Nino, jangan menyamakan perlakuan. Jangan cium dia. Kalau Mas mau praising dia ya kasih aja tos, atau acak rambutnya. Gitu-gitu. Kalau Mas sama memperlakukan keduanya, jelas Nino akan risih dan menganggap mas meremehkan dia. Padahal, dia kan merasa dirinya sudah dewasa, tidak seperti adik bungsunya."
Wisang menatap Kinza.
"Apa maksudmu?"
"Hm? Maksudku? Aku ... Mau kamu jadi papa yang lebih baik. Aku mau kamu lebih dekat dengan anak-anak itu. Mereka akan jadi anak sambungmu kan? Dan, ibu mereka pasti akan falling deeper ke kamu. Wanita mudah tersentuh, apalagi kalau anaknya juga disayangi oleh pasangannya." Kinza tersenyum.
Perasaan Wisang mulai kembali bergejolak. Namun, ia tak mau lemah. Ia harus tegas, ini kesempatannya pergi.
"Ini, aku nggak bisa nerima semua ini. Mas simpen aja. Insyaallah, Allah akan mencukupi hidupku. Mas lebih butuh."
"Itu hakmu. Ambil saja, aku tidak mau terlihat sangat jahat, meninggalkanmu tanpa apapun."
Kinza tersenyum lebar. "Aku nggak mau nerima ini. Kesannya seperti gono gini, padahal, kita nggak berpisah kan? Hanya saja Mas lebih memilih tinggal dengan istri Mas yang lain, kan? Sudahlah, yuk habisin makanannya, habis itu anterin aku ke rumah Abah ya? Aku mau mas nitipin aku ke Abah dengan baik."
Wisang terdiam. "Mimosa, aku ...."
"Aku akan bilang ke Abah kalau Mas kerja di sana. Dan aku nggak mau diajak pindah ke sana. Tolong jangan bilang kalau Mas nalak aku atau ceraiin aku... Aku butuh waktu untuk terbiasa nggak sama Mas. Aku butuh waktu buat mengurai rasa sakitku dulu. Biar besok kalau kita benar-benar diputus bercerai, kita akan baik-baik saja. Lagi pula, ini, buku nikah kita baru jadi loh. Baru terdaftar dengan sah di KUA, di Capil."
Kinza menitikkan air mata, meski bibirnya tersenyum. Wisang merasa dadanya sedikit nyeri. Ia ingin memeluk Kinza tetapi ia takut dirinya tak bisa menahan diri lagi.
"Satu lagi, Mas. Mas nyuruh Arafah sama Kang Sena beli ini kan buat aku? Tolong pasangkan. Aku mau Mas yang masangin. Ini bakal jadi perlindunganku selama Mas nggak ada di sini."
Niqab cantik yang dibelikan Wisang, kini diserahkan padanya untuk dipakaikan. Wisang mengembus napas kasar. Ia meneguk milkshakenya hingga habis sebelum mencuci tangan di wastafel dan mengeringkannya dengan tisu sebelum memakaikan niqab sang istri.
Kinza menatap suaminya. "Mas nggak mau kiss aku dulu? For the last time?" tanya Kinza.
Wisang menggeleng.
"Takut ya, takut kalau sadar Mas mulai cinta sama aku, kan?" canda Kinza.
"Jangan sembarangan, Mimosa!"
Kinza terkikik. "Mas kalau lagi salting gitu ganteng loh, pipinya merah, gemoy banget."
"Jangan buat aku pergi sekarang tanpa menuruti permintaanmu."
Kinza terdiam. Sang suami memakaikan jilbab dan niqabnya. Mata indah yang memikat itu terlihat semakin indah. Wisang melemah menatapnya. Ia harus mengalihkan pandang agar tak tergoda.
"Cepat ambil barangmu. Aku tunggu di mobil."
Kinza menurut. Ia segera mengambil kopernya. Kemudian masuk ke mobil sang suami. Keduanya terdiam. Hanya musik di mobil itu yang terdengar, membunuh kesunyian.
"Aku boleh nyanyi?" tanya Kinza tiba-tiba ketika mendengar penyiar radio menyebutkan judul lagu yang ia suka.
"Silakan," jawab Wisang sembari fokus menyetir.
Berdiri
Ku memutar waktu
Teringat
Kamu yang dulu
Ada di sampingku setiap hari
Jadi sandaran ternyaman
Saat ku lemah saat ku lelah
Ho wo wo
Tersadar
Ku tinggal sendiri
Merenungi
Semua yang tak mungkin
Bisa ku putarkan kembali s'perti dulu
Ku bahagia tapi semuanya hilang tanpa sebab
Kauhentikan semuanya
Ho oh oh
Terluka dan menangis tapi ku terima
Semua keputusan yang telah kau buat
Satu yang harus kau tahu
Ku menanti kau tuk kembali
Jujur ku tak ingin engkau pergi
Tinggalkan semua usai di sini
Tak tertahan air mata ini
Mengingat semua yang t'lah terjadi
Ku tahu kau pun sama s'perti aku
Tak ingin cinta usai di sini
Tapi mungkin inilah jalannya
Harus berpisah ho oh ho
Terluka dan menangis tapi ku terima
Semua keputusan yang telah kau buat
Satu yang harus kau tahu
Ku menanti kau tuk kembali
Ho ho wo oh
Tinggalkan semua usai di sini
Ku tahu kau pun sama s'perti aku
Tak ingin cinta usai di sini
Tapi mungkin inilah jalannya
Harus berpisah ho oh
Berharap suatu saat nanti
Kau dan aku kan bertemu lagi
S'perti yang kau ucapkan
S'belum kau tinggalkan aku
Begitu merdu suara Kinza melantunkan lagu yang seolah menggambarkan perasaannya saat ini. Hati Wisang makin tak karuan. Salahnya mengijinkan Kinza bernyanyi.
"Jujur aja aku kayak ngimpi rasanya nikah sama kamu, Mas. Seneeeeeeeng banget. Makasih udah manjain aku selama hampir dua minggu ini. Semoga suatu hari nanti aku punya kesempatan buat bales kebaikanmu, Mas."
Wisang tak membalas apapun. Ia tak tahu harus berkata apa.
"Mas Icaaaang," panggil Kinza manja.
"Dalem," jawab Wisang.
Kinza bertepuk tangan, ia sangat senang panggilannya direspon. Namun ia menangis setelahnya.
"Mas, kamu boleh lupain aku, tapi jangan lupakan salat dan kewajibanmu pada Allah. Tak bisa bersama di dunia nggak apa-apa kok, kita masih punya waktu bersama-sama di akhirat. Asal Mas nggak nyeraiin aku, dan aku tetap menjaga diriku untukmu."
Wisang sekuat tenaga menahan diri untuk tidak merespon istrinya. Istri sahnya. Saat sampai di rumah sang mertua.
"Abah, Ummi, titip Kinza ya, saya pulang ke Amerika dulu."
"Nggak kamu ajak aja, Mas?" tanya Ummi Husna.
"Nggak mau Ummi, aku nggak mau ke sana. Siapa yang bantu Ummi urus pondok kalau aku pergi. Mas Icang mikir sejauh itu loh. Coba dulu kalau aku nikah sama orang lain, ih pasti mereka asal bawa aku kabur aja. Ajak ke sana. Tapi karena Mas Icang mikirin pondok, mikirin Abah, Ummi, Ummah Rosydah, jadi rela LDM sama aku."
Wisang menelan ludah. Tangannya bergerak-gerak gelisah. Bisa-bisanya Kinza mengatakan hal seperti itu di depan orang tuanya, padahal jelas-jelas Wisang sadar dirinya adalah bajingan yang tega menyakitinya.
"Masyaaallah, Nak Wisang. Terima kasih atas pengertiannya. Memang Ummi sekarang sudah terbatas geraknya, kemampuannya. Ummi hanya berharap sama Kinza dan Karen, agar bisa menjadi penerus Ummi." Ummi Husna terisak haru.
Kyai Din menepuk bahu menantunya. "Anakku, terima kasih sudah mendidik putriku. Hingga dia mau menutup auratnya dengan sempurna. Dulu Abah sempat ragu sama kamu, tapi nyatanya kamu bisa membuktikan kalau kamu bisa membimbing istrimu dengan sangat baik."
Percaya atau tidak, Wisang melelehkan air mata. "Abah, Ummi, saya ... Saya minta maaf jika ada hal yang selama ini membuat Abah dan Ummi tidak berkenan."
Kyai Din memeluk menantunya. "Soleh, soleh, soleh. Menantuku. Soleh." Pria sepuh itu melepas sorbannya. Ia sampirkan kain putih itu ke bahu sang menantu.
"Semoga Allah selalu melindungimu. Abah terima amanahmu, menjaga Kinza, sementara kamu pergi. Kamu jangan khawatir, Kinza insyaallah aman di sini. Kamu jaga diri ya. Jaga salat. Allah akan menjagamu."
Wisang memeluk mertuanya. "Ya Allah, mengapa istriku malah membuatku seolah menjadi orang terbaik yang pernah ada di depan orang tuanya?"
Kinza tersenyum dan menyandarkan kepala di pelukan sang ibu. Ia senang, setidaknya orang tuanya tak salah sangka pada sang suami. "Mama, apakah ini yang mama rasakan dulu? Harus menahan jutaaan beban sendiri, demi melihat suami mama bahagia bersama wanita lain?"
Kecupan hangat Wisang didaratkan di kening Kinza. "Aku pergi." Wisang membisikkan kata setelahnya.
"Hati-hati, Papa. Ummi di sini nunggu Papa pulang," ucap Kinza.
Langkah Wisang seketika berat. Ia melangkah ke mobilnya dan pergi ke rumah kekasihnya. Semua orang sudah siap di sana. Termasuk Brandon, yang entah sejak kapan berada di sana.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaaaa
❤❤❤❤❤
Mau bilang apaaa????
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro