Part 3
Kumandang azan ashar berlalu, dara yang selesai melakukan kewajibannya bersujud pada Sang Penciptanya bergegas melipat kembali mukena yang ia kenakan, sebelum melanjutkan aktivitasnya. Masih setengah jam waktu dimana ia harus bekerja. Hari ini tidak lembur, itu artinya dia bisa pulang pukul empat sore.
Ketukan pintu terdengar, kepala seorang wanita menyebul. “Za! Tolong dong.”
Bak tengah berbicara dengan kawan sepermainan, Arimbi merengek padanya. “Ada yang bisa saya bantu, Bu?”
“Tolong carikan info es Teller paling enak yang ada di Solo di mana. Mantuku ngidam, pengen es Teller tapi yang di tempat biasa beli hari ini nggak jualan.”
Kinza terkikik. “Oh, untuk Mbak Eka ya, Bu? Baik, coba saya carikan di sosmed ya, saya cari yang review-nya memuaskan.”
Arimbi mengangguk. Ia duduk di depan meja Kinza sembari memainkan ponsel. “Za, kamu tadi diajak ngobrol sama Mbak Gendhis nggak?”
Kinza yang tengah berselancar di dunia maya, terpaksa membagi fokusnya. “Mmm ... hanya ditanya pernah diajak ke Jogja belum, gitu Bu. Dan katanya kalau saya tidak sanggup bertahan di Dewangga, saya lebih baik mundur.”
Arimbi mengembus napas. “Za, gimana ya bisa ambil hati Mbak Gendhis? Dari semua kakak Mas Dipta, Cuma Mbak Gendhis yang belum bisa damai. Sama adik-adiknya yang lain pun, dia juga nggak deket. Padahal, pengennya semua bisa kompak. Apalagi setelah Abim nolak dijodohkan sama Tamara. Dia bilang dia sudah punya pilihan sendiri.”
Kinza sering diajak Arimbi bertukar pikiran seperti itu. Namun, tentunya ia simpan sendiri, tidak ia sebarkan ke siapapun.
“Kamu ada ide nggak, Za?”
“Mmm ... gimana ya, Bu. Saya juga minim pengalaman soal hal begitu. Tapi, misal, sesekali ibu ajak Bu Gendhis pergi bersama jalan-jalan dan shopping, gimana? Lagi pula, Bu Gendhis sepertinya hanya gaya bicaranya saja yang agak kaku, Bu.”
Arimbi mengangguk. “Iya, tapi horror, Za.”
Kinza terkikik pelan, ia kemudian menunjukkan sebuah tempat penjualan aneka Es yang viral. “Bu, ini ada. Di deket RSUD. Kayaknya banyak yang merekomendasikan.”
“Jauh nggak Za? Kamu mau ikut beli nggak?”
“Bun? Bunda?” Suara Pradipta terdengar seiring pintu ruang kerja Kinza terbuka lebih lebar.
“Apa Yah? Ayo cariin es buat Eka. Kasian dia pengen, nanti cucu kita bisa ngiler kalau nggak diturutin, mumpung mereka pas di sini, kalau udah balik Jogja kan reot juga mau beliin.”
Pradipta mengangguk, di belakangnya, sang putra mengekor. Pemuda itu melongokkan kepala.
“Kinza, kamu masih sibuk?”
“Masih fixing schedule untuk besok, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Oh, yaudah. Yah, Bun, duluan aja, nanti Abim nyusul. Abim mau ngomong sama Kinza dulu.”
“Ngomong apa? Ngomong kok di kantor, ngomong di kafe kek, di mana kek.” Pradipta menggoda sang putra.
Abimanyu tertawa. “Ini baru mau ngajakin, Yah. Udah deh, Ayah sama Bunda duluan aja. Ini urusan anak muda.”
Kinza justru takut mendengar ucapan Abimanyu, ia mempercepat input data jadwal esok harinya dan mengecek ulang laporan hariannya sebelum menata mejanya sebelum pulang. Pradipta dan Arimbi berpamitan dan keluar dari ruangan Kinza, sementara Abimanyu tetap di sana.
“Maaf, Pak sebenarnya ada apa?” Kinza sudah tidak tenang akrena hanya tinggal berdua dengan Abimanyu.
“Santai, Kin, jangan panik gitu. Kamu nyamannya kita ngobrol di mana? Sambil makan? Jalan-jalan?”
Kinza menggeleng cepat. “Mm ... maaf Pak, kalau memang mendesak, silakan dibicarakan di sini, tetapi mohon ijin, saya buka pintunya ya, Pak?”
Abimanyu tahu kehati-hatoan Kinza. Ia berusaha menghargainya. “Oke kalau gitu langsung ke intinya. Aku mau kamu berhati-hati dengan Wisanggeni. Dia bukan orang sembarangan. Jangan lengah. Dia kaki tangan Bude Gendhis untuk mengawasi perusahaan ini. Aku takut kamu terseret hal yang tidak-tidak. Terkena getah dari konflik intern keluarga kami. Jadi, aku pengen kamu tetep aman, so, aku mau kita pura-pura ada hubungan. Seperti sangkaan keluargaku akhir-akhir ini. Biar kamu aman.”
“Ma-maksudnya, Pak?” tanya Kinza sembari membelalakkan mata tak percaya.
“Aku mau kamu berlakon, menjadi pacarku atau apalah itu namanya. Dan aku pun akan melakukan hal yang sama. Aku janji nggak akan menyalahi batas-batas aturan hidupmu. Aku janji. Ini hanya demi kebaikanmu. Karena aku takut, Bude Gendhis berniat jahat padamu juga. Kamu tahu sendiri kan kalau Dewangga busuk di dalam, meskipun kokoh di luar,” ucap Abimanyu serius.
Kinza berusaha mencerna semuanya. “Pak, saya masih belum paham. Apa yang harus saya lakukan.”
“Kamu tidak perlu melakukan apapun. Kamu hanya perlu tersenyum ketika ada orang yang bertanya sedekat apa kita. Atau apakah kita punya hubungan spesial. Hanya itu. Toh,kamu juga deket sama Ayah dan Bunda. Dan hampir semua rahasia perusahaan ini, kamu juga tahu, kan? Seperti tadi, Wisang mencoba fitnah kamu. Dia sendiri yang menelusuri tentang Rauf dan Yusuf. Dia bisa senekat itu untuk menjatuhkanku. Andai dia ngeblow up hubungan Rauf dengan Tasha dan Yusuf dengan Ayun, habis sudah aku. Aku harus menegakkan aturan main di perusahaan ini, dengan memecat satu dari dua pasangan itu, karena dari awal tidak boleh orang menikah bekerja di perusahaan yang sama. Itu baru contoh kecil bukti kenekatan Wisang. Dan aku takut, Wisang juga akan ngorek tentang kamu. Sedang, kamu nggak punya backing. Tasha punya Rauf yang bisa melindunginya. Ayun punya Yusuf, sedang kamu? Makanya, aku akan jadi tamengmu. Paham?”
Kini Kinza mengerti. “Baik Pak, saya mengerti. Terima kasih sudah mengkhawatirkan saya. Dan terima kasih atas peringatannya.”
“Ingat ya, jangan dekat-dekat dengan Wisanggeni. Dia memang di luar terkenal sebagai pengusaha funiture, tetapi, dia itu manusia spek neraka. Berapa nyawa saja yang sudah melayang di tangannya. Dia ... tidak punya hati. Aku tahu kamu nggak akan percaya kalau kamu nggak liat buktinya. Jadi, aku kasih kamu ini, biar kamu bisa tahu berapa banyak catatan kriminalnya.”
Abimanyu menyerahkan flashdisknya. “Tapi kalau kamu nggak bisa liat darah, aku saranin jangan buka videonya.”
Kinza semakin penasaran saja.
“Nyusul Bunda sama ayah yuk? hitung-hitung buat latihan, biar kamu nggak kaku aktingnya waktu besok ketemu sama Bude Gendhis dan Wisang atau Tamara. Biar semua tahu, CEO Dewangga Kingdom ada affair dengan sekertaris ayahnya.” Canda Abimanyu.
“Pak, ini bukan hal baik, saya takut malah nanti ada mudhorotnya.”
“Kinza, ini demi kebaikanmu. Atau kamu mau terancam nyawamu hanya karena kesalahan yang tidak kamu perbuat?”
Mendadak Kinza ingat ucapan Gendhis padanya. “Untuk menjadi bagian dari Dewangga, kamu harus punya banyak skill. Dewangga tidak membutuhkan wanita lemah. Jadi, kalau kamu merasa tidak sanggup, lebih baik mundur. Jauhi Abimanyu. Dari pada kamu harus menerima akibat dari hal yang tidak menjadi kesalahanmu.”
Gadis itu hanya bisa pasrah. “Ya Allah, ada rahasia apa yang Engkau siapkan untukku di depan sana?” batin Kinza sebelum mengekor Abimanyu keluar ruangan.
Ia berhenti saat mereka berada di depan lift. “Silakan Pak.”
“Well, kamu tadi satu lift dengan laki laki lain dan sekarang kamu nggak mau satu lift sama aku, hmm? Pacar pura puraku?”
“Pak, tapi saya ....”
“Oh, atau kamu memang tertarik sama Wisanggeni?”
Kinza menggeleng cepat. “Tidak Pak bukan begitu. Baik saya masuk.”
Abimanyu tersenyum. “I got you,” batinnya. Keduanya benar benar pergi menyusul sang pemilik perusahaan ke warung es viral yang perada di dekat pusat jajajnan rakyat dekat RSUD. Mobil SUV milik Abimanyu meninggalkan kantor. Ia melirik ke arah kiri, dari spion terlihat sosok orang berboncengan dengan jaket kulit hitam dan style lusuh ala anak punk.
“Budhe, aku nggak akan seudah itu disingkirkan. Budhe bisa nekan Ayah, tapi enggak dengan aku. Dan, Wisanggeni, sudah saatnya kamu turun panggung. Tuhan tidak akan bersama orang orang busuk seperti kalian. Tunggu saja. Kalian mengincar nyawaku, justru kalian yang akan musnah. Tunggu saja. Kinza, maaf, aku harus melibatkanmu.”
***
Sinar blitz kamera terlihat beberapa kali. Pengarah gaya, fotografer, MUA, dan beberapa bagian dari tim lain terlihat menyemangati sang bidadari yang tengah bergaya di atas sofa bed. Lingerie yang ia gunakan adalah mode terbaru keluaran salah satu brand ternama. 99% tubuhnya terekspos, hanya bagian dada dan organ intimnya saja yang tertutup baju yang ia promosikan.
Kulit yang sengaja dicoklatkan itu diolesi sesuatu agar terlihat bersinar. Rambut yang di tata bergelombang benar benar menambah kesan sensual. Beberapa kali ia mengganti gaya, di atas sofa, tertidur dalam berbagai posisi yang menantang.
“Good job, Rose!”
Wisang yang sedari tadi menunggu sang bidadari yang tengah pemotretan menggambar senyum. Wanita itu melenggang ke arah si pria dan memberinya kecupan singkat. “Darl, thanks udah jemputin Nino. Aku bener bener kelabakan hari ini.”
Wanita itu merangkul mesra tunangannya. “Heh, Nino, Noah, dan Neyna kan anakku juga. kenapa rasanya aku seperti orang asing, hm?”
Rose terkikik, ia kembali menciumi tunangannya. “Hei, kasih penilaian, ini produk terbaru. Is it hot?”
“Hmm ... itu karena kamu yang pakai, bukan karena lingerienya.”
Kemesraan dua orang itu sudah tak asing lagi untuk tim kerja Rose. Mereka semua tahu jika Rose dan Wisang adalah couple goals yang selalu membuat iri siapapun yang meihat. Rose, top model berdarah Indo Amerika itu sudah tiga tahun menjadi kekasih Wisang. Hingga sebulan lalu akhirnya mereka bertunangan.
Bagi Wisang, Rose adalah sosok keibuan yang sangat ia kagumi. Terlebih, statusnya sebagai seorang single mom, dengan tiga anak, membuat Wisang semakin terkagum. Tidak hanya keseksian tubuhnya saja yang masih terjaga di usia tiga puluh enam tahun. Namun, perhatiannya pada tiga buah hatinya mebuat Wisang terketuk hatinya.
Ya, sejak remaja, Wisang yang dibawa oleh ayah angkatnya ke LA, terbiasa dengan pergaulan yang bebas. Selama tidak menyakit orang lain, ayahnya tak akan pernah melarang Wisang melakukan apapun. Hidup berdua, pasca ibu angkatnya meninggal, membuat Wisang dibesarkan oleh keadaan. Ya, ia hanya meniru tingkah laku orang di sekitarnya. Kesibukan sang ayah, membuatnya hampir tak pernah bertemu. Ia benar benar tak tahu apa itu kasih sayang keluarga lagi sampai bertemu dengan Rose.
Awalnya ia hanya berkawan dengan mendiang suami Rose. Namun, setelah Ben meninggal, kedekatan itu pun terasa berbeda. Meski Rose lebih tua empat tahun darinya, Wisang tak ambil pusing. Dua tahun lalu, setelah memutuskan untuk menjalin hubungan, keduanya kembali ke tanah air. Wisang menjalankan bisnis furniture dan menjadi importir barang barang gelap sedangkan Rose masih menekuni pekerjaannya sebagai model majalah dewasa dan menjadi ambassador salah satu brand lingerie.
“Mami, Papa said that he will take us to playground and buy Es Teller and cilok, like last Sunday.”
Neyna, si gadis kecil berumur tujuh tahun itu menyela kemesraaan sang ibu dnegan calon ayah tirinya. Wisang terkekeh dan menggendong putri kekasihnya. “Hey, you like cilok a lot, now?”
“Yes, chewy but i like the peanut sauce and bubuk bon cabenya, Pa.”
Rose hanya menggelengkan kepala. “Well, setidaknya ngirit mereka kalau jajan di sini. Only five thousands rupiah dan mereka kenyang sampai malam. Dari pada mereka eating chips all day, lebih baik mereka makan cilok.”
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Rose mengenakan kembali pakaian berbrand ternama miliknya, tentu dengan tetap menunjukkan pada dunia jika kaki jenjang, lekuk tubuhnya pantas untuk dikagumi. Entah kenapa, ada aura lain setiap kali Wisang berjalan di samping Rose. Ia bangga ketika si seksi yang menggandeng tangannya dilihat oleh banyak mata pria yang tengah menelan ludah, akibat tak tahan melihat keindahan tubuh Rose.
Tingginya yang mencapai 179 cm dengan berat 58 kg. Bisa dibayangkan betapa rampingnya pinggang itu, khas para angels yang bekerja di Victoria Secret. Belum lagi, jalanan biasa selalu ditapaki dengan lenggok seperti saat di catwalk, oleh Rose.
“Gila, yang atu gagah yang satu cantik banget. Seksi banget mbaknya.”
“Wih, bajunya kurang bahan tapi lumayanlah, sedekah itu si Mbaknya.”
“Itu yang laki apa nggak marah ya ceweknya ngumbar aurat? Ibarat repot repot beli makanan, eh malah dilalerin. Apa iya dia nggak jijik? Nggak sayang apa ya itu si cowok?”
Selentingan selentingan konyol kadang didengar Wisang setelah ia menapakkan kaki kembali di Solo. Karena wajar, gaya penampilan Rose tentu dianggap berlebihan di sini. Setiap kali mendengar omongan seperti itu Wisang hanya tersenyum miring. “Mereka pasti iri. Semua laki laki itu pasti pengen ada di posisiku. Mereka pasti membayangkan bagaimana panasnya pergumulan cinta kami,” batin Wisang.
“Papa, aku mau ekim ya? Cotton candy juga!” seru si bungsu Noah.
“Aku mau juga, Pa!” sahut Neyna. Hanya Nino yang tampak acuh. Diantara tiga anak Rose, Nino yang masih belum menerima keberadaan Wisang. Ia terlalu dekat dengan pamannya, Brandon, yang memang kurang suka dengan keangkuhan Wisang. Terlebih, Brandon, kakak angkat Rose, pernah menjadi lawan bisnis Wisang. Ia sempat bangkrut akibat ulah Wisang yang mengobrak abrik harga pasar dan membongkar praktek mafia yang dijalankan Brandon dalam pengadaan bahan kimia di laboratorium dan pabrik obat.
“Nino, kamu nggak mau apa apa?” tanya Wisang sembari menjalankan mobilnya.
“Nope.”
Rose menoleh kebelakang. “Nino, Papa kemarin kasih present buat kamu tapi mami lupa kasih.”
“Hm ... thanks,” jawab Nino singkat sebelum kembali fokuspada gim di ponselnya. Rose baru akan memarahi putranya itu tetapi Wisang melarang.
“Don’t shout at my son,” ucap Wisang.
Rose mengembus napas dan menatap kekasihnya dengan wajah haru. “Thanks for understanding him. Dia memang gitu, beda sama adik adiknya.”
Wisang mengangguk. “Jangan beda bedain anak, mereka semua sama. Hanya saja Nino sedang ada di fase itu. Dia lagi asik ngegame. Biar aja.”
Rose benar benar mencintai Wisang. Ia bahkan tak mengira jika dirinya akan jatuh hati sedalam itu pada brondongnya. Ya, awalnya dia sepat underestimate pada Wisang. Dia pikir Wisang sama dengan laki laki muda lain yang hanya ingin mendompleng hidup padanya atau mendompleng tenar saja. namun, nyatanya tidak. Wisang bahkan tak segan membantunya mengurus anak anak, terlebih setelah meutuskan untuk kembali ke Indonesia. Ia butuh banyak penyesuaian.
Teriakan Neyna dan Noah yang sangat excited terdengar saat mobil Wisang mulai masuk ke area pujasera yang berdampingan dengan taman kota di dekat RSUD. Jajanan yang tersedia di sana menjadi favorit Rose dan anak anaknya. Rose merasa ia seperti kembali ke masa lalu saat memakan penganan yang dijajakan di sana. Mulai dari nasi kucing, cilok, cireng, es gosrok, es dawet, es tongtong, es potong, kue rangin, pukis, martabak, sop manten, sop matahari, dan lainnya. Ia akan teringat pada mendiang nenek dan ibunya yang memang orang jawa asli, yang menikah dengan sang ayah yang berasal dari Texas.
“Mami aku ke sana ya?” ucap Neyna dengan logat yang agak aneh meski sudah lancar berbicara bahasa Indonesia.
“Okay, i’m waiting here. Mami mau makan sop dulu.Darl, mau makan?”
Wisang menggeleng. “Aku awasi anak anak, kamu makan aja. Hey, Nino, ice cream or cotton candy?”
Nino melirik sekilas.
“Nino! Papa tanya, jawab!” bentak Rose.
Bocah itu akhirnya menjawab. “That one.”
“What? Es cendol?” tanya Wisang. Nino mengangguk. “Oke, ayo beli, mau pakai ketan?”
Nino mengangguk. Ia pasrah dirangkul kekasih ibunya. Rose mengamati dari jauh, ia tersenyum akhirnya sang putra mau luluh dengan Wisang. Di sisi lain, dua bocah yang tengah menginginkan permen kapas kebingungan saat sang penjual ternyata tak bisa berbahasa Indonesia apalagi Inggris.
“I want buy this and the blue one. How much? Berapa harganya?” tanya Neyna.
“Sing pundi? Niki kalih niki?”
Neyna berpikir. “Sing? Niki? Singing Niki? Niki minaj? Singing Niki Minaj song?”
“Kalih kalih doso ewu,” ucap sang penjual.
“Can you speak english? Indonesia? Berapa harganya?”
“Kalih doso ewu.”
Noah yang sudah ribut ingin memakan permen kapas menangis. Percakapan itu akhirnya memancing perhatian dari salah satu orang yang tengah menikmati es teller di salah satu bangku pujasera. Gadis berjilbab itu mendekati kedua bocah tadi.
“Hi, do you wanna buy some cotton candies?”
“Yes, Auntie, but i can’t speak javanese. I don’t know how much i should pay the candy.”
Gadis itu, Kinza, bertanya pada sang penjual. “Pinten Mbah, arumanisipun?”
“Setunggale sedoso ewu, Mbak. Kalih kalih doso ewu.”
Neyna mengamati gadis tadi, Kinza mengeluarkan uang berwarna hijau. “Niki nggih Mbah. Which one do you want?”
“Theblue one!” teriak Noah yang kini tak lagi menangis.
“And you?”
“The pink one,”ucap Neyna.
Kinza mengambil warna biru dan pink. Neyna dan adiknya terlihat senang. “Ini uangnya, Auntie.”
Kinza menggeleng. “Keep it. Where’s your parent?”
“Mami is over there, eating sop matahari, dan papa sama my brother Nino, buying es cendol.”
Kinza mengangguk angguk. Tangan kecil Noah menarik narik tangan Kinza. “Help me, i can’t take it away.”
Noah yang berusaha menarik bungkus plastiknya mulai frustasi. Kinza terkikik, ia berjongkok dan membantu membuka bungkus permen kapas itu. Pipi kemerahan Noah bergerak gerak seiring bibirnya yang sudah tak sabar ingin segera menyerbu permennya.
“Ini dia, makan sambil duduk di sana, ya? Banyak yang playing skateboard di sini, kalian bisa tertabrak. So, sit on the bench and start to eat. Slowly. And don’t forget to pray first, say thanks to God, for giving this delicious food to you.”
Neyna dan Noah menurut ketika Kinza menggandeng mereka dan mengajak mereka duduk di bangku pinggir taman. “Waah it’s so fluffy and sweet.”
“Auntie, take a bite!” titah Noah.
Kinza yang gemas dengan dua anak bule itu seperti terhipnotis, sampai tak sadar jika ia lupa berpamitan pada Abimanyu dan keluarganya yang tengah menikmati es teller. Noah dan Neyna menyuapkan satu sobek permen kapas. Kinza menerimanya. “Bismillah,” ucapnya sebelum menerima suapan.
Ia kemudian membeli tisu dan air mineral dari pengasong yang lewat. Tangan Noa dan Neyna lengket terkena permen. Di saat itu, Neyna yang tengah bercerita tentang dimana mereka tinggal dan dengan siapa mereka tinggal memekik. “Papa!”
“Itu papa kami, pacarnya mami kami. Kalau daddy kami sudah meninggal three years ago,” ucap Neyna santai seolah tak ada rasa sedih karena belum sepenuhnya paham arti kematian.
Kinza menoleh, ia yang awalnya ingin menyapa mendadak mematung. Sosok laki laki yang mendekat ke arahnya, ternyata ia kenali.
“Papa! Papa! Ini Auntie Kinza, She’s very kind. She helping us ah no no, she bought this and that for us.”
Wisang mengangguk. “Oh really? Hi, thanks for helping my kids.”
“Sure, Sir.”
“Kinza!”
Kinza menoleh, Abimanyu berjalan ke arahnya. “Es mu keburu mencair,” ucap Abimanyu lembut.
“Oh iya, wait a minute. Neyna, Noah, i have to go now. It’s very nice to meet yo.”
“Bye Auntie, nice to meet you too. See you next time.” Neyna memeluk Kinza dan Noah ikut ikutan.
“Hey Hey, lengket semua itu, Auntie nanti kena cotton candies kalian,” tegur Wisang.
“It’s okay, Sir. It doesn’t matter. Bye kiddies.”
Noah dan Neyna melambaikan tangan. Abimanyu memasukkan tangan ke saku dengan tatapan tak mengenakkan terarah pada Wisang. Sementara Wisang malah tersenyum.
“Secemburu itu kamu, Bim?Hmm.. kamu belum tahu seleraku. Kalau bukan gara gara Gendhis, aku juga ogah deketin pacarmu yang kayak putri malu itu. Dideketin dikit langsung nunduk gitu aja masih dicemburuin. Dasar seleramu aneh, Bim,” batin Wisang.
Kinza yang berjalan menjauh, kembali ke tepat duduknya tadi ditanya oleh Abimanyu. “Kenapa ada Wisang di sana?” tanya Abimanyu agak ketus.
“Nggak tahu, Pak. Eh Mas. Aku kan tadi cuman bantuin anak anak itu, nggak tahunya mereka dateng sama Pak Wisang.”
Abimanyu hanya bisa mendengkus. “Well, tapi baguslah, biar dia lapor sama atasannya, biar mereka semakin yakin kalau aku sama Kinza memang ada apa apa.”
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Mau bilang apa ke Kinza???
Tinggalin tanda dong wkwkwkk
❤❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro