Part 28
Aroma kopi robusta begitu khas tercium di kamar sewa Brandon Johnson Lynch. Kepulan asap membumbung saat bibir sang pria mengeluarkan asap dari tembakau berbalut miliknya.
"Dia pergi dengan gadis yang sama. Namanya Mimosa. Mereka tinggal serumah."
Brandon mengamati belasan foto yang menunjukkan kegiatan Wisang beberapa hari terakhir.
"Apa tidak bisa kalian menangkap gambar wanita ini, hah? Kenapa semua blur?"
"Bos, ini sulit. Kami membidiknya jarak jauh. Bos tahu seperti apa antek Wisanggeni. Si Antasena itu bahkan sangat licin seperti belut. Kemarin kami hampir bisa menghabisinya tetapi gagal. Ada orang lain ikut campur."
Brandon marah. Ia menendang meja di depannya. "Bunuh dia! Bunuh mereka! Tabrak mereka atau tembak saja semuanya."
"Bos, tidak semudah itu. Mereka selalu pergi dengan anak-anak Madam Rose. Bagaimana kalau kami sampai melukai anak-anak itu."
"AKU TIDAK PEDULI! MEREKA BUKAN ANAKKU! DAN ROSE HANYA BUTUH AKU DAN NINO! Kalau memang harus dua bocah itu mati, biar. Justru kebahagiaanku akan sempurna tanpa harus memikirkan mereka."
Brandon memang seegois itu. Dia menginginkan Rose saja. Tidak peduli dengan bagaimana perasaan Rose, apalagi tentang anak-anak Rose dengan mantan suaminya. Jauh berbeda dengan Wisang yang benar-benar menerima Rose dan semua anaknya tanpa membedakan mereka.
"Kill them!"
Suara Brandon yang begitu keras membuat Nino yang sedari tadi meringkuk di kasur ketakutan. "Daddy mau membunuh Neyna dan Noah?" batin anak itu.
Ia mendengar ayahnya berbicara lagi sebelum terdengar suara pintu terbuka dan menutup kembali. Langkah Brandon mendekat mengusik rungu Nino. Bocah itu pura-pura masih tertidur.
Ia merasakan tubuhnya dipeluk oleh Brandon.
"My boy, my lovely boy, Daddy sangat senang kamu hadir dan menyatukan kami. Daddy akan menggunakanmu untuk mengambil hati mamimu lagi setelah Daddy berhasil menyingkirkan bajingan itu dan adik-adikmu. Kita akan hidup bersama. Tugasmu hanya menjadi pemersatu kami, selebihnya, terserah, kamu mau apa. Daddy hanya ingin mami. Tidak ada yang lain."
Nino ketakutan. Jadi benar, Brandon akan membunuh adik-adiknya, juga Wisang? Bagaimana kalau setelah itu ia juga dibunuh karena mengetahui seluruh rencana Brandon? Siapa yang akan melindunginya jika sampai Wisang terbunuh?
"Papa ... Aku takut Pa. Aku takut Pa," batin Nino sembari menyembunyikan tubuhnya di selimut.
Ia mendengar dengkuran halus Brandon. Menandakan pria yang merupakan ayah biologisnya itu tengah tertidur. Nino perlahan turun dari ranjang.
"Aku harus cari Papa. Aku harus cari Om Sena. Tapi gimana caranya?"
Brandon membatasi akses Nino selama berada dengannya. Bocah SD itu sempat begitu memuja Brandon dan benci pada Wisang. Namun, perhatian Brandon ternyata hanyalah untuk menarik hati Rose saja. Nino bisa merasakannya, perbedaan perlakuan Wisang dan Brandon padanya.
Selama di Aussie, Brandon tak pernah peduli dengannya, hanya memberinya uang dan menghujaninya mainan tanpa mau menemaninya. Setiap kali Nino meminta diajari bermain gim atau meminta ditemani makan atau tidur, Brandon akan membentaknya. Ia akan mengunci Nino semalaman di kamar sedang Brandon menghabiskan malam dengan menikmati tubuh Rose di ruangan lain.
Nino seketika ingat pada sosok Wisang. Sosok yang ia benci akibat doktrin dari Brandon. Di malam ketika Rose dan Cindy sudah pulang ke Indonesia dan Brandon masih di Aussie bersama Nino, pria itu mabuk dan bercerita pada Nino tentang banyak hal.
Satu yang digaris bawahi Nino, jika dia adalah dalang pembunuhan Matt, suami ibunya, ayah Neyna dan Noah. Padahal selama ini, ia menuduh Wisang yang melakukannya.
Nino sangat kecewa dengan Brandon. Ia pun merasa bersalah pada Wisang yang selama ini begitu perhatian dengan dirinya. Tidak hanya mengajarinya main gim, Wisang pun sering membantunya mengerjakan PR, menemaninya tidur, memandikannya jika ia sedang malas bangun pagi untuk sekolah, menyuapinya dan hal lain yang dilakukan pria itu meski saat ibunya tak di rumah.
"Papa," lirih Nino sembari terisak.
"I miss you, Pa."
Anak itu menangis dipojok ruangan tanpa suara. Ia berusaha berpikir.
"Hey, boy. Kalau nanti kamu butuh bantuan Papa, tekan saja tombol di jammu ini. Papa akan segera datang."
Ia ingat, jamnya. Jam yang dihadiahkan oleh Wisang saat ia berulang tahun ke delapan. Jam itu ada di tas yang ia letakkan di ruang sebelah. Nino berjalan pelan agar sang ayah tak tahu jika ia menyelinap pergi meninggalkan kamar tidur.
Anak itu mengambil tasnya. Ada sebuah foto tercecer di bawah meja yang menjadi korban tendangan sang ayah. Ia memungutnya.
"Papa, Neyna, Noah, Om Sena, dan siapa ya?"
Nino adalah anak yang selalu penasaran dengan hal-hal yang menggelitik pikirannya. Ia mencari foto lain yang kemungkinan ada di sekitar sana. Benar, ia menemukan sisa foto lain di laci meja sang ayah.
"Bajunya sama kayak yang blur ini. Ini siapa ya?" Monolog Nino setengah berbisik.
Bocah itu mengambil gambar ke lima orang tadi dengan kamera jam tangannya kemudian membakar foto itu di dapur apartement sewaan sang ayah.
"Jangan sampai Daddy nyuruh orang untuk bunuh mereka," pikir Nino.
Ia kemudian menekan tombol hijau di jamnya.
"Nino! El NINO!" teriak Brandon.
"Ye-Yes Daddy!" Nino berlari mendekati sang ayah.
"Where are you?"
"I'm hungry. Mm ... Daddy, may i buy sandwich?"
Brandon yang masih setengah mengantuk mengiyakan. "Sana pergi sendiri. Cepat pulang tapi."
"Yes, Daddy. Daddy mau minum?" Anak itu menawarkan minuman pada sang ayah. Sebuah alkohol yang Nino tahu akan membuat ayahnya teler lebih lama.
Brandon mengulurkan tangannya. Nino tersenyum dan memberikan minuman itu. "Bye Daddy." Nino berpamitan setelah itu. Brandon tak mengira jika putranya berniat melarikan diri.
Bocah itu segera berlari keluar dan pergi ke lobby, berharap akan bertemu Wisang. Namun, sepertinya jamnya tak berfungsi dengan baik karena tak ada respon yang ia dapatkan seperti kata Wisang dulu.
"Akan ada tanda biru menyala kalau pesan panggilanmu tersampaikan. Kalau tidak berarti koneksinya terputus."
Nino kebingungan, tak tahu harus kemana, yang jelas, ia hanya ingin pergi, kabur dari sang ayah. Bocah itu berjalan menyusuri jalanan dengan menggendong ranselnya. Ia menyesal, tak pernah memperhatikan jalanan jika tengah bepergian. Ia selalu sibuk dengan ponselnya, hingga tak hapal jalan.
****
Hari ini, hari pertama Kinza kembali bekerja. Setelah berdebat dengan sang suami soal penampilannya, ia akhirnya mengenakan abaya ke kantor.
"Mas! Aku itu mau kerja, masak pake baju ini?"
"Kamu mau kerja atau mau menggoda Abimanyu? Nggak usah pakai setelan begitu. Itu liat pinggangmu keliatan lekuknya. Pantatmu keliatan. Kamu bisa nggak sih berpenampilan seperti muslimah yang baik?"
"Astagfirullah, Mas. Ini tuh ketutup. Liat, aku pakai kemeja, masih aku pakein vest juga. Ini rokku juga nggak nerawang, nggak pressbody. Biasanya aku juga begini."
"Nggak boleh! Pakai gamismu! Itu abaya yang kemarin beli. Dan nggak usah make up segala!"
Wisang bersungut-sungut saat melarang istrinya memakai baju kerja biasanya. Ia menganggap istrinya masih terlalu cantik dan mencolok. Ia tidak rela berbagi kecantikan sang istri dengan pria lain, terlebih Abimanyu.
Satu hal yang membuat Kinza semakin geli adalah ketika sang suami berkata," Pulang kerja nanti, kita beli jilbab baru. Lebih baik kamu pakai niqab mulai besok. Aku nggak mau kecantikanmu mengundang fitnah."
Kinza terkikik mengingat kelakuan sang suami. "Hmm, bilang aja cemburu. Gengsian," gumam Kinza.
Ketukan pintu terdengar membuat Kinza menoleh. "Morning, Mrs. Kinza. Welcome back to Dewangga Kingdom."
Abimanyu datang dengan membawa sekotak susu dan dua batang cokelat.
"Morning, Mr. Abimanyu."
"Buat amunisi pagi ini. Have a nice day, Nyonya."
Kinza terkikik dan berterima kasih.
"Ng ... Boleh minta nomor HP Sabira?"
"Hm ... Gimana ya? Boleh nggak ya? Aku tanya yang punya dulu ya."
Abimanyu mengangguk. Kinza menelpon sahabatnya. Abimanyu menunggu dengan setia sembari mengutak-atik sesuatu di meja Kinza. Benda berbentuk kotak milik Wisang yang tadi dimasukkan ke dalam kotak pensil Kinza oleh si kecil Noah yang meminjam alat tulisnya.
"Ini buat ngelacak anak-anak ya? Anakmu udah besar?" tanya Abimanyu.
Kinza mengamati benda itu. "Oh, itu punya Noah."
"Eh, nih, ada panggilan masuk," ucap Abimanyu.
Kinza menoleh. "Panggilan? Ini gimana sih caranya?"
"Nih, angkat." Abimanyu meneka tombol hijau di sana.
"Papa! Papa! It's me, Nino! Help!"
"Nino? Hey, it's me Auntie Kinza. Papa isn't here. Where are you now?"
"Auntie? Oh, i'm at jalan Yos Seodarso."
"Wait for me, i'll pick you up. Don't go any where."
Kinza segera menelpon suaminya, hingga lupa ada Abimanyu di sana. Namun, Wisang tak bisa dihubungi, ia mengirimkan beberapa pesan dan sia-sia, tak terkirim juga.
"Kin, aku anter ya? Memang dia siapa?"
"Anak suamiku," ucap Kinza sebelum akhirnya menerima penawaran Abimanyu.
Abimanyu mengambil kunci mobilnya, sebelum mengajak Kinza pergi. Pikirannya hanyalah kenapa suara Nino seolah tengah ketakutan.
Ia masih sedikit ingat wajah Nino. Sehingga saat mobil Abimanyu telah sampai di titik koordinat sesuai petunjuk dari alat yang di bawa Kinza, ia bisa segera menemukan Nino.
"Nino?!"
Nino mengernyit, ia melihat ke arah jamnya, rupa wanita yang memanggilnya sama dengan yang ada di foto.
"Auntie?"
Kinza tersenyum. Nino menghampirinya. "Thanks for coming, where's Papa?"
"Papa sedang kerja, Nak. Kita masuk dulu ya? Nanti ceritanya di dalam aja."
Abimanyu mengamati gerak-gerik kedua orang di sana. Kinza membuka pintu depan untuk Nino. "Auntie aja," ucap Nino.
Kinza menggeleng. "No, kamu aja. Auntie di belakang. Pangeran duduk di depan, dan ratu ada di belakang," canda Kinza.
Nino tersenyum, ia kemudian membalas membukakan pintu untuk Kinza. "Silakan, Your Highness," ucapnya.
Kinza terkekeh dan mengucap terima kasih.
"Auntie, aku pulang ke rumah Auntie ya?" pinta Nino. Ia bisa merasakan jika wanita itu orang baik- baik.
"Tapi, Auntie kerja. Mmm ... Apa kamu mau ikut Auntie kerja? Ah iya, kenalkan, ini Bosnya Auntie."
Nino menyapa Abimanyu dan begitu juga sebaliknya. "Pak, apa boleh saya bawa Nino ke kantor? Di rumah nggak ada orang. Adik-adiknya masih sekolah."
Abimanyu terlihat berpikir sebelum mengangguk. "Oke, tapi nomor Sabira jangan lupa."
"Oh, baik Pak. Saya kirim ke nomor bapak, ya?"
"Deal!" sahut Abimanyu.
Suara perut Nino membuat dua orang dewasa di sana menoleh ke arah yang sama. "Kamu laper?"
Nino meringis dan mengangguk. "Daddy nggak kasih aku makan sejak kemarin siang."
"Astagfirullah," desah Kinza.
"Mampir KFC mau? Depan situ ada," ucap Abimanyu.
Nino mengangguk senang, ia sudah lapar. Sangat lapar. Tak peduli yang lain, entah kenapa Kinza membuatnya merasa nyaman dan aman. Ia menurut saat disuruh Kinza menunggu selama ia bekerja.
Bahkan ia sampai tertidur di sofa bed yang berada di sudut ruangan setelah puas bermain gim di ponsel Kinza. Kinza tersenyum melihat Nino yang tertidur lelap.
"Ya Allah, aku senang dengan anak-anak, tetapi kenapa berbeda rasanya ketika bersama anak-anak ini? Mereka seperti anakku sendiri, begitu manja dan seolah menerimaku dengan mudahnya. Andai mereka anak Mas Wisang, aku pasti sangat bahagia, tapi ... Mereka anak dari tunangan Mas Wisang. Dan akan ada waktu dimana nanti aku harus kehilangan mereka. Ya, mereka, Mas Wisang, Nino, Neyna, dan Noah. Mengembalikannya pada wanita yang memiliki mereka seutuhnya, Roseanne," batin Kinza.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai Semuaaa
Selamat pagi.....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro