Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 27

Antasena, pemuda berusia dua puluh tujuh tahun yang sudah mengabdi pada Wisang sejak sepuluh tahun lalu itu terbiasa mengurus anak-anak dari kekasih atasannya. Sejak sore tadi sang bos tengah berbulan madu, sehingga ia memilih membawa anak berusia tiga dan lima tahun itu pergi jalan-jalan.

Sena, begitu ia akrab disapa, mengajak Neyna dan Noah ke taman kota, menemani dua anak itu menyewa mobil-mobilan listrik di sana. Sore ini, ada pekerjaan yang harus ia urus, itulah kenapa ia meminta bantuan Arafah, adik dari istri Bosnya yang beberapa waktu ini mulai dekat dengannya karena membantu mengurus dua bocah lucu itu.

"Om! Dadaaaaah!" teriak Noah sembari melambaikan tangan. Neyna terlihat sedang konsentrasi menjalankan mobil sembari duduk di samping sang adik.

"Daaaaaah!" balas Sena.

Ia baru menikmati es bobanya saat segerombolan orang tiba-tiba menyerang dirinya. Sena diseret dan dipukuli. Posisinya yang ada di bagian pojok di bawah pohon memang sepi. Ada pemulung dan pengasong yang melihat kejadian itu tetapi mereka lebih milih lari.

Sena berusaha untuk melawan, tetapi ia yang tak siap jelas terlanjur kena pukul.

"Stop!" teriak Arafah yang muncul dan segera berlari.

Mendengar jeritan Arafah, penyerang Sena menoleh. Salah satunya beralih menyerang  Arafah. Gadis itu meladeninya. Jangan salah, ia dan Kinza sudah dilatih bela diri sejak kecil. Perkara preman jalanan, bukan masalah untuk mereka.

"Ara! Awas!" teriak Sena saat melihat salah satu penyerangnya mencoba memakai belati.

Arafah merogoh sesuatu dari totebagnya dan menodongkan pada mereka.

"Kabur Bos kabur!" teriak salah satunya.

Sekilas, airsoft gun yang ditodongkan Arafah memang mirip dengan air gun. Sena terduduk di tanah, sementara para pelaku pengeroyokan pergi tunggang langgang menggunakan motor king mereka.

"Air soft gun?  Wah, anak tembak nih?"

Arafah, si gadis yang selalu terlihat judes di depan laki-laki itu terkekeh untuk pertama kalinya di depan Sena.

"Kemarin minta sama Mas Wisang. Aku liat ini di selipan rak sepatu deket garasi. Udah nggak ke pake katanya, ya udah aku minta."

"Wow," ucap Sena sembari berdiri dan membersihkan celananya yang kotor.

"Jangan digunakan untuk hal yang tidak baik, takut kalau-kalau nanti kamu gunakan buat nembak cowok-cowok yang godain kamu. Kamu udah cukup serem tanpa bawa-bawa senjata."

Arafah mengembus napas sembari menyimpan senjatanya lagi. "Kebanyakan orang sering ketipu dengan looknya, padahal magazennya kosong kok. Nggak ada apa-apanya. Tapi, liat wujud senjatanya, udah kabur duluan."

Sena tertawa. "Itu manusiawi. Rasa takut yang dimiliki manusia, wajar tau. Naluriah. Semua orang pasti punya. Sekejam apapun dia, pasti punya rasa takut."

"Itu tadi siapa?" tanya Arafah.

Sena tak menjawab, ia mengalihkan perhatian. "Ning, lagi nggak salat kan?"

Arafah menoleh, melirik sekilas. "Iya. Kenapa?" jawabnya dengan nada ketus seperti biasa.

"Ke pasar malam yuk nanti malem? Aku ajak adikku, sekalian momong tuh dua bocah. Nyonya  sama tuan Bos lagi honeymoon."

Arafah terlihat berpikir. Ia mengecek sesuatu dari tasnya. Mengambil dompet dan menghitung uang di sana sekilas.

"Nanti aku yang bayarin. Kan aku yang ngajak," celetuk Sena saat tahu apa yang dipikirkan Arafah.

"Cukup kok, aku punya uang. Nggak mau bayar-bayarin. Kata almarhum Abi, jadi perempuan nggak boleh lengah. Termasuk soal bayar membayarkan. Nanti cuma gara-gara dibayarin permen, dijajanin es, lama-lama ngerasa nyaman, seneng, ketagihan, dan naudzubillah, jadi lost control. So, no bayar-bayarin."

Bocah kelas tiga MA itu terlalu teguh pendirian. Beberapa hari yang lalu, Sena pernah membelikan adiknya milk tea, Arafah ikut diberi satu dan dia mengganti uangnya. Ditolak seperti apapun Arafah tetap keukeuh membayar uang Sena, bahkan gadis itu menyusul Sena ke kantor hanya untuk memberikan uang delapan ribu lima ratus rupiah.

"Mas, sini dulu," ucap Arafah sembari mengeluarkan tisu, membantu Sena yang terluka bibir serta pelipisnya.

"Nggak usah, nanti aku obatin sendiri."

Arafah tetap berniat membantu. "Merem dulu atau liat bawah, jangan liat aku. Diem."

Sena menurut. Arafah sudah biasa mengobati adiknya yang sering terluka karena berkelahi, jadi ia cukup cekatan mengurus luka-luka seperti ini.

"Kulitmu bikin iri, Mas. Cowok mulus banget," ucap Arafah sembari terkikik.

Sena yang tadi menutup mata kini membuka matanya. "Kamu nggak bersyukur sama kecantikanmu ha? Kufur nikmat," tukas Sena.

"Mukaku belang, gara-gara sering dijemur kalau pramuka sama paskib. Buluk. Sering iri sama Mbak Kinza yang mulus kayak boneka."

Sena menutup matanya lagi, mencoba menghormati Arafah.

"Kenapa, Mas patuh banget sama Mas Wisang? Sampai nyusup ke pondok demi kasih info buat Mas Wisang? Kenapa Mas dan keluarga Mas tunduk banget sama Mas Wisang? Kayak nggak wajar, gitu. Meski dibayar, tapi kan tetep ada alasan pasti yang bikin loyalitas itu begitu totalitas."

Setelah menempelkan dua plester luka di dagu dan pelipis mata Sena, Arafah kembali duduk.

"Ada banyak hal yang melatar belakanginya. Ceritanya panjang. Bos, itu putra dari tetangga bapak dan ibu, di kampung, dulu. Waktu itu, bapak dan ibu ngabdi di rumah bapak angkatnya si Bos ini. Waktu itu ibu angkatnya si Bos baru mengalami musibah dan kandungannya diangkat nggak bisa punya anak lagi. Tapi mereka sudah punya anak, Pak Dewa. Kabarnya setelah dilahirkan, Bos ditinggalin di rumah sendirian. Ibu yang nemuin, pas itu masih bayi. Terus diasuh ibu. Sampai akhirnya ibu hamil aku. Karena kerepotan, ibu angkatnya si Bos akhirnya minta buat adopsi si Bos secara sah, sebelum mereka pindah ke Amerika. Mereka pindah awalnya karena pengobatan ibunya si Bos, tapi akhirnya meninggal. Pak  Dewa pulang ke Indonesia sejak ibunya meninggal. Terus karena bapaknya Si Bos masih ada kerjaan di sana, beliau masih stay sampai sekitar sepuluh tahun lalu. Terus tinggal si Bos yang stay di sana. Tapi, nggak tau kenapa dua tahun ini si Bos milih pulang ke sini. Mereka memang majikan kami, tapi selalu memperlakukan kami sebagai bagian dari keluarga mereka."

Arafah mengangguk-angguk. "Oh gitu."

Neyna dan Noah sudah lelah bermain, mereka segera menghampiri Arafah dan Sena. "Om, Onty, aku haus," rengek Noah.

"Yuk beli minum, terus kita pulang dulu, nanti malem kita main lagi, malem mingguan."

"Okaaaaaay!" teriak keduanya.

Noah dan Neyna kembali balapan menuju mobil mereka. Arafah sudah melangkah mengikuti tetapi Sena yang baru bangun pasca duduk tiba-tiba seperti tersentak karena sesuatu.

"Kenapa, Mas?"

Sena menggeleng dan meringis. "Nggak apa-apa. Ini kuncinya, masuk duluan aja sama anak-anak."

Arafah mengangguk dan menerima kunci mobil Sena. Sementara sang pria berjalan perlahan. Lukanya kemarin belum sembuh, kini perutnya kembali terkena pukul. Sena menahan sakit.

"Ya Allah ... kuatkan aku ... Kuatkan aku. Setidaknya aku ingin melihat orang tuaku berangkat menunaikan ibadah ke rumah-Mu dulu sebelum aku pulang ke pangkuan-Mu, Ya Rab."

Si loyal Antasena, sudah merasakan semakin hari tubuhnya semakin melemah. Tak sekali dua kali ia harus memforsir tenaganya melindungi sang bos. Menjadi tumbal, menjadi pasukan garda depan Wisang. Tubuhnya penuh luka. Namun, semua ini ia jalani dengan penuh kerelaan. Mengingat betapa baiknya keluarga Wisang padanya.

"Andai aku harus pergi cepat ... Ijinkan aku pergi dalam keadaan iman, islamku, dalam sujudku pada-Mu, Ya Malikal Mulk," batin Sena penuh harap.

****



Pasangan pengantin baru yang baru saja selesai salat bersama itu kini duduk berhadapan sembari memegang ponsel masing-masing.

"Kang Sena ngajak Arafah sama anak-anak dan Dewi ke pasar malam," kata Kinza.

"Hmm. Dia udah chat aku juga."

"Mas beneran nggak mau dimasukin ke grup ghibah keluarga? Ada aku, ibu, Arafah, Kang Sena, Sekar, sama Neyna."

"Nggak. Ngapain."

Kinza menyisir rambutnya yang sudah mulai kering dengan tangan. Ia meletakkan ponsel, kemudian mengambil minuman di kulkas meja, yang terduduk manis salah satu sudut kamar.

"Mas, mau minum nggak?"

"Aku mau kerja dulu." Wisang menegaskan jika ia tengah sibuk dan tak mau diganggu.

"Oke kalau begitu. Butuh bantuan?" tanya Kinza.

Wisang beranjak dari ranjang dan berjalan menuju meja kerjanya. "Maaf, penawarannya aku tolak. Aku cuma mau sekertaris yang seksi. Bukan sekertaris seperti milik Dewangga Pradipta seperti ini."

Kinza membelalakkan mata. Ia diejek suaminya sendiri. Wisang terkekeh melihat istrinya kesal. "Ya sudah kalau nggak mau."

Kinza memilih untuk turun dan memasak sesuatu untuk cemilan malam ini. Perutnya lapar karena Wisang hari ini benar-benar gila.

Baru sepuluh menit Kinza pergi, Wisang memanggilnya lewat intercom.

"Mimosa, i need your help."

Kinza mengembus napas. Benar saja, sang suami kini memang sering meminta bantuannya dalam mengerjakan tugas kantornya. Dari sana ia baru tahu kalau bisnis utama sang suami adalah produsen home furniture. Namun, ia tak bertanya dimana pabriknya, dan lain sebagainya.

Kinza yang berjalan naik ke atas, seketika ingat sesuatu. Dari pada memancing ejekan sang suami, ia segera berganti baju kemudian berlari ke ruang pribadi suaminya.

"Ada yang bisa saya bantu, Mr. Wisanggeni?"


"Rekapin ini, Mim. Danial ngaco kirim datanya. Semua jadㅡ"

Wisang tiba-tiba terdiam menatap istrinya.


"Mana siniin, aku kerjain di PC-ku aja."

"Nga-ngapain kamu pakai baju begitu?"

"Katanya nggak mau punya sekertaris kayak sekertaris Pak Dipta? Ya udah, aku pakai baju ini. Apa harus aku pakai lingerie kayak pacarmu?" tanya Kinza.

Wisang tak menggubris Kinza, ia menggeser duduknya, memunggungi sang istri. Berusaha fokus pada pekerjaannya. Keduanya bekerja dalam diam.

Semenit, dua menit, lima menit, hingga sepuluh menit, akhirnya Wisang bersuara.

"AC-nya dingin, pakai sweatermu," titah Wisang.

"Hmm? Nggak ah."

"Mimosa, pakai sweater!"

Kinza beranjak dari kursinya dan melenggang pergi mengganti bajunya.


"Done," ucap sang wanita sembari membenahi posisi celananya kemudian kembali duduk di samping Wisang.

Pria itu melepas kacamatanya dan mengusap wajah kasar. "Mimosa Pudicaku sayang, kamu belum puas main seharian?"

"Hey! Aku cuma berpakaian normal. Normal menurut pandanganmu. Aku nggak mancing. Aku juga nggak ngajakin main. Pegel semua badanku. Mas aja yang jorok pikirannya."

Wisang mengembus napas. Memang benar alasan Kinza dan tuduhan itu juga pantas ditujukan padanya. Ia sulit sekali menahan diri dari godaan Kinza.

Wanita itu menyandarkan punggungnya di punggung Wisang.

"Mas, kita nggak boleh saling tanya kan? Nggak boleh kepo kan ya? Tapi, apa mas nggak mau cerita soal apa gitu?"

Wisang melirik sedikit ke belakang. Ia tahu Kinza tengah memancingnya.

"Aku sibuk."

"Oke deh kalau nggak mau cerita. Ini kerjaannya udah selesai. Aku bobok di bawah ya. Takut ganggu. Mau main hape. Tadi Bira chat belum aku bales, Mas Abim juga. Mau videocall bahas kerjaan yang ketunda seminggu ini."

Wisang membiarkan istrinya pergi. Ia mengolah data yang sudah dikerjakan sang istri.

"Wait? Videocall? Abim? Abimanyu?"

Wisang segera keluar kamar. Ia melihat istrinya mengecek pintu depan.

"Mimosa!" teriak Wisang.

Kinza mendongak. "Dalem."

Wisang mengodenya untuk naik lagi. Kinza menggeleng. "Aku mau malmingan. Selamat bekerja, Mr. Wisanggeni!"

Kinza melayangkan flying kiss untuk suaminya yang berada di lantai dua sebelum masuk ke kamar. Wisang benar-benar gemas pada istrinya. Kenapa Kinza tak pernah menurut di hal-hal genting begini.

"Oh God! Kenapa harus aku menikahi makhluk menggemaskan seperti itu," desah Wisang.

Wisang kemudian berlari turun dan menyusul Kinza. Tanpa kata, ia masuk ke kamar istrinya dan ikut merusuh di atas ranjang. Kinza masih bervideocall dengan sahabatnya dan Wisang merengkuh tubuh wanitanya dari belakang.

"Hai Bira!" sapa Wisang.

"Aduuuh aduuh, heeeh, malah pamer mesra-mesraan. Jadi ngiri!" kata Sabira di ujung telpon.

Kinza tersipu, Wisang tak segan menunjukkan kemesraan mereka. Ia menciumi tengkuk dan telinga sang istri sesekali.

"Mas, geli," protes Kinza sembari mendengarkan Sabira dan Ummi Husna berbicara di seberang.

"Semoga cepet jadi ya cucunya Ummi. Yang banyak jangan cuma satu dua."

Perkataan Ummi Husna membuat Wisang dan Kinza tersenyum dengan sedikit terpaksa.  Setelah sambungan telepon usai, Kinza terdiam.

"Kenapa?" tanya Wisang.

Kinza menggeleng. "Pernikahan kita bukan pernikahan yang normal. Aku cuma punya ragamu bukan rasamu. Meski kamu seutuhnya punya rasa dan ragaku. Rasamu, tetap ada di ibunya Neyna dan Noah. Aku tau cepat atau lambat semua ini pasti berakhir. Tapi, sampai di saat itu, sampai di waktu limitku memilikimu ... aku mau tetap seperti ini. Menipu pikiranku sendiri seolah kita adalah pasangan normal yang berharap kebahagiaannya long lasting. Never ending story."

Kinza membalik tubuhnya cepat. Ia tidak mau Wisang melihatnya menangisi hal yang tak perlu.

"Maaf ...." Wisang lirih berucap.

Tangan pria itu merengkuh tubuh istrinya. "Aku milikmu setiap kali ada di rumah ini. Aku milikmu seutuhnya."

Kinza menoleh. "Mas, aku harus apa biar kamu bisa cinta sama aku?"

Wisang menutup matanya, tak kuasa ia menatap mata Kinza yang menuntut jawaban darinya. Keduanya terdiam, jemari Kinza menyusuri wajah sang suami.

"Andai aku boleh meminta, aku mau hidungmu, lesung pipimu, struktur wajahmu yang sempurna ini, nurun ke anakku. Senyumanmu yang hangat, kebaikan hatimu, keloyalanmu, tinggimu, aku pengen semua itu nurun ke anakku. Kalau cowok aku kasih nama Wisam Dikara Prahasta."

Kinza tersenyum getir. Itu hanya impian konyolnya. Ia bahkan sadar cepat atau lambat Wisang akan meninggalkannya pergi.

"Sekarang, aku tahu apa yang dirasakan mamaku dulu. Ia rela menjadi istri kedua Abah, bertahan dalam ketidak adilan. Membesarkan buah cintanya meski sang suami tak bisa memberi dia haknya. Bahkan untuk sekedar dicintai dan ditemani. Aku tahu rasanya. Karena meski sulit, aku adalah bukti cinta mereka. Aku adalah buah cinta mereka. Mama pasti senang, berhasil memberikan seorang putri untuk Abah. Putri impian Abah. Karena tiga anaknya semua laki-laki dan Ummi tak lagi bisa mengandung. Mama pasti bahagia, bisa ... Setidaknya mewujudkan impian suaminya. Laki-laki yang ia cintai, cinta sejatinya, yang ia bawa mati."

Kinza mengusap air matanya. "Itulah kenapa, aku berusaha untuk tegar meski jujur saja aku sakit hati karena kenyataannya pernikahan ini tak selayaknya pernikahan biasa. Aku rela, aku ikhlas, dan bahagia karena bisa menikah dengan pria, yang saat ini, benar-benar aku cinta. Meski hanya sekejap nanti waktu kita bersama, aku akan menerimanya dengan lapang dada. Tolong, beri aku kesan manis selama kita bersama. Biar aku bisa tetap mengingat segala keindahan itu saat aku melepasmu pergi bersama wanita yang kamu cintai."

Wisang diam dan mendengarkan sembari memejamkan mata. Kinza mengusap air mata di pipinya.

"Kinanthi, kalau perempuan, beri nama Kinanthi. Seperti nama ibuku. Kinanthi." Wisang membuka matanya.

"Hm? Kinanthi?"

"Iya, kan ada banyak kemungkinan kita punya anak laki-laki atau pun perempuan." Wisang mengelus pipi Kinza.

"Aku yakin putriku secantik kamu," lanjutnya.

Kinza menjatuhkan tubuh di dada sang suami. "Jangan beri aku harapan lagi."

"Hanya laki-laki bodoh yang tak mau punya anak dari istrinya. Aku yakin kamu akan jadi ibu yang sangat baik untuk anakku. Sangat yakin."

Kinza menangis dipelukan suaminya. "Ya Allah, apa boleh aku meminta, jangan pisahkan kami. Aku mencintainya karena-Mu. Atas takdir-Mu kami bertemu dan menyatu dalam ikatan suci sesuai syariat agama-Mu. Bukankah Engkau membenci perceraian? Jauhkan kata itu dari kami, Yaa Allah Yaa Rabb ... Aku mohon ... Rahmatilah rumah tangga kami."

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaaa

❤❤❤❤❤

Maaf, terkendala hujan dan sinyaaal

😭😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro