Part 26
Kepulan asap rokok membumbung. Beberapa gelas berisi draught beer berjajar di gelas. Di beberapa sisi wanita-wanita dengan tanktop yang Rose taksir harganya tak sampai lima puluh ribu dan rok mini dari bahan jeans kasar yang sangat tak berkelas terlihat memanjakan pembeli mereka.
"Rendahan," batin Rose sembari berjalan masuk. Untung ia mengenakan mantel dan celana panjang dengan masker wajah dan scraft di kepala menutup rambutnya. Kalau tidak, pasti ia akan mencuri perhatian banyak orang.
Sebuah kedai di bantaran sungai yang ia dapatkan alamatnya dari Cindy, menjadi tujuannya. Ia ingin menemui seseorang yang dikenal sebagai seorang yang ahli membunuh tanpa menyentuh.
Rose sebenarnya tak tahu, apa itu membenuh tanpa menyentuh. Namun, Cindy mengatakan jika orang pintar itu banyak didatangi mereka-mereka yang mempunyai permasalahan, tanpa ingin menyisakan masalah lain.
"Mau pesan apa, Mbak?" tanya ibu-ibu penjaga kedai.
"Saya mau ketemu Mbah Darno, Bu. Apa benar rumahnya di sini?"
Wanita itu mengangguk-angguk sembari mengamati Cindy dan Rose.
"Oh mari saya antar. Lewat sini, Mbak."
Rose dan Cindy tak banyak bicara, keduanya mengikuti wanita dengan rambut bergelung dan bertusuk konde, menyusuri gang sempit dan becek.
"Mbah, wonten tamu."
"Kon mlebu."
Rose mencengkeram tangan Cindy saat mencium bau kemenyan dan hal aneh-aneh lain. Pria berikat kepala yang tengah duduk di depan media pembakaran kemenyan itu mendongak.
"Monggo, silakan duduk."
Wanita berdarah campuran tersebut duduk setelah Cindy bersimpuh terlebih dulu.
"Ada apa, Cah ayu?" tanya pria yang jika ditaksir usianya sekitar lima puluh tahun tersebut sembari menyunggingkan senyum yang Rose nilai lebih tepat seperti seringaian di wajah mesum.
"A-anu, Mbah. Temen saya ini mau minta tolong. Dia curiga sama pacarnya, belakangan ini katanya berubah dan nggak bergairah lagi dengan dia. Padahal mereka mau menikah. Mau minta dipasang susuk."
Suara tawa sang pria tua terdengar menyeramkan. Rose sampai terkejut.
"Kamu sudah sangat cantik. Susuk bayarannya mahal. Mungkin dia saja yang tidak kuat memuaskanmu karena terlalu cepat selesai. Tapi tenang, Simbah punya ini. Campurkan diminumannya. Ini dapat membuat tahan lama."
Rose dan Cindy saling berpandangan sebelum akhirnya mengangguk.
"Kalau ini gagal. Baru coba cara lain. Simbah mau mematahkan keraguan temenmu ini. Dia saja ndak percaya sama Simbah."
Rose menelan ludah, bagaimana orang itu bisa tahu? Namun, memang dari gerak-geriknya, Rose terlihat tak yakin berkunjung ke dukun itu.
"Mbah-Mbah, saya mau tanya yang lain. Saya, saya mau melacak orang, apa bisa? Saya mau menyingkirkan dia. Saya dihantui kecelakaan itu dan tidak pernah bisa tidur tenang. Saya tidak tahu dia dimana. Saya sudah coba cari. Tapi nihil." Rose akhirnya angkat bicara.
Pria itu kembali membakar kemenyan dan mengaduk-aduk bejana berair bunga di depannya.
"Dia ... perempuan. Dia ... dilindungi sesuatu. Simbah ndak bisa jelas lihat dia."
"Mbah, mosok ndak bisa jelas lihatnya." Cindy tak percaya.
Pria itu tersenyum mesum. "Bisa diusahakan asal syarat ritualnya terpenuhi."
"Berapa bayarannya, Mbah? Berapa saya bayar." Rose menyanggupi.
Pria itu menggeleng. "Bukan dengan uang. Bukan. Tapi, dengan beritual bersama. Harus dilakukan seminggu dua kali dalam sebulan dan tidak boleh berhenti di tengah jalan. Kalau berhenti, kamu akan mati."
Rose membelalakkan mata, Cindy gemetar. "Bos, kita bayar ramuan ini saja," bisik Cindy.
"Pikir-pikir dulu. Kalau mau silakan datang lagi. Orang ini bukan orang biasa. Dia dilindungi tabir. Dia pasti orang yang begitu dekat dengan Tuhannya. Ndak akan bisa disentuh dengan orang-orang seperti kalian. Coba saja hilangkan nyawanya, kalau bukan kalian sendiri yang akan celaka. Dia dilindungi Tuhannya." Pria tua itu tertawa.
Cindy sudah terlalu takut dan mengajak Rose pergi setelah menyerahkan uanh lima ratus ribu untuk botol kecil berisi ramuan untuk Wisang.
Sepanjang perjalanan, Rose masih memikirkan perkataan dukun tadi.
"Apa maksud orang tadi orang yang aku tabrak punya kekuatan juga?" tanya Rose pada Cindy yang tengah menyetir.
"Lupain aja, Bos. Dia cuma mau ngakalin Bos aja pasti. Ritual kayak gitu pasti nanti ada grepe-grepean. Belum lagi kalau minta tumbal nyawa. Nggak usah deh, Bos. Kita telusuri sendiri aja. Kalau nggak kita minta tolong Brandon. Dia pasti bisa nyelesaiin ini."
Meminta bantuan Brandon artinya sama saja. Brandon past meminta bayaran tubuhnya. Apalagi, beberapa kali Brandon mengutarakan kegilaannya. "Semoga ada adik Nino yang akan menyatukan kita lagi, seperti ketika Nino menyatukan kita, walau hanya sementara."
Kalimat itu membuat Rose bergidik. Ia hanya mencintai Wisang. Hanya Wisang. Itulah kenapa akhir-akhir ini ia overthinking tentang Wisang yang tak mau lagi menyentuhnya lebih.
"Aku pastikan Wisang meminumnya dan hari ini akan jadi hari luar biasa untuk penyatuan kami," batin Rose.
Cindy melajukan mobilnya. "Bos, TKP-nya di sini kan? Di pesantren ini, kan?"
"Cin, stop di mini market depan dan cari tahu apapun yang bisa kita tahu."
Cindy menurut. Ia meminggirkan mobilnya berpura-pura membeli minuman, sementara Rose menunggu di dalam mobil. Ia berfoto dan mengirimkan pose menggodanya pada Wisang.
Ada ide cemerlang di otak Rose. Ia menyuruh salah satu anteknya memberikan minuman bercampur obat dukun tadi pada Wisang. Cindy masuk setelah itu.
"Bos! Yang tertabrak itu putri kyai pemilik pesantren ini! Bahaya Bos. Nggak akan bisa disingkirkan, dia orang penting, Bos. Dan pasti diam-diam dia punya pengawal. Gawat Bos. Pantes aja kalau identitasnya rapet banget ditutupi. Dan kita nggak bisa lacak sampai Bos Wisang pun angkat tangan."
"Shit!" umpat Rose. "Pantas dukun tadi bilang akan sulit. Dan kejadian itu terus menghantui aku! Sampai aku selalu mimpi buruk. Apa aku harus menerima syarat dari dukun tadi? Atau aku meminta bantuan Brandon?"
****
Hari ini, hari Sabtu ceria. Ya, sangat ceria karena akhirnya Kinza bisa bertemu lagi dengan anak-anak manis yang begitu ia sayang. Neyna dan Noah.
"Ibu mereka bilang aku disuruh bawa mereka menginap di rumah orang tuaku. Katanya dia ada urusan penting."
Begitu kata Sena dan Kinza dengan senang hati menyambut dua bocah itu.
"Ummi, ayo main!"
"Ummi, mau eskrim!"
"Ummi! Adek ngerebut crayonku!"
"Ummi! Kakak nakaal!"
Teriakan-teriakan itu terdengar silih berganti. Kinza yang mengurus anak-anak sembari melakukan pekerjaan rumah tangga dengan sabar mendamaikan mereka.
"Ummi punya soto ayam, yuk makan siang dulu, sekalian tunggu Papa pulang."
Kedua anak itu menurut, meski mereka makan sambil mencorat-coret kertas dan sesekali berebut crayon. Sementara itu, belum waktunya pulang kantor, Wisang sudah muncul bersama Sena.
"Mas, kenapa? Kok mukanya merah gitu?"
"Gerah," ucap Wisang sembari melepas kemejanya.
Sena mengode Kinza. "Anak-anak biar aku yang urus. Kayaknya dia lagi nggak enak badan. Kecapekan malem jumat kemarin kali. Ampe pintu jebol."
Kinza melotot. "Heh, sok tau Kang Sena. Makan soto dulu kalau gitu sana. Ada jus di kulkas. Titip anak-anak dulu ya."
Sena mengangguk. "Lagi-lagi jadi babysitter," gumamnya sebelum merecoki anak-anak bermain.
Kinza menyusul suaminya. Terdengar suara air bergemericik.
"Mas? Kamu mandi? Udah bawa handuk?" tanya Kinza. Bukannya menjawab Wisang malah menarik Kinza.
"Mas!"
"I want you," ucap Wisang dengan mata menyiratkan keinginan yang menggebu. Beruntung, istrinya sangat paham. Meski Kinza merasa ada yang tak beres dengan suaminya. Ia melakukan apapun yang diminta Wisang hingga sang suami berkali-kali menyebut namanya penuh cinta.
Sementara itu, Rose, ia menunggu Wisang datang sejak siang tadi, hingga tanpa sadar malam menjelang. Tak kunjung Wisang menampakkan batang hidungnya.
Wanita tiga puluh enam tahun itu keluar masuk kamar. Anak-anaknya tak di rumah, kekasihnya pun tak ada. Ia masuk ke kamar anak-anaknya, ada foto mereka berlima di sana. Nino, Rose, Noah, Wisang, dan Neyna.
Ia melihat gambar milik Neyna berserakan. Ada tulisan 'Papa, Noah, Neyna, Ummi'. Ada gambar lain, empat orang yang seperti tengah melakukan ibadah salat. Di depan ada papa, disampingnya Noah, dibelakang ada Ummi dan Neyna.
Rose membulatkan mata. "Ummi?"
Ia bertanya-tanya, apakah ini gambaran keluarga impian Neyna? Tapi, tidak. Ia dan Wisang tak pernah membahas soal agama, kan selama ini?
Rose membereskan gambar-gambar itu dan menyelipkan di rak buku. Ia baru sadar, ada sederet buku-buku islami anak yang sepertinya masih baru. Dan satu lagi, ada mukena dan sarung serta sajadah di atas nakas samping rak.
"Apa Wisang yang mengajari mereka?" tanya Rose pada dirinya sendiri.
"Wait, No. No. Nggak mungkin. Dia orang dari dunia hitam. Nggak mungkin dia kenal agama. Nggak mungkin. Apa ini pelajaran sekolah anak-anak?"
Rose terus berpikir ke sana ke mari. Yang ditunggu tak kunjung datang. "Aaaaargh! Wisanggeniii!" jerit Rose kesal. Ia tak tahu jika kekasihnya tengah memadu kasih dengan pasangan halalnya hingga tak lagi ingat dengan dirinya.
"Aku harus ke tempat dukun itu lagi! Apapun akan aku lakukan asal Wisang kembali seperti dulu!"
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaaa
❤❤❤❤❤
Mau bilang apa ke Rose?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro