Part 25
Isya berlalu, Kinza sibuk di dapur memasak capcay kuah. Ia dengar dari ibu Sena jika Wisang juga menyukai capcay kuah. Namun ia hanya masak sedikit karena tak yakin jika suaminya mau makan di rumah. Sembari menunggu, ia menyeduh teh. Teh kiriman Ummah Rosyidah yang dipetik dan digoreng oleh ibu angkat Kinza tersebut. Aromanya khas, rasanya pun juga sangat memanjakan lidah.
Wisang, perlahan masuk dari pintu belakang karena sang istri ternyata mengunci pintu depan. Ya, Kinza lupa karena sibuk di dapur, ia tadi salat maghrib kemudian mengaji sebentar sebelum meracik masakannya, kemudian salat isya. Hingga ia lupa jika pintu depan ia kunci.
Wisang mengendap endap dan menoel punggung Kinza. Namun, kali ini Wisang sudah siap dengan serangan balasan Kinza. Ia sejatinya hanya ingin mengetes sang istri. Kinza reflek membalas serangan orang yang ada di belakangnya. Ia berusaha menarik tangan orang itu dan memelintirnya, tetapi Wisang yang sudah sangat siap dapat mengelak. Kini, tubuh mungil Kinza terkunci di pelukan Wisang.
“Ih! Kirain siapa. Untung aku nggak keras mukul sama melintirnya.”
“Alesan! Bilang aja nggak kuat.”
“Ih, ngejek, aku kuat tahu. Emang aku pendek, cuman seratus enam puluh senti, tapi bukan berarti aku lemah.” Kinza memutar tubuhnya dan mendongak menatap sang suami.
Wisang menundukkan wajahnya. “Really? Pindahin galon kalau gitu, air minumnya habis.”
Kinza mencebik. Ia segera menurut perintah sang suami. Wisang pikir istrinya pergi untuk mengunci pintu garasi, tetapi nyatanya Kinza benar-benar mengangkat galon. Wisang yang tengah menyendok makanan yang sudah disiapkan sang istri terpingkal melihat si anak pendek itu ternyata cukup kuat. Tanpa menunjukkan sisi manjanya, Kinza memasang galon sendiri.
“Good job,” puji Wisang.
Kinza mencuci tangannya kemudian membuka kulkas dan mengambil es krim. Wajahnya berubah saat menatap es krim warna warni di depannya. “Mas habis ini pulang aja.”
Wisang yang baru menikmati makanannya mengarahkan pandang pada sang istri. “Pulang?”
Kinza mengangguk. “Aku kepikiran sama Neyna dan Noah. Mereka lagi apa ya? Biasanya denger suara mereka, meski by phone. Kalau aku makan eskrim, mereka pasti antri disuapin. Nanti malem, kalau Mas nggak ada di sana, mereka gimana? Bobok sama siapa?”
Wajah Kinza yang sendu tak dapat dibohongi. Wisang menghentikan kegiatan makannya. “Katamu aku harus di sini malam ini. Sudah aku turuti, kan?”
Kinza mengaduk-aduk eskrimnya. Air mata meleleh di pipinya. Ia menghapusnya cepat. “Aku ... aku memang pengen kamu di sini. Aku memang pengen kita hidup selayaknya suami istri. Tapi, Neyna dan Noah membutuhkanmu juga. Mereka, butuh kamu.”
Kinza berusaha menenangkan diri. Namun, air matanya mengalir deras. Bukan karena ia harus merelakan Wisang untuk berbagi hati, tetapi perihal rasa dari masa lalunya. “Aku ... anak yang nggak diharapkan, Mas. Aku .. nggak bisa memilih lahir di keluarga seperti apa. Mas pernah denger kan sekilas kisahku. Aku anak dari istri kedua. Ibuku mualaf, yang ngislamin Abah. Dinikah sama Abah, tapi mama dibilang menggoda Abah. Dibilang pelacur, pelakor, dan akhirnya harus hidup kesepian di pengasingan, hamil aku, sampai ... kondisi kesehatannya pun, nggak keurus. Mama hanya fokus ngurus aku sambil jualan gorengan keliling, sampai beliau sakit dan meninggal.”
Kinza mencoba bercerita dengan suara bergetar dan sesekali isak terdengar. “Menurut cerita dari tetangga kontrakan dulu, mama meninggal, orang-orang nggak tau, Mas. Mereka baru curiga karena aku nangis. Aku kelaperan mungkin, mereka baru manggil-manggil mama dan waktu didobrak, mama dalam posisi sujud, masih pake mukena katanya, terus aku di sebelahnya nangis. Aku nggak bisa bayangin perasaan mama dulu gimana, dia ngurus anak sendiri, berjuang sendiri, bertahan buat aku dan setia sama Abah, sementara Abah tinggal nyaman di tempat lain sama istri dan anaknya yang lain.”
Kinza tak kuasa melanjutkan ceritanya. Wisang meneguk minumannya sebelum ia beranjak pergi. Seperti tak punya perasaan, Wisang meninggalkan Kinza sendiri. Namun, tebakan Kinza salah. Wisang kembali ke dapur, tanpa kata ia membopong Kinza. “Ngapain?”
“Katanya kalau cerita masalah pribadi harus di private room? Aku mau dengerin ceritamu.” Wisang membopong istrinya ke dalam kamar. Ringan? Jelas saja. ia biasanya menggendong Rose yang setinggi 178cm dengan berat 65 kg, sedang Kinza hanya empat puluh tiga kilo.
“Kok ke sini?” tanya Kinza.
“Pintu kamarmu rusak, nanti nyamuk masuk. Kita ke kamarku. Cuma Sena sama kamu yang aku ijinkan masuk ke sini.”
“Pacarmu?” lirih Kinza.
Wisang menggeleng. “Aku spesial dong?” tanya Kinza.
“Jangan mancing kalau nggak mau aku gigit lagi.”
Kinza terdiam, ia masih ingat betapa sakitnya digigit Wisang karena gemas di beberapa bagian tubuh. Perlahan, Wisang merebahkan Kinza di kasur king size dalam ruangan dominan hitam itu.
“Ayo cerita lagi,” titah Wisang sembari melepas baju kokonya.
Kinza duduk bersimpuh di atas ranjang. “Aku bayangin Neyna dan Noah, pasti sama ketika mereka kehilangan sosok ayah dan nemuin kamu. Sama kayak aku yang selalu seneng sama Abi Safar dan Ummah Rosydah. Sosok mereka, benar-benar aku butuhkan dalam hidupku. Bahkan ketika aku pas liburan diantarke rumah Abah yang notabene ayah kandungku sendiri, aku ngerasa ada yang hampa. Ada yang hilang. Karena, sumber kasih sayang itu bukan Cuma dari ikatan darah. Kadang yang bukan keluarga kandung kita, justru lebih sayang, lebih dekat, dan lebih kita harapkan kehadirannya karena ketulusan kasih sayang yang mereka curahkan.”
Kinza menjeda ucapannya. “Itulah kenapa, aku mau Mas pulang. Neyna sama Noah pasti kangen kamu. Utamanya Noah. Aku ... aku jujur nggak suka sama mamanya tapi aku nggak tega kalau sama anak-anaknya karena aku pernah ada di posisi mereka. Mas pulang aja sana.”
“Kamu yakin mau di rumah sendiri? Rumah ini empat kali lipat lebih luas dari rumah kontrakanmu yang lama.”
“Emang, siapa bilang aku mau di sini, kalau Mas balik ke rumah biang dosanya Mas, aku minta anter ke kontrakan aja. Aku mau tidur di sana aja.”
Wisang menghembus napas. “Biang dosa?”
Kinza mengusap sisa air matanya. “Iya, biang dosa, sedang kalau aku, sumber pahala.” Wisang mengelus dada, berusaha sabar menghadapi istrinya yang kadang random. Wanita itu sekarang mengedarkan pandang ke sekeliling kamar.
“Mas, kok serem kamarnya? Kayak gambaran ruang kamar mafia-mafia di Wattpad.”
“Mafia? Tahu apa kamu soal mafia?”
“Ng, jujurly aku nggak paham, tapi kalau dari buku yang sering aku baca, mafia itu biasanya mereka-mereka yang kerja di balik tabir. Ya, gambaran ruangannya itu begini, gelap-gelap gitu, terus ruangannya di pojokan, kayak sengaja di sembunyiin. Dari luar seolah nggak nampak ada ruangan ini. Terus masuknya pakai secret code, dan ada salah satu bilik kusus yang isinya senjata.”
Pria itu tersenyum miring. “Oh ya?”
Kinza mengangguk. “Ada pistol di bawah bantal. Ada di dalam laci. Ada tempat khusus buat nyimpen minuman keras. Ada juga brankas tersembunyi berisi uang dan surat penting. Kalau di film, di novel, gitu keren Mas. Kalau di Indonesia, mafia yang ada mafia dana Bansos, mafia minyak goreng, mafia pengadaan Al Quran. rata-rata bukan yang badannya keker, ganteng, berdasi. Tapi, yang botak, perutnya buncit, terus mukanya sok alim gitu. Beda sama Mas. Kalau Mas cocok jadi mafia.”
Wisang terkekeh. “Tadi apa katamu? Pistol di bawah bantal? Di laci?”
Kinza mengangguk, ia sembari mengamati beberapa benda yang ada di ruangan itu. “Kamu tahu alasan seorang pelaku bisnis gelap harus sedia pistol dimana pun?”
“Karena ancaman hidupnya lebih tinggi kan? Orang yang berkecimpung di dunia gelap biasanya tega-tegaan, ya namanya juga dunia gelap, semua bisa saja terjadi ketika kondisi sedang gelap. Gelap dalam arti malam hari. Dapat juga gelap dalam arti terlelap.” Kinza menatap suaminya.
“Jadi ... kamu tahu kan, kenapa lock door di sini berlapis? Kenapa ruangan ini gelap dan aneh? Kenapa tidak semua orang aku ijinkan masuk ke ruangan ini?”
Kinza menatap suaminya. Bukan menjawab, ia justru beranjak dari tepat duduknya dan mengambil bantal terdekat. Pistol. Kinza kemudian membuka laci sab tiga di meja lampu. Pistol, borgol, martil, belati, dan peluru. Kinza menatap suaminya. Wisang memprediksi istrinya akan berlari pergi dan menangis atau meminta cerai darinya. Ia menunggu reaksi Kinza.
“Mas, kita makan dari gajiku aja. Simpan uangmu.” Satu kalimat yang diluar prediksi Wisang.
“Mimosa, kamu nggak takut sama aku? Aku pembunuh, aku penjahat, aku orang kotor. Aku sengaja menunjukkan ini karena kamu harus tahu siapa aku sebenarnya. Aku nggak mau bohong padamu.”
Kinza menutup kembali pintu laci tadi sebelum kembali naik ke ranjang. “Neyna dan Noah saja nggak takut sama kamu. Kenapa aku harus takut. Selama aku nggak bohong, nggak melawan perintahmu, aku nggak takut sama kamu, Mas.”
“Mimosa, dengar aku dan buka matamu, aku orang hina. Masa laluku penuh dengan keburukan. Aku melukai banyak orang, aku bahkan membu—“
Kinza menempatkan telunjuk di bibir Wisang. “Allah sudah menutup aibmu. Nggak perlu menyebarkannya. Aku sering dengar, laki-laki dilihat dari masa depannya, sedang perempuan dari masa lalunya. Boleh jadi, kesalahan di masa lalumu memang besar atau banyak, tetapi aku nggak akan liat itu. Aku lihat kamu yang sekarang Mas. Menjaga jamaah salat. Berani menjadi imamku, mendidik anak-anak dengan baik. Dan banyak kebaikanmu yang aku dengar dari keluarga Kang Sena. Bahkan dari kakakmu, Om Dewa. Dan aku yakin, ke depannya, di masa depan, di masa yang akan datang, kamu akan jadi orang yang jauh lebih baik. Aku yakin kamu bisa istiqomah untuk hijrah.”
Usaha Wisang untuk memukul mundur Kinza kembali gagal. Istrinya malah semakin yakin dengan dirinya. Dan, kenapa ia merasa begitu diinginkan dan spesial?
“Mim, aku ini bajingan. Berhenti memujiku, berhenti menganggapku seolah aku ini orang baik.”
Kinza tersenyum. “Mas belum pernah dengar tentang kisah sayyidina Umar bin Khattab? Beliau itu orang yang paling kerasmenantang islam. Bahkan sampai menemui Rasulullah dan hampir menebas leher Nabi, tapi apa? Allah melembutkan hatinya. Allah membalikkan hatinya, menyentuh hatinya, dan, beliau mendapat hidayah justru di detik-detik akan membunuh Rasulullah. Masyaallah, begitu indah dan luar biasa cerita yang Allah skenariokan untuk hamba-Nya. Dan sayyidina Umar pada akhirnya menjadi amirul muslimin. Pemimpin orang muslim. Bahkan menjadi sahabat terbaik Rasulullah setelah sayyidina Abu Bakr, dan makamnya pun berdampingan dengan Rasulullah.”
Wisang menatap istrinya lekat. Manik cerah Kinza menceritakan kisah sahabat Rasul, seperti magnet tersendiri. “Aku percaya akan kuasa Allah. Yang sekarang berbuat buruk, bisa jadi nanti malam dapat hidayah menjadi orang baik. Justru bagus kalau Mas merasa mas penuh dosa, mas hina, mas butuh hidayah. Itu bagus. Daripada mereka yang terlihat rajin ibadah tapi cuman pencitraan aja. Rajin ibadah tapi sombong karena amalnya banyak. Ini malah berbahaya karena ia naudzubillahi min dzalik, takabur. Dan tanpa sadar mereka lupa kalau sujudnya, ibadahnya, semua itu untuk Allah dan karena Allah. mereka merasa ibadah mereka itu karena usaha mereka sendiri, padahal jelas, semua itu sudah jalan dari Allah. itulah kenapa, kita harus terus meminta hidayah, nikmat iman islam, setiap hari pada Allah. meski kita sudah beribadah sebaik mungkin, tetaplah meininta untuk selalu berikan nikmat beribadah seperti ini agar istiqomah. Hingga kelak kita pulang dalam keadaan husnul khotimah.”
Wisang seperti tengah mengikuti pengajian. Istrinya bicara panjang lebar. Kinza menyadari ia sudah bicara terlalu panjang. “Maaf, Mas Icang.”
Wisang merebahkan tubuhnya.”Loh, kok malah tiduran. Buruan sana, nanti anak-anak nyariin.”
“Anak-anak udah diurus Sena. Nih.”
Neyna dan Noah terlihat tidur bersama Sena.
“Ibunya kemana?” tanya Kinza.
Wisang mengendikkan bahu. “Tidur paling.”
“Jadi, malam ini Mas mau tidur di sini?” tanya Kinza sembari merogoh pistol di bawah bantal dan menyerahkan pada suaminya. Wisang menyimpan pistolnya.
“Iya, aku tidur di sini. Di rumahku. Jadi dari tadi aku mau protes waktu kamu bilang nyuruh aku pulang. Orang aku dari tadi di rumahku, eh disuruh pulang,” gerutu Wisang. Kinza terkikik menyadari kekonyolannya.
“Ya maaf, kan lupa. Eh, mas mau tanya boleh nggak?”
“Apa?”
“Mas nyimpen pistol di badan juga?” tanya Kinza.
“Perjanjian kita kemarin apa? Nggak boleh kepo dan curiga.”
Kinza mengerucutkan bibir, tetapi ia penasaran. Ide muncul di pikirannya. Ia menggerayangi tubuh sang suami, mengecek adakah pistol di simpan di sana.
“Mimosa Pudica! Kamu ngapain!”
“Ngecek, kali aja Mas nyimpen pistol atau senjata apa gitu.”
“Mimosa, aku kan Cuma pakai kaos dan sarung, dimana aku bisa nyembuyiin senjata! Jangan asal raba-raba seenaknya!” protes Wisang. Kinza menjamah tubuhnya dan meraba-raba bagian perut hingga kaki.
“Oh, kirain ini tadi pistol.” Kinza menepuk salah satu bagian tubuh sang suami dengan cukup keras.
“Kinza Mimosa Pudica! Ah! Sakit tahu!”
“Biarin, biar nggak main ke tempat janda lagi,” cicit Kinza sembari menarik selimut. Wisang benar-benar kesal dengan sang istri yang membuatnya kadang merasa di surga tetapi kadang juga di neraka.
“Jangan harap bisa berhenti!” geram Wisang.
“Heeeeh, dedek emes mau bobok Om Icang! Jangan main tarik-tarik!” protes Kinza. Wisang tak menerima penolakan. Tak peduli mereka tadi sudah olahrga sore, kini malam masih panjang mereka menikmati kebersamaan malam itu dengan saling mengungkap rasa. Selagi masih ada waktu untuk bersama. Malam jum’at, hujan lebat, sulit untuk tidur cepat.
“Oh God, apakah kisahku juga seperti kisah yang dia ceritakan tadi? Aku justru bertekuk lutut pada orang yang seharusnya aku bunuh. Aku justru melindunginya dan mengambil keputusan dengan gila, menikahinya. Namun, jujur,aku tidak main-main dengan sumpah setiaku. Hanya saja, aku berharap kelak ia juga akan menemukan kebahagiaannya. Dia wanita yang baik, dia layak bahagia.”
Wisang menatap Kinza dengan tatapan sayu. Gadis yang tengah berpeluh di atasnya mebuatnya susah payah menelan ludah. “Ki-kin zzaaa! Babe, Kinza.” Wisang tak pernah semurahan itu. Tidak pernah ia meneriakkan nama seorang wanita. Tidak pernah. Baru kali ini, ia merasakannya. Baru kali ini dia baru mengerti tentang rasa yang tak prnah ia pahami sebelumnya. “My Baby ... Kinzaaa...”
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaaaa
Malem jumat, ujan-ujan, baca WP terus bobok...
Dah lah
Sini ditemenin Mas Wisang..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro