Part 24
Abimanyu menatap keluar ruang rawatnya. Ia masih ingat jelas betapa Kinza sangat marah. Buta hatinya tertutup kabut cinta Tasha, membuatnya tak bisa berpikir jika ia telah menyeret orang lain ke dalam bahaya.
Kinza yang ia jadikan umpan, diselamatkan Tuhan. Sementara, Sabira, malah mendapatkan ujian. Lukanya memang tak separah yang dikira tetapi tetap saja itu salahnya.
"Kak?"
Arimbi memanggil sang putra. Abimanyu menoleh.
"Ada Kinza datang."
Seperti orang yang penuh kegembiraan Abimanyu seketika bangun. Sosok Kinza benar datang bersama seorang wanita dan seorang laki-laki yang mendampingi.
"Kinza, Kin, maafin aku Kin. Maaf Kin." Abimanyu tak peduli infus di tangannya, ia turun dari tempat tidur dan berlutut di depan Kinza.
"Mas, eh itu infusnya. Udah dong udah. Aku juga mau minta maaf. Kemarin aku kelewatan. Maaf ya." Kinza menatap Abimanyu takut-takut.
"Aku yang salah, Kinza, aku yang salah. Maaf ya?" Wajah penuh penyesalan Abimanyu membuat Kinza tersentuh.
"Aku beneran nggak ada maksud buruk sama Sabira. Aku bahkan baru kenal dia. Dia ... Bantuin aku dan Bude salah paham. Bude kira dia ... Tasha."
Kinza menggigit bibir, ia malu, takut, dan tak enak hati. Kemarin, ia terlalu terbakar emosi karena Wisang mengatakan jika Abimanyu adalah sumber kekacauan ini, nyatanya tidak.
Ia juga bahkan sudah bertemu dengan pelaku penabrakannya dan membebaskan anak itu. Ia menangis dan bersujud di kaki Kinza. Ia mengatakan jika dirinya takut berada di dalam sel. Ia juga bilang akan mengembalikan uang pemberian orang tak dikenal yang menyuruhnya. Ia hanyalah anak jalanan yang disuruh seseorang, yang tak berani menyebut namanya.
Banyak teka-teki dalam pikiran Kinza, tetapi ada kelegaan satu persatu masalahnya terselesaikan.
"Aku masih boleh kerja di Dewangga Kingdom nggak?" tanya Kinza pada Abimanyu dengan ekspresi bak anak kecil yang tengah ragu-ragu.
Arimbi tertawa. "Kinza, yang salah di sini Abim. Kamu nggak perlu mikir resign dan lain-lain. Kamu butuh kamu. Sangat butuh."
Abimanyu kembali menatap Kinza. "Kinza, please, comeback. I need you. I need you. Please, forgive me. Aku bakal lakuin apapun untuk nebus semuanya. Ya? I beg you. I beg you."
Karen merekam ucapan dan gerak gerik Abimanyu serta Kinza.
"Kirim ke Bosmu sekarang," bisik Karen pada Sena.
"Mbak, jangan. Nanti Bos bisa marah. Dia nggak suka kalau miliknya diusik orang," jawab Sena.
"Kirim sekarang. Biar Bosmu tahu, dia harus hati-hati sama Abimanyu. Karena, hati Kinza ada di Abimanyu, bukan di Wisang."
Sena mengernyit. "Mbak, takut, Mbak. Jangan. Mbak belum pernah liat Bos marah sih."
Terakhir kali Sena mendapati Wisang marah adalah ketika ada seorang fotografer berusaha menggoda Rose. Ketika sedang mengarahkan gaya, berdalih agar lebih dapat kesan natural dan sensual, sang fotografer memberikan sentuhan-sentuhan fisik yang cukup menguntungkan pihaknya. Rose tak protes, ia pikir itu bentuk totalitasnya dalam bekerja. Namun, Wisang yang kebetulan datang seketika mengamuk dan mematahkan tangan serta kaki pria itu tanpa ampun.
Sena menelan ludah. Ia bergidik ngeri membayangkan hal apa yang akan terjadi jika tahu istrinya ditatap sebegitunya oleh pria lain. "Bisa dicolok itu matanya si CEO belagu," batin Sena.
"Mbak kirim ke saya aja, nanti saya kirim tapi nanti. Soalnya si Bos lagi ada meeting di luar. Nggak enak nanti kalau ada apa-apa, moodnya rusak ntar. Ya."
"Emang meeting dimana?"
"Sunday's, Mbak."
Karen yang sudah sangat gatal ingin membalas Wisang, tiba-tiba menemukan ide. "Sunday's kan kafenya Mbak Shaffiya, aku bikin reservasi aja di sana. Aku tempel kamu Wisang. Mau main-main sama adikku. Awas aja."
Kinza malah cuek, ia lebih fokus ke meluruskan masalahnya dengan keluarga Pradipta. Mulai besok Senin, rencananya ia akan masuk kerja lagi. Ia juga memberikan nomor barunya.
"Aku boleh chat kamu, kan?" tanya Abimanyu.
"Boleh asal bukan disalahgunakan, pawangku galak," kekeh Kinza. Meski ia yakin Wisang tak akan peduli dirinya chatting dengan siapapun.
Setelah puas mengobrol, Karen mengajak Kinza pulang. Sena pun ikut berpamitan. Ia hanya disuruh Wisang mengawasi Kinza selama mencabut laporan di kepolisian sebelum menjenguk Abimanyu tetapi agar tidak mengundang kecurigaan, Sena ikut serta menjenguk ke rumah sakit dengan dalih perwakilan dari Bosnya, Wisang.
Saat berjalan menyusuri lorong rumah sakit, Kinza berbincang dengan Sena.
"Kang Sena, kok anak tadi katanya tiba-tiba disuruh sama orang nggak dikenal dikasih uang lima puluh juta. Yang nyuruh katanya bukan Bu Gendhis. Yang nyuruh cowok, disuruh ngaku kalau dia pelakunya. Dia bilang gitu. Tapi ... Emang iya sih, seingetku orang yang nabrak aku itu kayak ibu-ibu gitu. Rambutnya sebahu. Soalnya kaca depannya kan keliatan, aku sempet liat sekilas. Bukan anak-anak kok."
Sena menelan ludah. "Ya Allah, akankah ada perang Mahabharata kedua? Gimana ini kalau Nyonya Bos tahu kalau yang nabrak dia itu pacarnya Tuan Bos? Aduh!"
"Eh ya namanya bocah kalau tertekan kan jadi labil, Mbak. Biasa kayak gitu tuh. Eh habis ini pada mau kemana?"Sena mengalihkan perhatian.
"Makan yuk? Dek makan yuk? Tapi temenin shopping dulu. Pengen banget ih, pengen dandanin kamu. Dari dulu kan aku pengen punya adek cewek. Nanti habis itu kita makan, sekalian nunggu Bang Zayn selesai ngajar hari ini. Ya?"
Kinza pasrah. "Oke, Kang Sen mau ikut?"
Sena menggeleng. Ia mengatakan jika masih banyak tugas. Alhasil, Karen dengan mudah menjalankan rencananya, ia mengajak adiknya ke salon sebelum berbelanja baju dan makan.
"Kak, kita hedon banget hari ini. Kenapa sih?" tanya Kinza.
Karen dengan abaya polos hitam-hitamnya dan kacamata di atas kepala sangat pede berjalan menuju ke tempat makan siang yang sudah ia pesan sejam lalu.
Kinza memilih baju yang lebih sederhana tetapi make upnya lebih mencolok dari biasanya. Ini ulah Karen. Saat sampai di tempat makan pun, Kinza agak ragu.
"Kak, kok milih di sini sih? Kayaknya itu lagi pada meeting deh." Kinza hapal betul aura-aura serius santai ala para pejabat kantor yang tengah membicarakan hal penting sembari makan.
"Ya biarin, paling kalau udah di luar room kan udah selesai, tinggal makannya doang." Karen cuek.
Dengan tatapan judes khasnya, Karen melenggang santai, sementara si putri malu tak bisa menyembunyikan sifat aslinya. Catat, ia hanya liar di depan Wisang. Namun, jika di luar rumah, jika sedang bersinggungan dengan orang lain, ia adalah si anak baik-baik yang berusaha menjaga pandang, meski ia tadi memandang Abimanyu sekilas.
Wisang yang tengah mengobrol dengan kliennya seketika menoleh saat dua dari lima kliennya saling berbisik.
"Itu sekertaris Pak Pradipta Dewangga kan? Dia sukses bawa DK maju waktu lagi perang di pemprov. Cantik juga ya."
"Iya, beda auranya. Denger-denger sih anak kyai. Cantik banget."
"Siapa? Kinza ya? Gemesin tahu dia, kalau lagi debat wuuuh keren, tapi habis itu sopannya hmm ... Misal mau lewat nih pasti bilang 'Permisi, Mas' Duh Dek, bikin ketar-ketir, sayangnya susah banget tuh mau minta nomer aja."
Wisang tak jenak duduk di kursinya. Bagaimana bisa tiga sekertaris dan asisten dari klien utamanya menggibah sang istri di depannya.
"Mimosa, ngapain juga kamu ke sini sih! Pakai dandan segala."
"Mr. Wisang, apa makanannya kurang enak?"
"Hmm oh enak. Kok. Tapi, saya sudah kenyang tadi dimasakin istri saya." Wisang tak sadar, ia membawa-bawa istrinya.
Ya, ia menemukan bekal nasi liwet di mobilnya yang entah sejak kapan dimasukkan Kinza ke sana. Awalnya, ia tak berencana makan bekal itu. Namun, bau nasi liwet yang menyebar di seantero mobil membuatnya lapar.
Pagi tadi, ia menjemput Rose dengan mobil lain. Seperti kebiasaannya, ia akan pergi ke kantor, kemudian berganti mobil yang lebih besar, untuk menjemput Rose dan Cindy di bandara. Sementara Nino masih melanjutkan liburannya bersama Brandon. Rose tentu berbohong pada Wisang soal ini. Ia mengatakan jika Nino bersama ayah Rose di sana bukan dengan Brandon.
Saat kembali untuk pergi menemui klien, Wisang membuka mobilnya dan aroma gurih itu membuat perutnya lapar. Ia akhirnya memakan bekal dari sang istri.
Nasi berbentuk love dengan hiasan bak bekal anak TK itu akhirnya ludes ia makan dan ia masih kenyang sampai sekarang.
Wisang menggeser sedikit tubuhnya, agar ia dapat melihat ke arah di mana Mimosa Pudica-nya berada. Kepalanya yang selalu tertunduk, membuat Wisang terheran.
"Mimosa, kenapa kalau di depan orang kamu selalu begitu? Tapi di depanku kamu bisa ganas dan suka nggeplak kepalaku? Belum lagi mulutmu selalu saja mengeluarkan kata-kata unpredictable yang menyebalkan hingga aku harus selalu membungkamnya."
Kinza masih belum sadar jika suaminya ada di sana. Ia memang tak pernah mengedarkan pandang jelalatan. Terlebih ada hidangan favoritnya di meja, nasi goreng seafood.
"Enak banget Kak, ih, udah lama nggak makan di sini." Suara Kinza terdengar di telinga Wisang.
"Hmm your favorite food right? Nasi goreng, es krim coklat, sama susu cokelat. Tiga itu doang kan yang kamu suka." Karen sengaja mengeraskan suaranya.
"Ya sebenernya aku suka apa aja, tapi aku nggak bakal nolak nasi goreng meski udah kenyang," kekeh Kinza.
"Nasi goreng? Dasar bocah kecil, beda selera kamu sama Rose. Seleramu pinggir jalan. Tapi, aku bisa masakin kalau cuma nasi goreng," batin Wisang.
Wisang yang sudah gagal fokus tiba-tiba kaget saat tiga pemuda yang menggibah Kinza tadi salah satunya ada yang berdiri dan mencoba menggoda Kinza.
"Kinza," panggilnya.
Wisang yang tengah memegang garpu untuk menusuk kue di depannya, seketika berang. Namun, ia tahan, hingga piring kecil tempat kuenya mengeluarkan bunyi prak.
Wisang meletakkan garpu dan pisaunya kembali, meninggalkan beberapa lembar uang, kemudian pamit undur diri pada para klien yang sudah selesai rapat dan makan siang.
"Mr. Wisang makan kue sampai pecah piringnya." Salah satu rekan Wisang terkejut.
Pria itu melangkah menuju meja Kinza.
"Kinza Mahdiya, urusan kita belum selesai. Apa boleh minta waktunya sebentar?" tanya Wisang.
Karen dan Kinza mendongak. "Ups, maaf, anda siapa ya? Kinza baru mau kenalan sama cowok ganteng ini, Mas. Tipe Kinza banget, no brewok-brewok," tukas Karen.
Wisang paham dirinya tengah dipermainkan.
"Baiklah kalau begitu, saya akan menunggu giliran di sini," ucap Wisang sembari menarik kursi di sebelah Kinza.
"Mm ... Kinza, minta nomor telponnya boleh nggak?"
"Kinza nggak punya hape, kasian, dia miskin. Harusnya kamu belikan dia hape, isi nomor baru, kamu save nomor itu dan isi nomor tadi dengan nomormu. Itu baru laki-laki sejati." Wisang memberi saran.
Kinza menahan tawa. Ia tetapi tetap menunduk. Karen beraksi lagi.
"Nih, Mas, liat, Pak Abimanyu Dewangga aja sampai mohon-mohon ke Kinza loh, levelnya udah beda sama njenengan."
Karen menunjukkan video saat Abimanyu memohon pada Kinza. Wisang sontak terkejut saat mendengar suara Abimanyu.
"Mr. Wisang mau liat?" tanya Karen.
Wisang hampir mengambil ponsel Karen saat Kinza merebutnya. "Give it to me," pinta Wisang dengan wajah tak bersahabat.
"No." Kinza menghapus videonya.
"Kak, aku ke toilet dulu," ucap Kinza. Di saat bersamaan Kinza melihat kakaknya datang.
Karen menatap Wisang. "Perlakukan Kinza dengan baik atau aku akan bongkar kelakuanmu ke Abah dan Ummi," ancam Karen.
Wisang segera beranjak dari kursinya dan menyusul Kinza setelah menyapa iparnya sepintas lalu. Ia tahu Kinza hanya melarikan diri darinya.
"Go home!" geram Wisang sembari menarik Kinza yang sudah di dekat toilet, berbalik ke arah parkiran.
Ia tak memberikan kesempatan Kinza untuk bicara. Mengemudi dalam kecepatan tinggi dan membawa Kinza pulang.
"Turun dan cepat masuk!" bentak Wisang.
Kinza segera masuk ke dalam rumah. "Katanya sibuk? Katanya nggak pulang?"
Wisang mengunci pintu. Anak-anak berada di rumah Rose. Orang tua Sena dan yang lain berada di rumah belakang. Hanya ada mereka berdua di rumah yang cukup luas itu.
"Kamu sendiri yang nyuruh aku buat di sini kan malam ini? Kamu udah ngacau aku seharian ini Kinza Mahdiya!" bentak Wisang.
Kinza takut. Ya, ada aura gelap seolah membayangi Wisang. Gadis itu segera masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. "Pergi aja! Aku mau di rumah sendiri! Sana pergi temui pacarmu! Nikmati masa pelepasan rindu kalian!" teriak Kinza.
Gadis itu melepas outernya, menyisakan gamis polos full kancingnya. Melepas jilbab yang begitu cantik membalut kepalanya. Tak ada suara dari luar. Ia yakin suaminya sudah pergi. Namun, betapa kagetnya ia saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dengan sebuah bunyi keras dari tendangan kaki Wisang.
Kinza yang tengah berada di depan meja rias memekik. "Astagfirullah, Mas! Kamu apa-apaan!"
"Kamu yang apa-apaan! Kenapa kamu merusak semuanya! Kenapa kamu mempermainkan aku semudah ini! Kamu yang apa-apaan!"
"Mas, jangan deketin aku. Pergi sana!" teriak Kinza yang ketakutan melihat tatapan sang suami.
Wisang terlanjur gelap mata, ia menarik Kinza dan membungkam bibirnya. Kinza berusaha untuk melawan tetapi Wisang lebih kuat. Wisang tengah kesal dan entah berapa lama ia tak menyalurkan hasratnya. Kali ini, ia tak menahan diri, toh tempatnya berbagi cinta tepat.
Pria itu memulai semuanya lebih dulu, tak seperti biasanya, ia yang selalu dipimpin Rose, kini ia yang menuntun Kinza. Wajah polos Kinza yang kemerahan akibat entah merasa malu atau apa, membuat Wisang gemas.
"Kamu takut?"
Kinza berusaha untuk menetralisir perasaannya. "A-aku mohon jangan lakukan dengan emosi. A-aku takut. Maaf maaf kalau aku salah. Maaf. Dan ... Dan aku nggak punya pengalaman sama sekali soal ini. Tolong, ajari aku pelan-pelan. Aku ... Aku bukan Rose yang bisa memuaskanmu. Tapi aku janji aku akan belajar. Aku janji aku akan belajar memberikan yang terbaik buat kamu."
Amarah Wisang lenyap. Ciuman brutalnya kini berubah lembut. Ia menatap mata istrinya saat menjeda kegiatannya karena Kinza yang terengah tak bisa bernapas. "Dasar amatir," ejek Wisang.
"A-aku kan sudah bilang," protes Kinza malu sekaligus kesal.
Wisang terkekeh, ia mendekap sang istri kemudian membopongnya ke atas ranjang.
"Bismillah dulu, aku kasih tau doanya, tapi Mas yang ajari aku caranya."
Wisang lagi-lagi tertawa sembari menutup pintu yang sudah setengah tak berguna itu. Ia kembali pada istrinya, menuntunnya perlahan, Kinza pun menurut apapun yang suaminya instruksikan ia lakukan.
Semua tak perlu dipelajari gerakan demi gerakannya, ikuti saja insting, tpai yang terpenting adabnya. Mana yang boleh dan mana yang tidak. Bagaimana doa sebelum memulainya, bukankah sesuatu yang berpahala lebih afdol dilakukan dengan niat yang baik?
Wisang sudah pernah melakukannya dengan banyak wanita. Namun, kali ini ada yang berbeda. Kinza, si putri malunya, memberikannya sensasi rasa berbeda, hingga ia benar-benar sampai ke titik tujuannya dengan perasaan luar biasa.
"Benar kata Sena, dia berbeda," batin Wisang ketika ia dan Kinza telah selesai mengungkap rasa untuk pertama kalinya.
Kinza yang masih berusaha menetralisir detak jantungnya, memilih untuk memejamkan mata dalam pelukan sang suami. "Ummah, aku dinodai dia," batin Kinza dalam hati.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Duh 1821 maap, maaap
Maaap
😭😭😭😭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro