Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 22


Sayup-sayup terdengar suara merdu melantunkan ayat suci. Wisang yang pagi ini ada urusan pukul enam terkejut. Ia pikir dirinya kesiangan. Tangannya langsung meraih ponsel saat ia membuka mata. Jam menunjukk pukul tiga lebih empat puluh menit.

"Ini belum subuh, kan?" gumamnya. Ia melihat ke arah sudut ruangan, ada sosok Kinza yang tengah bersandar di kursi dengan mata terpejam tetapi mulutnya bergerak-gerak melantunkan bacaan ayat suci.

"Dia kenapa?" batin Wisang. Tanpa sadar, pria itu mengamati wajah istrinya yang tersinari temaram lampu kamar yang remang. Ayat demi ayat dilantunkan Kinza, agak cepat pelafalannya tetapi nadanya khas.

Tangan Wisang mengabadikan moment tersebut dengan ponselnya. Berniat menjadikan bahan untuk mengusili Kinza esok. Kinza masih larut dalam murojaahnya yang sudah ia lakukan sejak pukul setengah tiga tadi.

Suara getar ponsel Kinza terdengar. Wisang meliriknya karena benda itu tepat berada di samping kakinya.

"Dek, udah bangun kan? Kakak tau kamu pasti lagi kecapean. Tapi, jangan lupa salat malam sama murojaahnya. Semangat ya Kinza, iparku tercantik di dunia. Aku yakin, suamimu pasti bakal luluh. Pacaran after marriage itu luar biasa loh. Halal, berpahala pula. Beda sama yang before marriage, neraka, fix no debat."

Pop up pesan cukup panjang dilihat oleh Wisang. Ada nama Kak Karenina di sana. Mungkinkah dia yang membuat Kinza menjadi lebih berani menghadapi Wisang? Itulah yang dipikirkan sang pria.

"Nduk, sudah bangun? Cepet siap-siap salat subuh. Terus masak. Siapkan apa yang disuka sama suamimu. Istri soleha harus menyenangkan hati suami jika dipandang, bertutur, dan dalam setiap tindakannya. Inget ya?"

Pesan lain muncul. Wisang mengernyit. Kenapa orang-orang begitu ikut campur dengan urusuan Kinza? Namun, Wisang pikir seharusnya ini jadi hal baik meski tak baik. Bahaya kalau sampai Kinza bisa menarik hatinya. Hatinya harus tetap terjaga untuk Rose.

Wisang mengusap wajah kasar. Ia kemudian turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Ia sadar, istrinya adalah makhluk berserver langit, ia pun harus menyerangnya dengan senjata langit, bukan dengan dunia.

Diambilnya sarung, baju koko, dan peci. Digelarnya sajadah dan ia pun menggunakan waktu yang sudah mepet itu untuk salat malam di depan Kinza.

"Ya Allah, si hina ini kembali datang padamu. Apakah Engkau tengah menertawakanku? Tapi, aku di sini bersujud bukan karena pencitraan di depan istriku. Ini urusan kita Ya Allah. Aku lelah menjadi makhluk sok digdaya. Aku lelah. Dan aku ingin membuang lelah ini dengan bersujud dan menyerahkan diri pada-Mu. Sebagai seorang hamba, pada Tuhannya."

Kinza membuka mata. Ia sejujurnya ragu sang suami benar-benar seorang pemeluk agama yang baik atau tidak. Apakahnya salatnya hanya pencitraan atau tidak. Namun, ia senang. Bukankah jika memang ia baru mulai salat, ia sudah sangat keren bisa melaksanakan salat malam? Bahkan yang rajin lima waktu fardhu saja belum tentu sanggup salat malam.

Bukan perkara sanggup tidak sanggup. Tetapi perkara rahmat Allah. Allahlah yang menunjuk siapa-siapa hamba-Nya yang akan beribadah pada-Nya. Memberi kesempatan pada mereka-mereka yang ditakdir bersujud. Dan, Kinza senang, bahkan sangat bersyukur, ia dan suaminya sama-sama ditakdir untuk bersujud pada Allah. Bukankah itu sederhana tetapi sangat indah? Setidaknya, akan ada harapan untuk mereka bersama lagi kelak di surga.

Wisang mendapati sang istri menatapnya sembari meneteskan air mata.

"Kenapa? Sakit lagi?" tanya Wisang pasca salam.

Kinza menggeleng. "Lagi curhat sama Allah."

"Curhat?" tanya Wisang heran.

Kinza mengangguk. "Aku bersyukur, kita sama-sama ditakdirkan bersujud pada Allah. Semisal, umurku nggak cukup panjang di dunia, aku masih punya harapan buat nunggu kamu di akhirat. Biar kita bisa sama-sama di surga nanti. Di sana kekal, nggak ada batas waktunya, beda sama di dunia."

Wisang terkekeh. "Surga? Kamu nggak tahu siapa aku, Mim. Sudah berapa banyak dosa yang cukup menyeretku untuk masuk ke neraka. Kita nggak akan bisa bersama, kamu pasti di surga dan aku bakal ada di neraka."

Kinza menatap suaminya, matanya berkaca-kaca, ia kemudian menggeleng. "Allah punya janji untuk mereka yang bisa menjaga kalam-Nya. Para hafidz Quran, bisa mengajak sepuluh orang yang ia sayang, masuk ke surga bersama-sama. Dan jika memang aku dapatkan hal itu, orang pertama yang akan aku ajak, itu kamu, Mas."

Jangan tanya apa yang Wisang rasakan saat ini. Ada sesuatu hal yang aneh dalam dirinya. Ini memang seolah terdengar sebagai omong kosong belaka, tetapi efek getarannya terasa di dada.

"Mimosa, jangan sia-siakan kesempatan itu untuk mengajak orang lain. Aku bukan orang spesial buat kamu. Kenapa bukan orang tuamu, kakakmu, siapapun itu."

Kinza tersenyum. "Mas, pernah dengar tidak tentang betapa hebatnya kedudukan seorang suami dalam rumah tangganya. Serajin apapun aku beribadah pada Allah, jika aku lalai sama Mas. Aku nggak kasih pengabdian terbaikku buat Mas, ibadahku yang tiap hari itu nggak akan ada artinya. Setiap perkataanmu, setiap titahmu, asal tidak melanggar ketentuan Allah, itu sesuatu hal yang wajib bagiku untuk dilaksanakan. Keberkahan hidupku juga bergantung pada ridhomu."

Lidah Wisang kelu. Ia tak mampu berkata-kata. Ketukan pintu terdengar. "Mas Wisang! Ke masjid kuy, udah bangun, kan?" suara Sena terdengar.

Waktu subuh memang sudah menjelang. Mulai terdengar suara-suara orang mengaji dari masjid.

"Bentar, Sen."

Kinza berdiri dan membuka pintu. Ada Noah digendongan Sena.

"Ummi," rengeknya sembari mengucek mata.

"Eh, gantengnya Ummi udah bangun juga. Masyaallah soleh, soleh."

Noah mengode ingin digendong Kinza tetapi Wisang malah mengambilnya. "Ummi masih sakit, sayang. Ayo, anak cowok salat di masjid. Nanti Papa gendong. Ya?"

"But, i'm still sleepy."

"Do you miss your Daddy, don't you?"  Anggukan menjadi jawaban Noah, meski ia tak ingat sama sekali seperti apa ayah kandungnya.

"So, kamu harus salat. Doa anak soleh akan dikirim langsung oleh Allah ke orangtuanya, meski mereka sudah meninggal. Oke?"

Noah mengangguk dan merangkulkan tangan di leher Wisang. Kinza tersenyum. Rasa kagumnya pada sang suami bertambah-tambah. Sena terlihat senang, persetan dengan pencitraan atau tidak yang jelas ia ingin Bosnya mendapatkan kebahagiaan yang nyata bersama Kinza.

"Mas, mau sarapan apa?" tanya Kinza saat Wisang mulai melangkah pergi. Pria itu menoleh, terbersit keinginan untuk menjahili sang istri.

"Nasi liwet, tapi kamu harus masak sendiri," ucap Wisang.

Kinza berpikir. "Oke."

Tak mungkin bisa, pembuatan nasi liwet cukuplah rumit. Ia pernah ingat saat sang ibu membuatkan untuknya, banyak sekali komponen bahan masakan yang harus dipersiapkan. Belum lagi mengukur tingkat kematangan nasi bercitarasa gurih itu. Dan sayur labu siam serta ayam suwir penyertanya, haruslah lengkap tersaji mendampingi nasi.

Well, demi menuruti permintaan sang suami, Kinza skip tadabur Quran pagi ini. Toh, sama-sama ibadah. Ia bersyukur, ada ibu Sena yang sudah tahu dimana tempat ia bisa mendapatkan sayur sepagi itu.

"Biar ibu yang belanja, Mbak siapin yang bisa dimasak dulu, nggih? Nanti ibu bantu."

Begitulah pesan ibu Sena. Wanita paruh baya itu berpikir, jika Kinza pasti hanya sekedar menyiapkan nasi dan menggoreng ayam. Namun, ketika ia kembali, hampir semua sudah siap.

Kinza memanfaatkan ricecooker tentunya, karena kalau harus menggunakan cara tradisional, cukup lama untuk 'ngaru'  dan 'ngekal' berasnya. Santannya pun terpaksa menggunakan yang instan karena tak punya kelapa.

"Bu, makasih ya," ucap Kinza saat ibu Sena menyerahkan labu siamnya.

Rombongan bapak-bapak kembali dari masjid. Wangi gurih nasi liwet sudah tercium. Wisang sampai langsung menuju dapur. Ibu Sena tak lagi ada di sana karena ia harus menyelesaikan cucian bajunya di rumah belakang.

Jemari Kinza lincah memainkan pisau, memotong labu siam tanpa peduli dengan getahnya, kemudian mencucinya hingga bersih sebelum memasukkan ke kuah meletup yang sudah ia bumbui tadi.

Kali ini, berganti ia mengurus si ayam yang sudah dibumbu gurih. Ayam ini ayam sisa masakan kemarin. Yang disisakan karena terlalu banyak untuk dimasak semur semalam.

"Ini pasti pencitraan, pasti," gumam Wisang.

"Nggak mungkin ada perempuan yang no minus. Ini pasti pencitraan," ulangnya lagi.

Kinza menyadari keberadaan sang suami. "Eh, udah pulang. Bentar ya Mas. Mas mau berangkat kerja jam berapa?"

"Enam."

Kinza menoleh ke arah jam dinding di dapur. Pukul lima sekarang.

"Sambil nunggu, Mas mau mandi dulu? Ini udah aku siapin air hangatnya. Instalasi Water heaternya belum dibenerin kan kata Kang Sena kemarin? Aku siapin dulu ya."

Kinza mencuci tangannya dan memastikan tak ada bau amis tertinggal, kemudian mengelap tangan itu hingga kering di kitchen towel.

"Nggak usah. Aku bisa mandi air dingin."

"Bukannya Mas kalau pagi mandi air hangat? Kata Ibu."

Wisang menghela napas, ternyata diam-diam istrinya sudah mencari tahu apa kebiasaannya.

"Aku bisa sendiri, jangan kamu yang angkat."

"Cie, khawatir ya?" goda Kinza. Wisang menatap tajam istrinya. Ia berjalan mendekati Kinza. Hanya itu satu cara yang bisa Wisang gunakan untuk membuat istrinya tak usil lagi. Menakut-nakutinya.

Kinza menelan ludah susah payah saat ia sadar tubuhnya sudah tak bisa mundur lagi. Wisang menempelkan satu tangan di tembok, menatap istrinya tajam. Seketika, si putri malu kembali muncul. Ya, Kinza menunduk takut.

Wisang menyeringai. "Nggak usah mancing kalau dideketin doang takut. Sekali putri malu tetap akan selalu menjadi putri malu. Mau kamu pura-pura berani menghadapi aku, tapi nyatanya, cuma gini aja kamu menciut, Mimosa."

Kinza menelan ludah. Wisang terkekeh dan sedikit menyeringai.

"A-aku, a-aku cuma nggak terbiasa dekat dengan laki-laki."

"Dasar bocah, nggak usah gemeteran. Aku nggak akan nyentuh kamu. Aku bukan pedophil." Wisang tertawa.

Kinza menatap suaminya, ia meraih leher Wisang, berjijit setinggi mungkin dan mengecup bibir suaminya.

"Aku jadi putri malu bukan karena aku nggak punya keberanian. Aku meyakini, rasa malu itu adalah mahkota seorang muslimah. Ini juga menjadi penghargaan untuk suamiku, karena hanya dengan suamiku aku akan memperlihatkan apa yang aku punya, seluruhnya, seutuhnya. Tidak mengumbarnya sembarangan."

Kinza melepaskan tangannya. "Aku pun bisa kok kalau Mas mau punya istri yang nakal di rumah. Aku bisa. Aku cukup dewasa untuk paham tentang hubungan yang menyangkut kebutuhan biologis dan lain-lain. Jangan jadikan penampilanku yang seperti ini, penampilanku di luar ini sebagai alasanmu untuk bilang 'kamu nggak kegoda sama aku'."

Kinza tersenyum miring. "Misal Mas beli mobil impian Mas, yang sulit banget didapetin, yang mahal harganya, yang bahkan Mas harus nabung lama buat bisa milikin itu, terus tiba-tiba itu mobil dipake Kang Sena mulu. Dipegang, dielus, disentuh sampai lecet. Apa Mas nggak kesel? Apalagi kalau istri. Mas mau aku dinaikin Kang Sena?"

Wisang benar-benar diam. Ia tahu Kinza tengah menyindir Rose.

"Jangan buat aku pergi dari rumah sebelum aku makan dan membiarkan masakanmu sia-sia."

Kinza tersenyum. "Silakan, silakan kalau Mas mau pergi. Aku yakin, suamiku laki-laki soleh. Ia pasti akan menghargai kerja keras istrinya."

Kinza meletakkan tangan di dada sang suami. Bibirnya bergerak-gerak membaca surah Al Insyirah.

"Ngapain kamu?" tanya Wisang.

"Minta sama Allah, biar hati yang belum jadi milikku ini, bisa jadi bucin ke aku." Kinza mengerling pada sang suami.

"Buruan, ayo Icang mandi dulu. Udah Ummi siapin airnya. Terus mamam, ya? Uuunch unch gemooy banget iih," ucap Kinza sembari mencubit pipi suaminya.

Wisang benar-benar kesal dan ia menyerang bibir Kinza. Kinza yang tak siap hanya bisa membelalakkan matanya, tetapi ia kemudian mengikuti instingnya. Wisang tak bisa marah, ia hanya bisa mengungkapkan rasa kesal, gemas, dan tak terdefinisinya lewat bahasa lain.

"Papa? Ummi? We are you!" teriak Neyna.

"Ummi! Hungry! Ummi!" Noah ikut mencari.

Kinza mendorong suaminya menjauh. Wisang terlanjur hilang kendali. Kinza menggeplak kepala suaminya.

"Awh! Mimosa!" erang Wisang.

"Anak-anak!" geram Kinza. Neyna dan Noah tiba di saat Wisang memelototi Kinza karena kesal istrinya main pukul.

"Kalian lapar? Yuk makan, udah mateng nih. Papa Icang buruan mandi. Kiddos, kalian duduk di sini, Ummi suapin. Eh iya, mau milk atau hot chocolate?"

"Milk!" seru kedua bocah tersebut.

Wisang pun akhirnya pasrah dimanjakan oleh Kinza. Ia disiapkan air, handuk, bahkan bajunya semua siap. Kemudian setelah semua selesai, Kinza menawarinya untuk disuapi atau tidak.

"Aku bukan bayi," ketus Wisang.

"Lupa dengan perjanjian kita semalem? Kalau Mas di rumah ini, itu artinya Mas harus ikut aturanku. Tinggal buka mulut apa susahnya sih? Kan bisa sambil tuh bukain hape, siapa tahu pacarmu ngechat."

Wisang menatap sang istri, Kinza sudah mempermainkannya sepagi ini. Ia kesal dibuat naik turun emosinya.

"Duduk, diam. Makan. Aku yang suapin!" titah Wisang. Tak ada cara lain untuk membungkam Kinza agar tak merecokinya. Kinza tersenyum, ia pun menurut. Duduk dan disuapi sang suami. Keduanya makan dengan piring dan sendok yang sama.

Saat Wisang keluar pun, ia mengikutinya membawakan tasnya. Meraih tangan sang pria dan mencium punggung tangannya.

"Fii amanillah, suamiku."

Wisang mengangguk. "Amiin. Assalamualaikum."

"Wa alaikumussalaam warahmatullah."

Noah dan Neyna ikut mengantarkan Wisang. Keduanya mengantri dicium satu persatu. Kinza menatap dengan tatapan ala anak kucing yang minta disayang.

"Nggak usah aneh-aneh, ada anak-anak," bisik Wisang karena tahu arti tatapan istrinya.

"Ney, Noah, Ummi punya ice cream di kulkas, lupa ih tadi mau bilang. Sana ambil," tukas Kinza.

Kompak, Neyna dan Noah berlari masuk. Kinza menatap suaminya lagi. Wisang kembali mati kutu. Ia segera berjalan menuju ke mobil yang masih di dalam garasi itu.

"Hei, anak-anak udah pergi." Kinza meraih tangan suaminya.

Wisang tak menggubrisnya, ia menyentak tangan Kinza, merebut tasnya dan masuk ke dalam mobil. Kinza tak habis akal. Ia memanfaatkan moment sang suami yang tengah memakai seatbelt untuk melongokkan kepalanya ke dalam mobil dan mencuri ciuman di pipi.

"Mimosa!" bentak Wisang.

"Dalem," jawab Kinza.

"Jangan buat aku marah. Kita udah melanggar batas."

"Tidak ada batasan untuk sesuatu hal yang berpahala, kan?"

"Keluar, aku mau berangkat."

"Oke, oke. Baca doa dulu. Hati-hati. Nanti malem mau makan apa?"

"Aku nggak pulang. Nggak usah nunggu. Anak-anak nanti juga bakal dibawa Sena. Uang belanjamu ada di laci kamar. Hari ini Rose pulang," ucap Wisang.

"Oh, oke. Aku selalu nunggu kamu pulang. Kapanpun mau datang, kabari ya, biar aku bisa masak dulu. Bisa siap-siap dulu, ketemu suamiku."

Wajah kecewa Kinza tidak bisa disembunyikan. Wisang tahu, tetapi ia justru senang akan hal itu. Lebih baik Kinza diam, karena hal-hal mengejutkan yang dilakukan Kinza bisa jadi berbahaya untuknya.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuanyaaa

❤❤❤❤❤

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro