Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 17


Suhu 12 derajat dengan realfeel hingga 9 derajat membuat si seksi Rose harus menggunakan baju tertutup. Nino dan Cindy masih tertidur pasca jetlag berat menyerang keduanya.

Brandon dan Rose tak mengalaminya karena mereka terbiasa pergi dadakan dalam waktu yang lama. Wanita tiga puluh tahunan itu menyesap chinnamon tea-nya sembari menatap ke luar jendela. Ia menunggu kekasihnya memberi kabar.

Mungkinkah Wisang kerepotan menjaga anak-anaknya? Ada rasa bersalah muncul menghantui Rose. Ia sudah sangat merepotkan Wisang selama ini. Namun, apa boleh buat. Kesibukannya bekerja sudah jelas akan menyita waktunya dan membuatnya tak bisa mengurus anak-anaknya.

Sebuah tangan menyusup ke pinggang Rose. Pelakunya, siapa lagi kalau bukan Brandon. Rose menepis tangan Brandon. Namun, pria itu tahu betul dimana titik kelemahan Rose. Ia menyentuhnya tanpa meminta ijin sang pemilik.

"Brandon, no!" Peringatan Rose dengan suara tercekat justru membuat Brandon tersenyum.

"i know that you miss him, right? I don't mind kalau kamu bayangin aku adalah pacarmu itu. Dia nggak pernah nyentuh kamu lagi kan?"

Rose berusaha sekuat tenaga menolak tetapi tubuhnya tak mau diajak bekerja sama. Brandon benar, sangat benar. Ia butuh sentuhan Wisang yang sebulan ini tak ia dapatkan lagi.

"Sudah berulang kali aku bilang, pacarmu pasti bosan denganmu cepat atau lambat. It's only me, yang benar-benar cinta dan tulus sama kamu, Rose."

Rose mendorong dada Brandon menjauh. Ia meletakkan cangkir tehnya di meja dan berusaha pergi. Namun, tangan Brandon lebih kuat. Tubuh kurus Rose jelas terasa sangat ringan dalam satu sentakan saja, wanita itu kembali berada dalam dekapannya.

"Aku tidak suka kamu bicara buruk tentang Wisang. Dia adalah laki-laki terbaik yang pernah ada. Dia menerima ketiga anakku tanpa membedakannya. Dia tidak sepertimu yang hanya peduli pada Nino," tegas Rose.

Brandon terkekeh. "Itu karena dia belum punya anak darimu. Mau taruhan berapa? Nanti kalau dia punya anak sendiri, pasti dia akan lebih sayang anaknya dari pada anak-anakmu yang lain. Itu sudah hukum alam."

Rose terdiam. Bisa jadi benar ucapan Brandon. Tangan pria itu menelusuri setiap jengkal tubuh Rose. Sekuat tenaga, Rose menolak tetapi nyatanya ia kalah. Ia justru memejamkan mata dan membayangkan Wisang yang melakukannya. Brandon pun, berusaha menulikan telinga karena ia sejujurnya benci mendengar Rose menyebut nama Wisang setiap kali merasakan kenikmatan yang ia berikan.

Rose tak membuka mata sama sekali. Ia terus menghadirkan bayangan Wisang dalam permainan gilanya bersama laki-laki yang seharusnya ia panggil kakak itu. Meski tak ada hubungan darah tetapi ibu Brandon pernah menikah dengan ayah Rose, meski sekarang sang ayah kembali menduda.

"Wisang ... I'm sorry ... I need you know but you're not here...." batin Rose setelah mendapatkan kepuasan dari Brandon.

Brandon yang kelelahan segera memejamkan mata. Sementara Rose mendapati pesan dari kekasihnya. Wisang mengirimkan gambar Neyna dan Noah yang tidur di atasnya.

Ada rasa haru di sana. Rose tersenyum. "Wisang, aku janji aku akan berubah setelah kita menikah nanti. Aku janji. Maaf, aku mengecewakanmu tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menerima perlakuan Brandon tadi. Maaf." Monolog Rose.

Salahkah dia? Tidak. Rose yakin dirinya tak salah. Toh, hatinya hanya untuk Wisang. Meski raganya kini tengah tak berbalit seuntai benang di dekapan Brandon.

****

Some days later ....

Hari ini, akhirnya Kinza boleh pulang. Sang suami yang menjemputnya. Kinza ragu, tetapi semua anggota keluarganya mendadak sibuk dan membiarkan Kinza hanya dijemput Wisang. Sena yang biasanya ikut pun tak turut serta karena bertugas menjemput anak-anak.

"Masih sakit?" tanya Wisang. Kaku, cara bicaranya tak seperti selayaknya suami pada istrinya.

Kinza menggeleng. Kondisinya memang benar-benar sudah membaik.

"Jadi, kamu akan melanjutkan kasus ini atau tidak?"

"Kenapa dari kemarin Pak mmm Mas nanya itu? Mas kenal sama penabrakku?" tanya Kinza curiga.

Wisang mengembus napas, ia sebenarnya tegang tetapi harus berusaha untuk biasa saja. "Kita ke sana sekarang kalau begitu. Ke kantor polisi, biar kamu tahu bagaimana kondisi anak yang menabrakmu."

Kinza menggigit bibir. "Nggak Mas, aku mau pulang dulu. Aku ... Aku sebenernya udah maafin dia, tapi Mas Abid bilang harus kasih efek jera ke orang itu. Katanya juga mau nunggu majikannya pulang dari luar negeri sebelum membebaskan dia."

Jakun Wisang naik turun, gawat kalau sampai Abid benar-benar menunggu pemilik mobilnya. "Buat apa? Kasihan loh dia sudah empat hari di sel. Dia harus sekolah. Namanya saja sudah hancur. Kamu tega Kin ngerusak mentalnya?"

"Tapi ... Semua kan di tangan Mas Abid, Mas. Aku bisa apa?"

"Yakinkan kakakmu. Kamu kan korbannya di sini, kamu berhak mencabut laporannya."

Wisang meraih jemari Kinza dengan tangan kirinya. "Manusia berjiwa malaikat sepertimu pasti akan menegakkan keadilan,menebar kebaikan, pada semua orang kan?"

Kinza menarik jemarinya cepat. Ia takut. Sangat takut. Terlebih mereka hanya berdua.

"Na-nanti a-aku pikirkan lagi. Ada banyak hal yang lebih penting dari itu yang harus dibicarakan termasuk alasan Mas nikahin aku."

"Mau bicara dimana? Di rumah apa di luar?" tanya Wisang dengan nada bicara yang lebih lembut.

"Up to you," lirih Kinza sembari menatap ke jalanan di luar sana. Sejatinya, ia tak tahu suaminya akan membawa dia pergi ke mana. Mobil itu melesat menerobos jalanan kota Solo.

Kinza sedari tadi berpikir tentang pekerjaannya di kantor. Ia belum sempat memberitahukan kondisinya, tetapi surat ijin dokter sudah dikirim sejak hari Senin agar Kinza dapat beristirahat selama beberapa hari di rumah.

Pikirannya pun tertuju pada Abimanyu. Pria itu pasti tengah kelabakan mengurus kantor sendiri. Apalagi ia tahu minggu ini bos besarnya cuti. Saat mengamati ke sisi sebelah kiri, Kinza merasa kenal dengan pengendara mobil di sampingnya. Reflek ia menurunkan kaca. "Mas Abim!" panggilnya.

Abimanyu memang tak mendengar panggilan itu tetapi ia juga kebetulan tengah melihat ke sisi samping kanan, memastikan berapa detik tersisa di lampu masih merah. "Kinza? Kinza!" Abimanyu menurunkan kaca mobilnya.

Di saat bersamaan Wisang menaikkan kaca Kinza dari tombol di sisi kanannya. "Mas aku mau bicara sama Mas Abim!" protes Kinza.

"Jangan harap kamu bisa bertemu dengan dia lagi!" bentak Wisang.

"Mas! Dia itu atasanku! Aku masih kerja di sana! Aku nggak bisa lepas tangan gitu aja! Dia berhak dapat penjelasan kenapa aku nggak masuk kerja. Aku bisa dikira nggak profesional!"

"Dan aku adalah suamimu! Aku berhak melarangmu berhubungan dengan laki-laki lain! Hubungan kita diatur oleh Allah, bukan oleh manusia! Apa kamu lebih takut dengan manusia dari pada Tuhanmu!"

Kinza terdiam. Perdebatan itu dimenangkan Wisang. Bahkan pria itu nekat menjalankan mobilnya meski masih ada dua detik seharusnya mereka berhenti. Wisang mengambil arah lain. Ia tahu, Abimanyu pun akan mengikutinya dan berusaha menemui Kinza.

"Mas! Mas! Pelan-pelan!" tegur Kinza yang mulai ketakutan.

Ia masih melihat mobil Abimanyu mengikuti di belakang.

"Mas, kita mau kemana sih?"

"Ke rumah Abah. Biar Abah tahu kalau putrinya dikejar-kejar anak Bosnya yang tidak tahu diri."

Kinza menatap suaminya. "Mas, jangan gila! Mas Abim itu belum tahu kalau kita udah nikah. Wajar kalau dia ngejar kita. Dia pasti minta kejelasan soal kondisiku. Dia pasti khawatir."

Entah kenapa Wisang tak suka istrinya membela Abimanyu. Ia kemudian mengambil ponsel dan mengirimkan video Sena pada sang istri.

"Dengarkan baik-baik itu. Kalau kamu masih berpikir bajingan itu peduli sama kamu."

Kinza mengecek ponselnya yang berdenting. Percakapan Abimanyu dengan Aksa jelas terdengar.

"Aku nggak peduli Wisang mau ngapain dia. I don't care. Bodo amat."

Tangan Kinza mendadak gemetar. Jadi, apa selama ini perhatian Abimanyu bualan belaka? Di saat kegamangan menerpa Kinza, Wisang menepikan mobilnya.

Emosinya yang memburu, berusaha ia tahan. "Pergilah, temui Abimanyu kalau memang itu maumu."

Wisang membuka lock door, agar Kinza dapat membuka pintunya.

"Jalan, Mas. Aku mau pulang," lirih Kinza dengan tatapan kosong.

"Selesaikan masalahmu dengan Abimanyu. Aku tunggu di sini."

Kinza menggeleng. "Nggak mau."

Wisang terkekeh. "Patah hati, Ning? Kecewa? Aduh, dighosting sama CEO ganteng ya?"

Kinza mencebik. "Buruan jalan!" kesalnya.

"Ciee ... Itu loh, pangeranmu ngikutin kita. Sana temuin." Wisang menggoda Kinza yang cemberut.

"Buruan jalan."

Dibentak Kinza, Wisang malah terpingkal. "Kamu lucu kalau ngambek. Malu ya? Hm? Dimainin doang sama Mas Abimanyu."

Kinza yang kesal diledek memindah tuas yang semula berada di posisi netral berpindah ke posisi D hingga mobil yang dikendarai Wisang berjalan otomatis meski perlahan dan Kinza menekan kaki suaminya dengan tangan.

"Mimosa Pudica! Jangan sembarangan kamu heh! Bahaya tau!" bentak Wisang. Kinza malah terkekeh karena sang suami kaget kakinya menekan pedal gas. Beruntung Wisang lihai mengendalikan mobil yang jarang ia pakai itu.

"Rasain! Makanya kalau disuruh jalan ya jalan!"

Wisang mencubit pipi Kinza saking gemasnya. "Sakit! Sakit!" protes Kinza. Wisang tak peduli, hingga akhirnya Kinza menggigit tangan Wisang.

"Aaaah! Mimosa! Sakit!" erang Wisang.

Kinza menjulurkan lidah. "Rasain! Jangan pikir kalau aku bakal diem aja kamu aniaya. Tuan Wisanggeni Dikara Prahasta."

Wisang mengibaskan tangan kirinya yang kini mengecap gigi Kinza.

"Nggak usah sok ngancem. Nanti aku seriusin, kamu nangis. Anak manja. Lapor sama kakak-kakakmu," sindir Wisang.

"Nggak, aku nggak akan lapor kakakku. Aku bakal lapor sama Allah, kalau Mas nakalin aku. Allah yang bakal hukum Mas langsung. Nggak cuman di dunia, tetapi juga di akhirat nanti. Karena nama kita sudah tercatat di sana. Sampai kelak kita di akhirat pun bakal sama-sama."

Wisang menelan ludah. "Sial. Ucapan Kinza kenapa bikin merinding ya? Apa iya kami terikat selamanya?"

Pria itu mengubah arah laju mobilnya, memasuki beberapa gang sebelum ke komplek di mana dirinya tinggal.

"Ini rumah siapa?" tanya Kinza.

"Rumah kita."

"Kita?" Kinza mengulang ucapan Wisang.

"Jangan bilang kalau ini terlalu abcd. Ada rumah lain di belakang sana. Sebelah rumah orang tua Sena. Kalau kamu lebih nyaman tinggal di sana, kamu bisa tinggal di sana. Tapi, sebagai penyambutan, jelas aku membuka pintu rumah ini, buat Anda, Nyonya Prahasta."

Kinza berusaha biasa saja, meski sejujurnya tengah takjub dengan bentukan rumah mewah dan manisnya perlakuan sang suami saat membukakan pintu mobil untuknya.

"Welcome Home, Ummi!"

Sambutan Neyna, Noah, dan beberapa orang lain membuat Kinza terkejut dan terharu. "Mari Nyonya, silakan masuk." Wisang berbisik pada istrinya.

"Aku mimpi kan?" tanya Kinza.

Wisang mencubit pipi Kinza begitu keras hingga ada cap jempol merah di kedua sisi pipi sang gadis.

"Aaaah! Sakit!" rintih Kinza.

"Cukup untuk membuktikan kalau ini nyata, kan?" ucap Wisang dengan suara baritonnya.

"Ya Allah, terima kasih atas segala nikmat dan karuniamu. Mungkinkah ini yang namanya mendapat durian runtuh? Ngeri-ngeri sedap?" batin Kinza.


ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semua selamat pagi....

😂😂😂

Lanjuut?

End sebelum ganti bulan yak....

Takut keburu ada event nulis baru...

Mau bilang apa ke Kinza? Wisang? Rose? Brandon?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro