Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 16

Wisang menatap gadis yang terbaring di atas ranjang itu tanpa henti. Bagaimana tidak, ia baru saja dinyatakan sah menjadi suami Kinza, dan seketika istrinya pingsan. “Aku tahu kamu pasti shock. Tapi nggak ada cara lain, buat nyelametin kamu, Kinza. Aku menikahimu juga bukan karena semata-mata karena terpaksa. Aku juga tidak tahu kenapa bisa mengambil keputusan ini, tetapi saat aku menjabat tangan ayahmu, rasanya ada getaran di sana. Apakah benar, jika ikrar ijab dan qobul tadi juga mengguncang Arasy?”

          Dua pengantin baru itu dibiarkan berduaan, meski yang satu masih tertidur dalam pengaruh obat pasca pingsan dan mengeluh sakit kepala. Kinza menggeser tubuhnya ke kanan, tangannya yang terinfus bergerak reflek, hingga selangnya menyangkut di pinggiran bed. Wisang membenarkannya, perlahan.

          Kinza terdengar merintih. “Astagfirullah,” desahnya. Tanpa melihat dengan jelas siapa yang duduk di sampingnya, Kinza meremas tangan pria itu. Ia mengira jika pria itu adalah kakaknya, Abid.

          “Sakit, Mas,” adu Kinza.

          “Yang mana yang sakit?”

          “Perutku sakit,” isak Kinza. Benturan yang ia alami memang cukup keras. Beruntung tak sampai merusak organ dalamnya, meski nyeri tentu masih ia alami pasca benturan. “Mas ... sakit,” rengek Kinza lagi sembari terisak.

          Wisang merasa sedikit kasihan. Namun, ia justru tahu sisi lain Kinza. Begini ternyata ketika sedang sakit, merengek bak anak kecil yang tak kuasa menahan sakitnya. “Jangan cengeng, malu sama Noah.”

          Kinza seketika mendongakkan kepala, ia melepas genggaman tangannya pada tangan Wisang. “Pak Wisang ngapain di sini?”

          Gadis itu segera duduk dan bersikap defensif. Ia mengaduh saat perutnya kembali sakit karena gerakan yang tiba-tiba. “Mas Abid! Mas Abid!” teriak Kinza. Abid yang tengah mengobrol di luar seketika berlari ke dalam.

          “Kenapa Dek?”

          “Mas,itu orangnya ngapain di sini! Mas Abid kenapa ngijinin dia di sini! Mas usir Mas! Buruan usir! kInza takut!” tangis Kinza.

          Abid yang dipeluk sang adik bingung. “Heh, jangan gitu. Dia suamimu. Nggak boleh kayak gitu.”

          “Nggak mungkin. Pasti Kinza mimpi. Semua bohong kan? Kinza mau nikah di masjid rumah Abah, bukan di rumah sakit! Ndak mau Mas! Kinza ndak mau nikah! Ndak mau Mas! Kinza ndak mau!” tangis Kinza semakin keras.

          Wisang menelan ludah. Ternyata Kinza bisa liar juga dan sangat manja pada kakaknya. Abid berusaha meinta bantuan Sabira menenangkan Kinza terlebih tangannya yang terus bergerak membuat selang infusnya terganggu dan darah mulai naik.

          “Kinza, istigfar, hey, istigfar.” Sabira mengambil alih. Abid mundur. “Aku ndak mau nikah, Ra. Aku ndak mau.”

          “Lah ngopo ndak mau nikah? Sekarang, kamu sudah ngikuti sunnah paling mulia rasulullah loh. Kamu wis nikah, kamu sekarang menyandang status sebagai istri. Keren loh kuwi, aku aja pengen tapi masih nunggu giliran dipilihkan sama Ummi. Gus Abid wae sing ganteng, belum tentu bisa seberuntung kamu nikah. Ya ndak Gus?”

          “Ase kowe, ngece aku?” geram Abid. Sabira terkikik pelan sembari mengelus punggung Kinza.

          “Coba kamu melek, liat suamimu. Guantenge kayak gini. Gagah, jantan. Hebat, keren. Nggak cuman itu, perhatian dan sayang sama anak kecil. Masyaaallah, pengusaha sukses. Dan satu lagi, soleh. Kurang apalagi? Kufur nikmat kamu, Kinza kalau ndak terima sama takdirmu. Banyak loh orang di luar sana, lebih cantik dari kamu suaminya mukanya di bawah standar. Lah kamu sing cantiknya masih slevel sama aku, dapet suami ganteng koyok artis ngene.”

          Wisang menahan diri untuk tidak tertawa, tetapi ia tak bisa menahan senyumannya hingga tercetak dua lesung pipi di sela berewoknya.

          “Nah nah, Masyaallah, dekik e loh Za, Masyaallah, apik e. Wah jaminan ini besok anakmu guanteng sama cuantik. Masyaallah, bagusmen Maszeeeh.”

          Abid seketika memukul Sabira dengan sendok yang ia dapat di atas meja, “Gadhul Basar! Ngawurmu, malah delok-delok raine wong lanang! Haram!” bentak Abid.

          Sabira mengelus kepalanya yang dipukul sendok. “Gus, gegar otak nanti aku. Kalau sampai aku  lupa ingatan gimana?”

          “Dipukul sendok aja lupa ingatan!”

          “Loh, bisa jadi, nanti aku pingsan. Lupa ingatan. Pas bangun, aku ingetnya jadi istrimu Gus. kan repot. Aku merasa kalau diriku ini sudah kamu nikahi, kayak Kinza gini ini loh, nikahnya kayak mimpi.”

          “Kowe kuwi sing ngarep!” celetuk Kinza yang sudah mulai tenang. Sabira yang sengaja memancing canda berhasil pada akhirnya dan Abid memukulnya lagi.

          “Loh kan sengaja mesti biar aku lupa ingatan terus jadi istri dadakanmu. Wah, asline njenengan ada rasa pasti ya Gus?” canda Sabira.

          “Yo ada, memang. Aku ada rasa karo awakmu Rasa pengen ngruwes lambemu. Pengen melintir bibirmu.”

“Astagfirullah, Gus sing mpun halal mereka. Kita belum. Jangan main pengen bibirku loh.”

Abid mengangkat satu tangan dan melarikan diri. “Wis angel yen ngomong karo wong otakke setengah ora kanggo. Cuman setengah yang dipake!”

Guyonan ala dua orang itu akhirnya bisa membuat Kinza sedikit terhibur. Wisang pun terkekeh. Ia merasa hidupnya lebih manusiawi saat berada di antara keluarga Kinza. Ponselnya berdering, Rose menelponnya. Ia harus menyusun strategi. Ia mematikan panggilan itu dan membalas tengah tak bisa bicara.

Wisang pun ingat jika Neyna dan Noah juga masih menjadi tanggung jawabnya. Ia mau tidak mau harus pergi dari rumah sakit sembari menyusun rencana baru.

“Mimosa Pudica, aku pulang dulu ya sebentar. Aku harus mengurus Neyna dan Noah. Nanti aku ke sini lagi.”  

Kinza menggeleng. “Nggak perlu ke sini lagi. Saya banyak teman di sini. Noah dan Neyna lebih membutuhkan anda, Pak.”

 “Ya Allah, sama suami manggil Pak, dikira ama gurunya apa gimana? Makruh loh makruh. Panggil sayang, bebeb, honey, zaujii, habibi, gitu,” celetuk Sabira.

Wisang mengacungkan jempol. “Tuh, dengerin temenmu. Aku pulang dulu, ya.” Wisang mengulurkan tangan. Kinza tak segera menyambut. Sabira menyenggol temannya. Kinza pada akhirnya ragu membalas jabatan tangan Wisang. Tangannya gemetar. Wisang tersenyum, wajar jika Kinza yang hapir tak pernah bersentuhan dengan lawan jenis harus menjabat tangannya. Jemari lentik itu akhirnya menyambut tangan Wisang dan perlahan ia menciumnya.

“Hati-hati, Mas Wisang,” ucap Kinza pada akhirnya.

Ada getaran aneh di dada Wisang saat hidung dan bibir Kinza menyentuh punggung tangannya. Ini pengalaman pertama baginya diperlakukan dengan hormat sebagai seorang laki-laki. “Aku usahakan aku datang lagi, tapi kalau terpaksanya belum bisa ke sini, nanti aku kabari. Oh iya, ini, pakai ini. Nomorku ada di sini. Nanti aku chat ya.”

            Wisang mengeluarkan ponsel baru yang sudah ia isi nomornya. Kinza mendongak menatap suaminya. “Ta-tapi ini ....”

            “Kamu nggak suka tipenya? Besok kamu pilih sendiri kalau sudah sembuh. Itu bisa dibuang.”

            Kinza menggeleng, “Enak aja dibuang, hape ini kan baru rilis bulan kemarin, Mas. Masak asal buang ih. Maksudku, ini mahal banget.”

            Wisang terkekeh. “Bisa galak juga kamu, hm? Aku pulang dulu, ya?”

            Kinza menunduk lagi dan mengangguk. “See  you, Mimosa Pudica.” Wisang berbisik dan mengecup kening istrinya. Jantung Kinza sontak berdebar tak karuan saat bibir berhias kumis dan jambang itu menyentuh keningnya. Sabira sontak menutup mata dan mebalik badan.

            “Ya Allah, kuatkan hati sahabatku menahan gantengnya wajah suaminya Ya Allah. duh yen aku wis nggak kuat mesti, senggol sitik wae loh langsung ambyar aku,” gumam Sabira.

            ****

           

            Abimanyu, berulang kali menelpon Kinza dan tak bisa tersambung sejak kemarin. Ia mulai cemas, hingga akhirnya menyambangi kontrakan Kinza. Untuk ketiga kalinya Abimanyu dan Aksa melewati rumah itu tanpa turun, karena pintu pagar masih tergembok dari luar menandakan si empunya keluar rumah.

            “Kinza kemana ya, Sa? Nggak biasanya.”

            Aksa mengendikkan bahu. “Mas katanya nggak peduli sama Mbak Kinza, kenapa bingung kalau Mbak Kinza hilang. Kali aja dia lagi traveling sama keluarganya.”

            Abimanyu mengembus napas. “Bukan gitu juga, aku cemas soalnya siapa yang bakal bantuin aku ngurus kantor kalau nggak ada Kinza? Rauf, Yusuf, Ayun, semua pindah perbesok. Dan ayah cuti, terus aku sendiri nanti.”

            “Sama aku, weh,” protes Aksa.

            “Sa, jangan main-main. Aku takut kalau dia jatuh ke lubang kelicikan Bude Gendhis.”

            “Bilang aja khawatir,” cicit Aksa sembari mengutak – atik ponselnya.

            “Eh, Kak! Ini Bang Ikal chat aku. Katanya, Dek aku dapet kabar dari Maul kalau Kinza kecelakaan. Udah dua hari dirawat di rumah sakit. Sempet nggak sadar dan dia jadi korban tabrak lari. Katanya yang nabrak cewek, kabur, tapi anehnya yang ngaku kepolisi cowok.”

            Aksa membacakan pesan dari Haikal yang mengabari soal Kinza dari info Maul, sepupu Kinza yang juga rekan dekat Haikal.

            “Nah bener kan! Ini pasti ulah bude Gendhis! Nggak bisa dibiarkan! Aku harus ketemu Bude Gendhis. Dia masih di hotel, kan?”

            Abimanyu tak pikir panjang tujuannya saat itu hanyalah melabrak Gendhis sebari mencari info di rumah sakit mana Kinza dirawat. Pria tiga puluh tahun itu segera mendatangi hotel tempat Gendhis masih menginap. Dewa senagaj beralasan jika ia ada bisnis dadakan dan menyuruh sang istri berbelanja dan memanjakan diri di spa sembari menunggunya selesai acara. Ya, acara yang sejatinya adalah acara pernikahan sang adik.

            Dewa baru sampai ke kamar sewanya saat Abimanyu mengetuk pintu. Gendhis yang tertidur di atas ranjang hanya melirik suaminya yang kembali membuka pintu, ia kira ada Room servisyang dipesan sang suami.

            “Bude! Bude apakan Kinza!”

            Abimanyu tak mengira jika bukan sang bude yang membuka pintu tetapi pakdenya. “Kinza?” tanya Dewa.

            “Pa-pakde? Ah, maaf Pakde, Abim kira bude Gendhis.”

            Gendhis turun dari ranjang saat mendengar suara berisik di pintu. “Masuk, kalian. Jelaskan semuanya, sekarang!”

            Abimanyu tak punya pilihan lain. Aksa memilih kabur, ia tak mau ikut campur karena takut dengan Pakdenya. Abimanyu masuk dan duduk di kursi. Gendhis menatapnya tajam. “Ngapain kamu?”

            “Bude yang ngapain Kinza? Kinza jadi korban tabrak lari tiba-tiba. Sekarang dia ada di rumah sakit!”

            “Apa urusanku sama pacarmu itu?”

            Dewa mengamati keduanya sembari bersedekap. Ia menahan geli. Dua orang itu kini terhanyut dalam permainan lakon masing-masing.

            “Bude pasti kan yang nyelakain Kinza? Bude harus tanggung jawab!”

            “Apa dasarmu nuduh aku seperti itu!” Gendhis berang. Abimanyu tak mau kalah. “Bude sengaja mau nyelakain Kinza kan? Karena bude tahu aku mau menikah dengan Kinza dan bude menghalanginya biar warisan Eyang nggak jatuh ke aku.”

            Gendhis jelas tak mau terlihat buruk di mata suaminya.

            “Benar kamu yang menabrak Kinza?” tanya Dewa.

            “Nggak Mas, aku nggak kemana-mana! Coba cek aja aku nggak keluar hotel. Cuma kemarin doang aku keluar itu pun dijemput Ratih.”

            “Siapa tahu kamu nyuruh Wisanggeni untuk melakukan itu,” ucap Dewa santai. Gendhis melotot, bagaimana suaminya tahu, tapi itu hanya tebakan saja kan?

            “Mas, jangan sembarangan! Mana mungkin aku tega seperti itu?”

            Dewa tersenyum.  “Kamu juga, Abim. Kamu kenapa harus berbohong soal Kinza? Lain kali kalau kamu mau melibatkan orang lain, tanya dulu dia sudah bersuami belum. Istri orang kok diajak pura-pura punya hubungan. Hati-hati, jangan sembarangan mendekati istri orang.”

            Abimanyu melotot. Dewa bersaksi jika wajah ponakan dan bibi itu sangat mirip saat terkejut. “Selesaikan urusan kalian, aku mau tidur. Capek.”

            Gendhis dan Abimanyu saling pandang. “Apa maksud Mas? Kinza sudah punya suai?” tanya Gendhis.

            “Ya, dia sudah punya suami. Makanya, kamu juga jangan mudah dikadalin keponakanmu. Kinza itu suaminya bukan orang sembarangan. hati-hati kalau kalian main-main dengannya. Yang ada nyawa kalian yang jadi taruhan.”

            “Apa maksud Mas?” tanya Gendhis.

            Dewa mengembus napas. “Memang ada alasan lain kenapa seorang wanita sampai menyembunyikan status pernikahannya? Dan suami Kinza itu ada di circleku. Aku pun habis dari sana nengokin. Di dunia ini, ada beberapa profesi yang tidak boleh diungkap identitasnya, salah satunya anggota intelejen, anggota abdi negara pasukan khusus, dan mafia. Kalian pasti paham itu. Menyingkirlah dari Kinza sebelum suaminya diam-diam menembak kalian dari jarak yang sangat jauh.” Dewa terkekeh sembari merebahkan tubuhnya.

            Percaya atau tidak, bulu kuduk Abimanyu dan Gendhis seketika meremang. Dewa bukanlah orang yang banyak bicara. Dan setiap kali ia bicara tak mungkin ada kebohongan di sana, dia orang yang sangat jujur dan demokratis.

           “Pergi kamu dari sini, bocah,” geram Gendhis.

            Abimanyu segera melangkah pergi. “Shit! Jadi Kinza sudah punya suami? Kenapa nggak bilang!”


ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Yuhuuuuuuu

Lagi nggak?

Eheheee maaf baru bisa up dan triple up

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro