Part 15
Rasa sakit menjalar, utamanya di bagian perut dan kepala. Ada memar di beberapa tempat juga yang mulai terasa nyerinya. Perlahan, Sabira menyuapi sahabatnya.
“Ra, makasih ya, udah nemenin aku. Kamu nggak kerja, apa?”
“Aku cuti seminggu. Kan aku belum pernah ambil cuti.”
Kinza menatap haru pada sahabatnya. “Ra, makasih ya.”
Sabira tersenyum, ia sangat menyayangi Kinza seperti saudara sendiri. Kedua gadis itu kompak menoleh ke arah pintu saat bocah kecil berjilbab masuk bersama Arafah, adik sepupu Kinza. “Auntie! Miss Bira! Assalamualaikum!”
“Wa alaikumussalaam. Neyna, kok bisa sama Ara?”
“Katanya mau nengokin Mbak ke sini. Kalau adikknya di luar soalnya nggak bisa masuk, dia masih kecil. Nunggu sama Om Sena di mobil.”
“Auntie, get well soon. I wanna buy cotton candy, playing kite, studying Iqro sama Auntie.”
Sabira mendudukkan Neyna di atas ranjang rawat Kinza. Gadis yang masih pucat itu tersenyum, ia mengelus puncak kepala Neyna. “Kamu bisa belajar sama Miss Bira juga, kan?”
Neyna mengangguk. “Tapi mau sama Auntie juga, Neyna sayang Auntie.” Bocah itu memeluk Kinza. Meski agak sakit karena terkena dekapan erat Neyna, Kinza menahannya, ia tetap tersenyum.
“Kamu tadi sama Om Sena aja? Memang papamu nggak ikut?” kepo Sabira.
“Papa sama Pakde Dewa sama Simbah ke rumah Auntie. Katanya ada yang penting. Papa gives you banyak hadiah, Auntie.”
“What?” Kinza mengernyitkan dahi, ia menatap Sabira dan Arafah bergantian. “Hadiah?”
Arafah terkikik. “Mbak dilamar sama Om Wisang.”
Sabira dan Kinza melotot. “Dilamar?”
Arafah menunjukkan foto yang ada di ponselnya, sebuah kiriman dari istri Zayyan, Karenina. “Seserahannya gila, nggak main-main. Ra, aku udah di jalan ke situ.”
Kinza membelalakkan matanya. “Nggak, nggak mungkin, ini pasti bohong, kan?”
Baru saja Kinza meyakinkan diri jika hal itu bohong, sang kakak ipar sudah datang membawa sebuah baju dan peralatan make up-nya. “Kin, Kin, buruan ganti baju, ganti baju. Ara, kamu ajak si dedek bule keluar dulu, aku dandanin Kinzanya.”
“Kak Karen, kenapa?” tanya Kinza bingung.
“Udah deh, kamu diem aja. Oke, iparku yang cantik. Bira, bantuin kuy cepetan.”
Arafah segera membujuk Neyna untuk diajak keluar, sementara Karen mengunci pintu ruang rawat Kinza. Sabira hanya bisa menyetujui titah Karen yang terlihat bersemangat. “Dek, ini aku pakai pas nikah sama Bang Zayyan. Kamu coba ya, kayaknya muat kok.”
“Kak, tapi kenapa harus pake baju kayak gini? Kenapa harus ganti baju?”
“Ada yang mau ke sini. Kamu harus cantik, meski lagi sakit. Keluarganya Mas Wisang.”
“Kak, kenapa emangnya keluarga Mas Wisang dateng?”
“Kamu dikhitbah. Kamu dilamar sama Mas Wisang. Aku juga nggak tahu pastinya gimana, tapi denger-denger sih, Abah ke sini juga sama Ustaz Ammar.”
“Ustaz Ammar? Pak Penghulu?” tanya Sabira. Karen mengangguk. Kinza menoleh ke Sabira dan Karen bergantian.
“Ra! Bira, hapeku mana. Hapeku!” ucap Kinza panik.
“Hapemu kan ilang, Kin. Kemarin itu yang balik cuman dompetmu sama KTP, SIM, BPJS, sama ATM. Duit sama hapemu ilang.”
“Ya Allah, aku harus telpon Mas Abimanyu.” Kinza menangis. Entah kenapa ia mendadak teringat Abimanyu. Ia takut jika Abahnya tak memberinya kesempatan untuk memilih, nanti.
“Abimanyu, siapa?” tanya Karen bingung.
“Anak bosnya Kinza. Katanya sih ada anu juga sama Kinza, mau ngelamar juga.”
Karena menatap sedih iparnya, ia memeluknya. “Cantik, jangan nangis. Dengerin kakak, jodoh itu ada di tangan Allah. Bukannya kamu sering bilang gitu? Ya sudah, kamu harus percaya kalau hal itu benar. Ikhlas saja. Yang tua belum tentu menikah dulu. Buktinya Mas Abid yang sulung malah belum nikah. Yang kenal lama belum tentu nikah lebih dulu. Buktinya Mas Abid sama Sabira.”
“Lah kok aku dibawa-bawa to, Ning Karen ini loh,” protes Sabira. Karen terkikik, ia kemudian mengusap bekas air mata di wajah Kinza.
“Cup nggih, yang ikhlas, berdoa saja. Kalau ini memang yang terbaik, harusnya kamu bersyukur. Kita sebagai wanita, itu riskan hidupnya. Lengah sedikit bisa hilang kehormatan kita. Hancur sudah diri kita. Nah, kalau kita termasuk dipilih sebagai wanita-wanita yang dijaga, yang disiapkan jodohnya dengan cara luar biasa, harusnya kita senang, kita bangga, bersyukur. Tanpa harus icap-icip dosa, kita bisa langsung ditarik ke mahligai cinta berhadiah surga. Cinta halal yang setiap aksi tatapnya, tutur lembutnya, sentuhannya, senyumnya, itu akan bernilai pahala. Bukan seperti cinta anak muda yang katanya berlandas cinta tetapi setiap gerak-lgeriknya mengandung dosa akibat kemaksiatan yang dibalut aurga dunia.”
Sabira ikut menyemangati sahabatnya. “Ning Karen bener, Kin. Istigfar kamu, jangan mikir aneh-aneh, jalani dulu. Lakoni dulu. Abah bukan orang biasa. Beliau pasti paham mana yang baik dan mana yang tidak. Abah juga akan mengambil keputusan yang terbaik bukan semata-mata hanya atas dasar pemikiran logikanya, tetapi juga dengan balutan doa yang beliau pinta setiap bermunajat pada Allah Ta’ala. Sing ikhlas, bungah, apapun yang akan terjadi, memang itu takdirmu. Ya?”
“Tapi ... aku takut,” lirih Kinza.
Karen berbicara sembari memoles wajah adiknya agar terlihat segar dan tidak terlalu pucat.
“Dengerin kakak. Sedikit banyak, kakak sudah pengalaman soal pernikahan. Nyatanya, masalah ahti itu memang tidak bisa dipaksakan. Sapai sekarang, kakak juga nggak tahu Bang Zayyan kenapa dulu memutuskan untuk nikahin kakak. Sampai sekarang kakak pun masih coba untuk menyelaraskan perasaan. Masih berjuang juga. ya berjuang masuk di keluargamu, berjuang di rumah tangga kami sendiri. Ndak mudah. Tapi inilah yang disebut nikah itu ibadah. Ibadah itu akan terasa indah jika kita selalu mendasarkan semuanya dengan lillah. Tapi ibadah akan terasa susah jika kita selalu berpikir melakukannya hanya akan membuat kita lelah. Paham?”
“Masyaallah, ukhti, aku terharu loh. Ning Karen sekarang keren banget. Ih, gantinya Ummi.”
Karen tersenyum. Wanita cantik yang menikah dengan Az Zayyan Mahruz Al Asyari enam bulan lalu tersebut terlihat senang dengan pujian Sabira. “Kamu jangan tangan Dek, ada kakak, ada Bira. Kami selalu ada buat kamu. Ya, Sayang?”
Kinza mengangguk dan ketiganya berpelukan. “Dulu waktu aku belum diterima di pondok, kayak orang bodoh di pondok, digunjing sana sini, kalian selalu nguatin aku. Sekarang, giliran aku, yang jadi support system kalian, Sister.”
Karen tak kuasa menahan tangis harunya. Ia ingat ketika pertama kali Zayyan membawanya untuk kembali ke pondok, milik orang tuanya, Karen yang bukan orang berlatar belakang agamis, mengalami shock culture. Ia harus merubah penampilannya. Mengejar ketertinggalannya dalam mengaji, serta hal lain. Belum lagi gunjingan mengenai sosoknya yang dinilai tak pantas menjadi istri seorang Gus, terus ia dengar setiap harinya.
Di saat sulit itu, Kinza dan Sabira adalah dua orang yang dimiliki Karen sebagai tempat berkeluh kesah. Ia pun belajar banyak hal dari ipar dan sahabatnya. Hingga ia bisa bertahan sampai saat ini.
“Ayo dandan sing cantik, ndak usah nangis. Ya?”
“Karen! Karen! Udah belum?” Suara Zayyan terdengar.
“Iya bentar lagi tak pasangin jilbabnya dulu. Sabar!” Karen berteriak menjawab suaminya.
“Parfum-parfum, ben wangi.” Karen menyemprotkan parfum begitu banyak hingga Sabira dan Kinza terbatuk.
“Iki ora wangi Ning, iki koyok peri malahan ambune, medeni. Serem baunya, hih.”
Karen terkikik, ia kemudian merapikan selimut Kinza dan berlari ke pintu, membuka pengait kunci. “Udah,” ucap Karen. Zayyan yang bersandar di pintu hampir terjatuh. Sang istri seketika membantunya agar tak jatuh, kedua pasangan yang tak ernah terlihat mesra itu saling pandang. Sabira menyenggol Kinza. “Kin, Masmu,” bisik Sabira.
“Kamu nangis?” tanya Zayyan yang mendapati pipi sang istri berbekas air mata.
“Nggak, anu, itu, terharu, adikku mau nikah,” kilah Karen. Tanpa diduga, Zayyan terkekeh. “Cengeng,” ledeknya sembari mengusap pipi sang istri. Pertama kali ia mendapat perlakuan seperti itu dan Karen mematung. “Ngopo? Ganteng to bojomu?” tanya Zayyan,
Karen yang masih dalam posisi percaya tidak percaya mengangguk bodoh. Zayyan gemas dengan ekspresi istrinya, dikecupnya sekilas bibir kemerahan sang istri. Kinza dan Sabira mendadak menunduk.
“Woh, woh pelanggaran! Woooh, sana lanjut di tempat aman, woh tidak punya rasa perikejombloan!” Sabira protes, sementara Kinza hanya tersenyum sembari menutup matanya.
Suara langkah kaki terdengar mendekat. “Heh, itu dateng. Bantalnya benerin, selimutnya benerin.”
Zayyan menyambut rombongan yang datang. Kinza hanya duduk menunduk bersandar ranjangnya yang dinaikkan di bagian kepala. Sang ayah muncul dengan senyuman lebarnya, kemudian Abid dan sang Ummi, baru sosok yang membuat jantung Kinza berdetak tak menentu muncul bersama tiga pria lain.
“Assalamualaikum,” ucap Wisang pada Kinza.
“Wa alaikumussalaam warahmatullah,” jawab Kinza tanpa mendongak sedikitpun.
“Nduk, Mas Wisang sama keluarganya tadi datang ke rumah, mengungkapkan keinginannya untuk menikahimu.” Kalimat panjang sang ayah membuat tangan Kinza gemetar.
“Kamu mau kan, Nduk nikah sama Mas Wisang?” tanya ibu tirinya yang kini berdiri di samping ranjang.
“Jangan malu-maluin Abah sama Ummi, Dek,” bisik Abid sembari mengecup puncak kepala sang adik.
Kinza bukanlah anak yang bisa menolak permintaan orang tuanya, tetapi ayahnya adalah orang yang cukup demokratis, ia mencoba satu kesempatan untuk menolak lamaran Wisang dengan menggunakan Neyna dan Noah.
“Mas Wisang, bukannya Mas Wisang akan menikah dengan ibunya Neyna dan Noah?”
Wisang sebenarnya terkejut karena ia tak berpikir Kinza akan berkata seperti itu. Dewa yang berdiri di samping sang adik berusaha mm=embantu. “Dek Kinza, adik saya ini memang dekat dengan ibu anak-anak itu, tetapi lebih ke saudara. Jadi mohon jangan salah paham. Memang banyak orang sering salah paham dengan kebaikan adik saya.”
Wisang cukup terbantu dengan jawaban kakaknya. Ia pun akhirnya menimpali. “Apa kamu berencana menolakku karena berita yang beredar di kantor Dewangga Kingdom tentang affair-mu dan Abimanyu Dewangga, putra Bosmu itu benar? Apa kalian ada hubungan?”
Kinza seperti tertohok. Jelas tak mungkin Kinza menjawab iya. Seolah kini dia yang ada diujung tanduk. “Astagfirullah, Nduk apa ini maksudnya? Kamu berhubungan sama anak bosmu? Astagfirullah.”
“Mbo- mboten Abah. Mboten. I-itu salah paham. Itu gosip.” Kinza mengelak.
Wisang tersenyum. “Kalau begitu, apa salah kalau saya berniat menghalalkanmu? Dengan begitu juga, nama baikmu akan kembali. orang-orang di kantormu tidak akan memfitnahmu memiliki hubungan tak pantas dengan putra atasanmu, yang juga keponakan dari istrinya Mas Dewa, kakakku. Dek, ini Mas Dewa. Suaminya Mbak Gendhis.”
Dewa mengangguk. “Saya sudah dengar Abimanyu punya niat tak baik dengan Dek Kinza. Itulah kenapa waktu Wisang menyampaikan niatnya untuk menikahi Dek Kinza, saya sangat mendukungnya. Pak Kyai, bukankah nama baik njenengan sekeluarga tak boleh cedera?”
Kyai Din jelas terkompori, Abid pun sama. “Dek, kok kamu ndak cerita sama Mas soal itu? Astagfirullah.”
Kinza hanya bisa diam. Mau membela Abimanyu pun ia tak punya nyali karena tak punya bukti keseriusan sang pria. Sapai saat ini bahkan Abimanyu tak pernah sekalipun muncul di rumahnya, rumah orang tuanya. Hanya sebatas membombardirnya dengan chat saja yang tak ada gunanya. Apalagi ponselnya pun hilang, bagaimana Kinza bisa menunjukkan serentetan janji manis Abimanyu.
“Ya sudah, Ustaz Ammar. Kita segerakan saja. Dua saksi dari Mas Wisang ada Pak Dewa dan Pak Atma. Saya sendiri yang akan jadi wali nikahnya. Abid, Zayyan, kalian saksinya.”
Segepok uang yang ditata di sebuah kotak dengan perhiasan lengkap dikeluarkan oleh ibu Sena yang ikut di belakang bersama Ummah Rosydah. Kinza meremas jemari Sabira. “Ikhlas, Kin. Ikhlas. Gusti Allah mboten sare. Yang baik untuk kita, belum tentu terlihat manis di mata kita memang. Karena pandangan kita terbatas. Hanya tahu saat ini dan yang sudah lampau. Kita ndak tahu masa depan. Beda sama Gusti Allah, yang tahu masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Ayo, istigfar, tenangkan dirimu. Niatkan seua ini untuk ibadah,” bisik Sabira.
Di sisi lain, Karen juga menggenggam jemari Kinza.
“Saya nikahkan engkau dengan putri kandung saya, Kinza Mahdiya Putri Al Asyari binti Bahruddin Al Asyari dengan mas kawin uang seratus tiga puluh juta enam ratus ribu rupiah dan emas tiga puluh gram dibayar tunai.”
“Saya terima nikahnya Kinza Mahdiya Putri Al Asyari binti Bahruddin Al Asyari dengan mas kawin tersebut tunai.”
“Sah!” ucap Abid dan Zayyan kompak dan mantap. Namun, Kinza justru seketika terkulai lemas tak sadarkan diri.
“Astagfirullah! Kinza!” pekik Sabira dan Karen bersamaan.
“Panggil suster! Panggil cepat!”
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Duh pengsaaaaan... Gimana nich
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro