Part 14
Sajian bakmi jawa menjadi pilihan pria berjambang yang tengah duduk berdua bersama Sena di kafe bermodel Joglo dekat GOR salah satu kampus swasta ternama di kota Solo. “Bos, tadi, Bos bercanda kan, soal Mbak Kinza?”
Si lawan bicara tak segera menjawab. Ia baru saja mendapat kabar jika Rose sudah sampai di tempat tujuan. Dua hari lebih cepat ia berangkat dari jadwal, akibat insiden yang melibatkan sang model dengan Kinza.
“Aku bingung, Sen. Nggak mungkin kita pakai cara biasa untuk membungkam keluarga Kyai Din agar tak mengusut kasus tabrak lari ini. Kenapa harus Kinza yang ditabrak Rosie!”
Sena paham kegalauan sang bos. Ia mencoba mencarikan solusi tetapi tetap tidak bisa perkara kali ini cukup rumit.
“Apa pertimbangan Bos kasih kode mau nyeriusin Mbak Kinza itu berharap Bos bisa maksa Mbak Kinza buat nutup kasus dengan cara baik-baik?”
Wisang mengangguk. “Iya, apa lagi yang bisa aku buat? Kinza orang spesial. Dia bukan seperti perempuan kebanyakan yang bisa kita dekati begitu saja. lagi pula aku terlanjur kenal dengan keluarganya. Kalau aku bisa nikah sama dia, aku bisa make sure kalau dia bakal cabut tuntutan dan memastikan Rose aman. Karena, kamu tahu sendiri Rose sering panik dan akhirnya malah jadi boomerang untuk dirinya sendiri.”
Sena mengangguk-angguk. “Bagus sih, Bos. Tapi hati-hati, pernikahan bukan hal main-main. Apalagi Bos mau nikahin anak kyai.”
“Aku bakal bawa Kinza pergi dari sana. Jadi, keluarganya tidak tahu bagaimana kelakuanku. Selama aku bisa mencukupi kebutuhan Kinza, mereka pasti diam saja.”
“Bukan itu msalahnya, Bos. Emang Bos bisa ngaji? Bisa salat? Islammu loh KTP. Nggak yakin kalau Bos tahu arah kiblat sebelah mana.”
Wisang yang baru akan menyendok bakmi jawanya mendadak hilang selera. Ia menelan ludah. Benar juga Sena. Bagaimana kalau dia tiba-tiba disuruh untuk menjadi imam salat? Berkhutbah di masjid? Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah puasa. Karena ia memang tak terbiasa sarapan, dan sering kali hanya makan di malam hari. Belum lagi kebiasaannya meminum alkohol.
“Tapi bagus sih Bos, ini misi menantang. Justru kalau Bos bisa menjalankan misi ini, Bos benar-benar terbukti jantan. Ini bukan misi melawan musuh, ini misi melawan hawa nafsu. Bayarannya bukan harta dunia, tetapi surga. Bukan orang yang akan membayarnya jika misi ini berhasil, tetapi Allah langsung yang bayar. Dan satu lagi, bidadari dunia kan Bos sudah rasakan legitnya. Kapan lagi bisa merasakan bidadari surga yang ada di dunia. Hm? Yang kehormatannya sangat terjaga. Yang tak pernah perlu dempulan menutupi wajahnya. Yang lalatpun tak pernah melihat auratnya. Pasti beda rasa bibir yang selalu mengaji dengan yang tiap jam terguyur wisky.”
Wisang melempar cabai hijau yang disediakan untuk ‘ceplusan’ kepada Sena. “Otakmu kadang encer, tapi kotornya tetap saja lebih mendominasi.”
Sena terbahak. “Aku anggap ini sebagai pujian, Bos. Eh iya, kenapa Bos tidak coba menemui ayahnya, Bos. Pasti senang kalau tahu Bos mau menikah.”
“Aku masih pertimbangkan itu, lagi pula belum tentu Kinza menerima kalau aku lamar.”
“Mau taruhan berapa? Mm .. seratus juta? Aku yakin Mbak Kinza bakal nerima Bos.”
Wisang memutar bola mata malas. “Memang kalau aku yang menang aku bisa dapat apa darimu?”
“Bos, kalau aku yang menang, bos kasih aku seratus juta, tapi ebagai gantinya kan bos dapat bidadari surga. Apa nggak keren? Aku bantu Bos buat latihan salat, ngaji, dan lain sebagainya. Kalau dibanding dengan perjuanganku, rasanya seratus juta nominal kecil buat Bos. Lagi pula, ada satu hal yang belum aku kasih tahu.”
Wisang mengunyah makanannya. “Apa?”
Ekspresi Sena yang tersenyum miring jelas menggambarkan ada sesuatu yang ia rahasiakan. “Tapi seratus juta ya?” ucapnya.
“Uangmu kan sudah banyak, kenapa minta seratus juta?”
“Buat tambah ongkos naik haji bapak sama ibuku, Bos. Kemarin abangnya Mbak Kinza yang punya biro haji dan umroh tuh kasih promo. Lumayan loh bos yang ONH plus, sekarang kan susah ngantrinya lama banget. Sebelum aku mati, aku pengen liat orang tuaku berangkat naik haji dulu, Bos.”
Wisang mendadak tersentuh hatinya. “Kenapa nggak bilang.” Ia mengutak-atik ponselnya.
“Duit halalku tinggal sembilan puluh tujuh juta. Aku kirim tujuh puluh dulu ya, buat persiapan kalau-kalau anak-anak butuh sesuatu. Juga buat jaga-jaga kalau aku jadi nikah. Nanti sisanya aku transfer kalau sudah ada.”
Sena melihat notifikasi di ponselnya. Pria itu memang memiliki hati yang baik, tetapi ia salah tempat. Wisang selalu membedakan mana uang yang ia dapat dari bisnis haram dan mana yang benar-benar halal. Di rekening halalnya, ada uang milyaran di sana. Tetapi, hanya ia gunakan untuk memutar bisnis haramnya. Jika untuk memberi makan anak-anaknya, mebayar pekerja di rumahnya, dan juga Sena, ia menggunakan uang dari bisnis mebelnya.
“Makasih Bos. Nih, lihat dengan seksama. Aku nggak sengaja semalem nemu ini.”
Sebuah video memperlihatkan sekilas wajah Abimanyu dari sela-sela kursi. Tak lama posisi berganti, Sena cukup profesional untuk hal untit menguntit. “Kak, aku masih nggak setuju kalau kakak cuman mau manfaatin Mbak Kinza.”
Tawa terdengar khas dari pemuda yang begitu dikenal Wisang tersebut. “Aku cuman mau manasin Bude. Lagian, paling sekarang Kinza lagi diincer sama Wisang. Aku yakin, bude pasti nyuruh Wisang buat goda Kinza. Bodoh amat lah. Habis ini tinggal baperin Kinza, terus tinggal. Kinza nggak bakal nyadar kok kalau aku bohongin. Yang penting Sasa udah aman. Dia udah bahagia. Dan, biarlah bude tololmu sama adik iparnyaitu pada ngurus Kinza. Emang enak dikerjain.”
“Kak, aku khawatir kalauKinza sampai kenapa-kenapa. Gimana coba?”
“Not my problem.I don’t care. Mau dia dipacarin Wisang, dimainin Wisang, diapain juga bukan urusanku. Salah dia sendiri yang baperan dan terlalu polos jadi orang.”
Wisang menggebrak meja.”Son of bitch!” umpat sang pria.
Sena yang tengah menikmati timlonya terkejut, ia bahkan sampai tersedak. Beberapa orang terlihat menolehke arah mereka. Wajah Wisang memerah karena marah. “Bajingan kamu Abimanyu. Jadi kamu Cuma mempermainkan kami? Bisa-bisanya kamu jadiin Kinza umpan di sini. Aku nggak akan kalah dengan anak ingusan macam dia. Aku harus membalik keadaan. Memang siapa dia, bisa-bisanya memprmainkan wanita tidak berdosa untuk jadi tamengnya. Dasar pengecut!”
“Sen, kita temui Mas Dewa sekarang.”
“Sekarang? Pak Dewa sedang menjemput Bu Gendhis, Bos. Mereka ada di hotel yang sama dengan hotel tempat Brandon menginap. Memangnya kenapa, Bos?”
“Aku mau lamar Kinza. Aku mau nikahin dia, dan aku akan mempermalukan Abimanyu di depan semua orang.”
Sena tersenyum miring. “I got you,Bos. Sudah nyangka bakal kayak gini. Semoga dapat hidayah Bos. Kamu orang baik, nggak seharusnya terus-terusan berkecimpung di dunia hitam. Ya Allah, berikan hidayah untuk saudaraku ini, Ya Allah. Aku bersaksi akan kebaikan dan ketulusan hatinya.”
****
Pria berkumis yang usianya sepuluh tahun lebih muda dari sang istri itu mengembus napas, mendapati kondisi kamar istrinya yang penuh sampah kaleng bir.
“Mas, kenapa nggak kasih kabar dulu?”
Wanita itu terkejut mendapati suaminya yang sudah memunguti sampah di kamarnya saat ia selesai mandi. “Berapa kali aku bilang, susu lebih manis dari minuman-minuman ini.”
Gendhis melempar tatap ke arah lain. Ia dan suaminya sudah hampir dua puluh tahun menjalani pernikahan yang hambar ini. Keduanya menikah karena kepentingan bisnis semata.
“Aku masih ada acara dengan teman-teman arisanku. Kamu tunggu di sini atau mau ikut?” tawarnya.
Dewa meletakkan sampah di tempatnya kemudian mencuci tangan. “Aku di sini saja. aku mau tidur, capek.”
“Terserah kalau begitu. Salah sendiri, disuruh nyeraiin aku nggak mau. Kamu kan bisa cari istri lagi yang mau ngurus kamu.”
Dewa merebahkan tubuhnya di ranjang, ia mengembus napas. Pria empat puluh tahun itu memilih untuk diam. Ia tak mau merespon sang istri. Gendhis pun cuek, ia segera berdandan dan pergi tanpa berpamitan pada sang suami. Selama kantongnya masih tebal, Gendhis tak akan dekat-dekat dengan sang suami. Meski Dewa memperlakukannya dengan cukup baik, yah, dibanding dengan perlakuan Gendhis padanya.
Baru saja pria itu memejakan mata, ponselnya berdering. Ia melirik siapa yang menelponnya, wajah sangar itu seketika sumringah. “Dek? Aku di Solo, loh.”
“Mas di kamar nomer berapa? Aku di lobby. Ada yang mau aku bicarakan, penting.”
“Nomor 909. Sini, mumpung Mbakmu nggak ada.”
Dewa membereskan kamar sebisanya dan membuka tirai-tirai gorden yang tadi tertutup rapat. Kemudian memesan beberapa minuman dan makanan untuk menyambut sang adik. Enam menit tepat, Wisang mengetuk pintu. Sena ikut di belakangnya sebagai cecunguk setia.
“Duduk, duduk. Wah, Sena! Apa kabar?”
“Baik Pak, Baik.” Sena lumayan dekat dengan Dewa, karena beberapa kali ia membantu Dewa dalam bisnisnya.
“Kurusan kamu Dek? Sakit kamu?”
Wisang tersenyum, ia merasa sangat diperhatikan memang jika dengan kakaknya. Meski hal itu baru kembali terjadi sejak ia pulang ke Indonesia, karena selama hampir dua belas tahun mereka tinggal berjauhan, sehingga ikatan persaudaraan itu sempat renggang.
“Nggak Mas, lagi jaga body. Mas, aku mau ngomong serius sama Mas tapi tolong, jangan kasih tahu Mbak Gendhis soal ini.”
Dewa menatap tajam sang adik. “Jelaskan semuanya secara rinci,” titah Dewa.
“Aku mau nikah, Mas. Tapi, Mas tahu kan, aku masih belum seratus persen lepas dari dunia hitam. Aku mau istriku dan keluarganya aman. Jadi tolong jangan beritahu siapapun termasuk Mbak Gendhis. Rencananya aku Cuma mau bilang ke Mas sama Daddy.”
Dewa mengamati wajah adiknya. Tak terlihat sedikitpun aura main-main di sana.
“Kamu serius?”
“Iya, calonku kemarin, kecelakaan Mas. Dia jadi korban tabrak lari. Aku belum bisa kenalin dia langsung ke Mas. Dia masih di rumah sakit. Dia putri kyai Din. Pemilik pondok pesantren Baitussalaam.”
Dewa membuka matanya lebar-lebar, menunjukkan keterkejutannya. “Putri kyai?”
Wisang mengangguk, Sena pun juga. Setelah kembali dari keterkejutannya Dewa tertawa dan mengucap syukur. “Alhamdulillah. Akhirnya kamu nurut sama Daddy sama Mas buat ninggalin wanita nggak bener itu. Ya Allah, doa Daddy terkabul akhirnya. Kapan kamu mau ngelamar? Kapan mau nikah?”
“Secepatnya, Mas. Mas bisanya kapan? Mereka soalnya pemikirannya ya tahu sendiri gimana. Mas kan pernah mondok.”
Dewa terlihat sangat senang. “Sekarang saja ayo. Mbakmu mumpung ndak ada di rumah.”
“Eh, Mas, kita butuh persiapan dulu. Aku loh belum siap apa-apa.” Wisang kini yang bingung.
“Yowis kamu tanya dulu mereka sukanya apa, itu calon istrimu sukanya apa, beli apapun yang kau butuhkan. Dananya berapa bilang ke Mas nanti Mas yang bayar semuanya.”
Sena bertepuk tangan bak anak kecil. “Alhamdulillah, jodoh beneran kali ya, jadi mulus banget jalannya. Padahal awalnya kan cuman gara-gara disuruh Bu Gendh—“
Wisang menyepak kaki Sena, membuat Sena meringis. Dewa seketika menatap Sena. “Disuruh siapa? Kenapa?”
Sena menggeleng. “Eng-enggak, Pak. Saya bercanda.”
“Antasena Rakabumi, jelaskan!” Dewa menatap tajam pada pemuda di depannya. Wisang pasrah. Ia akhirnya angkat bicara.
“Hapemu, mana,” ucap Wisang.
Pria itu menyerahkan video yang merekam percakapan Abimanyu dan Aksa. “Mbak Gendhis awalnya menyuruh saya memisahkan Kinza, dengan Abimanyu, ponakan Mas. Mbak Gendhis nggak mau Abimanyu menikah, karena seluruh aset Dewangga otomatis jatuh ke tangan Abimanyu. Mbak Gendhis minta saya membunuh Kinza. Mbak Gendhis kasih uang saya, Mas. Tapi saya kembalikan semua. Saya, saya meilih untuk melindungi Kinza. Karena nyatanya dia tak bersalah. Dia hanya dimanfaatkan oleh Abimanyu, untuk mengompori Mbak Gendhis. Abimanyu tega menjadikan Kinza umpan. Dan Mbak Gendhis tega berniat melenyapkan Kinza, yang ia pikir akan bisa mebuat Abimanyu down jika Kinza mati.”
Dewa menggebrak meja, dan untuk kedua kalinya Sena terkejut sampai melompat dari kursi. “Gendhis! Lagi-lagi.”
“Makanya, Mas, aku nggak mau Mbak Gendhis merusuhi keluarga calon istriku. Aku akan lindungi Kinza. Dari Abimanyu dan dari istrimu. Maaf, Mas.”
“Kamu benar, Dek. Tindakanmu sudah benar. Kamu nggak usah khawatir soal Gendhis dan Abimanyu. Aku yang akan urus mereka. Kamu fokus saja dengan pernikahanmu.” Dewa menepuk bahu adiknya. Wisang lega, ia punya backingan kuat untuk melindungi Kinza. Gendhis tak akan berani dengan suaminya.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaa
Siapa yang udah nunggu... Triple up loooh...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro