Part 13
Mobil merah keluaran Jepang terparkir asal di rumah Wisang. Si empunya seperti orang kesetanan. Ia berlari ke dalam rumah mencari si pemilik rumah. “Darl! Darl!” teriak Rose yang masih dalam pengaruh alkohol pasca menghadiri undangan rekannya.
“whassup? I’m here, in the kitchen.”
Rose yang panik menangis, ia segera menubruk sang kekasih. “I hit someone. My car was uncontrollable and i hit her. Darl help me Darl. I runnaway, i’m afraid, Darl, help me!”
“What?”
“Darl help me! Aku nggak mau nama baikku rusak! Darl! Tolong!”
Wisang menyuruh kekasihnya untuk duduk tenang. Ia segera menelpon Sena. “Sen, cari orang jalanan, bayar dia lima puluh juta. Suruh dia mengaku kalau dia yang membawa mobil Rose. Dan kalau ada orang tanya, katakan kalau Rose sudah berangkat ke Aussie tadi pagi. Oke? Mobilnya ada di tempatku. Dan lacak siapa yang ditabrak Rose. jangan banyak tanya cepat cari curut mana saja yang mau. Katakan, dia hanya perlu mengaku melakukan kesalahan itu dan besok akan kita jamin dia untuk dibebaskan. Cepat!”
Otak licik Wisang jelas langsung bekerja, demi kekasihnya. “Darl, kalau korbanku kenal wajahku gimana?”
“I Will kill her, tenang, tenang, ada aku,” ucap Wisang sembari mengecup kening Rose.
“Telpon Cindy sekarang. Lebih baik kamu ke rumah Cindy, aku carikan kamu tiket ke Aussie hari ini, lebih baik kamu dan Nino cepat pergi sekarang juga. ini akan menbantu kita beralibi. Oke?”
Rose mengangguk, keduanya sempat saling pagut sebentar. “We have no time, Rosie.” Wisang menyela, menyudahi kegiatannya. Rose sebenarnya agak kesal. Sejak sebulan lebih Wisang tak lagi menyentuhnya seintim dulu. Ia bahkan lebih meilih tidur dengan anak-anak setiap kali di rumah Rose. Namun, Rose pikir itu karena Wisang paham jika kontrak eksklusifnya ini mebuat tubuh Rose harus tetap terjaga selama sesi pemotretan, hingga sang pria takut menyentuhnya.
Wisang mengantar Rose pergi, sementara dua bocah itu dititipkan ke asisten rumah tangga Wisang. Ia mengantar Rose ke rumah Cindy, sang MUA sekaligus manajer Rose.
“Aku tinggal ya, aku urus yang lain. Post foto tentang Aussie, apapun yang masih kamu punya waktu kita ke sana tahun lalu. Untuk dijadikan alibi. Kalau ada yang mengusikmu di kanal berita, bilang saja mobilmu ada di rumah dan kamu tidak tahu apa-apa. Akan aku bereskan korbanmu.”
Rose hanya bisa mengangguk dan mengangguk saja. ia sebenarnya memang cenderung bodoh karena sekolahpun tak lulus akibat terlanjur mengandung Nino. Ya, hasil hubungan gelapnya dengan Brandon yang kala itu baru saja menjadi kakak tirinya. Gila bukan? Brandon memang sudah menaru hati pada Rose sejak lama tetapi mreka harus dihadapkan pada kenayataan bahwa orang tua mereka saling mencintai. Alhasil, keduanya menikah dan mereka menjadi bersaudara.
Usaha Brandon untuk mendapatkan Rose tak sampai di situ, ia nekat mengencani Rose hingga keduanya memiliki Nino. Tak ada yang tahu tentang hal itu kecuali keluarga mereka. Hingga Rose yang mulai bosan dengan Brandon, yang kala itu dianggap tak bisa mencukupi kebutuhannya, bertemu dengan suaminya yang juga rekan bisnis sang ayah. Keduanya menikah, hingga lahir Neyna dan Noah. Brandon yang mulai berjaya, berusaha menggeser suami Rose. ia berhasil menyingkirkannya dengan menabrak mobil pria itu hingga terperosok ke jurang. Berharap Rose yang menjadi janda akan kembali kepelukannya.
Namun, Brandon salah. Rose malah terpikat dengan Wisang, yang begitu gagah dan tampan juga penyayang, yang mau menerima kondisinya yang beranak tiga, tanpa mempermasalahkan apapun. Brandon salah strategi. Di saat ia muncul pasca meninggalnya suami Rose, ia mengatakan jika ingin menyerahkan Neyna dan Noah pada keluarga suami Rose saja, sedang ia ingin hidup bertiga bersama Nino dan Rose, dan hal itu serta merta ditolak oleh Rose. Seegois itu Brandon. Dan kini, Rosetak tahu jika pria itu masih terobsesi dengannya, ingin memilikinya dan menyingkirkan Wisang.
****
Rumah sakit, menjadi tujuan Wisang. Ia menggunakan kaos dan jaket hitam biasa agar tak mencolok, meski tubuh gagahnya jelas menggundang perhatian kaum hawa yang berada di sekitarnya. “Bos, seua sudah selesai. Korbannya ada di HCU.”
“Parah?”
“Silakan liat sendiri. Kita bisa masuk, hanya tiga menit tapi.”
Wisang mengernyit, sehebat itukah Sena sampai bisa mendapat ijin dari petuga HCU? Ia bahkan tak tahu jika sang bawahan kini sudah naik levelnya. Wisang sudah mempersiapkan segala hal, termasuk dengan trik penghilangannya nyawa korbannya nanti. Bukan sekali dua kali dia dihadapkan pada situasi ini.
“Saya tunggu di luar, bilik ke dua dari sini. Petugasnya ada di ruang pojok sana di ICU.”
Wisang segera masuk dengan wajah tertutup masker. Ia menyelinap, sebisa mungkin menghindari titik sorot CCTV. Ia melangkah perlahan. Suara alat-alat yang begitu mengerikan terdengar. Beberapa pasien seperti sudah tak sanggup lagi bernapas. Wisang menyibak bilik kedua. Seorang wanita tertidur dengan selang di hidung. Ada kain menutupi bagian atas kepalanya. Wisang sudah hampir menyuntikkan obat yang sedari tadi ia persiapkan di balik jaketnya.
“Allah, Allah, Allah.”
Lirih, pria itu mendengar nama Tuhannya disebut. Ia menatap seksama wajah calon korbannya, seketika, tangannya malfungsi. “Kinza?”
“Astagfirullahal ‘adzim.”
Lirih dan berulang, Wisang mendapati Kinza mengucap istigfar dan menyebut nama Tuhannya. “Kinza? Kinza kamu kenapa di sini? Kinza kamu ... Dek ... bangun, Dek.”
Wisang benar-benar berubah 180 derajat. Kenapa alam seolah-olah menuntunnya untuk membunuh orang yang sama berkali-kali. Awalnya Gendhis, dan sekarang Rose. Apa salah Kinza?
Kinza benar-benar tak bersalah dalam dua kasus ini. Pertama, di kasus Abimanyu, ia hanya orang lain yang dilibatkan Abimanyu dalam perkara keluarga besarnya. Kedua, di kasus Rose, dia hanyalah korban yang ditabrak Rose. dia tidak salah. Gendhis dan Roselah yang salah, tetapi kenapa keduanya justru bertingkah seolah Kinza yang salah atas seua yang terjadi? Siapa yang gila di sini?
“Pak Wisang?” lirih Kinza.
“Kinza? Kamu sudah sadar? Dek? Dek kamu sudah sadar? Sus! Suster!” teriak Wisang memanggil perawat di sana. Ia segera menyembunyikan kembali spuit yang rencananya akan ia suntikkan ke tubuh Kinza untuk menghentikan detak jantungnya.
Beberapa perawat segera datang dan menyuruh Wisang keluar ruangan. “Mas,” lirih Kinza.
“Pak, dipanggil pasien.”
“Jilbabku,” lirih Kinza.
Pria itu mengangguk. “Nanti Mas ambilkan ya, Dek. Kamu di sini dulu.”
Anggukan Kinza beriring air mata keluar dari sudut netra yang terlihta menahan sakit itu. Wisang keluar, ia menyeret Sena.
“Kenapa lu nggak bilang kalau dia Kinza!” geram Wisang.
“A-aku nggak tega bos.” Sena terbata.
“Gimana kalau sampai tadi sudah aku eksekusi dia,” bisik Wisang penuh penekanan. Beberapa orang muncul, keluarga Kinza yang tadi tengah mengurusi administrasi penuh drama. Ya, secara administratif, Kinza adalah anak sah kyai Din dan Ummi Husna. Namun, secara kenyataannya, Ummah Rosyidah yang mengurus Kinza. Itulah kenapa harus ada drama ketika mengurus administrasi Kinza.
“Nak Wisang.”
“Abah? Abah, Dek Kinza sudah siuman.”
“Mas Wisang masuk ke dalam?” tanya Ummi Husna.
Menyadari kesalahannya Wisang mengangguk. “Abah, Ummi, mohon maaf, saya tadi panik, saya ... saya lihat tidak ada orang di luar jadi saya hanya ijin petugas. Dan, waktu saya masuk Dek Kinza siuman. Dek Kinza minta kerudung, Ummi.”
Kyai Din menginstruksikan untuk diambilkan kerudung di tas pakaian Kinza. Arafah, adik sepupu Kinza yang menyerahkan jilbab sang kakak.
“Itu ibu angkatnya Kinza, namanya Ummah Rosyidah. Yang itu tadi adiknya, namanya Arafah,” bisik Sena hampir tanpa suara sembari menarik Wisang ke pinggir agar tak menghalangi jalan.
Wisang kemudian mendekati kyai Din untuk cium tangan karena lupa belum menyapa tadi. “Abah, Ummi, Ummah,” sapa Wisang.
“Kamu kenal saya?” tanya Rosydah.
“Mm i-iya, Ummah Rosydah. Saya dengar dari Dek Kinza,” bohong Wisang.
Sena menimpali. “Bos Wisang ini sering ngaji sama Ustaz Syafarudin, dulu, Ummah.”
Wisang kini berlagak seperti kambing congek dibuat Sena. Ia hanya haha hihi dan iya iya saja, demi kebohongan yang haqiqi.
“Masyaallah, apa iya, Mas?”
“Iya, Ummah, di masjid agung. Ya Bos?”
“Ng iya, Ummah.”
“Oalah ya pantes kok sudah kenal Kinza juga. saya ndak pernah ikut keluar-keluar jadi ndak paham. Terima kasih sudah mengkhawatirkan anak saya, Kinza.”
Mendengar klaim dari Ummah Rosyidah, Ummi Husna sedikit tak nyaman. Wisang mengamati gerak-gerik dua wanita itu sekilas. “Saya dulu sempat heran, kenapa ada wanita yang begitu sempurna. Tidak hanya cantik rupanya, tetapi juga akhlak dan ilmunya. Ternyata, Kinza begitu beruntung, dibesarkan oleh dua bidadari surga. Wajar kalau dia pun tumbuh begitu luar biasa. Belum lagi, keelokan rupa dan kemuliaan nasabnya, dari Abah, tentu menambah kesempurnaannya. Masyaallah,” puji Wisang.
Sena hampir tertawa mendengar begitu lihainya sang atasan membual di depan orang-orang suci itu. Dua wanita yang tadi berseteru kini saling lirik dan tersenyum.
“Mas Wisang bisa saja, saya hanya ngajari dia baca kitab, kalau soal hapalan Qur’an, Ummi yang ajar,” ucap Ummah Rosydah.
“Saya hanya mebantu dia menghapal saja, saya tidak sehebat Ummah Rosydah dalam mengupas kitab. Alhamdulillah, Kinza dididik sangat baik oleh Ummah,” kata Ummi Husna.
Kyai Din tersenyum. Ia menatap sosok pemuda yang duduk di depannya. Ia tahu, ada sedikit aura gelap menaungi sang pemuda, tetapi ia heran mengapa hal yang ia ingin lakukan selama ini dan gagal, bisa dilakukan oleh Wisang dengan baik. Mendamaikan dua orang itu, meski dengan gombalan yang berawal dari memuji Kinza, putrinya.
“Keluarga Kinza Mahdiya.”
Seorang perawat memanggil dan Kyai Din masuk bersama Ummah Rosydah. Ummi Husna merelakan posisinya diganti oleh sang ipar.
“Mas Wisang, terima kasih ya, sudah peduli dengan Kinza.”
“Sama-sama, Ummi. Kinza anak yang baik dan seua orang sayang dengannya. Ummi, kalau boleh tahu apa keluarga akan mengusut kecelakaan ini? Syaa dengar ini tabrak lari? Apa mau saya bantu usutkan? Saya bisa menyiapkan lawyer dan lain sebagainya.”
Abid terlihat datang bersama si kembar Zayyan dan Rayyan.
“Gimana Nak?”
“Sudah ada yang menyerahkan diri, Ummi. Semua keputusan ada di Ummi dan Abah. Soalnya, anaknya juga dibawah umur. Dan itu mobil majikannya. Majikannya sedang di luar negeri katanya, dia nekat bawa mobil karena untuk gaya-gayaan.”
“Astagfirullah.”
“Astagfirullah, harus dikasih hukuman berat berarti. Tapi, Dek Kinza pasti nggak akan tega kalau dia tahu yang menabraknya anak dibawah umur. Kita seua tahu kan semalaikat apa dia.” Wisang menyahut.
“Semalaikat?” celetuk Rayyan sambil terkekeh.
Wisang menggaruk kepalanya yang tak gatal. “She’s angel for me, i don’t know how to praise her in other way. She’s like a baby angel for a hell boy like me.”
Rayyan dan Zayyan terkekeh. “Emang kamu siapa, Akhi? Berani muji-muji adik kami,hm? Mau deketin Kinza? Senggol kami dulu bertiga nih.”
Wisang sok polos. Ia berlutut di depan ketiga kakak Kinza. “Brother, let me be your sister’s special friend.”
Kyai Din yang keluar bersama Ummah Rosydah terkejut. “Apa ini?”
Tiga putranya tengah tertawa sembari menepuk bahu Wisang. “Bah, nikahin aja Bah. Dari pada banyak mudhorotnya.”
Sena melotot, ia mengode Wisang untuk tidak mengiyakan, ia belum memberi tahu soal bagaimana adat pernikahan keluarga itu yang serba mendadak.
“Jangan seperti itu, jangan memaksa orang seperti itu. Nak Wisang, saya sangat senang dengan kehadiran Nak Wisang di keluarga kai. Namun, kami punya aturan. Meski mungkin kalau soal pekerjaan diperbolehkan, tetapi untuk berhubungan secara pribadi, tidak diperkenankan. Ada batasannya, meski mungkin tidak berduaan tetapi tidak boleh terlalu dekat. Kecuali memang ada niatan dari Nak Wisang untuk menikahi Kinza. Itu beda cerita. Namanya ta’aruf. Step selanjutnya nanti khitbah dan baru menikah.dan alangkah lebih baiknya jika Nak Wisang juga mengajak keluarga Nak Wisang datang. Orang tua atau mungkin kakak, adik, yang sekiranya bisa menjadi saksi pertemuan nanti.”
Wisang menelan ludah, terlanjur basah ia, terlanjur tercebur. Sulit jika ia harus pergi sekarang tanpa memastikan jika keluarga Kinza akan memperpanjang kasus atau tidak. “Rose, kamu yang menyebabkan masalah ini, jadi tolong jangan salah kan aku kalau aku mengambil langkah ekstrim untuk memastikanmu terbebas dari tuntutan.”
“Dokumen kependudukan saya masih belum seratus persen jadi, Abah. Itu yang membuat saya ragu mengutarakan niat utama saya datang ke tempat Abah tadi.” Wisang kembali berbohong.
Kyai Din tertawa. “Asal syaratnya terpenuhi, kalian bisa menikah secara agama terlebih dulu. Tidak perlu mencemaskan hal lain. Setelah itu baru mendaftarkan secara resmi ke catatan sipil.”
“Jadi, apa boleh begitu? Dan, ayah saya sudah terlalu tua, bagaimana kalau saya mengajak kakak saya, Sena dan orang tua Sena yang menjadi saksi nanti.”
Sena melotot. “Woh kampret ini orang mo main-main nikahin anak kyai? Gila! Gila! Ini ornag habis nyimeng kali ya?”
“Silakan, silakan, kondisi Kinza juga alhamdulillah sudah membaik. Hanya masih butuh perawatan. Kalau memang sudah siap, silakan datang ke tempat kami. Pintu rumah kami terbuka lebar untuk Nak Wisang dan keluarga.”
Abid, Zayyan, dan Rayyan mengacungi jempol. “Tapi restu Abah bukan jaminan kamu langsung diterima, Brother!” ucap Rayyan.
Abid yang sedari awal memang sudah klik dengan Wisang, hanya terkekeh dan memeluk teman barunya itu.
“Aku butuh privat sama kamu Mas, sebelum menghalalkan adikmu,” ucap Wisang mengundang tawa yang lain.
“Tenang, kita ajarin nanti, tapi nggak gratis. Kamu harus ngabdi juga di pondok, bantuin kami.”
“Siap-siap! Aku sama Sena bakal ngabdi di pondok.”
Sena menunjuk wajahnya. “Lah gue dibawa-bawa,” gumamnya. Suara kikikan Arafah membuat pemuda itu menoleh. Arafah yang sadar dilirik seketika diam dan menampakkan wajah judesnya.
“Lah, perasaan barusan ngikik, kok judes amat mukanya,” sindir Sena.
“Ngapain liat-liat?” geram Arafah.
Sena menelan ludah. “Apes banget gue hari ini,” desahnya.
Wisang mengambil keputusan nekatnya. Demi menyelamatkan Rose ia mengambil pilihan ini.
“Kalau Kinza nikah sama aku, dia bakal aku suruh untuk nggak memperpanjang kasus ini. Dia pasti bakal nurut sama aku. Well, dan Gendhis nggak akan lagi ngerusuhin hidup Kinza karena Kinza punyaku, bukan Abimanyu.”
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
"Aku salah nggak gaes ambil keputusan ini?"
- Wisang-
Wisang & Rose
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro