Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 12

Gendhis mulai gusar, ia berjalan ke sana ke mari saat menerima telepon suaminya, mengabarkan jika keponakan mereka akan menikah dua minggu lagi sebelum ia berangkat ke London.

            “Sialan kamu Abimanyu! Kenapa mendadak sekali?!” umpat Gendhis sebmari membanting kaleng birnya ke lantai.

            “Apa rencananya? Dia bahkan melepaskan Rauf dan Yusuf tiba-tiba. Apa dia punya rencana lain? Shit!” geram wanita berusia hampir lima puluh tahun itu.

           Ia kebakaran jenggot. Bingung harus melakukan apa, Gendhis hanya bisa menyuruh Wisang untuk segera mengeksekusi Kinza. Namun, sedari tadi ponsel Wisang tak bisa dihubungi. Ia melihat ke aplikasi chatting. Sialnya, ada sebuah  story unggahan Abimanyu yang membuatnya semakin terbakar api.

            “Hei, bidadari, nggak sabar buat halalin kamu.Cuma maut yang bisa memisahkan kita. Hanya maut.” Begitulah unggahan Abimanyu dengan foto jemari cantik seorang wanita yang di jarinya bertahta cincin emas berhias pita bermata.

            “Argh! Abimanyu! Nggak boleh! Nggak! Abim nggak boleh nikah dalam waktu dekat! Aku harus bereskan Kinza! Aku harus bereskan Kinza! Aku bakal mewujudkan keinginanmu, Abimanyu. Memisahkan kalian dengan maut, ya kan? Ya, aku akan bunuh Kinza!” teriak Gendhis.

            Ia mengetikkan pesan di ponselnya, kembali menyuruh Wisang untuk membunuh Kinza hari ini juga. setelah menunggu beberapa saat akhirnya ia mendapat jawaban dari Wisang.

            “Mbak, lupakan semuanya. Aku nggak akan bunuh Kinza. Nggak akan. Aku nggak bisa. Aku kembaliin semua uang Mbak. Aku transfer ke rekening Mbak. Aku angkat tangan. Sudah jangan berpikir menyerang Kinza lagi. Kalau mau, bunuh saja ponakanmu sendiri. Dia sumber masalahnya, bukan Kinza dan yang lain. Jangan picik. Lagi pula Mbak sudah tua, taubatlah. Mumpung belum dijemput malaikat dan diseret ke neraka.”

            Gendhis benar-benar kesal pada Wisang. Benar saja notifikasi dari m-bankingnya terlihat. Semua uangnya dikembalikan. Gendhis semakin kebakaran jenggot. Ia membanting ponselnya ke lantai.

            “Sial! Dasar anak tak tahu diuntung! Nggak berguna!” umpat Gendhis.

            “Dasar simpenan janda!”

            Gendhis mengungkapkan kekesalahannya dnegan mengumpat. Kali ini bukan hanya Abimanyu yang ia rutuki sumpah serapah tetapi juga Wisang. Saat ia meungut kembali ponsenya yang tergeletak di karpet ia teringta sesuatu.

            “Janda? Ah! Iya, si janda itu. Bukannya Wisang masih punya masalah dengan keluarga janda itu? Hei, kakaknya kan nginep di sebelah, kan?” Ide cemerlang muncul di kepala Gendhis.

            Ia segera merapikan dirinya, sembari menunggu sang suami datang, ia mencari calon kakak ipar Wisang yang ia ketahui menginap di lantai yang sama dengannya. Ia menurunkan harga dirinya. Ia harus mengorek kelemahan Wisang untuk bisa mengancam pria itu kembali tunduk dan membantunya melenyapkan Kinza.

            “Untung aku cerdas. Aku bisa mengakali si janda tolol itu buat cari nomor kakaknya. Aku harus mendapat informasi dari Brandon soal Wisang dan Rose. Dewa dulu pernah cerita kalau Wisang masih belum direstui ayah Rose yang materialistis.” Monolog Gendhis.

            Benar saja, tanpa meunggu waktu lama, ia bisa mendapat info dimana kakak Rose menginap. Ia mengetuk pintu kamar sang pria. Terlihat wajah kemerahan kacau membukakan pintu dengan malas. “Hi, Brandon.”

            “Who are you?” tanyanya dengan wajah masih mengantuk meski ini sudah pukul satu siang.

            “I’m Gendhis. Wisanggeni’s sister in law. I wanna talk to you about my husband’s brother. He’s cheating on your sister.”

            Mata Brandon membulat sempurna. “Come in.”

            Dua manusia licik itu akhirnya bersatu. Gendhis masuk dan berpura-pura baik dan perhatian pada Rose. Brandon tentu sangat senang jika adik tiri yang juga pujaan hatinya itu diperhatikan oleh Gendhis.

            “Sebagai seorang wanita, saya tidak tega, kalau Rose diperlakukan seperti ini. Dia, Wisang, mengencani wanita murahan. Namanya Kinza. Wanita ini juga mengencani keponakanku, Abimanyu, CEO Dewangga Kingdom.”

            Gendhis menyodorkan foto Kinza di ponsenya pada Wisang. “Tapi ini masih belum pasti, ya, meski kabar burung tapi saya tidak tega kalau hal ini benar terjadi.”

            “Shit!” umpat Brandon.

            “I will kill him kalau dia benar-benar melakukannya,” lanjut Brandon penuh emosi.

            “Wait, jangan! Dia adik suamiku. Jangan berlebihan. Pisahkan saja mereka. Lagi pula, gadis murahan ini sumbernya. Dia juga mengacau keponakanku. Dia menyasar orang-orang kaya. Well, adikku kan juga kaya.”

            Brandon berdecih. “Rich? Your brother? Huh. Dia saja tidak sanggup meberikan apa yang diminta daddy kami sebagai uang ganti membesarkan Rose selama ini. Dia hanya menyicilnya. Dia juga memaksa Rose untuk berhenti menjadi model dengan alasan tak sesuai adat timur. Padahal, dia pasti tidak bisa mencukupi gaya hidup Rose. apa salahnya memang model lingerie? Justru bagus kan, seluruh dunia tahu dia mempunyai angels’s body.”

            Gendhis kini memegang kartu As, Wisang. Ia juga membeberkan hal tentang Kinza. Gendhis tak tahu jika orang di depannya ini jelmaan binatang. Ia tak segan untuk menguliti orang yang mengusiknya dan juga Rose. andai Wisang tak lebih kaya dan kuat darinya, ia pasti sudah menendang Wisang jauh-jauh. Namun, sayangnya, ia kalah set dengan Wisang, itulah kenapa dia hanya bisa merobohkan Wisang dengan mengtakan omong kosong dan fitnah ke sana ke mari. Itulah Brandon.

            “Berapa nomormu, beritahu aku siapa nama wanita itu, saya yang akan membereskannya.” Brandon mengucap angin surga. Gendhis jelas bersemangat.

            “Well, Gendhis Dewangga, kamu memang gadis cerdas. Sekali lepar, dua burung kena terbidik. Hmm ... tinggal duduk manis dan semuanya akan selesai dengan sangat baik,” batin Gendhis.

***

           

            Sore menjelang, bakda ashar, tak ada kegiatan hari ini. Wisang dan dua anak kecilnya sudah pulang bakda dzuhur tadi. Kini, Kinza dan Sabira tengah di dapur membuat kroket dan pudding untuk suguhan nanti malam. Ummi Husna ikut ke dapur. Dua gadis itu tengah seru mengobrol. Melihat kedatangan Ummi Husna keduanya terdiam.

            “Lagi ngobrol apa?”

            “Mboten Ummi, ini loh, katanya adonannya lebih mantap kalau ditambah krimer. Tapi krimernya tinggal sedikit.” Sabira menjawab.

            Ummi Husna duduk di samping putri tirinya. “Ya sana, beli lagi. Eh, Nduk, tadi hadiah dari Mas Wisang, tak taruh kamarmu.”

            “Hadiah, Ummi?”

            Ummi Husna mengangguk. Meski bukan putri kandungnya dan sepat tak suka dengan kehadiran Kinza, kini, hati Ummi Husna melunak. Ia seolah melihat replika dirinya di dari sosok Kinza. Tak hanya suaranya, gerak-geriknya, bahkan wajah mereka pun mirip.

            “Mas Wisang baik ya? Kamu sudah dekat ya sama dia?”

            “Mm Pak Wisang cuman klien bisnis, Ummi. Ya, ndak dekat. Tapi kalau anak-anaknya ya seperti yang Ummi lihat, mereka gampang akrab. Kinza juga baru beberapa kali  ketemu. Kalau pas kami rapat di luar, beliau selalu mengajak mereka, agar Kinza nyaman. Jadi tidak berkhalwat.”

            “Masyaallah, dia jaga kamu loh, Nduk. Akhlaknya juga bagus. Meski kalau dilihat kayaknya serem. Soalnya terlalu gagah dan matanya tajam, jadi bawaannya angker. Tapi, nyatanya beliau sangat lembut.”

            “Ummi kok bisa nyimpulin gitu?” tanya Kinza.

            “Loh, laki-laki itu kalau sayang sama anak-anak, ada nilai plusnya. anak-anak kan jujur, rasa nyaman mereka bercengkrama dengan yang tulus dan tidak itu bisa dirasa sama mereka. Nah, meski keliatannya sangar tapi Mas Wisang bisa ngurus anak-anak itu dari kecil malah. Terus, dia juga datang ke Abah sesuai adab. Dia sudah sampaikan tadi alasannya datang dan ya semuanya. Ternyata dia juga pernah nolongin Abah sama Masmu pas ditabrak orang di lampu merah kapan hari itu. Loh, kurang apa lagi, dia pasti orang baik.”

            Sabira terkikik. “Ummi, Ummi kayak mau jodohin Ning Kinza sama Papanya Neyna.”

            Kinza menyentil hidung Sabira. “Ngawur kamu!” tukasnya.

            “Ummi sih setuju kalau memang Kinza mau,” sahut Ummi Husna.

            “Ih, Ummi, kok gitu. Kinza kan ... masih belum kepikiran,” cicit Kinza.

            Ummi Husna mengelus kepala sang putri. “Nduk, kamu sudah dewasa. Sudah waktunya kamu berpikir untuk menikah. Dua puluh dua itu sudah masuk ideal untuk menikah.”

            “Tapi Ummi ... Kinza maunya sama yang lain,” jujur Kinza malu-malu.

            “Loh, kamu sudah ada calon?” tanya Ummi Husna. “Suruh datang ke sini kalau sudah ada. Dari pada nanti malah ndak bagus, lebih baik kalau memang sudah ada cepat dihalalkan.”

            Sabira terkikik. “Anaknya bosnya Kinza, Mi. Namanya Abimanyu. Katanya sih mau ngelamar ke sini tapi belum tahu kapan. Tapi Ummi jangan bilang ke Abah dulu.”

            Kinza melotot pada sahabatnya, Sabira cepu. Ummi Husna terkekeh. “Wah, namanya kayak wayang lagi. Abimanyu anaknya Arjuna juga loh. Wisanggeni juga. Abimanyu itu anaknya Arjuna dengan Subadra atau Sembadra, kalau Wisanggeni itu anaknya Arjuna dengan Bethari Dresanala, bidadari, tapi agak serem kalau kisahnya Wisanggeni. Dia dilahirkan paksa, dan dibuang ke kawah Candradimuka. Itulah kenapa diberi nama Wisanggeni, yang artinya racun api. Dia kuat. Sangat kuat dan sakti. Bedanya dengan Abimanyu, kalau Abimanyu tumbuh dalam keluarga bahagia, Wisanggeni, kelahirannya tidak diinginkan. Hanya akibat anak Durga yang cemburu karena ia ditolak oleh ibu Wisanggeni yang lebih memilih Arjuna.”

            “Ummi, kok kasihan ya Wisanggeni. Apa Pak Wisang begitu juga ya? Anak yang tidak diharapkan.”

            Celotehan Sabira seketika membuat hati Kinza berdenyut nyeri. ‘Anak yang tak diharapkan’ pernah tersemat menjadi julukannya ketika masih sekolah dulu.

            “Ituloh Kinza anak kyai yang tak diharapkan. Makanya dia nggak sekolah di pesantren bapaknya. Dia sekolah di sekolah biasa.”

            “Iya Kinza itu anak perek yang goda pak kyai. Anak nggak diharapkan.”

            Jantung Kinza berdetak kencang, bayangan akan masa lalu yang menyekapnya mebuatnya tak tenang. “Um ... ummi, Kinza ke mini market dulu ya, sebentar mau beli krimernya. Bira, kau jagain itu ya adonan kroketnya dibulet-buletin semua, ya.”

            Tanpa menunggu persetujuan Kinza segera pergi setengah berlari. Ia keluar menuju ke jalanan arah mini market terdekat.

            “Ya Allah, kenapa rasanya masih sakit setiap kali mendengar orang mengatakan kalimat itu?” batin Kinza.

            Beberapa santriwati yang berpapasan dengannya menyapa Kinza. “Ning, tindak pundi?”

            “Mau beli krimer, di depan situ.” Ketika menjawab, Kinza melihat sebuah mobil merah yang bergerak tak beraturan dan tiba-tiba mengarah ke penyapanya. Kinza mendorong dua santriwati itu dan benar perkiraannya mobil itu keluar jalur dan menyambarnya.

            “Ning! Ning Kinza! Tolong!” teriak salah satu santriwati yang selamat. Satu santriwati lagi juga ikut menjadi korban karena reflek menarik Kinza, tetapi terlambat. Si pemilik mobil segera melarikan diri.

            “Kejar mobilnya!” teriak salah satu sekuriti pondok yang kebetulan baru ditugaskan membelikan sekarton minuman oleh Abid. Kinza tergeletak dengan darah mengucur dari hidung dan beberapa anggota tubuh lain karena saat tertabrak, ia terpental ke taman pagar pondok yang terdapat hiasan dari kaca dan bebatuan yang disusun menjadi nama ponpes milik sang ayah. Gadis itu tak sadarkan diri.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Tamatin yoook

😂😂😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro