Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 11

Kehangatan keluarga Pradipta terlihat. Abimanyu baru saja tiba bersama si bungsu Aksa. Sementara orang tuanya sudah lebih dulu datang bersama dengan si nomor dua, Haikal dan istrinya, Eka.  

            “Mas Abim, beneran mau nikah?” Pertanyaan Eka membuat si tampan itu menyunggingkan senyum.

            “Gosip cepet banget ya nyebar?” Abimanyu menerima sodoran segelas es buah buatan sang ipar.

            “Ya kan berita baik nggak apa-apa disebar. Pada doain juga kan. Lagian, kalau sama Kinza sih, aku yes, Bunda sama Ayah juga,” tukas Eka sembari terkekeh.

            “Mm ... seserver ya sama kamu?”

            Wanita yang tengah mengandung lima bulan itu terkikik, ia duduk di samping sang suami. “Kinza nasabnya jelas, Mas. Cantik, nggak diragukan lagi ilmunya, akhlaknya. Apalagi yang perlu disanksikan?”

            “You’re right. She’s perfect,” sahut Abimanyu sembari mengunyah potongan buah semangka.

            “Kapan mau kamu lamar dia?” tanya Pradipta yang muncul dari ruang tamu.

            Abimanyu menoleh kebelakang, mengikuti pergerakan sang ayah yang berakhir duduk di sampingnya. “Yah, aku masih punya tanggung jawab sekolah.”

            “Kamu sekolah kan karena patah hati, dulu. Ya kan? Ayah nggak masalah kalau kamu mau nikah sambil sekolah. Kalau nggak kamu teruskan pun ayah nggak masalah. Yang penting kamu nikah. Udah itu aja. Cukup gelar mastermu, nggak perlu kamu jadi doktor, jadi professor, jadi imam keluarga kecilmu saja, cukup. Kariermu juga alhamdulillah sudah bagus kan? Kamu bisa belajar dari adikmu, Haikal. Lihat dia, keren, kerja keras menghidupi istrinya dan cucu ayah. Padahal dia anak manja kan? Tapi, sekarang dia lebih keren dari kamu, Kak.”

            Abimanyu meneguk habis minumannya, sementara Haikal cengar-cengir dipuji sang ayah, sembari menyuapi sang istri es buah. “Mumpung ada manusia spek bidadari surga, Kak. Jangan dilepasin. Yang cantik banyak, tapi yang cantik dan saleha, minim kuantitasnya. Kayak aku dong, gercep.” Eka mencubit hidung suaminya.

            “Kalau kamu nikah, Ayah bener-bener mau pensiun. Ayah lepas semuanya, ke kalian bertiga. Ayah sama Bunda mau ngurus cucu-cucu aja. Nggak mau mikir kerjaan lagi. Nikmatin gaji pensiun aja, seadanya, yang penting bahagia sama anak cucu.”

            Ada tamu lain datang. Suami Gendhis, kakak dari Wisang, Dewanata. Semua saling sapa, Eka diminta Haikal menyingkir, wanita itu menurut dan segera masuk ke dalam kamar. Pria berkumis lebat berusia empat puluh tahunan tersebut menyapa semua yang ada di sana. Kesan sangar terlihat meski ia sudah berusaha ramah.

            “Bim, katanya kamu mau nikah?” tanya Dewa pada Abimanyu.

            Abimanyu mengangguk cepat. “Iya, Pakde, dengan Sasa, eh Kinza sekertarisnya ayah.”

            “Kapan?”

            “Dua minggu lagi lamarannya, sebelum Abim balik ke London. Tapi jangan bilang-bilang dulu, ya Pakde. Soalnya dia bukan gadis biasa, keluarganya sat set sat set, kan anak kyai, jadi asal lamar, nikah, udah selesai. Beda sama cewek-cewek kebanyakan yang harus penjajakan dulu. Spek surga sih,” cerocos Abimanyu. Entah sejak kapan, dia bisa secerewet dan penuh dengan omong kosong, mulutnya. Padahal, adiknya Haikal, yang biasanya cerewet, kini lebih anteng. Terlihat lebih berwibawa dan sangat dewasa dalam menyikapi banyak hal, pasca menikah.

            Aksa dan Haikal saling tatap sekilas. Mereka mencium hal tak beres dari gelagat sang kakak. Berbeda dengan Pradipta yang tertawa mendengar ucapan sang putra, seolah mebenarkan apa yang tengah diucap Abimanyu.

            “Secepat itu?” tanya Dewa.

            “Iya, Pakde. Bude Gendhis masih di Solo, ini?”

            “Iya, baru mau Pakde jemput, ini mampir ke sini nengok Eyang dulu, setelah itu langsung ke Solo. Sekalian ke tempat Wisang. Sudah lama nggak ketemu adikku.”

            Abimanyu mengangguk-angguk, ia mengobrol ngalor ngidul, sengaja menggiring pemikiran Dewa jika dirinya memang sudah siap menikah dengan Kinza. Hal ini akan membantunya memancing Gendhis. Dewa sebenarnya sangat baik, hanya saja wujudnya sedikit menyeramkan. Ia juga tak ambil pusing soal urusan istrinya yang masih berusaha mendapatkan porsi warisan besar dari sang ayah.

            “Nggak sabar denger Bude Gendhis ngamuk-ngamuk kalau denger aku minggu depan lamaran. Hmm ... pasti Wisang disuruh nempel Kinza terus. Coba cek apa ya? Kinza nggak mungkin bohong kan? Dia pasti cerita apa adanya.”

            Abimanyu tersenyum miring. Dipikirannya hanyalah ia dapat menyembunyikan Tasha dengan rapat. Rauf dan Tasha sudah pindah ke Semarang perhari ini. Ia sudah lega. Setidaknya, selama ia kembali ke London nanti, Tasha akan aman. Ia dianggap tak ada hubungan lagi dengan Abimanyu. Meski orang-orang tak tahu jika setiap pagi ia menggunakan, si kecil Tara untuk menjadi alasan menghubungi Tasha. Rauf dan Tasha tak curiga, mereka pikir Abimanyu sudah mengikhlaskan Tasha kembali pada Rauf. Namun, nyatanya mereka salah. Abimanyu sudah buta karena cintanya pada Tasha.

           

***

            Pondok pesantren Baitussalaam terlihat cukup lengah pagi itu karena para santri tengah ada di kelas masing-masing. Wisang, dengan outfit yang baru ia beli kemarin, datang bersama Sena dan dua bocah yang sudah berdandan serupa. “Kita kayak mau halal bi halal, Boss,” kikik Sena.

            Bagaimana tidak, sarung dan baju koko mereka kenakan. Neyna menggunakan gamis cantik senada dengan jilbabnya. Si kecil Noah pun memakai peci putih dengan baju koko yang senada dengan gamis sang kakak. “Bos, Bos udah khitan belum?” tanya Sena tiba-tiba.

            Wisang mendelik. “Kamu tahu apa yang ada di saku celana di balik sarungku?”

            Sena meringis, ia paham jika sang Bos sedang kesal jika sudah membawa-bawa senjata seperti itu. “Kan Cuma nanya Bos, siapa tahu belum, bisa minta dikhitan sekalian. Itu ada program khitan massal.”

            Satu tempelengan di kepala mendarat tepat sasaran. Sena mengaduh dibuatnya. Wisang hanya menggunakan dua puluh persen kekuatannya, hanya sebagai tanda bercanda. Jika ia melakukannya dengan seratus persen tenaga, jelas Sena bisa mati detik itu juga.

            “Assalamualaikum,” sapa sosok yang muncul dari halaman samping rumah kyai Din.

            Tak langsung menjawab, Wisang mengamati sosok bergamis hitam yang tengah tersenyum dan menyapa. Sinar matahari memancarkan rona kemerahan di kulit putih sang dara. Kinza,  yang muncul dari arah barat, tersorot langsung matahari yang baru mulai meninggi. benar-benar silau hingga mata Wisang seperti tak kuasa melihat makhluk ciptaan Tuhan di depannya.

            “Wa alaikum salaam.” Lirih, Wisang menjawab.

            “Auntie! Auntie! Aku mau belajar di sini sama Auntie.” Neyna dan Noah segera berlari ke arah Kinza.

            Kinza memeluk mereka, ia berjongkok dan menciumi keduanya satu persatu. “Duh, jadi pengen dicium juga. hmm, kenapa aku lahirnya kecepetan ya,” celetuk Sena. Lagi, ia mendapat pukulan dari Wisang. “Watch your mouth!” desis sang atasan.

            “Kinza? Ada tamu?”

            Sosok wanita bergamis lebar keluar dari pintu yang sama yang tadi dilalui Kinza.

            “Oh, Ummi. Ini, ini temennya Mas Abid, yang tadi Kinza ceritakan. Beliau ini juga masih saudara sama bosnya Kinza, Ummi.”

            “Ayo ajak masuk, monggo-monggo, silakan masuk. Ridho! Ridho! Panggilkan Gus Abid,” titah Ummi Husna.

            Santri ndalem yang disuruh segera berlari ke arah komplek pesantren putra yang berada di sebelah kanan rumah sang kyai. Sementara para tamu dipersilakan masuk. Ummi Husna menemuinya, sementara Kinza menyiapkan minuman.

            “Maaf, Abid tadi sudah ke pondok, Abah baru siram, sebentar lagi siap. Silakan duduk dulu,” ucap Ummi Husna.

            “Nggih, Ummi,” jawab Wisang. Sena melongo melihat atasannya berbicara bahasa jawa. Pria itu menyodorkan beberapa barang yang ia bawa. Sebuah parcel buah, parcel kue kering, dan beberapa tas kertas.

            “Ummi, ini mohon diterima, maaf saya ndak punya apa-apa yang bisa dibawa,” basa basi Wisang.

            “Masyaaallah, la ini malah repot-repot. Ada macam-macam begini. Terima kasih banyak, Mas. Mas sinten?”

            “Kulo Wisanggeni, Ummi. Niki rencang kulo, Sena. Lare-lare niki ponakan kulo, Neyna kalih Noah. Rencananya, bade nderek ngaji wonten mriki.”

            “Oalah, ngoten. Alhamdulillah, kalau mau ngaji di sini. Jadi ini Neyna? Yang ini siapa?”

            “Noah, Eyang,” jawab Noah dengan suara khas anak-anak.

            “Eyang, Auntie Kinza mana?” tanya Neyna sembari duduk di samping Ummi Husna tanpa takut.

            “Oh. Kinza di belakang, mau nyusul? Lewat sini, pintu ini lurus ke dapur sana.”

            “Papa, boleh nggak nyusul Auntie?”

            “Tunggu di sini aja, just wait here, she will come.”

            Neyna mengangguk nurut.

            “Loh, panggilnya Papa ya?” tanya Ummi Husna.

            “Iya, Daddyku sudah meninggal when i was three, Ustazah said that i’m yatim. Anak yatim? And i call Uncle Wisang Papa, ‘cause sejak Daddy meninggal Uncle yang taking care of us.”

            “Masyaaallah, saleha, soleh, jadi benar sudah yatim ya, Mas?” tanya Ummi Husna.

            “Benar Bu, saya yang merawat mereka. Ibunya sibuk kerja. Jadi saya sama Sena yang urus mereka. Mereka baru pindah setahun terkahir ini bahasanya masih campur-campur.” Wisang mencoba menjelaskan.

            “Siapa yang yatim?” tanya kyai Din yang muncul dan dibelakangnya ada Abid yang segera menyambut dua tamunya.

            “Ini, ponakannya Mas Wisang, yatim ternyata, makanya kok manggil Omnya Papa.”

            “Nggih, waktu itu Neyna baru dua setengah tahun, adiknya baru enam bulan. Ayahnya kecelakaan.”

            Sesi ramah tamah keluarga semakin hangat saat Kinza muncul dengan pisang goreng yang masih mengepulkan asap dan teh hangat untuk beberapa orang di sana. Neyna dan Noah semangat sekali menyambut Kinza.

            “Auntie, Auntie, gendong,” rengek Noah.

            Kinza mengulurkan tangannya.

            “Noah, jangan repotin Auntie lagi. Kamu ini manja kalau ada Auntie,” ucap Wisang. Sengaja ia memancing agar keluarga Kinza tahu jika anak-anaknya sudah dekat dengan sosok Kinza.

           “Nggak apa-apa, Pak. Ya, Noah ya? Main yuk, Neyna juga, kita main yuk. Katanya ada PR ya? Kita cari Miss Sabira yuk? Ustazahmu kan di sekolah?”

            “Iya, Iya, Neyna bawa oleh-oleh buat Miss Bira. Om Sena, bukain mobil dulu.”   

            Sena segera menuruti putri atasannya itu dan pamit keluar bersama Neyna. Sementara Kinza ingat, ia juga harus mengembalikan hadiah dari Wisang kemarin. Ia menggendong Noah sembari mengambil barang yang kemarin diantarkan Sena ke rumahnya. Kinza memberikannya pada Sena yang posisinya masih di luar rumah. “Mas, ini saya kembalikan. Saya sudah bilang sama Pak Wisang kalau saya nggak bisa menerima ini.”

            “Yang bener, Mbak? Tapi—“

            “Auntie, ayo kita cari Miss Bira.”

            Neyna membuat obrolan mereka berhenti, gadis cilik itu menggandeng Kinza pergi. Sementara Sena akhirnya membawa tas dari Kinza masuk ke dalam. Ia melaporkan pada bosnya yang tengah berbincang dengan keluarga Kinza.

            “Bos, ini, Mbak Kinza nolak,” bisik Sena.

            “Oh, biar aja,” jawab Wisang santai.

            “Ummi, apa saya boleh titip ini buat Dek Kinza? Saya salah kemarin langsung mengirimkan ke rumah Dek Kinza, lewat Sena. Dia menolak, tapi saya mohon, apa boleh saya titip ini ke Ummi untuk disampaikan pada Dek Kinza? Sebagai tanda terima kasih saya karena sudah membantu Neyna dan Noah beberapa kali.”

            Ummi Husna tersenyum. “Gimana, Bah? Boleh?” tanya wanita itu pada suaminya.

            Kyai Din mengangguk. “Ini kok sembarang-barang dibawa. Dalam acara apa sebenarnya ini? Nak Wisang bener cuman mau main atau mau apa?” tanya sang Kyai sambil terkekeh.

            Wisang tersenyum, ia membenahi letak duduknya. “Kedatangan saya ke mari, selain untuk menitipkan dua keponakan saya tadi juga untuk berkenalan lebih dekat dengan keluarga Dek Kinza. Saya takut ke depannya kami akan lebih sering bertemu, kami akan lebih sering bekerja sama. Misal harus ada hal yang dibahas bersama-sama, berdua mungkin, saya ingin semuanya berjalan sesuai dengan adabnya, Pak Kyai. Kalau saya sudah kenal dengan keluarga bapak, saya kan bisa ke sini tanpa canggung. Dek Kinza bisa ditemani Ummi atau Mas Abid, selama kami membahas pekerjaan bersama. Saya hanya menjaga apa yang sudah menjadi kebiasaan Dek Kinza. Saya bukan orang baik-baik, Nuwun sewu, saya bukan dari kalangan orang mulia seperti keluarga Bapak, tapi saya sangat menghormati Dek Kinza, saya juga menghormati Bapak dan keluarga, jadi ini sebagai salah satu wujud penghormatan saya pada keluarga bapak.”

            Abid, Ummi Husna, dan Kyai Din saling pandang, ketiganya kemudian tersenyum. “Alhamdulillah, kalau Nak Wisang berpikiran seperti itu, terima kasih sudah menjaga putri kami. Saya jujur saja juga khawatir. Kinza kerja di luar sana tanpa pengawasan. Saya sering nangis tiap malam, meminta agar dia selalu diberikan rlindungan. Bukan hanya dari ancaman marabahaya berbentuk kekerasan fisik ya, tetapi juga ancaman godaan kemaksiatan.”

            Kyai Din bercerita panjang lebar tentang kegundahannya. “Dia itu, anak perempuan saya satu-satunya. Saya ingin dia terjaga. Alhamdulillah, ternyata doa saya dikabulkan. Kinza berada di lingkungan baik, di tempat baik. Bahkan berteman dengan orang baik seperti Nak Wisang. Terima kasih, Nak.” Mata pria itu berkaca-kaca.

            Wisang tersenyum sembari menelan ludah. “Damn! Gila! Gimana bisa Pak Kyai terharu sama tindakanku? Pak kyai menganggap aku orang baik? Puluhan orang mati di tanganku. Ratusan orang terluka di tanganku. Bahkan, aku mendekati putrinya dengan tujuan jahat. Aku bahkan masih memiliki satu opsi mengerikan untuk Kinza, jika nanti rencanaku ini gagal. Aku harus membunuhnya. Tapi ... tatapan keluarga itu,kepercayaannya padaku, penyambutannya atas diriku? Kenapa mereka memandangku seolah aku ini suci? Damn!” batin Wisang.

            Ummi Husna pun tak henti-henti memuji kebaikan Wisang membawa banyak buah tangan, bahkan mendoakannya berkali-kali agar semua menjadi amal sang pria. Wisang benar-benar tak menyangka. Tak lebih dari dua juta rupiah ia habiskan untuk buah tangan pagi itu, tapi mereka menerimanya dengan sangat baik. Sedang, orang tua kekasihnya? Ya, ayah Rose, hanya akan meludahinya, karena menganggap Wisang masih terlalu miskin untuk menjadi menantunya, padahal apa yang sudah Wisang berikan? Banyak. Bahkan mansion yang kini ditinggali sang calon mertua, separuhnya adalah uang yang Wisang berikan. Namun, tak sedikitpun ada pujian, bahkan ucapan terima kasih, tak pernah ia dapat.

            “Tuhan, apa Engkau sedang bercanda denganku?” batin sang pria.



Wisang said,"Assalamualaikum semua, masih mau baca nggak nih? Lanjut nggak nih? Apa udahan aja? Eaa... Gue nggak kayak Abimanyu yang baperan rese."

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro