Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 10



Rumah petak berukuran 36 yang disewa Kinza sejak tiga bulan lalu terlihat sepi. Si empunya, tengah berada di masjid terdekat memimpin jamaah pengajian ibu-ibu bakda maghrib, seperti biasanya.

Meski masih muda, ia didapuk menjadi pemimpin majelisan komplek, karena kemampuannya yang mumpuni. Awalnya, Ummi Husna yang sering diundang ke sana, dan sekarang Ummi Husna melimpahkan pada putri tirinya, Kinza.

"Mbak Kinza, apa ndak takut tinggal di rumah sendiri?"

Kinza tersenyum mendengar pertanyaan salah satu tetangga yang ikut pulang majelisan bersamanya.

"Mboten, Bu. Kan, rumah kita dempet-dempetan. Misal ada apa-apa, tinggal keluar teriak, pasti pada denger kan?" ucap Kinza santai.

Beberapa ibu-ibu yang tinggal di deret yang sama dengan Kinza membenarkan. Ada sebuah mobil terparkir di depan rumah sang gadis. Kinza sepertinya mulai hafal mobil siapa itu.

"Ning, ada titipan dari Abah."

Sena, pemuda yang keluar dari mobil setelah tahu orang yang ia tunggu datang, mengenakan outfit ala santri. Baju koko, peci, sarung, disandangnya.

"Oh, santrinya Pak Yai to, kirain ada cowok ngapelin Mbak Kinza," celetuk salah satu tetangga Kinza.

Pemuda bersarung yang pandai bersilat lidah itu jelas melancarkan aksinya. "Wah, Bu. Siapa yang berani ngapelin Ning Kinza. Bisa dilaknat dunia akhirat."

"Lah yo to, Mas. Nggo, mampir Mas, pinarak ke rumah."

Kinza sebenarnya agak curiga tetapi ia tak mungkin sengaja membeberkan siapa Sena sebenarnya di depan tetangganya. Pemuda itu menyerahkan sebuah tas kertas dan plastik.

"Mau diterima begini atau saya taruh di meja teras, Ning?" tanya Sena.

Kinza berpikir. "Monggo, masuk, tapi maaf, di teras saja ya Mas Sena. Soalnyaㅡ"

"Siap! Siap! Paham saya." Sena segera mengangguk. Pemuda yang sangat ramah itu mengekor Kinza. Setelah membuka gerbang, ia mempersilakan sang tamu duduk.

"Ini dari Abah. Abahnya Neyna." Sena setengah berbisik di kalimat kedua.

"Dalam rangka?"

Sena melirik ke kanan kiri, para tetangga Kinza yang berada di rumah samping kanan masih mengobrol di luar dengan suami dan anak-anaknya.

"Tidak bisa dijelaskan, silakan telpon saja, Mbak," bisik Sena sembari mengode ada orang yang kemungkinan mendengar.

Kinza mengangguk.

"Saya pamit ya, Ning. Assalamualaikum." Sena sengaja mengeraskan suaranya, agar tetangga Kinza mendengar.

Benar saja, sejatinya tetangga sebelah Kinza sedikit kepo. Saat Sena keluar, wajah si tetangga seperti tersenyum aneh. Apakah dia lega karena kecurigaannya pada Sena, tidak terbukti atau mungkin kecewa karena tak jadi punya bahan gosip.

"Pak, Bu, saya pamit dulu. Titip Ning Kinzanya, nggih," ucap Sena pada tetangga sebelah Kinza.

"Nggih, monggo-monggo, Mas."

Untuk ukuran santri, akting Sena terlalu lenjeh. Mobil yang ia gunakan pun terlalu mewah. Orang tua Kinza tak punya jenis mobil seperti itu. Mungkin, itulah yang membuat tetangga Kinza curiga. Apalagi tadi siang, ia sempat diantar oleh Abimanyu. Meski sang pria tidak turun karena terburu- buru Jum'atan, tetapi cukup menyita perhatian tetangga Kinza.

Kinza segera masuk ke dalam rumahnya, membawa barang yang diantar Sena. Ia kemudian mencari ponsel yang tadi ia charge di dalam kamar.

Beberapa notifikasi pesan terlihat di sana.

Mr. Wisanggeni

[Assalamualaikum, Putri Malu.
Apa tadi Abimanyu marah?]

Kinza membalasnya. 'Iya, Pak. Beliau salah paham. Mohon maaf, tadi Noah malah jadi kena imbas. Saya juga tidak profesional, pergi dari tempat meeting tanpa pamit. Mohon maaf sekali lagi. Apa Bu Gendhis kecewa atau marah, Pak? Sejujurnya saya takut beliau semakin tidak senang dengan saya'.

Kinza kembali mengetikkan pesannya. 'Pak, ini kenapa Pak Sena mengirimkan barang, katanya dari Bapak. Untuk apa Pak, ini?'

Gadis itu meletakkan ponselnya di atas kasur sebelum melepas mukena dan melipat rapi kembali. Wudhunya masih terjaga, tak masalah jika dirinya segera tidur tanpa harus berwudhu lagi.

Sebuah pesan masuk saat Kinza naik ke ranjang.

Mr. Wisanggeni

[Mbak Gendhis memang seperti itu orangnya. Kinza, saya sudah kenal Mbak Gendhis belasan tahun. Tolong, kamu sebaiknya tidak mengonfrontasinya. Turuti saja keinginannya. Jangan sampai kamu terbakar dalam permainan api Abimanyu dan keluarganya. Menyingkirlah, Kinza]

Gadis yang baru saja menyelonjorkan kaki itu kembali dibuat berpikir oleh kepelikan hubungan Abimanyu dan Gendhis.

[Saya tadi membeli mukena for Neyna. Dan saya ingat kamu. Hope you like it. Neyna ingin belajar salat. Dia mau bertemu Tuhan. Apa kamu bisa mengajari Neyna?]

Satu pesan yang muncul lagi, mengalihkan perhatian Kinza. Ia bingung harus mereply apa.

Kinza Mahdiya

[Pak, bagaimana saya bisa menolak
Mas Abimanyu kalau beliau sudah serius mengutarakan niatnya meminang saya?
Alasan menolak pinangan, hanya karena
Menuruyi Bu Gendhis yang bukan
Siapa-siapa, jelas tidak dapat diterima.
Mas Abimanyu sangat baik
Keluarganya pun juga begitu
Mohon maaf, saya tidak bisa mengikuti
Saran dari Pak Wisang]

[Untuk giftnya, saya berterima kasih, Pak
Tapi sepertinya saya juga tidak bisa
Menerima pemberian bapak
Besok akan saya kembalikan
Tapi, untuk mengajari Neyna
Saya bisa, Pak
Saya siap, dan mau
Besok pagi, saya pulang
ke rumah orang tua saya
Bapak bisa antar Neyna ke sana
Alamatnya, sepertinya bapak sudah tau,kan?
Ponpes Baitussalaam]

Tidak ada balasan dari Wisang. Ia hanya membacanya. Kinza pun memutuskan untuk tidur, meski baru pukul delapan malam. Ia lebih baik tidur awal jika tak ada pekerjaan, agar bisa fresh ketika nanti bangun pukul setengah dua pagi untuk menjalankan rutinitas dini harinya.

****


Rumah berlantai dua milik Rose yang dihuni Wisang dengan dua malaikat kecil yang tengah asik bermain bersama itu mendadak ramai ketika wanita berbodycon hitam melenggang ke dalam rumah.

"Mamiii!" sambut Noah.

"Hi, Baby boy! Hi my angel, Hi Darl," sapa Rose sembari menciumi Noah, Neyna, dan Wisang bergantian.

"Where's Nino?" tanya Wisang.

Wajah Rose seketika berubah. "Mm ... He ... mmm tonight he wants to spending time with Brandon."

"Brandon?" Wisang pura-pura terkejut.

"Mmm yeah, he's coming this morning."

"Why don't you tell me? I can pick him up if you told me early."

Rose memposisikan diri duduk di pangkuan Wisang. Ia tahu dua orang itu tak akur. Ada rasa takut memang di hati Rose. Ia takut Wisang marah karena ia bertemu Brandon diam-diam, sementara Brandon pun enggan bertemu Wisang.

"Darl, sorry," ucap Rose sembari menciumi pipi sang pria berharap emosi kekasihnya mereda.

Noah dan Neyna sudah asik sendiri kembali bermain playdoh.

"Aku jadi berangkat ke Aussie. Nino ingin ikut. Menurutmu bagaimana?" Rose mengalihkan pembicaraan.

"Kenapa mendadak? Aku bisa atur jadwal kalau dari awal memang dia mau ikut. Kita bisa pergi dengan anak-anak."

Rose menggeleng cepat. "Nino sudah besar. Cindy dan aku bisa mengurusnya. Hanya seminggu. Aku tiitp Neyna dan Noah, ya?"

Wisang menghembus napas. "Hmm ... Kapan kamu berangkat? Besok aku bawa Neyna untuk les tambahan. Guru lesnya teman dari guru sekolah Neyna."

Rose mengecup bibir Wisang. "Up to you, Darl. Aku serahkan mereka ke kamu."

Selama berkencan dengan Wisang. Bukan hanya kebutuhan biologisnya saja yang terpuaskan. Rose juga sangat terbantu mengurus anak-anaknya. Dapat dikatakan Neyna dan Noah, justru lebih dekat dengan Wisang dibanding dirinya. Sejak umur dua setengah tahun, Neyna sudah kenal Wisang dan kala itu Noah baru berumur enam bulan. Saat dimana ayah kandung mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan.

"Aku ingin mempercepat pernikahan kita," bisik Rose manja.

Wisang tak merespon seperti biasanya. Ia masih kesal karena kedatangan Brandon. Apalagi Nino pasti akan dicuci otak olehnya. Selama beberapa bulan ini, Nino mulai mencair, mulai menerima kehadirannya, dan kedatangan Brandon kali ini pasti akan menghancurkan lagi hubungannya dengan si sulung, Nino.

Nino memang belum bisa menerima keberadaan Wisang. Entah dari mana bocah itu bisa menuduh Wisang yang sengaja membunuh suami ibunya yang dulu.

"Mami, Uncle Brandon datang?" tanya Neyna kemudian.

"Yes sweetheart.Kakakmu menginap di sana."

"Oh." Hanya itu komentar Neyna.

"Kamu mau ketemu Uncle?"

Neyna menggeleng. "No. Uncle cuma sayang Nino. Uncle nggak suka sama Neyna dan Noah."

Rose seketika menatap putrinya dengan seksama. "Hey, jangan gitu. Uncle kan kakak mami, dia pasti sayang juga sama kalian."

Neyna menggeleng. "Uncle jahat. Dia pernah pukul Neyna karena Neyna pinjam mainan Nino. Uncle bilang Nino is his son. Neyna and Noah bukan."

Rose menggigit bibir. Ia terkejut putrinya masih ingat kejadian itu padahal sudah hampir dua tahun lebih kejadian itu terjadi, sebelum mereka pindah ke Indonesia.

"Wait, Brandon hits you?" tanya Wisang.

Neyna mengangguk dan menatap calon ayah sambungnya. "Yes. Papa ingat waktu aku masuk hospital? Itu bukan jatuh. Aku dipukul dan didorong Uncle."

"Rosie! Did you lie to me?"

Rose panik. Ia tak berani menatap Wisang. Benar yang dikatakan oleh Neyna, Brandon begitu kesal karena Neyna merusak robot baru Nino yang dibelikan Brandon. Saat itu Neyna dipukul dan didorong hingga terjatuh dari tangga. Rose hanya mengatakan pada Wisang jika Neyna terjatuh saat bermain. Karena saat itu Rose tak mau kekasihnya bertengkar dengan sang kakak.

Keduanya sama-sama keras dan mengerikan jika sudah emosi. Mereka bisa saling bunuh.

"Hei, hei, itu Uncle nggak sengaja. Dan, Darl, kamu tahu seperti apa Brandon. Dia kalau sudah emosi sudah lost control."

"Lost control? Binatang macam apa dia? Anak-anak nggak salah. Harusnya dia tidak membedakan semua keponakannya. Memang apa beda Nino, Neyna, dan  Noah? Mereka sama-sama anakmu, kan? Kakakmu memang gila," umpat Wisang.

"Darl, sudah. Sudah. Aku mandi dulu. Aku tunggu di atas. Aku punya anggur enak oleh-oleh Brandon."

Wisang mendengkus. "Simpan saja. Aku mau tidur dengan anak-anak. Hey kiddos, it's time to go to bed. Wash your hand and legs, brush your teeth and let's go to sleep. Papa will tell you a story."

Noah dan Neyna bersorak. "Yeeeey, oke Papa! Wait for us in the bed!" teriak Neyna sembari menggandeng adiknya ke kamar mandi.

Rose menangkupkan jemari berkuku panjangnya. "Well, jangan sampai aku cemburu dengan anak-anakku sendiri. Seminggu ini kamu tidur dengan mereka. Kapan ada waktu buatku? I miss you, Darl."

Wisang tak membalas pagutan Rose. "Jadwalmu masih panjang dan butuh tenaga ekstra kan? Aku tidak mau kamu harus repot menutupi bekas perbuatanku di tubuhmu seperti biasa. Selesaikan dulu pekerjaanmu. Kecuali kalau kamu sudah tidak mengekspos tubuhmu, baru aku bisa melakukannya setiap hari."

Rose terkikik. "Kamu memang yang paling mengerti tentangku. Makasih, Sayang. Tapi awas, jangan beli perempuan murahan di luar sana selama menahan diri untuk tidak menikmatiku."

Wisang beranjak dari sofa. "Kamu tahu kelasku, Roseanne. Aku tidak akan bertindak sembarangan."

Rose menepuk pantat Wisang saat pria itu berjalan menjauhinya.

"Goodnight, Papa! Titip anak-anak, ya?"

"Hmm." Hanya itu jawaban sang pria.

Rose segera naik ke kamarnya, menikmati berendam air hangat dan meneguk anggur yang dibawakan Brandon untuknya. Satu botol ia habiskan tanpa sisa.

"Argh! Wisang ... Aku harus segera menikah denganmu. Brandon ... Silakan bawa anakmu kalau kamu mau. Kehilangan Nino tidak akan ada artinya. Aku masih punya Neyna dan Noah. Toh aku bisa punya anak dengan Wisang juga. Dan pasti Wisang akan tambah mencintaiku. Lagipula, Nino hanyalah kesalahan masa lalu kita, Brandon." Monolog Rose sebelum ia tertidur dengan hanya mengenakan bathrob saking lelahnya.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaa

❤❤❤

Mau ngomong apa sama Kinza?
Wisang?
Rose?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro