Part 1
Rok A-line berbahan drill warna hitam, blouse twistcone putih, berpadu cantik di tubuh wanita yang sudah beberapa bulan ini mengabdi sebagai sekertaris dari seorang Pradipta Dewangga. Gayanya sederhana tetapi anggun. Jilbab menutup dada dengan warna hitam yang selalu menutup sempurna auratnya, menjadi ciri khas sang gadis. Begitu juga tatapan teduh dari mata bulat dengan jeruji lentik menghias, bersorot penuh wibawa. Tak lupa, suara lembut ketika bertutur melengkapi sosok dirinya, Kinza Mahdiya Putri.
Beberapa kaum adam menatap sang dara yang melenggang masuk lift. Meski tak terlihat lenggok pinggul menggoda. Namun, entah kenapa, sosok itu mencipta daya tarik sendiri. Pandangannya hampir selalu tertuju ke bawah. Tak mendongakkan wajah seperti wanita lain di kantornya yang sengaja melenggang dengan meliukkan pinggul agar diperhatikan para pemangsa wanita.
Bagi Kinza, laki-laki ajnabi, seolah sudah ia cap dalam sanubari, sebagai makhluk yang harus diwaspadai. Sehingga, ketika ia tak punya alasan tepat untuk berbicara atau bertegur sapa dengan mereka, ia akan mengambil langkah seribu, meninggalkan tempat yang sekiranya akan mempertemukannya dengan para kaum adam. Termasuk di lift seperti sekarang ini. Ia sekilas mengamati adakah wanita di alat bantu mobilitas tersebut. Jika ada, ia akan melangkah masuk dan jika tidak, maka ia akan keluar.
Kali ini, ia masuk karena ada sosok Ayun, seniornya di sana, bersama sang suami, Yusuf yang sama-sama akan mengikuti rapat bersama dewan direksi pagi ini.
“Assalamualaikum, Ning,” sapa Ayun ramah.
“Wa alaikumussalaam, Ummi. Tolong jangan panggil Ning. Kinza aja,” pinta Kinza untuk kesekian kalinya.
Ayun terkikik. Ia bergeser ke samping Kinza, membiarkan Yusuf, sang suami untuk berdiri di depannya. Tak ada orang lain yang mengetahui hubungan pernikahan Yusuf dan Ayun selain Kinza dan CEO Dewangga Kingdom, Abimanyu. Sejatinya ada eraturan prusahaan yang melarang hubungan antar karyawan. Namun, kompetensi kedua pasangan itu sangat dibutuhkan, sehingga Yusuf dan Ayun mendapat pengecualian. Toh, lebih sering mereka bekerja dari rumah, seperti yang dilakukan beberapa karyawan ‘khusus’ lain, yang sekiranya bidangnya bukan bidang yang harus berurusan langsung dengan kantor.
Pintu lift hampir tertutup saat sang CEO berjalan ke arah benda itu. Yusuf segera menekan tombol agar pintu kembali terbuka. Senyum lebar Abimanyu tercipta bersamaan dengan ucapan terima kasih.
“Hampir aja telat,” ucap pria berjas hitam tersebut.
“Masyaallah, contoh umarok yang luar biasa ini. Perkara waktu saja sangat disiplin. Padahal, beberapa pekerja Pak Abim, malah santai-santai karena merasa sudah senior di sini.”
Abimanyu dan Yusuf terkekeh. “Ya, setidaknya saya harus melecut diri saya sendiri, memberikan contoh terbaik untuk anak buah saya. Perkara mereka mau mengikuti atau tidak, semua pilihan tetap ada di tangan mereka, Bang Yusuf. Saya tidak akan berpikir ulang untuk meberi apresiasi bagi para karyawan yang disiplin dan berdedikasi tinggi untuk perusahaan ini. Seperti Pak Rauf, Bang Yusuf dan Mbak Ayun, saya beri fasilitas plus-plus dan tetap saya pertahankan di perusahaan ini, ya karena itu, sudah terbukti integritasnya, loyalitasnya pada perusahaan.”
Kinza sudah berusaha untuk menepis invansi aroma cologne milik putra atasannya tetapi tetap saja, wangi itu merasuk ke inderanya. Menimbulkan sensasi aneh, seperti candu. Ia menggosok hidungnya beberapa kali. “Ning?”
Panggilan itu membuat Kinza terhenyak. Sosok di depannya tadi sudah menoleh ke arahnya. “Nggih, dalem, Gus? Eh, Pak.”
Yusuf dan istrinya menahan tawa. Kinza tentu terbiasa dengan kehidupan di lingkungan keluarganya. “Gus?” tanya Abimanyu.
“Eh itu ng ....”
“Putra kiai, Pak. Ning Kinza kan pasti kalau di rumah hanya bertegur sapa dengan saudaranya, yang laki-laki. Jadi setiap kali dipanggil, beiau reflek menjawab seperti itu. Beda dengan santri macam saya dan istri saya ini.” Yusuf menjelaskan.
Abimanyu mengangguk-angguk. “Oh, jadi ada julukan khusus ya? Pantas kau kalau manggil Maul temen adikku itu Gus, kan?”
Kinza mengangguk. “Tapi, Pak, mohon maaf. Jangan panggil saya, Ning. Panggil Kinza saja.”
Pintu lift terbuka, semua segera keluar dari sana. Tiga orang menuju ke ruang rapat dan Kinza berjalan ke ruangannya. Ruangan yang terletak di sebelah ruang owner perusahaan, Pradipta Dewangga, yang tak lain adalah ayah dari Abimanyu.
“Assalamualaina wa’ala ibadillahissholihin,” ucap Kinza sebelum masuk ke dalam ruangan kosong itu.
Tumpukan kertas yang selalu tertata rapi di atas meja, berikut memo yang menempel di dinding samping layar komputernya, sudah menyambut dirinya. Rutinitas itu berlangsung, hampir setiap hari sejak ia diterima bekerja di posisi yang sebenarnya tak ia lamar. Gadis dua puluh dua tahun tersebut awalnya melamar di posisi staff bidang purchasing, sesuai pengalaman kerjanya ketika ia kerja sambil kuliah, di sebuah toko buku islami, milik saudaranya. Namun, takdir justru membawanya menduduki jabatan tak terduga.
Jabatan dimana banyak pelamar menginginkannya karena tergiur gaji yang fantastis. Ya, untuk anak baru saja diberikan gaji pokok enam juta rupiah. Cukup besar bukan? Terlebih di kota yang tak berlabel metropolitan. Masih segar diingatan Kinza ketika ia diminta datang untuk wawancara pasca mengikuti tes tertulis. Kala itu, ia diwawancara oleh seorang wanita bernama Arimbi. Ia pikir beliau adalah salah satu staff HRD.
“Kinza Mahdiya Putri Al Asyari. Sudah lama berjilbab?”
Pertanyaan itu yang pertama ia dapati dari Arimbi. Kinza menjawab jika ia berjilbab sedari balita. Ia menceritakan jika dirinya tumbuh di lingkungan agamis. Jilbab bukan lagi sekedar bagian dari fashion untuknya, tetapi sudah menjadi bagian dari hidupnya, dari nyawanya.
“Andai, saya gaji kamu lima belas juta perbulan. Kamu lepas jilbabmu, apa kau mau?”
Kala itu Kinza tersenyum sebelum menjawab, ditatapnya manik lawan bicaranya. “Mohon maaf, Bu. Jilbab ini. Kain hitam ini, sudah menjadi bagian dari diri saya. Ini adalah jiwa saya. Jadi, ketika benda ini tak berada pada tempatnya lagi, maka artinya, separuh jiwa saya hilang. Dan, jika jilbab ini saya buka, tidak hanya sekedar aurat saja yang terbuka, tetapi pintu neraka juga ikut terbuka untuk ayah dan kakak laki-laki saya.”
Kinza pikir, jawabannya akan membuatnya ditolak. Namun, ia salah. Wanita itu justru mengatakan kalimat yang tak ia duga. “Kamu saya terima, menjadi sekertaris suami saya.”
“Ta-tapi, Bu. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya ... saya tidak melamar sebagai sekertaris, Bu. Saya melamar di bagian purchasing.”
“Kamu menolak?Bolehkah saya tahu apa alasannya?”
Kinza saat itu berusaha untuk menjawab dengan tenang dan sopan. Ia bukannya tak tahu diri atau jual mahal, tetapi ia memang punya beberapa alasan. “Mohon maaf, Bu. Saya sangat berterima kasih atas kesempatan yang ibu berikan. Tetapi, saya mempunyai alasan khusus untuk menolaknya. Saya takut, Bu. Saya seorang wanita, dan jika saya bekerja menjadi sekertaris suami ibu, itu artinya saya harus bekerja bersama dengan suami ibu. Kecenderungannya akan menghabiskan banyak waktu bersama, dan kemungkinan berdua. Saya takut timbul fitnah, dan kemudhorotan lain. Mohon maaf, Bu, saya mengundurkan diri saja.”
Arimbi saat itu mewawancarai Kinza bersama Abimanyu dan putra keduanya, Haikal. Mereka bertiga saling tatap sebelum tersenyum. “Kinza, jangan takut. Saya akan selalu ikut kemanapun suami saya pergi. Kamu bukan hanya menjadi sekertaris suami saya di kantor, kamu juga akan menjadi asisten saya. Kita akan selalu pergi bertiga. Lakukan tugasmu dan saya akan menjadi penghubung antara kamu dan suami saya.”
Setelah mendiskusikan hal ini dengan sang ibu angkat, Kinza akhirnya setuju dan bergabung bersama Dewangga Kingdom. Setelah beberapa lama kerja di sana, Kinza baru tahu alasan kenapa istri bosnya selalu ikut. Ternyata, Pradipta Dewangga pernah punya masa lalu kurang baik perkara sekertaris. Ia kedapatan menikahi sekertarisnya dulu, hingga memiliki seorang putra. Kini, pasca kejadian itu terungkap, sang istri mendadak posesif dan mengikuti sang suami kemanapun ia pergi.
Ketika Kinza menemani tugas ke luar kantor, maka ia akan pergi bertiga dengan sang bos dan istrinya. Itulah kenapa Kinza menikmati pekerjaannya. Ia menyebut pekerjaan ini adalah berkah dari Allah. Ia tetap bisa bekerja sesuai job desk-nya, dan tidak menyalahi aturan agama.
“Kinza.”
Gadis itu segera menoleh. Ia yang baru saja duduk, kembali berdiri. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Abimanyu, merogoh saku jas bagian dalam. Ia meletakkan sebatang cokelat dan lollipop rasa strawberry. “Katamu kita harus selalu berbagi apapun pada siapapun, minimal sekali dalam sehari sebagai tanda syukur atas karunia Allah?”
Kinza menunduk, ia menangan senyum. “Ya ... iya, Pak. Tapi, akan lebih baik kalau sedekahnya ditujukan pada mereka-mereka yang membutuhkan. Fakir miskin, anak yatim, piatu, hamba sahaya, seperti itu contohnya.”
Abimanyu terlihat berpikir, ia melipat tangan di dada, kemudian satu tangannya mengelus dagunya sendiri. “Loh, memang aku salah sasaran? Kamu kan anak piatu? Ibumu sudah meninggal, kan? Hamba sahaya, itu kalau jaman sekarang ART, tapi aku nggak punya ART yang punya bundaku. Jadi aku kasih ke kamu, kau kan bawahanku. Terus soal fakir, ya fakir bukannya artinya kekurangan? Kamu kayaknya fakir juga, fakir cinta, kan? Jadi, apa aku salah?”
Gadis berjilbab itu terpaksa menarik sudut bibirnya. Candaan seperti ini sangat berbahaya. Ia tak boleh bermain api. Sedikit saja, akan membakar tubuhnya dengan cepat. Apalagi api cinta. Tidak hanya fisik yang akan terbakar. Jiwa dan kewarasan pun bisa musnah, sekejap mata.
“Tidak, Pak. Bapak tidak salah. Terima kasih banyak, semoga ini menjadi amal kebaikan bapak, diterima oleh Allah dan dibalas dengan kemuliaan berlipat ganda.”
Abimanyu mengamini doa Kinza.
“Bim! Buruan, udah ditunggu loh sama yang lain. Kinza, nanti after meeting kita ada jadwal apa?”
Arimbi bertanya dari ambang pintu. “Bunda ih, gangguin aja. Lagi cari semangat ini loh,” tukas Abimanyu.
Laki-laki dua puluh sembilan tahun itu melirik ke arah belakang ibunya. Ada dua orang wanita di sana, menatap ke arahnya. Sanggul ala pramugari menjadi kekhasan salah satunya. Mata wanita itu begitu tajam menyorot ke arah Abimanyu. Keangkuhan tak mampu luntur meski kecantikan menaungi kesempurnaan fisiknya.
Suara Kinza yang menyebutkan serentetan jadwal Pradipta terdengar. Sementara itu Abimanyu menyapa si penatapnya. “Budhe Gendhis, terima kasih sudah mau datang. Tam, you look great today.”
Basa-basi busuk, tiga kata yang tepat untuk menggambarkan kalimat Abimanyu yang ia tujukan pada kakak dari ayahnya serta sepupunya, Tamara. Jangan dikira, Dewangga Kingdom adalah perusahaan besar yang aman-aman saja. Memang, tidak ada yang berani mengusik DK dari luar, tetapi guncangan justru terjadi di dalam. Perebutan kekuasaan, adalah hal utama yang mendasari gonjang-ganjing DK.
Pradipta, ayah Abimanyu, sudah menjadi pewaris sah, perusahaan itu. Kini Abimanyu yang mengambil alih salah satu cabang kantornya. Namun, si sulung Gendhis tak terima. Ia merasa juga mempunyai hak atas warisan perusahaan ayahnya. Ia tak puas dengan warisan aset tanah serta uang. Ia juga mau menduduki kursi tertinggi di DK. Memang ketamakan tak terlihat wujudnya. Rasa tak puas akan harta dan tahta, menggerogoti manusia tanpa terdeteksi stetoskop bahkan mikroskop, karena bukan penyakit fisik, tetapi penyakit jiwa.
“Bye Sa,” pamit Abimanyu sembari mengerling pada Kinza. Arimbi menjewer telinga putranya. “Kakak!” tegur sang ibu.
Abimanyu terkekeh, ia segera memeluk sang ibu dan mengajaknya msuk ke dalam ruang meeting di ujung lorong. Sepupu dan budenya mengekor.
“Jadi benar kan dia yang namanya Shasa?”
Tamara, mengendikkan bahu. “Nggak tau Mi, tapi setahuku tinggal dia yang deket sama Abimanyu. Nggak ada yang lain. Emang kenapa sih, Mi?”
Gendhis berbicara setengah berbisik sembari mencengkeram lengan putrinya kencang. “Ini gara-gara ketololanmu. Kamu disuruh naklukin Abim nggak bisa. Makanya mami harus turun tangan nyingkirin dia sendiri. Percuma mami angkat kamu dulu. Nggak berguna.”
Tamara terdiam, ia menahan sakit atas cengkeraman ibu angkatnya. Ada bekas kuku-kuku ibunya di lengan sebelah kanan. Salahnya memang memakai baju terbuka pagi itu. Gendhis mendahului putrinya pergi ke meeting room.
“Lain kali, jangan pakai baju seperti itu di kantor. Saya sudah peringatkan kamu, kan? Jangan membadut di Dewangga.”
Tamara menoleh. “Kakakmu semakin hari semakin gila, Om.”
Laki-laki berjambang itu terkekeh. “Bukan kakakku, dia istri kakakku. Dia ibumu.”
“Sama saja, dia kakakmu,” ketus Tamara. “Eh, Om Wisang ngapain di sini?”
“Aku? Menggantikan tugasmu, atas perintah ibumu.”
Obrolan itu sejenak terhenti saat suara sepatu Kinza terdengar dari ruangan yang tadi sempat dilewati Tamara. Gadis itu terlihat tergesa. “Maaf, permisi, Mbak Tamara, Pak.”
Kinza yang memeluk dua buah stopmap segera masuk ke dalam ruangan. Saking tergesanya, ia tak sadar menjatuhkan pulpen dengan penutup berbentuk kepala kelinci miliknya. Laki-laki itu memungut benda yang terlempar ke dekat kakinya. Ada senyum tersungging di sudut bibir sang pria.
“Dia Shasa?” tanya Wisang.
Tamara mengangguk, ada kerut di dahi sang wanita sebelum membelalakkan mata. “Oh God, don’t you say that she ...”
Wisang menempatkan telunjuknya di bibir. “Shut your mouth off, baby girl.”
Demi apapun, suara berat Wisang membuat Tamara merinding. Ya, bukan karena ketampanannya, tetapi karena kengerian yang ditimbulkan pasca mendengar suara dari sang pria, yang ia tahu tak segan menghentikan nafas setiap mangsanya tanpa rasa iba, demi beberapa lembar uang.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Muncul yang baru nih untuk menemani hari temen2 semua... Boleh disave di RL dulu... Bisa juga langsung baca....
Monggo silakan....
Semoga suka yaaa.....
Salam kenal dari
Kinza Mahdiya
Abimanyu Dewangga
Wisanggeni
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro