Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5

'Pekerjaan ini pasti akan membunuhku suatu saat nanti,' pikirnya pendek. Saat itu Zarra sedang disibukkan oleh banyak sekali berita yang harus dia selesaikan secepatnya. Padahal hari ini adalah hari libur yang dia dapatkan dengan susah payah, namun Bu Dewi, atasannya tidak dengan mudah melepaskan Zarra.

 “Dia pasti dendam denganku, dia melemparkan semua pekerjaan yang berat hanya padaku, mentang mentang aku anak baru,” gerutu zarra sambil mengacak-acak rambut panjang hitamnya.

“Zarra, apa kau senang sibuk? boleh ayah masuk sebentar, ada yang ingin ayah bicarakan,” suara lelaki paruh baya terdengar dari balik pintu. Tumben sekali laki-laki itu berada di rumah, dia biasanya lebih sering menghabiskan waktu di luar kota karena bisnis retail milik keluarganya mengharuskan sang Ayah untuk pergi dari satu kota ke kota yang lain.

“Ayah besok harus ke Surabaya sayang, cabang toko kita di sana sedang dalam masalah yang sedikit rumit jadi ayah harus turun tangan sendiri untuk menyelesaikannya,” lelaki itu kemudian berjalan dan duduk ditepi ranjang milik Zarra. Keriput di wajahnya menandakan dia yang sudah tidak lagi muda.

“Bukannya ayah baru saja sembuh, apa tidak bisa menyuruh pak Bambang saja yang ke sana?” raut wajah cemas melikupi sang putri.

Sang ayah memang baru saja sembuh dari penyakitnya, beberapa hari yang lalu ayah Zarra ngedrop karena terlalu sering bekerja. Asam lambungnya naik karena makannya tidak teratur.

“Tidak bisa, Nak. Harus ayah yang menyeleaikan.” Sang ayah mengelus pelan kepala sang putri dengan sayang.

“Ah, atau kau segera cari suami saja biar ayah segera pensiun, biar suamimu yang mengurus semuanya,” canda Ayah Zarra. Senyum menggoda tersungging di bibir sang ayah. Dia tau benar kalau pembahasan ini sangat amat dijauhi Zarra. Dia sendiri bingung, putrinya bukanlah gadis yang jelek malah cenderung sangat cantik, lalu kenapa dia tidak pernah mengenalkan satupun laki-laki kepada dirinya.

“Ih ayah, Zarra kan belum punya rencana kearah sana.”

“Hahahaha, coba pertimbangkan baik-baik, kata-kata ayah barusan tidak ada yang salah lho. Umur ayah sudah semakin tua, mungkin saja satu tahun lagi atau satu bulan lagi atau besok Yang di atas memanggil ayah, jadi harus ada yang menggantikan ayah,”

“Jangan berkata seperti itu ayah. Ayah akan memiliki umur yang sangat panjang, mungkin umur ayah akan lebih panjang dari pada umur Zarra kelak. Asal ayah tahu, pekerjaan yang menumpuk ini mengurangi nyawaku dengan sangat cepat," keluh Zarra sambil memperlihatkan tumpukan pekerjaannya.

“wah wah wah kemana putri ayah yang sangat bersemangat itu.” Ayah hanya menggeleng-geleng sejenak dan tersenyum kembali.

“Hari ini hari libur ayah, tidak bisakah atasanku membiarkanku liburan sehari saja. Ini lebih parah dari kerja Rodi." Zarra bisa bertingkah kekanakan seperti ini hanya di depan ayahnya seorang.

“Semangat ya anak ayah yang super hebat. Bukankah ini yang kau cita-citakan dari kanak-kanak, jadi jangan mengeluhkan hal-hal kecil seperti ini. Ayah selalu mendukungmu." Dukungan hangat sang Ayah membuat semangat Zarra meningkat lagi.

"Oh iya, Ayah tidak bisa memastikan kapan ayah akan pulang jadi Zarra baik-baik ya di rumah, jaga ibu dan saudara-saudaramu!” Ayah kemudian memeluk Zarra dengan sangat erat, seperti tidak mau melepaskan pelukan itu, takut kalau ini adalah pelukan terakhir yang bisa dia berikan kepada anaknya.

“Sudah, sudah, ayah selalu seperti ini, ini kan bukan perpisahan terakhir kita ayah.” Celetuk Zarra kemudian melepaskan pelukan sang ayah. Ia sedikit malu, sudah umur segini masih saja bermanja-manja dengan ayahnya, meski dengan ayah sendiri.

"Hati-hati ya ayah, Zarra akan selalu mendoakan keselamatan ayah.”

“Siap laksanakan komandan. Mau oleh-oleh apa?”

“Ayah tidak lupa makan dan minum obat, juga pulang dengan selamat saja merupakan hadiah terbesar bagi Zarra. Jadi Zarra tidak meminta apa-apa, toh udah gede gini, ya kali minta dibeliin oleh-oleh. Hehehe.”

“Iya iya anak ayah yang satu ini memang bawelnya gak ketulungan tapi baiknya juga kebangetan. Selamat bekerja lagi ya sayang, ayah akan menemui adik-adikmu.”

Ayah Zarra memang selalu seperti ini, setiap akan pergi keluar kota dalam waktu yang lama pastilah dia sempatkan untuk berpamitan satu persatu kepada seluruh anggota keluarganya. Alasannya sebenarnmya sangat mudah ditebak, karena dia tidak ingin menyesal, jika hal buruk terjadi selama perjalanan dan dia belum berpamitan kepada anak dan istrinya dia pasti sangat menyesal.

Rutinitas inilah yang selalu membuat Zarra sedih, karena dia tahu ayahnya sudah tidak lagi muda tapi harus bekerja kesana kemari untuk mengurus usahanya. Zarra sangat ingin membantu namun ditolak oleh sang ayah, beliau lebih senang Zarra melakukan hal yang memang Zarra inginkan bukan mengorbankan diri demi keluarga.

Didunia ini hanya ayah yang dia miliki, ibu dan saudara-saudaranya tidak pernah berprilaku baik kepadanya. Ayahnya saja yang memperlakukannya sebagai seorang manusia. Terkadang dia sangat merindukan sosok ibunya namun dia sudah cukup bersyukur memiliki seorang ayah yang sangat menyayanginya lebih dari apapun.

***

Malam itu Delio duduk di balkon ditemani sang ibu dan angin malam yang semilir dingin.

"Nak, kau yakin?" kata ibu nya membuka pembicaraan. Raut wajah tenang yang selalu dimiliki sang ibu tidak lagi nampak di wajah ayunya.

"Iya ma, Delio akan pergi ke kantor besok. Delio juga sudah mengantongi surat kuasa yang papa tanda tangani. Delio pasti memenangkan pertarungan ini. Mama tidak perlu khawatir," ujar Delio. Tangannya menyentuh tangan ibunya dengan lembut, menggenggamnya dan menciumnya pertanda anak yang ingin membaktikan diri pada orang di hadapannya itu.

"Mama takut, Del. Mama takut kehangan lagi. Kehilangan kakakmu saja sudah menjadi pukulan yang menyayat hati mama sampai sekarang. Lalu kondisi papamu. Mama tidak tega kalau semua itu juga akan menimpamu, Nak." Air mata mulai menetes satu persatu membasahi pipi tua sang Ibu.

"Ma, kali ini saja percayalah dengan Delio. Akan aku buktikan pada dunia si pecundang Delio sudah mati, dan Delio yang berbeda telah lahir. Doa mama yang akan melancarkan usahaku, jadi tolong Ma restui Delio, agar semua berjalan dengan lancar."

Wanita di hadapan Delio itu diam seribu kata, hati dan pikirannya saat ini sedang diuji. Jika dia membiarkan Delio maju, tidak ada jaminan bahwa anak termudanya itu akan selamat. Namun jika dia tidak merestuinya, Delio yang sangat keras kepala ini pasti tidak akan menuruti kata-katanya.

"Ya, Ma. Please, tatap mata Delio, Ma. Mama pasti bisa melihat bahwa Delio sudah menjadi lebih kuat dari pada dulu," pinta Delio sekali lagi.

Mamanya mengangguk lalu memeluk sang anak dengan lembut. "Restu mama selalu menyertaimu. Semoga Tuhan senantiasa menjagamu. Hal yang akan kau lakukan amatlah berbahaya. Berhati-hatilah."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro