FRIEND
Sarapan pagi ini sangat gila, otak Granger sudah rusak. Seharusnya dia berobat ke St. Mungo karena kegilaan dan kekacauan yang dia buat ini merugikan orang lain, untuk lebih diperjelas, ini jelas merugikan diriku. Memang benar apa yang sering dikatakan orang, orang pintar itu kebanyakan gila. Dan hal itu sudah terjadi ke Granger. Aku turut prihatin padanya.
Saat dia datang ke meja Slytherin, awalnya kusangka dia akan memakiku atau mungkin memantraiku karena menyangka aku dalang di balik semua berita yang menyebar sejak semalam itu. Tapi pola pikir Granger tak tertebak, dia malah mendaratkan dirinya padaku dan bermain drama yang membuat Aula Besar heboh. Drama yang sangat murahan. Granger memang luar biasa gila dan sangat licik. Bisa-bisanya dia melibatkan aku di dalam drama cinta segitga murahannya itu. Aku sangat yakin dia ingin balas dendam padaku dan ingin menjatuhkan nama baikku juga. Benar-benar singa licik.
Lalu, kemudian dia mengemis padaku agar aku bisa bekerjasama dengannya dalam drama ini. Sangat lucu melihat dia memohon-mohon seperti itu. Awalny aku tidak ingin menuruti Granger, aku tidak mau pura-pura menjadi kekasihnya, entah skenario gila apa yang akan dia rencakan jika aku menuruti dia. Tapi dia mengiba dan mengatakan akan melakukan apa saja. Aku betul-betul ingin dia menjauhiku agar takdir masa depanku bisa berubah. Aku tak ingin bersama dia di masa depan.
Aku meninjau ulang tawaran Granger, toh, aku tak begitu dirugikan. Aku akan membuat skenario sendiri kalau Granger adalah gadis mata duitan, dan itu penyebab putusnya hubungan kami.
Granger berpegang teguh pada ucapannya, begitu kita kembali ke Aula Besar. Dia menangis tersedu-sedu membuat semua mata tertuju padanya, lalu aku pun melihat bagaimana para sahabatnya langsung memeluk dirinya. Aku rasa masalah dia dan sahabatnya sudah selesai? Dasar manusia yang sangat merepotkan. Aku takkan sudi membantunya lagi, ini pertama dan yang terakhir.
Yang tertinggal kini adalah masalahku dengan para rekan Slytherinku. Mereka menatapku dengan sangat tajam begitu aku kembali duduk di tempatku. Rasanya tak nyaman mendapat tatapan aneh dari orang-orang ini.
"Really, Draco? Kau memacari Granger?!" Tanya Pansy sambil menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Well, it's over now. Aku sudah memutuskan hubunganku dengannya selamanya."
"Karena Potter? Well, Drake, you're really messed up. Pertama kau menjalin hubungan dengan Granger, lalu kau putus dengan Granger karena Granger lebih suka Potter?" Blaise tertawa diikuti oleh yang lainnya.
Aku tidak suka ditertawakan seperti ini.
"Tidak, aku memutuskannya karena aku tak tahan dengannya. She's a gold digger."
Tawa mereka lenyap sebentar lalu kembali meledak, kali ini tawanya bukan diarahkan padaku tapi ke Granger. "Wow. Si perfeksionis Granger selain suka menjadi pelacur, dia juga mata duitan. Well, tak heran dia mudblood, sudah pasti dia butuh uang sihir untuk menghidupi dirinya."
Aku tidak suka bagaimana Pansy mengejeknya, dan aku lebih tidak suka pada diriku yang peduli dengan hal itu. Aku membenci Granger, sangat, apalagi saat tahu prediksi kalau dia akan menjadi bagian dari masa depanku. Tapi tidak bisa dipungkiri, walaupun Granger itu gila dan aneh di setiap sisi, dia tidak seburuk apa yang dikatakan orang-orang di sebelahku ini. Well, aku membenci diriku dengan pikiran dangkal ini.
Sepertinya otakku sudah tercemar oleh Granger. Aku tak seharusnya simpati pada anak itu, aku hanya boleh membencinya. "She's the worst." Kataku ikut bergabung dengan anak-anak lain.
"Berapa lama kau menjalin hubungan dengannya, Drake?" Tanya Pansy lagi.
"Sekitar dua bulan? Entalah, Pans, saat bersamanya aku seperti berada di neraka jadi aku tak begitu ingat masa-masa mengerikan itu." Balasku jujur dari lubuk hati terdalam.
"She's a bitch! Apa yang kau lihat dari dirinya hingga kau mau berhubungan dengannya, Drake?"
"Entahlah, Pans, mungkin karena aku penasaran." Bisakah kalian berhenti mewawancaraiku, god dammit.
"So, bagaimana dia saat di ranjang, Drake?" Kini Blaise yang bertanya menggebu. Dia selalu penasaran tentang hal yang berbau seksual. Kadang hal itu menjijikan. Dia pernah menceritakan secara detail padaku mengenai hubungan intim yang dia lakukan pada murid tingkat 5 Ravenclaw tanpa diminta, percayalah itu malam terburukku. Aku muak sekali saat mendengarnya.
"Biasa saja, tak ada yang istimewa."
Obrolan ini semakin tak bermutu, aku tak menyukai ini. "Guys, tidak bisakah kalian diam dan fokus pada makanan kalian? Aku lapar!" Bentakku hingga mereka tak bersuara lagi.
Aku muak sekali saat bersama mereka, obrolan kita hanya sebatas mengejek setiap orang. Well, memang itu awalnya menyenangkan tapi semakin dewasa, aku disadarkan kalau apa yang kita lakukan selama ini sangatlah kekanakan. Tapi aku tak punya pilihan lain, temanku hanyalah mereka. Dan bagi ayahku, berteman dengan mereka adalah langkah bagus untuk bisnis Malfoy. Jadi, aku tak boleh kehilangan kepercayaan mereka.
***
Sudah 50 hari sejak kesepakatan dibuat, Granger membuktikan dirinya adalah wanita berdigniti sekali lagi, dia memenuhi janjinya. Dia menghindariku sebisanya. Dia tak mengucapkan satu patah katapun padaku, dia menghindari kontak mata, dia bahkan memberikan jarak cukup jauh saat kita sedang dalam tugas berkelompok. Komunikasi kita sudah terputus. Melegakan. Itulah yang seharusnya. Dengan begini, aku sudah bisa pastikan bahwa masa depanku sudah terganti. Tugasku sekarang adalah menjaga diri agar aku tetap ada di jarak aman dari Granger.
"Granger, lihatlah aku sudah menanam uang di rambut semakmu!" Seru Pansy yang berada di belakang Granger. Dia menggulungkan beberapa keping knut di rambut Granger. Hubungan Pansy dan Granger semakin panas setiap hari, mereka selalu saja bertengkar. Kebanyakan Pansy yang memulai semuanya.
Aku sendiri tak ingin ikut campur. Aku tak suka perkelahian antar wanita.
Granger segera melepas kepingan itu dan melemparnya ke arah Pansy, "Aku tak butuh uangmu!"
"Oh, benarkah? Bukankah kau butuh uang, mudblood?"
Granger dengan wajah merahnya mengarahkan tongkat sihirnya ke wajah Pansy. Dalam sekejap rambut Pansy berdiri ke atas seperti terkena setruman listrik. "Lihat saja, Granger! Aku akan membalasmu!" Seru Pansy yang langsung berlari. Dia tak pernah bisa membalas Granger. Dia bahkan belum bisa dengan benar merapalkan mantra dasar. Keunggulannya hanyalah mulutnya.
Granger membela dirinya sendiri, tak ada teman yang membantu. Weasleys dan Potter tak lagi bermain dengannya, sepengamatanku Granger lebih banyak menghabiskan waktu sendiri. Dia lebih banyak merenung dan tidak seaktif biasanya di kelas, kelas tentu saja menjadi tenang karena tidak ada suara bawel dia yang ingin mendapatkan nilai bagus.
Aku sebenarnya kasihan denga dirinya, dia memperjuangkan pertemanannya sebegitu rupa sampai rela membuat drama yang menjelekkan harga dirinya tapi pada akhirnya temannya melepehkannya seperti sampah.Tapi, toh, itu salahnya sendiri. Ada aksi dan ada akibat. Dia salah karena dia pengecut, seharusnya jika dia menyukai orang, ya katakan saja sejujurnya. Toh ditolak satu orang bukan berarti duniamu berakhir, kan? Masih ada jutaan manusia di bumi. Dan ini yang paling penting, jangan terlalu bergantung dengan orang lain. Granger selalu mengikuti Potter dan Weasley seakan hidup dia hanya bergantung dengan kumpulan para pecundang itu saja, jadi ketika dia dijauhi oleh para pecundang, sudah pasti semangat hidupnya akan ikut hancur.
Tapi, untuk apa aku mengurusi dia? Aku tak peduli. Ah, sudah kebetulan sudah lebih dari satu bulan aku dan Granger bak orang asing. Anggap saja ini sebagai reward karena berhasil menjauh dari Granger, aku kembali ke Snape. Ya, aku memang gila karena datang sendiri ke tempat Snape untuk sekali lagi mengecek masa depanku. Aku ingin melihat masa depan yang berbeda. Tidak mungkin setelah semua kejadian ini calon istriku tetap Granger.
Snape tentu saja senang dengan kunjunganku dan alasan aku datang ke sana membuat Snape tersenyum. Bisa kalian bayangkan, seorang Snape yang wajahnya kaku itu bisa tersenyum? Yah, itu bukan pemandangan yang enak dilihat sebenarnya. Sangat aneh.
Aku melakukan hal yang sama seperti pertama kali aku melakukan hal ini. Aku sangat tenang dan berdebar, sungguh tak sabar aku melihat masa depan yang seharusnya sudah indah tapi apa mau dikata, biasanya apa yang kita harapkan malah jadi batu sandungan untuk diri kita.
Yang aku lihat kali ini lebih tak masuk akal. Kali ini kakiku berpijak di banyak tempat dan waktu. Dan yang menjengkelkan adalah aku tetap melihat diriku dan Granger yang tak terpisahkan.
Aku melihat bagaimana aku dan Granger bermesraan, lalu aku melihat pertengkaran kecil yang diselesaikan dengan ciuman. Sumpah aku pening melihat ini, aku berciuman dengan Granger? Sangat menjijikan. Dan mau tau apa yang lebih parah? Aku berlutut sambil menangis memohon ampun pada Granger. Hancur sudah harga diriku. Ini tentu saja lebih buruk dari sebelumnya. Aku terlihat begitu tergila-gila dengan Granger, memuakkan.
Ah, dan terakhir sebelum aku kembali ke kenyataan masa kini. Aku melihat Granger yang berjuang melahirkan. Aku melihat dia begitu kesakitan dan aku ada di sampingnya memegang tangannya begitu erat. Aku melihat diriku yang panik dan bercucuran air mata karena Granger tampak begitu kesulitan.
"Aku tak kuat, Draco. Tapi aku akan melahirkan anak ini sekuat tenagaku. Maaf jika rasanya aku tak bisa menepati janji kita. Tolong sayangi anak kita."
Dan voilà, wajahku memucat setelah apa yang tadi aku saksikan. Ada beragam pertanyaan yang timbul di benakku. Apa Granger mati saat melahirkan anakku? Astaga, skenario macam apa yang terjadi di masa depanku ini. Semuanya tampak bodoh dan picisan.
"Bagaimana?"
"Jauh lebih buruk."
"Apa kali ini penglihatan yang menyedihkan?"
"Ya, sangat." Hal yang menyedihkan adalah aku yang kenapa harus datang kembali ke Snape.
Aku tak tahu harus berkata apalagi pada Snape, jadi aku memilih untuk kembali ke asramaku. Aku harus menyegarkan otakku dari apa yang tadi aku lihat. Aku harus membuang Granger dari pikiranku.
Sialnya, lagi-lagi aku melihat si rambut semak itu di perjalananku menuju ruang rekreasi Slytherin. Aku mengambil jalan yang lebih jauh yang jarang orang ambil, koridor yang aku pilih ini memang sangat sepi tapi aku selalu berjalan disini karena aku suka ketenangan seperti ini. Tentu saja jarak Slytherin dan Griffindor sangatlah jauh, tapi lihatlah ada Granger di sini.
Alasan Granger ada di sini tentu saja adalah Pansy. Pansy dan beberapa anak Slyterin lain yang bertubuh besar mengepung Granger. Aku lihat tongkat Granger pun sudah dipegang oleh seorang gadis pirang yang aku lupa siapa namanya. Pansy menarik kencang rambut Granger dan berkali-kali menampar Granger sangat kencang.
"Kau tak layak ada di dunia ini, nona sok pintar. Lihat, kau tak berdaya bukan jika tak ada tongkat sihir? Ya, sudah seharusnta seperti itu. Kau tak layak mempunyai sihir dan hidup disini." Ujar Pansy yang sekali lagi menampar Granger. Granger tak seperti biasanya, dia hanya diam tanpa perlawanan. Aku benci melihat orang lemah seperti itu.
Aku berniat ingin mengabaikan tapi melihat tingkah Pansy yang sudah di luar batas membuatku geram. Pansy menyuruh dua pria tingkat 5 membuka seragam Granger. Sebelum para pria itu menyentuh baju Granger, aku sudah mendorong mereka menjauh dari berdiri di depan Granger.
"Draco, apa yang kau lakukan?! Kau menganggu bagian terpenting dari rencana ini."
"Kau sudah keterlaluan, Pans." Ujarku yang kini berjalan membawa Granger pergi dari kekacauan ini. Ah, dan tentu saja aku mengambil kembali tongkat sihir Granger dan memberikan itu padanya. Aku berharap sekali Granger menggunakan tongkatnya dan memberi pelajaran pada para manusia ini, tapi sayangnya Granger hanya diam saja seperti mayat hidup. Granger sudah sama mengenaskannya seperti para korban Dementor. Aku benci melihat orang yang tadinya kuat menjadi lemah seperti ini.
Aku membawa Granger ke tempat favoritnya, tentu saja perpustakaan yang sangat sepi ini. Granger terus menunduk, entahlah mungkin dia malu karena menunjukkan sisi lemahnya.
"What's wrong with you, Granger?" Tanyaku geram.
Granger tetap menunduk dan perlahan aku aku melihat bahunya bergetar. Dia menangis. Ini kali pertama aku melihat seorang wanita serapuh ini di depanku, terlebih ini Granger, musuh abadiku yang harusnya aku jauhi dari hidupku. Tapi aku sungguh tak tega melihatnya sedih seperti ini, entahlah, aku hanya bergerak mengikuti naluriku. Walaupun aku brengsek tapi aku masih punya hati yang bisa iba pada orang. Aku memeluknya dan mencoba menenangkannya. Granger pun pasrah, justru dia memelukku sangat erat.
"Aku lelah, Malfoy. Aku lelah." Ujarnya disela isakan tangisnya.
Aku mengusap punggungnya, "Shhh... Kau boleh sedih tapi ingat kau itu wanita kuat. Jangan pernah kau lemah seperti tadi, kemana sisi kecerdasanmu, Granger? Jika ada yang berbuat jahat padamu, kau harus membalasnya, jangan hanya diam dan pasrah. Itu sama sekali bukan gayamu."
Aku mendengar kekehan darinya, "Kau menasehatiku sementara yang sering berbuat jahat padaku adalah kau sendiri. Ironis."
"Ya, kau bisa membalasku dengan semua cara gilamu tapi kau pasrah begitu saja dilecehkan oleh Pansy? Make it make sense, Granger."
Dia melepaskan pelukannya padaku dan menatapku dalam sekali. Jujur tatapannya sedikit membuat dadaku berdebar, sedikit sekali. Ini pula kali pertama aku dan dia bertatapan secara intens tanpa dibumbui segala macam umpatan yang biasa kita lemparkan. Well, jujur, Granger mempunyai mata coklat yang cukup indah. Sayang sekali mata itu kini sembab oleh air mata.
"Kenapa kau membantuku? Bukankah kau memintaku untuk menjauhimu?"
"Ya aku memang brengsek tapi mana mungkin aku diam saja melihat wanita dilecehkan seperti tadi."
Jika tadi bukan Granger pun aku pasti akan menolong orang tersebut. Aku sangat menyayangi ibuku, dan ibuku selalu mengajarkanku untuk hormat terhadap wanita. Aku memang tidak sempurna karena sering menyakiti hati para wanita tapi tidak pernah sekalipun aku melecehkan mereka. Aku selalu melakukan hubungan atas dasar suka sama suka, bukan oleh paksaan.
"Semakin aku mengenalmu ternyata kau tidak seburuk itu, Malfoy."
Granger sekarang duduk di salah satu kursi yang menghadap ke jendela luar. Dia menatap kosong pemandangan malam di luar. Sekali lagi tatapannya meredup.
"Bagaimana hubunganmu dengan temanmu?" Aku tak bisa menahan diriku untuk bertanya. Granger benar-benar tak bergaul dengan para temannya itu. Dia selalu sendiri, bahkan saat dia dirundung pun temannya yang biasanya sibuk membela diri pun hanya diam.
"Kau punya mata untuk melihatnya."
"Kalian sekarang jadi musuh?"
Granger menggelengkan kepala, "Aku tak pernah menganggap mereka musuh, hanya saja, mereka sudah kehilangan kepercayaan padaku."
"Ini semua hanya karena kau suka dengan Potter? Pertemanan kalian ternyata rapuh sekali."
"Masalahnya rumit, Malfoy. Aku sadar ini semua memang salahku."
"Tidak ada yang salah dari menyukai seseorang, Granger." Lucu sekali hari ini, bisa-bisanya sekarang aku menasehati Granger tentang masalah percintaan.
Tak ada yang berbicara lagi. Semuanya hanyut dalam diam. Granger tetap menatap kosong pada pemandangan hutan terlarang yang sangat gelap, sementara aku sibuk menatap Granger. Aku tidak suka sikap Granger ini. Sangat tidak suka.
"Kalau kau dijauhi temanmu itu dan merasa tak punya teman lagi, kau bisa menanggapku sebagai teman jika kau mau." Aku kaget dengan diriku sendiri saat aku berujar seperti ini. Astaga, otakku sudah tak beres, bagaimana mungkin aku mengajak Granger berteman denganku?
"Ah, tapi tentu saja jadi teman rahasia. Aku tak mau temanku tahu kalau kita berteman. Kita bisa bertemu disini jika kau mau." Tambahku lagi, memperjelas maksudku.
"Dan tentu saja, pertemanan kita ini bisa dengan cara saling memaki satu sama lain, atau kalau mau serius kita bisa berdiskusi. Kau ingatkan, aku juga siswa peringkat atas?"
Granger tertawa lepas, dia menatapku dan mengatakan, "Kau sehat, Malfoy?"
Kita berdua pun bercakap hingga tak terasa sudah lewat tengah malam. Percakapan yang isinya ledekan, dan diskusi mengenai hal yang sangat tidak penting. Tapi itu terasa menyenangkan, sudah lama rasanya aku tak seantusias ini mengobrol dengan orang lain. Oke, aku akui Granger tak seburuk itu. Dia bisa membuat lawan bicaranya terhanyut oleh ucapannya.
Aku mungkin akan berubah pikiran, aku takkan menjauhi Granger. Mendekatkan diri dengannya sebagai teman rasanya akan baik-baik saja. Toh, aku pasti takkan menyukainya karena dia benar-benar bukan tipeku. Aku ingin mempunyai satu saja teman yang waras dan pintar. Granger adalah pilihan yang tepat. Aku hanya perlu membatasi diri. Itu takkan sulit.
***
Well, it's been a long time. Thanks for spending your precious time to read my absurd story. Hehehe.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro