BACK UP PLAN
Aku tahu ada yang tidak beres sejak aku bangun dari tidur, firasatku mengatakan hal itu. Aku merasakan hari ini adalah bukan hariku, jika aku bisa, aku ingin tenggelam dalam kasurku saja hari ini. Tapi tentu saja aku tak bisa, hari ini ada banyak kelas, dan tak mungkin aku meninggalkan kelasku hanya karena firasatku yang belum pasti kebenerannya.
Di kamarku, aku melihat Parvati dan Lavender masih terlelap, mereka selalu seperti itu. Tidak pernah bagun lebih awal, dan menganggap bangun terlambat itu menyenangkan. Mereka tidak pernah kapok walaupun sudah ditegur berkali-kali karena keterlambatan mereka datang ke kelas, aku pun menyerah mengingatkan mereka. Mereka sudah besar, mereka sudah tingkat enam tapi pikiran mereka terhenti di umur lima tahun.
Aku segera turun dari tempat tidur dengan malas, merapikan tempat tidur dengan cara muggle-karena aku sudah terbiasa, setelah itu beranjak ke kamar mandi.
Selama air shower yang dingin membahasi kelapaku, pikiranku kembali tertuju ke buku diariku. Aku punya perasaan tidak enak saat memikirkannya, seperti hal buruk akan terjadi.
Bagaimana kalau ternyata buku itu ditemukan dan disebarluaskan? Apa yang harus aku katakan pada Harry, Ron dan juga Ginny? Ini sangat rumit, kalau kebenaran terungkap, maka hubungan persahabatan kami pun akan rusak.
Di buku itu aku menulis bagaimana aku menyukai Harry sejak aku melihat dia di Diagon Alley, dan bagaimana aku senang bukan main bisa menjadi sahabatnya, yang bisa dia andalkan. Aku juga menulis kecemburuanku saat Harry menceritakan tentang ciuman pertamanya dengan Cho Chang, dan bagaimana dia akhirnya menyukai Ginny. Aku ingat perasaanku sangat hancur saat dia mengatakan dia dan Ginny berpacaran, dan semenjak itu mereka seperti lem yang sulit sekali untuk dilepaskan.
Aku bersumpah sejak Harry bersama Ginny, aku berusaha bahagia untuk mereka. Aku senang ketika sahabatku senang. Aku sedang dalam tahap melupakan semua perasaanku, lalu tiba-tiba semua bukti mengenai perasaanku pun hilang dari genggamanku. Buku itu bak bom waktu, yang ketika waktunya dibuka oleh orang lain, maka hancurlah hidupku.
Harry dan Ginny pasti akan menjauhiku, belum lagi Ron. Dia juga pasti akan merasa tak nyaman berada di dekatku. Sudah beberapa kali Ron menyampaikan perasaannya padaku, namun aku selalu menolaknya dengan dalih persahabatan akan rusak jika cinta turut serta di dalamnya. Ron pasti akan kecewa jika tahu selama ini aku menolak dia karena alasan utamanya adalah aku menyukai sahabatku yang lain, yaitu Harry.
"Hermione, apa kau masih lama?" Suara Lavender yang sangat kencang diiringi oleh gedoran pintu membuyarkan lamunanku.
Sudah berapa lama aku berada disini? Astaga, aku bahkan tidak sadar kalau aku menggigil kedinginan.
"Semenit lagi." Balasku yang langsung melilitkan handuk di badanku cepat-cepat.
Aku membuka pintu kamar mandi, dan Lavender langsung segera berlari masuk ke dalamnya. Aku melirik ke kasur Parvati, dia masih tertidur ternyata.
Dengan cepat aku pun memakai pakaianku, mengeringkan rambutku dengan bantuan sihir sekaligus menatanya agar tak terlalu berantakan. Aku menyiapkan buku-buku yang akan kupakai hari ini. Sekarang ada kelas Telaah Muggle, Rune Kuno, dan Arithmancy. Setidaknya aku bisa sedikit bernapas lega karena hari ini jadwalku tidak berbarengan dengan Slytherin, artinya aku tidak harus bertemu wajah memuakkan Malfoy lagi.
Aku sudah selesai bersiap bertepatan dengan Lavender yang keluar dari kamar mandi, dan Parvati yang akhirnya terbangun dari mimpinya.
Aku pun pamit kepada mereka untuk pergi lebih dulu menuju Aula besar. Well, sebenarnya masih 30 menit sebelum waktu sarapan tapi aku sudah terbiasa datang lebih cepat.
"Hermione!" Panggil Lavender padaku sebelum aku keluar dari kamar.
"Ya?"
"Aku baru ingat, semalam aku dan Parv tidak sempat menanyakanmu hal ini karena kau sudah terlelap."
Jantungku berdebar, berharap apa yang aku takutkan tidak terjadi, "Apa yang ingin kalian tanyatakan?"
Lavender dan Parvati saling memandang, sebelum akhirnya Lavender kembali bersuara, "Apakah benar kau menyukai Harry dan berencana untuk membuat Harry dan Ginny putus?"
"APA? Siapa yang menyebarkannya?"
"Selamam berita itu ramai sekali diperbincangkan di Ruang Rekreasi. Murid tingkat lima, aku lupa siapa namanya, mendapatkan info itu dari temannya di Ravenclaw. Aku tak tahu siapa yang pertama menyebarkannya tapi berita itu sudah tersebar dari semalam."
"Jadi apa itu benar, Hermione?" Tanya Parvati.
"Tentu saja itu tidak benar!!!" Teriakku menyangkalnya. Aku bersungguh tidak ingin merusak hubungan Harry dan Ginny.
"Harry dan Ginny pun kemarin tampak bersitengang, sebaiknya kau temui mereka dan jelaskan kebenarannya." Parvati memberikan usul.
Aku berterima kasih pada mereka sebelum akhirnya aku benar-benar keluar dari kamarku.
Aku tidak mengikuti saran Parvati. Aku pun tidak menjalankan rencana awal untuk datang lebih dulu ke Aula Besar. Aku belum siap bertemu siapapun. Aku sungguh malu. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana.
Kakiku tak terasa malah melangkah di kamar mandi wanita di lantai bawah, yah, setidaknya tempat ini sepi dan takkan ada yang melihatku disini untuk sementara waktu. Aku butuh waktu untuk berpikir agar situasi bisa menjadi normal kembali.
Myrtle menyambutku dengan kikikan aneh. "Kau benar menyukai sahabatmu, Hermione?"
Aku melotot, bahkan hantu yang jarang keluar dari tempatnya pun tahu mengenai berita ini. Sungguh memalukan. Myrtle terus berceloteh panjang lebar tapi aku tak hiraukan. Aku sibuk dengan segala rencanaku tapi semuanya hanya memasuki jalan buntu. Aku sudah tamat.
Sudah terlalu lama aku disini, dan waktu untuk sarapan sebentar akan dimulai. Jujur, aku tak mau melangkah ke luar dan menghadapi ini. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Aku harus menampakkan wajahku karena kalau tidak, maka situasi pasti akan semakin memburuk.
Aku menarik napas dalam sekali sebelum akhirnya mengeluarkannya, setidaknya aku berusaha untuk sedikit rileks, meski itu tak ada gunanya sama sekali. Jantungku memompa darah dengan begitu cepat hingga aku bisa mendengar detaknya di telingaku.
Saat aku tiba di Aula Besar, nyaris semua mata melihatku dan berbisik pada teman di sebelahnya. Ya, tentu saja aku tahu apa yang mereka bicarakan.
Aku duduk di sebelah Ron, sedang Ginny dan Harry ada di hadapanku. Situasi saat ini sungguh canggung. Aku tak tahu apa yang harus aku katakan.
Di seberang meja Gryffindor aku bisa melihat pemuda pirang yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Dia pasti senang sekali melihat diriku yang merana seperti ini, lihat saja ketika semua masalah ini beres, aku akan balas dendam padanya karena akar masalah ini bersumber dari Malfoy.
Satu ide cemerlang langsung menyala di otakku. Aku bisa membereskan masalah ini, solusinya ada di Malfoy. Aku bisa pun bisa mempermalukan dirinya di depan semua teman ularnya itu.
Cara ini mungkin akan menjatuhkan sedikit harga diriku, tapi siapa peduli, persahabatanku jauh lebih penting.
Aku pun segera berdiri dan langsung berjalan menuju meja Slytherin. Pandangan tajamku tak lepas dari Malfoy, yang kini senyumnya memudar saat aku semakin dekat berjalan ke arahnya. Dia belum tahu seberapa gilanya aku kalau aku sedang ada di puncak kemarahan.
"Well, lihatlah yang datang, si tuan puteri yang mencintai sahabatnya dan ingin menghancurkan hubungan orang lain." Sambut Pansy yang diikuti oleh tawa oleh semua orang di meja ular ini.
Aku tak tahu apa rencanaku bisa berhasil, atau justru akan semakin mempermalukanku. Tapi sudah terlanjur, aku sudah ada disini.
"Apa maumu, Granger?" Kini Malfoy yang bersuara. Aku pun mendekat ke arahnya dan langsung memeluknya di hadapan semua murid Hogwarts.
"Kau gila?!!! Apa yang kau lakukan?!" Teriaknya berusaha melepaskan pelukanku. Tapi aku semakin mengeratkan pelukanku di lehernya.
Aku menangis di pelukannya sambil mengucapkan, "Semua berita itu tidak benar, Draco, kau tahu itu, kan?"
"Granger, lepaskan pelukanmu!"
Aku tetap menjiwai aktingku, "Aku sudah tidak sanggup menyembunyikan ini lagi. Ini sudah berbulan-bulan, Draco. Aku ingin semua orang tahu siapa yang sebenarnya aku sukai. Aku sudah lelah menutupi hubungan ini terus."
Semua orang yang tadinya diam karena mendengarkan drama ini pun langsung ricuh. Berita mengenai aku menjalin hubungan dengan Draco sudah pasti akan melenyapkan berita mengenai aku yang menyukai Harry. Masalah permata beres.
Draco akhirnya bisa melepaskan pelukanku, dia menatapku tajam dan menarik tanganku keluar dari Aula Besar. Aku puas sekali dengan drama ini, aku tidak menyangka, aku punya bakat akting dalam diriku.
Draco membawaku ke salah satu ruang kelas kosong. Dengan kasar dia mendorongku ke dinding yang membuat punggungku sedikit sakit, "Apa yang kau lakukan tadi?!" Teriaknya dengan wajah yang memerah.
"Aku hanya membalaskan dendam kecilku padamu agar bisa menyelesaikan masalahku yang timbul karena ulahmu, Malfoy!"
"Kau gila!"
"Aku tidak menyangkalnya."
"Kau tau apa yang akan terjadi setelah ini? Teman-temanku akan mengolokku dan menjauhiku, Granger!"
Aku mendengus, "Jika yang kau anggap teman itu adalah parasit yang menempel padamu karena uangmu, maka berterima kasihlah padaku karena bisa lepas dari mereka, Malfoy."
Malfoy mengacak rambut pirangnta frusrasi. Aku sedikit iba padanya. Aku pun tak mau hubungan ini berlanjut. Tentu saja saat menyiapkan rencana ini, aku mempunyai rencana lain untuk membereskannya dan semua masalah pun akan selesai.
"Malfoy, drama ini belum berakhir. Aku menciptakan drama sad ending."
"Maksudmu?"
"Maksudku, ketika kita kembali ke Aula Besar, aku akan menangis karena kau mencampakkanku."
"Dan alasanku mencampakkanmu?"
Aku mengangkat bahu, "Terserah padamu, kau bebas mengarang apapun."
"Bagaimana kalau aku berpisah darimu karena kau menjijikan."
Aku menggeleng, "Kalau menjijikan, kau takkan mungkin menjalin hubungan berbulan-bulan denganku."
"Tapi aku memang tak menjalin hubungan denganmu, Granger!"
"Hubungan di drama ini, Malfoy!"
Malfoy tiba-tiba tertawa, "Kenapa aku harus menuruti perintahmu, Granger? Aku bisa mengatakan pada temanku kalau kau hanya membuat drama agar nama baikmu kembali bersih di hadapan temanmu."
Aku segera menahan lengan Malfoy, "Aku akan mengabulkan permintaanmu, Malfoy. Apa saja. Kau bisa membuatku mengerjakan semua tugas-tugasmu."
Malfoy menggelengkan kepalanya, "Terlalu mudah, Granger. Tawaranmu tidak menarik sama sekali."
Aku kehabisan akal, kalau seperti ini, sama saja aku memperlakukan diri berkali-kali lipat. Aku harus membuat Malfoy turut andil dalam dramaku, bukannya malah mengkhianatiku.
"Apa saja, Draco." Pintaku memelas.
Malfoy menatapku dari atas sampai bawah seakan menilai penampilanku. Aku dengan refleks menutup dadaku yang tertutup dari pandangannya, "Apa saja selain yang ada di pikiran kotormu, Draco."
"Well, kau yang berpikiran kotor."
Sepertinya aku harus memperjelas maksudku dengan kata apa saja, karena apa saja ini bisa berarti apa saja. Bisa jadi, dia akan menjadikanmu budak seksnya atau teman-temannya. Atau dia dengan liciknya ingin membuat pertemananku dengan Harry dan Ron kembali hancur.
"Apa saja selain mempergunakanku sebagai alat pemuas nasfu dan jangan kembali memperkeruh hubungan pertemananku dengan Harry dan Ron."
Tak butuh waktu baginya untuk menyetujui ini semua, "Jauhi aku, Granger."
"Pardon?"
"Kau hanya butuh menjauhiku sebisamu, jangan ada di dekatku lagi dan jangan bicara lagi denganku sampai kita lulus atau bahkan sampai selama-lamanya."
Itu permintaan yang sangat mudah!
"Oke, hanya itu?"
"Ya." Draco mengangguk, "Dan aku akan bilang pada temanku kalau hubungan kita berakhir karena kau mata duitan."
Aku ingin menolaknya tapi pada akhirnya aku setuju. Toh, ini semua akan berakhir.
"Deal?" Tanya menjulurkan tangannya untuk mengakhiri kesepakatan ini.
"Deal!" Sambutku membalas uluran tangannya dan menjabat tangannya.
Ini semua akan berakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro