Part 32 (End)
SELAMAT MEMBACA
*
*
*
Senyum sumbringah tak pernah hilang di wajah So Eun ketika mereka menginjakkan kaki di ibukota Jeju. Sesekali So Eun bersandar di bahu Kim Bum menikmati angin yang menerpa wajah mereka saat mobil melaju kencang. Tidak butuh waktu lama mereka sampai di sebuah hotel dekat pantai yang siap menghipnotis mata dengan pesonanya.
"Wow, indah sekali," ujar So Eun membuka pintu kaca balkon kamar hotel.
"Kau suka?" Kim Bum memeluknya dari belakang.
"Nde, lautnya indah sekali. Tapi..."
"Apalagi? Apa ada yang kurang?"
So Eun berbalik menatap Kim Bum dengan wajah sedihnya.
"Aku lupa membawa bikini." So Eun memainkan tangannya di dada Kim Bum sembari menggigit bibir bawahnya.
"Yak! Jangan cemberut seperti itu. Siapa yang membiarkan dirimu keluar dengan bikini? Jika kau membawanya pun akan aku robek."
So Eun bertapuk tangan menatap takjub pada suaminya.
"Wah, daebak. Kau lebih agresif dari yang kupikir. Apa --So Eun mendekatkan bibirnya ke telinga Kim Bum dan berbisik-- kau sudah tidak sabar ingin membuat baby Kim?"
"M-mwo? Bukan seperti itu maksudku. Apa kita memikirkan hal yang berbeda?"
So Eun mengangkat bahunya dan pergi meninggalkan Kim Bum yang masih mematung di tempatnya .
Pantai bukan tempat romantis bagi So Eun karena nyatanya kamar hotel masih menjadi tempat yang menyenangkan untuk menggoda sang suami. Setelah lima kali mengganti pakaian yang selalu ditolak oleh Kim Bum akhirnya So Eun bisa memanjakan telinganya dengan deburan ombak di tepi pantai, menikmati sinar matahari yang siap menghanguskan kulit. Long dress panjang bercorak bunga warna-warni membuat So Eun terlihat ceria. So Eun tidak lagi peduli dengan pakaiannya seperti beberapa saat lalu di kamar hotel, bagi So Eun menjaga suaminya dari lirikan mata para gadis jauh lebih penting saat ini.
"Kau terlihat sangat bahagia," ujar So Eun, bibirnya mengerucut setelah mengucapkannya.
"Tentu saja, apa kau tidak bahagia?"
"Awalnya aku bahagia tapi kalau tahu jadinya seperti ini aku lebih memilih diam di hotel." So Eun mengedarkan pandangannya ke sekitar. Ia sedikit gerah dengan tatapan para wanita yang terpesona pada Kim Bum.
Terlebih saat ini Kim Bum tersenyum lebar membuat So Eun semakin kesal, apa pria itu sengaja membuat gadis-gadis menjerit histeris. Kim Bum menghadang So Eun membuat gadis itu menghentikan langkah dan menatapnya.
"Hoo, kau cemburu eoh? Apa kau baru menyadari suamimu sangat tampan?"
"Bukan tampan tapi penggoda." So Eun mendorong Kim Bum agar tidak menghalangi jalannya. Langkah kaki jenjangnya menghentak membuat Kim Bum gemas sendiri.
"Kim So Eun," teriak Kim Bum.
So Eun berhenti kemudian berbalik menatap Kim Bum yang berada beberapa meter di depannya. So Eun berkacak pinggang menatap Kim Bum penuh tanya.
"Saranghae." Kim Bum membentuk love menggunakan kedua tangannya.
So Eun tersenyum namun ia segera melenyapkannya. So Eun berjalan cepat ke arah Kim Bum dan mencium bibir suaminya dengan cepat.
"Kau membuatku malu," ucap So Eun membuat Kim Bum menaikkan satu alisnya.
"Benarkah? Mana yang lebih malu, berciuman atau mengatakan cinta di tempat umum?"
"Kau meledekku?"
"Tidak. Aku hanya membuat perbandingan."
"Kalau kau tidak suka kembalikan ciumanku," ucap So Eun sambil berkacak pinggang.
Kim Bum hanya diam menatap mata So Eun dalam-dalam. Merasa suasana sedikit canggung membuat So Eun mengalihkan tatapannya. So Eun berbalik namun Kim Bum bergerak cepat menarik tangan dan menciummya. Bukan ciuman yang singkat seperti yang So Eun lakukan, Kim Bum memang sedikit gila. Bahkan bisikan orang-orang di sekitarnya tak mampu menghentikan mereka.
"Aku sudah mengembalikannya," ujarnya dengan napas terengah.
"Ini memalukan," gumam So Eun sembari menutup wajahnya.
****
Denting suara sendok dan garpu memecah keheningan ketika Kim Bum dan So Eun memilih menikmati santap malam dalam diam. Berbicara melalui tatapan mata sesekali mereka melempar senyum. Segelas red wine pun tak luput tersaji di atas meja. Lilin-lilin menyala membuat kesan romantis semakin terasa.
Kim Bum mengangkat gelas wine miliknya membuat So Eun melakukan hal yang sama. Suara gelas beradu melengkapi makan malam romantis mereka.
"Kau yang bayar," ujar Kim Bum setelah menyelesaikan makanannya.
"Mwo? Yak bagaimana bisa istri yang membayar makanan suami?"
Kim Bum melipat kedua tangannya di depan dada.
"Suamimu ini pengangguran, kau ini direktur kan?"
"Ani, aku tidak mau menggantikan mu lagi. Aku ingin menjadi ibu rumah tangga saja."
"Apa kau yakin dengan keputusan mu? Saat ini namamu sedang dipuja-puja, aku yakin kau bisa dengan mudah mendapatkan kepercayaan mereka."
"Bukankah istrimu ini hebat?"
"Hmm, aku sampai malu dengan istriku."
So Eun menopang dagunya dengan satu tangan.
"Jadi... Siapa yang membayar."
"Halmeoni. Semua sudah dibayar, kajja kita mulai proses fertilisasi aku sudah tidak sabar."
So Eun membulatkan matanya, Kim Bum sudah kehilangan urat malu.
"Bisa pelankan suaramu? Bagaimana jika ada yang mendengar?"
"Kau terlalu memikirkan ucapan orang. Kajja, aku sudah lelah."
Kim Bum menarik tangan So Eun lembut membawanya kembali ke kamar. So Eun hanya diam mematung saat Kim Bum menutup pintunya.
"Kenapa diam?"
"Kau mau aku lari?"
Kim Bum menahan tawanya melihat wajah polos So Eun. Gadis itu bertingkah seperti pertama kali melakukannya. Terlebih So Eun sering kali menggodanya setiap saat tapi sekarang keberanian gadis itu seolah menguap.
"Kau tidak bisa lari, So Eun."
"Jadi aku harus apa?"
Kim Bum berjalan ke tempat tidur, disibaknya selimut tebal warna putih itu. Kim Bum berbaring santai kemudian menepuk lengannya. Wajah So Eun memerah namun ia tahu apa yang Kim Bum maksud.
So Eun berbaring di samping Kim Bum menjadikan lengan pria itu sebagai bantal.
"Bum-ah, aku malu." So Eun membenamkan wajahnya di dada Kim Bum.
"Kenapa malu? Hmmm?"
Bukannya menjawab So Eun malah mengeratkan pelukannya.
"Apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Kim Bum
"Aku merasa bimbang. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku."
"Apa itu?"
So Eun menengadah menatap Kim Bum. "Bagaimana perasaanmu ketika tahu ternyata kau memiliki saudara lain yang?"
"Aku justru bahagia."
"Bagaimana kau bisa bahagia? Mungkin saja dia berbohong," ujar So Eun.
"Setidaknya ada bukti dan dasar dia mengatakan hal itu."
"Hanya ada surat dan foto lama," gumam So Eun
"Mwo? Tunggu jadi maksudmu kau punya saudara lain?"
So Eun mengangguk. "So Hee mengaku bahwa dia adalah saudaraku. Bagaimana ayah tidak pernah menceritakannya? Kenapa tiba-tiba So Hee mengatakan hal itu?"
Kim Bum terdiam pelukannya semakin erat. "Mungkin saja Tuan Kim juga tidak tahu dia memiliki putri yang lain."
"Jadi Appa tidak tahu?"
"Kemungkinan Tuan Kim tidak tahu atau ini sengaja dirahasiakan."
Kim Bum menatap So Eun yang kini hanya bisa diam. Tak ingin menyianyiakan kesempatan Kim Bum segera mengurung So Eun di bawahnya. Senyum lebar yang mampu menenggelamkan mata indahnya membuat jantung So Eun berdegup kencang.
"Mau apa?"
"Mau itu."
So Eun memejamkan mata saat Kim Bum mengecup keningnya. Perlahan So Eun mulai relaks dan menerima sentuhan lembut sang suami. Sudah lama mereka memendam keinginan yang tak bisa tersalurkan tapi kali ini tidak ada yang bisa menghalangi. Mereka melebur jadi satu untuk selamanya.
***
Belum puas berlibur di Jeju membuat So Eun enggan meninggalkan pulau cantik itu. Kenangan indah yang tak pernah ia lupakan selama hidupnya. Kim Bum menggenggam erat tangan So Eun menuntun gadis itu masuk ke dalam mobil yang akan membawanya kembali ke rumah. Beberapa saat lalu So Eun dan Kim Bum sampai di Incheon. Penerbangan dari Jeju ke Seoul cukup membuat merek kelelahan.
So Eun menyenderkan kepalanya di bahu Kim Bum, perlahan matanya terpejam menikmati rasa kantuk yang menyergapnya. Kim Bum yang menyadari So Eun kelelahan merasa tak tega untuk membangunkannya. Saat mobil masuk ke dalam rumah Kim Bum pun tak kunjung membangunkan So Eun. Kim Bum memilih menggendong istrinya ke kamar dari pada membangunkannya.
"Dia pasti kelelahan, apa di pesawat ia tidak tidur?" tanya Ae Ri
"Dia tidak bisa tidur dalam ketinggian," ujar Kim Bum menyelimuti So Eun.
"Bum, eomma ingin bicara."
Kim Bum mengikuti Ae Ri keluar dari kamar So Eun. Ibunya terlihat agak aneh, sikapnya tidak biasa.
"Eomma akan pergi ke busan," ujarnya membuat Kim Bum sedikit terkejut.
"Untuk apa eomma?"
"Eomma akan tinggal di sana, di tempat kelahiran eomma. Kamu sudah menikah jadi eomma tidak perlu khawatir lagi."
"Bagaimana dengan nenek?"
"Dia sudah menyetujuinya."
"Eomma...."
"Bum, ini keputusan berat untuk eomma tapi eomma harus melakukannya."
"Tapi kenapa? Berikan aku penjelasan agar aku bisa paham. Ini sangat mendadak."
Ae Ri tersenyum lembut. Ia tahu cepat atau lambat ia harus kembali untuk memperbaiki sebuah hubungan di masa lalunya. Ya, masa lalu yang sampai sekarang menghantuinya.
"Nanti kau akan tahu."
Sampai malam hari Kim Bum belum tahu alasan Ae Ri memilih untuk pergi. Kim Bum merenung menatap langit yang terlihat mendung. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Rasa hangat menyelimuti punggungnya ketika So Eun memeluk dari belakang.
Gadis itu melepas pelukannya dan berdiri di samping Kim Bum.
"Ada yang ingin aku berikan untukmu," ujar So Eun.
So Eun memberikan sebuah surat untuk Kim Bum, sejenak Kim Bum menatap So Eun bingung. Melihat So Eun tersenyum akhirnya Kim Bum membaca surat itu. Mata hitam itu bergerak liar ketika membaca isi surat. Tangan Kim Bum bergetar setelah selesai membacanya.
"Dia masih hidup. Dia tinggal sendiri untuk itu Eomma memutuskan pergi menemaninya," ujar So Eun.
"Aku harus menemuinya."
"Tidak. Jangan sekarang, tunggu waktu yang tepat. Bersabarlah, Bum."
So Eun membawa Kim Bum ke dalam pelukannya. Ia tahu suaminya tengah terpuruk mengetahui kenyataannya.
***
Angin laut bertiup cukup kencang, membuat Ae Ri berkali-kali menyelipkan rambut ke belakang telinga. Di sampingnya ada seorang pria berkumis tengah memejamkan mata.
"Mianhae," ujar pria itu.
"Berhentilah minta maaf, kau sudah membayarnya," sahut Ae Ri.
"Bertahun-tahun aku kehilangan semangat hidup, tapi sekarang aku merasa hidup kembali. Kau kembali padaku walau hanya sebatas kasihan."
"Cukup! Aku sudah katakan padamu sebelumnya, aku melakukan ini karena kau masih menjadi suamiku. Selama ini tidak satu pun gugatan cerai yang aku terima, jadi kita masih sah menjadi suami istri," ujar Ae Ri.
Pria itu menunduk sambil meremas tangannya.
"Kenapa kau kembali padaku? Aku telah mengusir kalian berdua, harusnya kalian membenciku. Biarkan aku hidup sendiri."
Ae Ri menyentuh tangan pria itu dengan ragu. Ada rasa canggung yang membuat keduanya diam saat kedua tangan mereka bersentuhan. Sudah lama mereka tidak pernah duduk berdua sambil bergandengan tangan.
"Aku kembali karena kau sudah mengakui Kim Bum sebagai anakmu dan juga mata itu," jawab Ae Ri.
"Ae Ri, kau tahu aku sangat senang bisa mendonorkan mata pada Kim Bum, saat melihatnya di rumah sakit aku merasa telah menjadi ayah yang gagal untuk putraku satu-satunya. Setelah mata ini hilang aku merasa bahagia, cintaku kembali. Kau juga kembali padaku."
Ae Ri mengusap air matanya. Tentu tidak mudah mengobati rasa sakit atas pengusiran itu, ketika ia tengah mengandung. Namun Ae Ri sadar, itu adalah masa lalu dan suaminya pasti punya alasan untuk itu.
"Kenapa kau mengusirku saat itu? Apa kau benar-benar tidak mencintaiku lagi, Sang Chul?"
Pria itu menggeleng, "Justru sebaliknya. Aku sangat mencintai dirimu. Pria mana yang ingin terlihat lemah di depan wanita yang dicintainya? Tapi saat itu keputusan ku salah, aku semakin terpuruk saat kau tinggalkan. Cintaku pergi membawa separuh jiwaku dan aku berakhir menyedihkan."
Ae Ri menyenderkan kepalanya di bahu sang suami sambil berpegangan tangan sembari menatap biru lautan. Ae Ri merasa ia kembali muda saat merasakan cinta yang diberikan oleh satu-satunya pria yang ia cintai.
Tidak jauh dari tempat itu Kim Bum dan So Eun sedang berjalan mendekati mereka. Walau awalnya ragu namun Kim Bum memberanikan diri untuk mendekat. Ae Ri menegakkan kepalanya saat melihat Kim Bum dan So Eun. Ditatapnya Sang Chul sejenak sebelum beranjak.
"Aku pergi sebentar, tunggu aku di sini," ujar Ae Ri membuat Sang Chul mengangguk. Kim Bum duduk di tempat Ae Ri sebelumnya membuat Sang Chul menekuk alisnya.
"Kau siapa?"
"Putramu. Kim Bum."
Pria itu menoleh dengan wajah terkejut. Tangannya ingin terangkat menyentuh wajah Kim Bum namun ia takut melakukannya. Kim Bum tersenyum tipis kemudian meraih tangan pria itu dan meletakkan di pipinya.
"Apa aku mirip ayah?"
Pria itu menangis dan memeluk Kim Bum erat. Ia merasa malu akan kegagalannya mendidik Kim Bum dan merawat pria itu hingga dewasa. Sang Chul melepas pelukannya sembari menyeka air mata yang terus menetes.
"Mata ayah begitu indah, aku bisa melihat biru lautan dengan sangat jelas, tapi kenapa kau melakukannya? Apa karena rasa bersalah?"
Sang Chul menggeleng, "Tidak selamanya terang memberikan kebahagiaan, tidak selamanya gelap memberi rasa takut. Kebahagiaan hanya milik hati bukan mata. Ayah merasa bahagia saat tahu kau bahagia, hidupmu masih panjang Bum."
"Ayah...."
"Maafkan aku."
Kim Bum memeluk Sang Chul erat, sejak kecil ia sangat ingin menemui Sang Chul, memeluk dan bicara banyak hal pada ayahnya. Kini ia bisa melakukannya, memeluk dan bicara pada pria yang selama ini ia rindukan.
So Eun dan Ae Ri mendekati dua pria itu. Senyum So Eun menghapus air matanya yang menetes ia teringat akan ayah dan ibunya. Ia merindukan dua sosok itu. Andai kedua orang tuanya masih hidup mungkin So Eun akan sangat bahagia.Kim Bum meraih tangan So Eun dan menggenggamnya erat.
"Aku sudah memiliki istri, namanya Kim So Eun. Dia sangat cantik dan pintar. Apa kau pernah melihatnya?" tanya Kim Bum.
"Iya, aku melihatnya di rumah sakit saat mengantarmu berobat. Kau sangat pintar memilih istri secantik dirinya."
Sang Chul tersenyum lembut. So Eun duduk di samping Kim Bum sementara Ae Ri duduk di samping Sang Chul.
"Selama hidupku, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan. Keluargaku kembali," ujar Sang Chul.
Ae Ri menyenderkan kepalanya di bahu Sang Chul, begitu juga dengan Kim Bum, sementara So Eun bersandar pada Kim Bum.
Tidak ada hal yang lebih membahagiakan bagi Sang Chul selain bersama keluarganya. Rasa penyesalan itu masih ada namun ia tetap bahagia dengan keputusan yang ia buat. Pengelihatannya dibayar dengan kebahagiaan yang ia dapatkan.
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro