Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 30

Selamat membaca
*
*
*

Setitik cahaya mulai membawa harapan bagi Kim Bum. Setelah sekian lama ia berjuang dalam kegelapan kini ia bisa melihat wajah So Eun yang tertidur pulas. Walau masih samar namun Kim Bum bisa melihat jelas anak sungai yang mengalir di sudut bibir So Eun.

"Dia pasti lelah," gumam Kim Bum, memperbaiki selimut yang So Eun kenakan.

"Dia menunggumu sepanjang malam, belum lagi So Eun harus bekerja ekstra di kantor," ujar Ae Ri sembari mengupas kulit apel yang baru ia beli.

"Hmm." Kim Bum mengangguk paham. Bagaimana pun juga tidak mudah bagi So Eun mendapatkan waktu tidur yang baik mengingat saat ini keadaan perusahaan sedikit memanas.

"Apa kata dokter?" tanya Kim Bum sembari duduk di samping Ae Ri. Mereka duduk dekat jendela,sedikit jauh dari So Eun agar gadis itu tidak terganggu. Kim Bum mulai melahap apel yang sudah dipotong kecil.

"Untuk sementara waktu kau bisa gunakan kacamata untuk membantu beraktivitas. Itu tidak buruk," kata Ae Ri sembari menyuapi Kim Bum sepotong apel.

Setidaknya aku bisa melihat lebih baik dari sebelumnya, pikir Kim Bum. Suasana kembali hening, sampai So Eun terjaga pun Kim Bum tidak mengeluarkan sepatah kata. Tatapannya tertuju pada So Eun yang tengah merenggangkan tubuh. Hal sederhana yang selama ini Kim Bum rindukan akhirnya bisa ia lihat kembali.

"Putri kerbau sudah bangun," ledek Kim Bum membuat So Eun menoleh padanya. So Eun tertegun melihat Kim Bum tersenyum menatapnya, ia berjalan pelan mendekati Ae Ri dana Kim Bum.

"Ka-kapan perban di matamu dilepas?" tanya So Eun. Gadis itu mencoba menahan tangisnya melihat Kim Bum kembali seperti dulu.

"Tadi pagi dokter melepasnya. Kau tertidur pulas jadi eomma tidak berani membangunkan mu."

Ae Ri menatap Kim Bum dan So Eun bergantian. Melihat keduanya hanya diam dan saling bertatapan membuat Ae Ri mengalah. Sepertinya Kim Bun dan So Eun punya banyak hal yang harus dibicarakan.

"Eomma pergi dulu, jangan bertengakar, ya."

Ae Ri tersenyum lembut sebelum keluar dari ruangan itu. Kim Bum menepuk kursi yang ada di sampingnya. So Eun menurut ia duduk di tempat Ae Ri.

"Kenapa menangis?"

Kim Bum mengusap air mata So Eun. Bibir gadis itu bergetar, hidungnya pun memerah. Sudah tidak tahu apa yang akan ia ucapkan pada Kim Bum.

"Aku senang kau bisa sembuh."

So Eun memeluk Kim Bum erat, ia menangis sesenggukan hingga tubuhnya bergetar. Kim Bum membalas pelukan So Eun untuk menenangkan perasaan gadis itu. Meluapkan kerinduan yang selama ini terpendam membuat keduanya enggan melepaskan dekapan satu sama lain. Bahkan saat So Eun berhenti menangis Kim Bum masih tetap memeluknya erat.

***
Sudah tiga jam lamanya So Hee berhadapan dengan seorang pria dari kepolisian dan itu membuat So Hee muak.

"So Eun yang bersalah, ini semua salah wanita itu. Jika saja ia tidak ceroboh mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi," ujar So Hee penuh amarah.  Polisi di depannya hanya diam menatap So Hee.

"Harusnya sejak awal Anda mengakuinya."

Pria itu menyerahkan sebuah foto pada So Hee. "Gambar ini diambil dari CCTV dekat rumah tersangka. Apakah wanita ini Anda?"

So Hee meremas erat rok selututnya. Bagaimana ia bisa seceroboh itu. Bagaimana pun ia mengelak bukti sudah ada di depan mata. So Hee mengenakan pakaian yang sama seperti di gambar dan itu membuat polisi semakin mencurigainya.

"Jaket seperti ini tidak hanya satu. Bahkan banyak barang palsu yang beredar, bisa saja itu wanita lain."

So Hee memalingkan wajahnya. Ia harus berpikir cepat menjawab pertanyaan dari pihak polisi. Tanpa ia duga, pria itu menarik tangannya."

Pria itu menatap So Hee tajam membuat wajah gadis itu pucat. Pria itu meletakkan sebuah kancing warna coklat di atas meja.

"Harusnya Anda memperbaiki jaketnya," ujar pria itu membuat So Hee shock. Benar saja satu kancing terlepas tanpa ia sadari.

"Ini--"

"Kami ingin Anda jujur."

So Hee menarik tangannya namun pria itu menggenggamnya erat.

"Mengapa kalian mencurigaiku? Apa aku terlihat seperti orang jahat? Kenapa? Kenapa?!" teriak So Hee dengan air mata bercucuran.

***
Wajah So Eun bersemu merah saat Kim Bum menatapnya tajam. Gadis itu bahkan tidak bisa berkutik saat Kim Bum menyuruhnya duduk di atas pangkuannya.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya So Eun malu-malu.

"Aku belum puas melihatmu."

Kim Bum menarik dagu So Eun, mengusap bibir tipis So Eun dengan ibu jarinya. Sudah lama ia tidak merasakan sensasi mencium bibir itu.

"Jangan macam-macam, ini rumah sakit," ujar So Eun. Kim Bum tersenyum lebar membuat lesung pipinya terlihat memesona.

"Memang apa yang akan aku lakukan?"

Wajah So Eun semakin merah, pikirannya sudah ke mana-mana. Terlebih tangan Kim Bum kini mengusap punggungnya dengan lembut.

"Itu..."

So Eun menghentikan ucapannya saat  ponselnya berdering. Walau enggan beranjak dari tempatnya, namun ini bisa menyelamatkan dirinya dari Kim Bum.

"Yeoboseo?" ujarnya. Sesekali So Eun menoleh ke belakang di mana Kim Bum sedang duduk menatapnya.

"Aku akan ke sana." So Eun mengakhiri panggilannya.

"Dari siapa?"

"Pegawai. Dia bilang ada sesuatu yang penting."

So Eun meraih tas jinjingnya. Ia merasa bersalah pada Kim Bum tidak bisa menemani pria itu di rumah sakit.

"Aku ikut."

"Tidak boleh. Aku hanya pergi sebentar."

Kim Bum menarik tangan So Eun hingga gadis itu kembali duduk di pangkuannya. Keduanya terdiam, menatap mata masing-masing.

"Aku belum mendapatkanya pagi ini," ujar Kim Bum.

"Apa?" So Eun terlihat bingung dengan ucapan Kim Bum.

"Ini...." Kim Bum menarik dagu So Eun, mencium bibir merah yang sejak tadi menghantuinya. So Eun membalasnya dengan lembut. Kedua matanya terpejam saat tangan Kim Bum memeluk erat pinggangnya. So Eun mengalungkan tangannya di leher Kim Bum. Jemari So Eun menyisir helai hitam milik Kim Bum hingga berantakan.

"Oh, maaf."

So Eun segera menarik dirinya dari Kim Bum. Gadis itu berdiri dengan napas terengah. Tidak jauh berbeda dengan istrinya, Kim Bum pun segera memperbaiki pakaian dan rambutnya yang berantakan. Dilihatnya seorang perawat tengah berdiri di ambang pintu dengan wajah memerah.

"Ma-maaf, saya ingin memeriksa keadaan Tuan Kim Bum," ujar perawat itu gugup.

"Nde, silakan. Aku akan pergi sebentar."

Tatapan So Eun tertuju pada Kim Bum. Ia tersenyum tipis sebelum mencium pipi Kim Bum.

"Aku segera kembali," ujar So Eun.

Kim Bum hanya bisa menatap punggung So Eun dari belakang. Ingin rasanya ia menahan So Eun agar tidak pergi, namun ia tahu itu tidak akan bisa.

***
Won Geun menghentikan mobilnya di sebuah gudang besar yang terlihat tua. So Eun yang berada di sampingnya hanya diam melihat situasi sekitar.

"Apa kau yakin ini tempatnya?"

"Iya. Selama beberapa hari anak buahku mengawasi tempat ini."

So Eun mengangguk paham. Walau di luar terlihat usang namun So Eun yakin di dalam sana ada sesuatu yang menakjubkan.

"Ayo kita pergi."

Won Geun kembali menjalankan mobilnya meninggalkan tempat asing itu.

***
Setelah So Eun pergi Kim Bum kembali bosan. Setelah memilih kacamata yang cocok untuknya Kim Bum hanya bisa tidur dan melamun. Ponselnya bergetar, dengan cepat Kim Bum mengambilnya. Berharap ada pesan dari So Eun yang bisa ia baca, namun sayang bukan sederet huruf yang ia dapatkan namun beberapa foto So Eun dan Won Geun tengah berduaan di cafe.

Siapa kau?

Tulis Kim Bum sebagai balasan dari foto-foto itu.

Kau tidak perlu tahu siapa aku. Istrimu telah berselingkuh.

Kim Bum terdiam membaca sederet kalimat balasan dari orang tersebut. Seketika ia tersenyum menanggapi pesan misterius itu.

Istriku terlihat sangat cantik di foto itu. Aku akan berikan foto ini padanya nanti dan mungkin aku akan mencetaknya dalam ukuran besar sebagai kenangan. Kamsahamnida untuk fotonya.

Kim Bum mengakhiri pesan itu dengan stiker senyum. Ia pun menutup ponselnya sebelum berbaring di tempat tidur. Aneh, tidak biasanya Kim Bum merasa tenang setelah melihat foto itu. Pintu ruang inapnya terbuka, secepatnya Kim Bum duduk di tepi tempat tidur untuk menyambut So Eun.

"Aku bawakan makanan untukmu."

Secepat kilat Kim  Bum menarik pinggang So Eun dan mengunci tubuh gadis itu menggunakan kakinya. Dengan lembut Kim Bum mencium setiap jengkal wajah istrinya membuat So Eun merasa geli.

"Ada apa denganmu? Tidak biasanya?" So Eun melepaskan belitan kaki Kim Bum  yang mengunci pergerakannya. Pria itu hanya diam tanpa menahan So Eun.

"Aku merindukanmu. Aku ingin segera pulang."

So Eun kembali menghampiri Kim Bum sembari membawa makanan yang ia beli. Kaca mata yang bertengger di hidung Kim Bum membuat pria itu terlihat lebih dewasa. So Eun selalu kagum, apa pun yang Kim Bum kenakan selalu cocok untuknya.

"Apa kaca mata itu membantumu melihat lebih baik?"

Kim Bun mengangguk. "Apa aku terlihat aneh?"

So Eun menggeleng sembari menyuapi makanan yang ia beli untuk Kim Bum. "Tidak, kau terlihat lebih dewasa. Aku suka."

Kim Bum mengambil alih makanan yang So Eun bawa dan meletakkan di meja. Digenggamnya tangan So Eun erat kemudian menciumnya lama.

"Apa kau masih ingin honeymoon?"

So Eun mengangguk antusias mendengar ucapan Kim Bum. Waktu berdua dengan suaminya sangat terbatas, bagaimana pun So Eun ingin menghabiskan waktu bersenang-senang dengan Kim Bum.

"Saranghae, Kim So Eun," bisik Kim Bum di telinga istrinya.

"Nado Saranghae, Kim Sang Bum."

Tatapan keduanya saling terkunci, deru napas terasa menerpa kulit wajah masing-masing saat jarak semakin menipis.

***
Gelap, dingin. Itulah yang So Hee rasakan di dalam kamar tidurnya. Tidak ada seorang pun yang menemani kesendiriannya. Hanya suara detak jam dinding yang menemani.  Air matanya sudah mengering sejak tadi.

Lampu tiba-tiba menyala, menyinari setiap sudut kamarnya. So Hee menoleh pada seorang pria yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Won Geun menatapnya penuh rasa iba. So Hee tahu keadaannya tidak sebaik biasanya. Air matanya kembali berlinang ketika Won Geun menghampirinya. Pria itu berjongkok, menghapus air mata So Hee dengan lembut.

"Kita sama-sama pernah berjuang demi orang yang kita cintai dan kita juga sama-sama terluka untuk itu," ujar Won Geun.

"Bawa aku pergi dari tempat ini. Aku tidak ingin berada di sini lagi."

Suara So Hee bergetar, tak sanggup untuk bicara lagi. Won Geun memeluknya lembut, mengusap punggung So Hee untuk menenangkan gadis itu.

"Iya. Kita obati luka ini sama-sama."

So Hee menangis lebih kencang membuat Won Geun mengeratkan pelukannya. Saat seperti ini hanya pria ini yang So Hee punya.

***
Pagi-pagi sekali sebuah pesan masuk ke ponsel So Eun membuat gadis itu terpaku. Diliriknya Kim Bum yang tertidur pulas di sampingnya. So Eun tersenyum, mengecup kening Kim Bum sebelum pergi. Tak lupa ia menuliskan sebuah memo untuk Kim Bum.

So Eun tergesa-gesa pergi ke kantor. Ia tidak ingin terlambat sedikit pun. Tepat saat ia tiba di kantor Tuan Oh sudah menunggu.

"Apa mobilnya sudah berangkat?" tanya So Eun. Gadis itu berjalan cepat ke ruang kerjanya.

"15 menit lagi akan berangkat."

So Eun dengan cepat mengganti heels-nya dengan sepatu sport. Beruntung ia mengenakan celana panjang sehingga mempermudah ia melangkah cepat.

Tuan Oh memberikan sebuah topi dan masker untuk So Eun. Dengan cepat keduanya pergi membuntuti sebuah mobil Box.

"Aku sudah menghubungi polisi."

So Eun mengangguk, tepat di belakang mobil mereka ada beberapa mobil polisi yang mengikuti. Ini saat yang tepat untuk mengetahui kebenarannya dan So Eun harap masalah ini akan segera selesai.

***
Gelak tawa terdengar di sebuah ruangan sempit. Ada empat pria bertubuh besar tengah tertawa lepas sembari menikmati nikotin yang terbakar. Asap mengepul memenuhi ruangan kedap suara itu.

"Sebentar lagi perusahaan itu akan hancur."

Tawa kembali mengiringi. Seorang pria berkumis pun menimpali. "Kau sangat pintar Tuan Han, tidak salah  aku memilihmu sebagai partner kerja. Keuntungan yang kita dapatkan pun berlipat-lipat tanpa harus bekerja keras."

"Tentu. Setelah perusahaan itu bangkrut aku bisa dengan mudah membelinya."

Tawa mereka terganggu ketika seorang pria masuk ke ruangan itu. Pria kurus dengan kemeja rapi bergaris merah itu menundukkan kepalanya.

"Mobilnya telah tiba Tuan, apakah Anda ingin melihatnya?" ujar pria itu.

"Tentu saja. Ini pertama kalinya aku datang jadi khusus untuk hari ini aku sendiri yang akan memeriksa mobilnya."
Tuan Han dan tiga pria lainnya keluar mengikuti pria kurus itu. Sebuah mobil box terparkir di basement yang gelap. Udara sedikit lembap.

Dibukanya mobil yang penuh dengan paket-paket yang telah dikemas dengan rapi. Tuan Han dan tiga pria lainnya tersenyum lebar saat membuka kotak-kotak itu.

"Cepat keluarkan semua isi mobil ini dan ganti semua," perintah Tuan Han.

Beberapa pria datang menurunkan box yang ada di dalam mobil dan menggantinya dengan box yang lain. Tepat saat orang-orang tengah sibuk menukar barang itu, polisi datang menghadang.

"Jangan bergerak."

Para polisi dengan cepat menggeledah barang-barang yang ada di dalam mobil.

So Eun dan Tuan Oh pun sampai ketika polisi melakukan penyelidikan.

"Kami menemukan ini," seorang polisi memberikan sebuah kotak yang ada di dalam mobil.

So Eun tersenyum kecut saat merasakan kualitas kain yang digunakan dalam membuat pakaian itu. Jauh berbeda dengan kualitas bahan yang digunakan perusahaannya. Seorang polisi kembali memberikan So Eun sebuah kotak yang terdapat di sebuah ruangan.

"Ini keterlaluan, bisa-bisanya mereka mengganti barang yang kita kirim."

So Eun mengepalkan tangannya erat. Ia pun mendekati salah satu pekerja yang ditangkap polisi.

"Katakan di mana bos kalian?"

Pria itu menunduk. "Lantai dua, ruangan paling pojok."

Tanpa basa-basi So Eun, Tuan Oh dan beberapa polisi mendatangi ruangan itu. Dengan kasar So Eun membuka pintu ruangan kecil itu. Suara tawa di ruangan itu meredup saat So Eun berdiri di ambang pintu. Dengan kesal So Eun melempar pakaian yang ia bawa pada Tuan Han. Wajah pria itu seketika pucat.

"Bagaimana kau bisa berkhianat seperti ini? Aku tidak menyangka kau melakukan hal sekejam ini," ujar So Eun. Para polisi segera mengamankan keempat orang itu. Tidak ada perlawanan dari keempatnya membuat polisi dengan mudah memborgol tangan mereka.

"Kau dipecat!" ujar So Eun saat Tuan Han berjalan melewatinya. Wajah pria tua itu memerah, rahangnya mengeras mendengar ucapan So Eun.

"Inikah caramu berterima kasih padaku. Tanpa bantuan diriku, perusahaan Kim tidak akan bisa berkembang pesat," ucap Tuan Han.

"Tapi kau lupa, kau sendiri yang menghancurkan semuanya," ujar So Eun.

***
Kim Bum menatap puas hidangan yang telah ia siapkan. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan angka 7, dengan cekatan ia mengetik sebuah pesan untuk So Eun.

Cepat pulang, aku merindukanmu.

Kim Bum tersenyum tipis mendapat balasan dari So Eun.

Bohong. Kau pasti takut sendiri di rumah, kan?

Kim Bum kembali mengetikkan balasan. Namun So Eun tidak membalasnya. Beberapa saat kemudian bel pintu rumahnya berbunyi. Kim Bum tahu So Eun sudah pulang.

"Aku menunggumu." Sambut Kim Bum saat melihat So Eun.

"Aish, kau membuatku menunda pekerjaan kantor."

Kim Bum menarik tangan So Eun menuju ruang makan. Lilin-lilih sudah menyala membuat suasana menjadi romantis. So Eun tidak percaya Kim Bum bisa membuat hal semacam ini.

"Aku pikir kau akan suka dengan kejutan ini."

"Aku sangat suka. Gomawo."

Kim Bum menarik kursi untuk So Eun  duduki. Mereka duduk bersebrangan. Kebahagiaan jelas terlihat dari wajah mereka.

"Aku punya sesuatu untukmu."

Kim Bum mengeluarkan sebuah amplop dari sakunya. So Eun menerima dengan senang hati walau ia tidak tahu apa yang ada di dalamnya.

"Tiket?"

"Iya, itu tiket menonton. Aku ingin kita menghabiskan waktu luang bersama akhir pekan ini."

So Eun meletakkan kembali tiket itu di atas meja.

"Itu ide yang bagus."

So Eun dan Kim Bum melempar senyum satu sama lain. Ini adalah makan malam romantis pertama mereka setelah menikah. Ini mungkin bukan makan malam mewah yang bisa Kim Bum berikan tapi ia yakin So Eun pasti menyukainya.

*
*
*
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro