Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 27

Selamat membaca
Maaf typo
*
*
*
Bau obat menusuk hidung mancung Kim Bum. Sudah beberapa menit yang lalu ia duduk menunggu seseorang selesai memeriksanya.

"Bagaimana dokter?" tanya Ae Ri setelah seorang pria berjas putih duduk di kursinya.

"Transplantasi kornea satu-satunya cara untuk memulihkan pengelihatannya, tapi tidak mudah mencari pendonor. Seperti yang pernah kita bahas sebelumnya."

Ae Ri menghembuskan napas panjang, ditatapnya Kim Bum yang duduk di kursi tidak jauh dari tempatnya. Hal ini sudah pernah ia bicarakan pada Kim Bum namun pria itu selalu mengacuhkannya.

"Apakah aku bisa mendo--"

"Jangan lakukan itu, sampai kapan pun aku tidak akan mau menerimanya," potong Kim Bum. Rahangnya mengeras, ia marah dengan Ae Ri yang merasa kasihan pada dirinya. Kim Bum tahu apa yang akan dikatakan Ae Ri selanjutnya dan itu membuat Kim Bum geram. Sudah berkali-kali ia katakan tidak akan menerima transplantasi dari orang yang masih hidup.

Kim Bum berdiri dari tempatnya. Ia keluar dari ruangan itu untuk menenangkan diri. Ia berjalan pelan menggunakan tongkat sebagai petunjuk jalan. Pikirannya kacau, satu sisi ia baru saja mendapat rasa percaya dirinya kembali dan di sisi lain Kim Bum merasa menjadi orang yang tak berdaya.

Bruk!

"Ma-maaf, apa kau baik-baik saja?" tanya Kim Bum pada seseorang yang ditabraknya. Orang itu hanya diam membuat Kim Bum semakin cemas. Lelaki itu menatap Kim Bum lekat, kedua tangannya bergerak di depan wajah Kim Bum.

Lelaki tua dengan rambut gondrong yang sedikit beruban itu menaikkan satu alisnya ketika Kim Bum hanya diam, tidak terusik dengan apa yang ia lakukan.
"Maafkan aku. Apa kau baik-baik saja?" Kim Bu terus bertanya namun pria itu hanya diam menatapnya dari atas sampai bawah. Pria itu bergegas pergi tanpa mengucapkan sepatah kata.

"Kim Bum," panggil Ae Ri membuat Kim Bum menoleh ke sumber suara.

"Maafkan eomma. Apa kau masih marah?"

Kim Bum menggeleng. "Jangan lakukan itu hanya demi diriku. Aku tidak akan menerimanya."

Ae Ri mengusap lengan anaknya lembut, namun Kim Bum langsung menggenggam tangannya erat.

"Cukup aku yang merasakan kegelapan. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja, eomma."

Seulas senyum terukir dari bibir Kim Bum. Ae Ri tersenyum kecut melihat keadaan anak semata wayangnya yang terlihat tegar di depannya. "Maafkan,eomma."

***
"Bagaimana bisa kita mempercayai seorang wanita untuk memimpin?"

Suasana semakin tegang ketika Tuan Han bicara lantang di depan para pemegang saham. Rapat berjalan sengit, berkali-kali So Eun terpojok dengan pertanyaan dari peserta rapat. Tentu untuk meyakinkan mereka perusahaan aman di bawah kepemimpinan seorang wanita.

"Tentu kalian bisa mempercayaiku. Pria atau wanita hanyalah sebuah gender. Memimpin bukan hanya tentang kau pria atau wanita tapi bagaimana cara untuk mencapai tujuan, bukankah seperti itu Tuan Han?" So Eun menatap tajam pria yang duduk di meja ujung paling depan.

Para peserta rapat saling berbisik membuat  So Eun gugup. Ia sudah kehilangan akal untuk membuat mereka percaya kepadanya. Tidak banyak orang yang So Eun kenal dan itu semakin memperparah posisinya.

"Tentu semua yang Nona So Eun katakan perlu bukti. Bagaimana jika kita berikan kesempatan padanya?" ujar Tuan Han membuat kerutan di dahi So Eun muncul.

Apa yang sebenarnya direncakan oleh pria tua itu? So Eun mulai was-was dengan sikap Tuan Han yang aneh. Beberapa saat lalu ia menentang So Eun sebagai pemimpin,tapi sekarang ia ingin menantang gadis itu.

"Apa yang kau katakan?"

"Bisakah kau membuktikan semua perkataan mu selama dua bulan? Banyak hal yang terjadi setelah Tuan Kim Bum kecelakaan, tentu saja termasuk penjualan."

"Baik, dua bulan. Aku akan membuktikannya."

So Eun mengatakannya dengan penuh percaya diri, menatap satu per satu peserta rapat dengan tajam.

"Aku akan buktikan jika aku pantas," ujarnya sebelum pergi.

Langkah kakinya terhentak, So Eun benar-benar kesal dengan pria-pria tua itu. Mereka bahkan belum tahu kemampuan dirinya, bagaimana bisa menyimpulkan kalau ia tidak bisa apa-apa.

"Apa yang harus aku kerjakan?" tanya So Eun pada asistennya.

"Hmm, sebenarnya ada sedikit masalah," ujar Tuan Oh ragu.

"Apa?"

" Seminggu yang lalu salah satu perusahaan asing membatalkan pesanan jas dan jaket dengan alasan kualitas. Ini sedikit aneh karena sebelumnya mereka sangat menyukai produk kita."

So Eun menggigit jarinya, berpikir keras apa yang harus ia lakukan. Di saat seperti ini tidak satu ide pun yang muncul di pikirannya. Ia tidak yakin bisa mengatasi masalah ini dalam waktu dekat. Ia mulai menyesal dengan keputusannya.

"Aku harus bagaimana?"

***
Jari-jari itu dengan lincah menari di atas tuts piano, Kim Bum memejamkan matanya menikmati setiap suara yang keluar dari benda itu. Sudah lama rasanya ia tidak memainkan piano lagi semenjak ia menjadi pimpinan perusahaan. Dering jam weker membuat sudut bibirnya melengkung ke atas. Suara nyaringnya yang membengkakkan telinga  sama sekali tidak mengusik kesenangannya. Hanya butuh beberapa menit untuk ia bisa mendengar suara perempuan memasuki rumah.

"Aku pulang."

Kim Bum menghentikan gerakan tangannya. Sebuah kecupan kilat mendarat di pipinya. So Eun tidak lagi malu-malu menciumnya dan itu membuat Kim Bum senang.

"Apa ada masalah?"

"Apa yang harus aku lakukan?" Tanya So Eun membuat Kim Bum menaikkan satu alisnya. Ia tidak mengerti apa maksud dari istrinya.

"Kim Bum."

"Apa? Aku tidak mengerti apa yang kau katakan."

So Eun menjelaskan semua masalah yang ia hadapi dengan sedikit bumbu drama yang ia karang untuk mendapat perhatian dari sang suami. Namun melihat Kim Bum tersenyum membuat So Eun menjadi jengkel.

"Kenapa tertawa?"
"Siapa yang tertawa?"
"Jelas-jelas kau tertawa."
"Aku tidak tertawa, hanya tersenyum."
"Sama saja!"
"Jelas beda."

So Eun menghentak kakinya kesal.   Berdebat dengan Kim Bum tidak membuat perasaannya menjadi lebih baik. Mungkin masalah ini biasa bagi Kim Bum tapi tidak untuk So Eun.

"Jangan khawatir yang berlebih, kau tenang saja jangan pikirkan apa pun."

So Eun melipat tangannya di depan dada, menatap tajam ke arah Kim Bum.

"Bukankah kau yang memintaku untuk menjadi pimpinan?"

Kim Bum mencoba meraih tangan So Eun menariknya lembut hingga ia duduk di pangkuannya.

"Tapi aku tidak pernah bilang tidak akan membantu mu."

So Eun mengerjapkan matanya berulang kali. Ada rasa lega saat Kim Bum mengatakannya.

"Jangan tersipu," celetuk Kim Bum membuat So Eun menghilangkan senyumnya dalam sekejap. Bagaimana bisa Kim Bum tahu? Terkadang So Eun pikir mata Kim Bum baik-baik saja.

"Siapa yang tersipu?" kilah So Eun. Kedua tangannya mengalung di leher Kim Bum membuat jarak di antara mereka semakin sempit.

"Boleh aku mengatakan sesuatu?" tanya Kim Bum. So Eun mengangguk.

"Tentu. Katakan saja."

Kim Bun meraih tangan So Eun, mencium punggung tangan itu cukup lama.

"Kau bau," celetuk Kim Bum membuat senyum So Eun kaku.
Dilihat dari raut wajahnya Kim Bum mengatakannya dengan serius.  Dengan cepat So Eun menarik tangannya yang digenggam Kim Bum sembari mencium pakaian yang ia kenakan.

"Tidak bau, pakaian ku tetap wangi," ujar So Eun membuat Kim Bum mengulum senyum.

"Aku bilang bau pasti bau. Kau bekerja seharian pasti bau keringat."

"Apa? Yak! Aku tidak bau, hidungmu saja yang tidak pernah dibersihkan."

So Eun beranjak pergi meninggalkan Kim Bum yang sedang tertawa. Sementara So Eun dengan cepat masuk ke kamar mandi membersihkan diri.

"Dasar Kim Sang Bum, awas kau."

Cepat-cepat So Eun mengakhiri mandinya, bersiap untuk memberi pelajaran pada suami kurang ajarnya itu. Rasa kesal yang sejak tadi membuncah perlahan hilang ketika melihat Kim Bum tertidur pulas di atas ranjang. So Eun melihat jam dinding yang terpasang di tembok putih itu. Hari belum larut tapi Kim Bum sudah pergi ke alam mimpi. So Eun berjalan  pelan mendekati Kim Bum, membelai rahang kokoh itu yang terasa kasar di tangannya. Terakhir ia mencukur bulu-bulu itu beberapa hari yang lalu tapi sekarang mulai tumbuh lagi.

"Apa aku lebih tampan saat tidur?"

So Eun menarik tangannya dengan cepat. Ia gugup. So Eun pikir suaminya sudah terlelap, tapi Kim Bum masih terjaga.

"Biasa saja. Mana ada pria terlihat tampan saat tidur," kilah So Eun.

"Akui saja aku terlihat semakin tampan," goda Kim Bum.

So Eun memalingkan wajahnya. Walau Kim Bum tidak bisa melihat rona di pipinya tetap saja So Eun merasa malu. Pria itu sudah menempatkan dirinya secara permanen di hati So Eun. Hanya mengingatnya saja membuat jantung So Eun berdegup kencang. So Eun menatap wajah suaminya lekat. Kim Bum tetap dipandang sempurna di mata So Eun. Pria yang menjadi alasannya untuk pulang lebih cepat. Apa Kim Bum juga merasakan yang ia rasakan saat bekerja? Memikirkan pria itu sepanjang hari sangat melelahkan, ditambah ia tidak bisa leluasa menghubungi Kim Bum saat di kantor. So Eun tersenyum menatap pria yang menjadi candunya. Hanya melihat Kim Bum berada di dekatnya sudah membuat ia bahagia.

Kim Bum menarik tangan So Eun hingga istrinya duduk di sisi tempat tidur. Mereka masih membisu membuat suasana menjadi canggung.

"Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Hmm."

"Kalau aku berdiri di hadapanmu dengan sehelai handuk apa yang akan kau lakukan?"

Jantung So Eun berdetak lebih kencang, sekujur tubuhnya memanas seperti berlari berkilo-kilo meter. Entah apa yang membuatnya bertanya hal aneh seperti itu tapi ia ingin mendengar jawaban Kim Bum.

"Tentu saja aku akan menyuruhmu berganti pakaian. Kau bisa saja menggigil tengah malam atau masuk angin," ujar Kim Bum membuat So Eun kecewa. Tidak ada kata romantis sedikit pun. Ah, So Eun lupa kalau suaminya sangat payah

"Ah, iya kau benar. Kau sangat perhatian denganku, tapi bersikaplah seperti laki-laki pada umumnya. Setidaknya lalukan sesuatu yang membuat pasangan bahagia."

"Jadi kau mau aku melakukan apa?" tanya Kim Bum membuat So Eun salah tingkah.

"Hmm... Itu... Lakukan saja apa yang kau suka," ujar So Eun ketus.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan."

"Lupakan saja aku mau tidur." So Eun ingin beranjak tapi Kim Bum segera menahannya.

"So Eun, aku ingin menjagamu di sisa hidupku. Bukan semata-mata ingin memuaskan hasrat. Kau tahu terkadang aku pikir tidak pantas berada di sisi mu yang sempurna, tapi kau tidak pernah pergi walau beberapa kali aku menolak mu. Kau berbeda. Kau lebih berharga dari apapun yang aku punya. Aku tidak bisa memperlakukan dirimu dengan rendah."

So Eun mengulum senyum, mengecup  lama pipi Kim Bum. Betapa beruntungnya ia memiliki seorang pria yang selalu menjaganya. Pria yang dulu So Eun anggap menghalangi kebahagiaannya, namun justru menjadi pusat kebahagiannya.

"Apa kau masih ingat pertemuan pertama kita saat kecil dulu. Aku bersembunyi di balik kaki ayah, menatap malu padamu saat itu. Kau tidak berbicara sepatah kata pun, tatapan tajam mu membuat aku sedikit takut. Aku pikir tidak akan menyukai orang seperti dirimu. Kaku, dingin dan pendiam." So Eun mengambil napas sebelum melanjutkan ceritanya.

"Saat aku jatuh dari ayunan kau datang bukan untuk menolongku tapi ikut menangis histeris yang membuat para pelayan berlari khawatir. Aku masih ingat kau mengatakan, aku sengaja menangis agar orang-orang tahu kau terluka. Karena aku tahu, aku tidak bisa menolong mu."

So Eun tersenyum mengingat kenangan masa lalunya. Saat itu pertama kalinya ia melihat senyum manis Kim Bum yang ternyata lebih indah dari yang ia duga.

"Saat itu aku tidak mengerti apa-apa. Kau membuatku panik dan aku tidak tahu harus memanggil siapa, jadi aku putuskan untuk ikut menangis," timpal Kim Bum menanggapi cerita So Eun.

"Aku pikir saat itu kau mengejekku."

Kim Bum menggeser tubuhnya, menepuk sisi tempat tidur yang kosong. So Eun berbaring di sebelah suaminya dengan lengan Kim Bum sebagai bantal.

"Sejak kapan kau menyukaiku?" tanya Kim Bum membuat So Eun berpikir keras.

"Hhmm, aku lupa kapan tapi aku masih ingat saat kau mengantarku latihan dengan sepeda mu. Saat itu hujan deras dan kau rela memberikan jas hujan mu padaku. Mungkin saat itu aku mulai tertarik padamu."

Kim Bum menarik So Eun ke dalam pelukannya, mencari rasa hangat melalui panas tubuh. Keduanya terdiam sejenak, hanya suara jarum jam yang menggema di kamar mereka.

"Kapan kau mulai menyukai ku?" So Eun balik bertanya.

"Saat kau tertawa, tersenyum, menangis dan cemberut. Saat itu aku mencintaimu."

So Eun menatap Kim Bum tidak percaya. Sejak kapan pria itu menjadi sangat romantis hingga membuat So Eun ingin memekik. Kim Bum meraba wajah So Eun, membelainya lembut hingga mata almond itu terpejam.

"Bisakah kita tetap seperti ini? Selalu bersama membuat keluarga kecil yang bahagia. Kau, aku dan anak-anak kita. Bum... Baby," rengek So Eun membuat Kim Bum menarik tangannya yang menjadi bantal.

"Sudah malam, tidurlah. Besok kau harus bekerja."

Kim Bum tidur membelakangi So Eun membuat gadis itu tersenyum kecut. Setiap kali membahas tentang anak Kim Bum selalu acuh. Kesal dengan sikap suaminya membuat So Eun tidur memunggungi Kim Bum. Baru saja mereka terlihat mesra tapi dalam waktu singkat suasana kembali dingin.

***

Dering ponsel yang cukup nyaring mengusik tidur lelap So Eun, tangannya sibuk mencari ponselnya. So Eun membuka sedikit matanya untuk melihat nama yang tertera di layar ponsel. Keningnya mengkerut saat tahu siapa orang yang menghubunginya pagi-pagi.

"Yeoboseyo," ujar So Eun memelankan suaranya. Dengan hati-hati So Eun melepaskan tangan Kim Bum yang memeluk pinggangnya. Ia pun menjauh dari sang suami untuk bicara dengan orang di seberang sana.

Raut wajah So Eun berubah tegang, namun beberapa menit kemudian air matanya luruh. Gadis itu tidak bisa menahan segala emosi yang berkecambuk di dada. Panggilan terputus, dengan cepat So Eun menghampiri Kim Bum dan memeluk suaminya erat.

"Apa yang terjadi So Eun?" tanya Kim Bum sembari membuka matanya.

So Eun mendongkak, membelai pipi Kim Bum dengan lembut. Sesaat ia terdiam,namun setelahnya ia tersenyum.

"Kita akan pergi ke rumah sakit sekarang."

Tbc

Halo, readers
Maaf baru sempat menyapa kalian kembali.
Terima kasih untuk kalian yg sudh vote dan komentar,maaf aku tidak bisa membalasnya satu per satu. Terima kasih juga sudh mau menunggu update yg lama. Selama tiga minggu ini ada insiden yang membuat mood menulis ku turun dan itu tidak bisa dihindarkan, aku juga harus jaga kesehatan jadi waktu senggang aku pakai buat tidur 😂 (dasar pemalas 🙄)

Rencananya cerita ini akan berakhir di tahun baru 🎉🎉 doakan saja bisa selesai dengan cepat.

Sekian dlu,smpai jumpa di next chapter

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro