Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 26

Selamat membaca
Maaf typo

*
*
*

Deringan ponsel mengusik tidur siang Kim Bum. Benda persegi yang bersuara nyaring itu membuat ia terbangun. Dengan meraba-raba tempat di sekitarnya, Kim Bum akhirnya berhasil menemukan benda itu. Dengan sembarang Kim Bum memainkan jemarinya di atas layar. Ponsel itu berhenti berbunyi entah Kim Bum berhasil menerima panggilannya atau justru telah memutuskan panggilan tersebut. Namun suara seorang pria di seberang sana membuat Kim Bum yakin bahwa dia berhasil menerima panggilan itu.

"Nona So Eun, saya hanya mengingatkan bahwa besok adalah rapat para pemegang saham. Saya tidak yakin jika kita bisa mempertahankan perusahaan mengingat kepercayaan mereka akhir-akhir ini menurun. Sa--"

"Tuan Oh," potong Kim Bum.

"Eh? Tuan Kim Bum?"

"Bisa kita bicara? Datang ke rumahku malam ini," ujar Kim Bum.

"Apa? Jadi Anda telah pulang ke rumah?" tanya Tuan Oh.

"Sore ini aku akan pulang bersama So Eun. Bisakah kita bertemu malam nanti?"

"Tentu Tuan Kim Bum."

Kim Bum menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Pikirannya kosong. Perasaannya kembali kacau setelah mendengar ucapan Tuan Oh. Ini mimpi buruk yang selama ini Kim Bum hindari. Kerja kerasnya selama ini semata-mata untuk mempertahankan perusahaan. Tidak. Ia harus menepati janjinya pada ayah So Eun untuk mempertahankan perusahaan itu.

Bau harum tercium oleh hidung mancungnya. Mengundang rasa lapar yang membuat Kim Bum melupakan sejenak masalahnya.

"Siapa yang memasak?" batin Kim Bum penasaran. Tidak mungkin So Eun yang melakukan semua itu, jangankan menyalakan kompor memecahkan telur saja gadis itu sangat payah. Perlahan Kim Bum berjalan mengikuti bau yang akan membawanya ke tempat aroma itu berasal. Dengan bantuan tongkatnya Kim Bum berjalan pelan ke arah aroma harum itu berasal.

"So Eun, kau di mana?" ujar Kim Bum dengan suara cukup lantang.

"Aku di dapur," teriak So Eun. Suara air keran terdengar setelah gadis itu bicara. Kim Bum tahu ia semakin dekat dengan tempat yang ia tuju--dapur.

So Eun tersenyum lebar saat melihat Kim Bum berdiri di depan pintu. Sembari melepas celemek yang melingkar di pinggangnya, So Eun berjalan menghampiri Kim Bum yang mematung di ambang pintu.

"Apa kau bangun karena aroma masakan ku?" ucap So Eun riang.

"Kau membelinya?" tanya Kim Bum, membuat So Eun cemberut.

"Aish, kau tidak bisa memuji istrimu sedikit? Walau aku membelinya setidaknya kau harus bangga karena aku bisa mempersiapkan makan siang."

So Eun merangkul lengan Kim Bum, menuntun sang suami untuk duduk di depan meja makan. Dengan cekatan So Eun mempersiapkan makanan yang telah ia beli.

"AAAA.... Buka mulutmu," kata So Eun, mencoba menyuapi Kim Bum. Namun pria itu hanya menutup mulutnya tanpa minat menyambut makanan dari So Eun.

"Ada apa? Apa kau tidak mau makan?"

So Eun meletakkan kembali makanan itu ke piring. Sedikit kecewa karena Kim Bum menolak suapannya.

"Sebelum makan ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu."

"Apa?" sahut So Eun ketus.

"Apa jadwal mu besok?"

So Eun mengerutkan alisnya, tidak mengerti apa yang Kim Bum maksud. So Eun coba mengingat rentetan jadwal yang harus ia jalani di hari senin yang membosankan. Bahkan mengingat hari senin saja So Eun merasa malas.

"Banyak. Aku tidak ingat semua tapi yang jelas besok aku harus ke kantor."

"Katakan satu saja hal penting yang akan kau kerjakan besok," desak Kim Bum membuat So Eun curiga.

"Tidak ada yang aku ingat."

"Bagaimana kau tidak mengingat hal sepenting itu, So Eun? Bagaimana bisa kau melupakannya?" kata Kim Bum keras. Ia sedikit kesal karena So Eun tidak mengingat rapat yang sangat penting bagi perusahaan.

"Kenapa kau marah?"

"Jelas aku marah, besok adalah rapat pemegang saham, bagaimana bisa kau melupakan hal sepenting itu."

"Aku tidak melupakannya. Bisakah kau tidak membahas pekerjaan? Ini hari libur dan aku tidak mau membahas pekerjaan lagi. Bukankah kau yang mengatakan jangan membawa masalah pekerjaan ke rumah."

So Eun melipat kedua tangannya di depan dada. Ia kesal, benar-benar kesal dengan Kim Bum.

"Maaf. Aku terbawa emosi." Kim Bum memelankan suaranya. Hening sejenak. Keduanya hanya bisa terdiam tanpa ada perdebatan seperti sebelumnya.

"Bum," panggil So Eun lembut. Kim Bum menoleh ke arah sumber suara.

"Aku ingin punya anak. Aku pikir akan melepaskan tanggung jawabku di perusahaan dan fokus dengan keluarga kita. Jadi--"

"Tidak So Eun. Ini bukan saat yang tepat untuk membiarkan orang lain memimpin perusahaan. Kita harus memperjuangkannya."

"Tapi aku tidak suka melakukan pekerjaan yang tidak aku sukai, sangat berat. Aku bisa bekerja sesuai keinginanku dan itu akan lebih baik."

Kim Bum meraih tangan So Eun menggenggamnya erat, sesekali menciumnya.

"Kali ini lakukan demi ayahmu. Perusahaan itu adalah milik Tuan Kim dan selamanya akan seperti itu."

"Bagaimana dengan anak? Kau tidak mau aku hamil?" tanya So Eun kecewa.

"So Eun, kita bisa menundanya hingga keadaan kembali normal. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah anak. Demi ayahmu, pimpin perusahaan itu untuk sementara waktu."

So Eun mengusap wajah Kim Bum, kemudian mengangguk sebagai jawaban. So Eun bahkan lupa jika Kim Bum tidak bisa melihat anggukannya.

***
Kaca mata bening itu terlihat mengkilap diterpa sinar lampu yang menerangi seisi rumah. Pria berjas hitam itu dengan jelas melihat raut wajah tuannya yang kurang bersahabat. Bahkan sejak penjelasannya beberapa saat lalu hanya membuat Kim Bum bungkam.

"Jadi apa yang akan Anda lakukan?" Tuan Oh memperbaiki kacamata yang sedikit merosot dari hidungnya.

"Aku tidak akan menyerahkan kursi kepemimpinan pada mereka. Ini bisa bahaya bagi perusahaan," sahut Kim Bum tegas.

"Bagaimana caranya? Mereka meragukan kemampuan Nona So Eun sebagai pemimpin baru," bisiknya. So Eun mencondongkan sedikit tubuhnya agar bisa mendengar ucapan Tuan Oh, tapi sayang suara pria itu terlalu kecil untuk bisa ditangkap oleh indra pendengarannya.

"Kita akan membuat mereka percaya."

So Eun dan Tuan Oh menegakkan tubuh mereka, menatap Kim Bum penuh tanda tanya. Apa yang sedang pria itu katakan? Sangat mustahil bisa meyakinkan para pria yang haus akan jabatan. Ini sama saja menggali lubang untuk kuburan sendiri.

"Bum...."

"Kau harus yakin So Eun. Kau pasti bisa."

Hening kembali melanda membuat suasana semakin canggung. Tuan Oh melonggarkan dasi yang mencekik lehernya sejak pagi. Bahkan bernapas pun rasanya sulit ketika mengingat hari esok.

"Kau merasa tertekan?" tanya Kim Bum setelah Tuan Oh pergi dari rumah mereka. So Eun mengangguk pelan, ia tidak suka dengan situasi menegangkan seperti ini.

"Kemarilah So Eun." Kim Bum merentangkan tangan menerima So Eun dalam dekapannya.

"Bertahanlah sebentar lagi. Setelah dokter menemukan donor yang cocok semuanya akan kembali."

So Eun mengangguk, membenamkan wajahnya di dada Kim Bum. Sebuah pertanyaan tiba-tiba terbesit dalam benaknya.

"Boleh aku menanyakan sesuatu?" So Eun mengurai pelukan Kim Bum membuat kedua alis tipis pria itu menyatu.

"Apa?"

"Apa kau merasa bosan bersamaku?" tanya So Eun membuat kerutan di dahi Kim Bum bertambah.

"Jangan bicara yang aneh lagi."

"Itu bukan aneh, tapi aku penasaran kenapa kau ingin berpisah? Apa karena kau sering melihatku?"

Kim Bum menghembuskan napas panjang. So Eun mengungkit lagi masalah itu. Haruskah Kim Bum mengatakan yang sebenarnya kalau ia melakukan itu hanya untuk menghindari So Eun dari cibiran orang-orang. Sudah cukup So Eun mendapat perlakuan yang tidak baik saat sekolah dulu, jangan sampai hal itu terulang lagi.

"Sekarang aku tidak bisa melihat mu dan aku merindukan Kim So Eun setiap hari."

Senyum So Eun mengembang mendengar pernyataan Kim Bum yang baru saja ia dengar. Namun hal itu belum cukup membuat perasaannya tenang. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

"So Eun, kau baik-baik saja?" tanya Kim Bum memastikan. Tidak ada jawaban dari istrinya membuat Kim Bum bertanya-tanya.

"Aku ingin jujur padamu," ucap So Eun. Kim Bum hanya diam bersiap mendengar pernyataan So Eun.

"Aku tidak yakin bisa mendapat kepercayaan dari mereka. Aku selalu gugup saat bicara di depan mereka. Kau tahu aku merasa tertekan oleh tatapan mereka semua. Aku tidak suka seperti itu."

Kim Bum menarik kedua sudut bibirnya. Gadis itu masih tetap sama, selalu tidak percaya dengan kemampuannya.

"Bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu. Sudahlah, jangan pikirkan mereka So Eun karena mereka tidak memikirkan mu. Mengerti."

Lagi-lagi So Eun mengangguk. So Eun merapatkan tubuhnya pada Kim Bum,  jari lentiknya menari di dada bidang Kim Bum.

"Bum... Baby," rengek So Eun mencoba menggoda Kim Bum. Dengan cepat Kim Bum menjauhkan tangan So Eun dari tubuhnya. Kim Bum berdiri dengan wajah kaku. Tangannya gemetar saat merentangkan tongkatnya.

"Sudah malam, lebih baik langsung tidur," ujarnya meninggalkan So Eun yang tengah menatap tajam.

"Lihat saja nanti, aku akan mendapatkan yang aku mau."

***
Pagi yang mendebarkan bagi So Eun membuat perempuan itu gugup, rasa  gelisah saat ia menunggu jarum jam menunjukkan pukul 10.00.

Pintu ruangannya terbuka, seorang wanita masuk tanpa permisi. So Eun jengkel saat melihat wajah cantik bak iblis itu tersenyum lebar.

"Tidak punya sopan santun," ujar So Eun pedas.

"Kenapa? Haruskah aku mengetuk pintu terlebih dahulu? Sebentar lagi kau akan pergi dari perusahaan ini So Eun. Gadis cengeng yang tidak bisa apa-apa seperti mu tidak pantas menjabat sebagai pimpinan. Kau harusnya menjadi ibu rumah tangga untuk suami mu yang buta itu."

"Cukup Han So Hee!" Tangan So Eun mengepal erat, rahangnya mengeras menahan marah.

"Kau boleh menghinaku sepuas hatimu, tapi jangan sekali-kali kau menghina keluargaku terutama suamiku. Kau tidak tahu tentang kami. Pergi dari ruangan ku... sekarang!"

"Kau mengusirku? Justru hari ini kau yang akan diusir."

So Hee menatap So Eun penuh benci sebelum pergi dari ruangan itu. So Eun mencoba menenangkan diri, terngiang kata-kata So Hee yang menghina Kim Bum. Gadis seperti So Hee seperti ular bermuka dua. Di depan Kim Bum ia sangat manis hingga membuat So Eun muak.

Ponsel So Eun berdering membuat rasa kesal itu menguap saat melihat nama yang tertera di layar ponsel.

"Gugup?" tanya orang di seberang sana.

"Aku sedang kesal."

"Kenapa?"

"Ada nenek sihir berbisa. Dia mau memakan ku," ujar So Eun.

"Apa dia suka makan manusia?" tanya Kim Bum, mengikuti alur pembicaraan So Eun yang mulai aneh.

"Dia pemakan segalanya."

"Dia hewan atau nenek sihir?"

"Keduanya."

"Kau membuatku bingung."

"Aku juga sedang bingung."

Perdebatan keduanya masih tetap berlanjut sampai seseorang mengetuk  pintu ruangan So Eun.

"Aku harus meeting, sampai bertemu di rumah."

"Hmm... Aku yakin kau pasti bisa So Eun. Aku mencintaimu."

Pipi So Eun bersemu merah. Ada rasa bahagia yang menggelitik perutnya. Baru saja ia ingin membalas ucapan Kim Bum namun panggilan itu sudah diakhiri. Dengan kesal So Eun menatap ponselnya.

"Aish... Dia pasti malu mengatakannya. Lihat saja nanti."

So Eun kembali menyimpan ponselnya dan bergegas pergi.

***
TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro