Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 24

Selamat membaca
Maaf typo
*
*
*

Jantung itu terus berdetak, menolak untuk berhenti saat merasakan tangan halus menyentuh dengan lembut,mengusapnya hingga rasa hangat itu mengalir di seluruh tubuh. Sayup-sayup terdengar doa dan harapan dari telinganya, diakhiri dengan kecupan di tangan dan wajah. Ia ingin membuka mata yang terasa berat namun tidak semudah yang ia pikirkan.

"Cepatlah sadar, aku merindukan mu."

Suara halus yang membuat perasaannya tenang. Andai ia bisa menggerakkan tangannya dengan mudah dan membuka mata dengan cepat mungkin saat ini Kim Bum bisa melihat wajah cantik yang ia rindukan.

"So... Eun," lirihnya lemah.

So Eun menegakkan tubuh menatap wajah tampan suaminya. Mata Kim Bum tetap terpejam tapi So Eun yakin ia tidak salah dengar. Kim Bum baru saja menyebut namanya.

"Apa kau sudah sadar?"

So Eun menatap gerakan mata Kim Bum yang perlahan terbuka. Rasa bahagia membuatnya memeluk Kim Bum erat, menumpahkan kesedihanya di atas dada bidang itu.

"Maafkan aku. Ini semua salahku, Kim Bum."

Tangan Kim Bum bergerak pelan mengusap kepala So Eun. Rambut halus yang sering dibelainya sebelum tidur membuat perasaan Kim Bum tenang.

"So Eun," ujar Kim Bum. So Eun mengurai pelukannya menatap Kim Bum yang menatap lurus ke atas.

"Bisakah kau menyalakan lampunya? Di sini gelap sekali."
So Eun memerhatikan sekitarnya menatap lampu yang menyala sepanjang hari. Kini pandanganya tertuju pada Kim Bum yang berbaring di atas ranjang.

"Apakah gelap?" tanya So Eun memastikan. Kim Bum mengangguk membenarkan ucapan So Eun. Tangan gadis itu terulur ke depan wajah Kim Bum,menggerakkanya berkali-kali di depan wajah sang suami namun Kim Bum tidak terusik sama sekali. So Eun menutup mulutnya menahan isak tangisnya. Air mata mengalir deras membasahi pipinya.

"Tidak mungkin... Tidak mungkin," lirihnya.

***
So Eun berjalan lunglai di sepanjang lorong rumah sakit. Tatapannya menerawang jauh seolah raganya tanpa nyawa. Mata bengkak dan hidung merah setelah menangis saat tahu kenyataan bahwa Kim Bum kehilangan pengelihatannya.

"Ada kerusakan di bagian matanya yang mengakibatkan tekanan berat pada mata yang membuat mata mengalami kebutaan. Kita harus mencari transplantasi kornea yang cocok untuk Tuan Kim."

Kata-kata dokter beberapa saat lalu terus berputar berulang kali dalam otaknya. Dengungan suara sang dokter bahkan terasa sangat jelas di telinganya. So Eun menyenderkan tubuhnya di tembok. Tubuhnya gemetar menahan tangis.

Apa yang harus aku katakan pada Kim Bum? batin So Eun.

"So Eun."

Ae Ri meremas pelan pundak menantunya, membawa tubuh rapuh itu ke dalam dekapannya. Rasa sakit bisa ia rasakan saat tangis So Eun pecah. Untuk kedua kalinya So Eun menangis tersedu setelah kehilangan kedua orang tuanya.

"Semua akan baik-baik saja," ujar Ae Ri menenangkan.

"Semua ini salahku. Harusnya aku yang mengalaminya bukan Kim Bum."

"Jangan menghukum dirimu sendiri. Kau harus lebih kuat So Eun. Ini bagian dari takdir, kau harus menerimanya."

So Eun mengeratkan pelukannya, menangis di bahu Ae Ri sampai ia merasa lebih baik. Ya, setidaknya sampai ia lelah dan tidak tahu bagaimana cara menangis lagi.

***
Tangan Kim Bum terangkat ke atas, menggerakkan jemarinya terbuka dan mengepal. Senyum getir terlukis di wajah tampannya.

"Bahkan aku tidak bisa melihat tanganku sendiri," gumamnya lemah. Tanpa ia sadari So Eun mendengar ucapannya. Gadis itu berdiri dekat pintu memandang lurus ke arah tempat tidur pasien. Perlahan So Eun mengatur napasnya untuk menghilangkan rasa sesak.

"Kamu sudah bangun?" kata So Eun seceria mungkin. Bagaimana pun juga ia tidak ingin memperlihatkan kesedihannya. So Eun meletakkan makanan yang ia bawa di atas meja kemudian duduk di dekat Kim Bum.

"So Eun," panggil Kim Bum.
"Nde."
"Aku tidak ingin kau menderita. Kau tahu memiliki suami buta akan membuatmu malu. Aku tidak berguna lagi untukmu, lebih baik kita berpisah. Ka--"

So Eun berdiri membuat kursi yang ia duduki berderit seketika Kim Bum terdiam menghentikan ucapannya. Belum pernah So Eun mendengarkan Kim Bum putus asa seperti ini. Pria yang dikenal tegas dan bertanggung jawab itu sekarang terlihat lemah.

"Jika alasan kita berpisah adalah kebutaan, aku akan menjadi buta untuk bisa disisi mu. Kau tahu bahagia itu bukan tentang apa yang dilihat tapi apa yang dirasa. Aku tidak bisa meninggalkanmu Kim Bum, kau suamiku dan aku adalah istrimu. Kita sudah menjadi satu dan selamanya akan seperti itu."

Kim Bum terdiam, bibirnya tertutup rapat. Perasaannya menjadi lebih tenang saat So Eun mengusap pipinya dengan lembut. Perlahan Kim Bum duduk di atas tempat tidur, menarik pelan tangan So Eun hingga gadis itu jatuh dalam pelukannya.

"Gomawo... Saranghae."

So Eun membeku mendengar pengakuan Kim Bum. Rasa bahagia tidak bisa ia bendung lagi, baru saja Kim Bum mengatakan cinta padanya. Hal yang So Eun tunggu-tunggu dari dulu. Pelukan mereka semakin erat seolah enggan untuk melepaskan satu sama lain. So Eun mengurai pelukan mereka. Ditatapnya wajah Kim Bum sejenak.

"Apa kau sedang menatapku?" tanya Kim Bum dengan senyum lebarnya. Wajah So Eun memerah, rasa panas menjalar di sekujur tubuh. Walau Kim Bum tidak bisa melihatnya tapi rasa malu itu masih tetap ada.

"Ti... tidak," kilah So Eun.

"Jangan berbohong." Kim Bum menggenggam erat kedua tangan So Eun, perlahan tangan besarnya membingkai wajah sang istri. So Eun gemetar saat tubuh mereka berdekatan. Tatapan So Eun tertuju pada bibir pucat Kim Bum. Bayang-bayang akan rasa ciuman dari benda kenyal itu membuat So Eun menelan ludahnya.

Mata Kim Bum terpejam erat saat kedua tangannya sibuk membelai wajah So Eun. Merasakan halus kulit wajah orang yang ia cintai. So Eun semakin gugup saat Kim Bum tersenyum dengan mata terpejam. Entah keberanian dari mana So Eun mendaratkan ciuman kilat di bibir Kim Bum.

"Kau mulai berani," ujar Kim Bum, entah untuk meledek atau mengungkapkan rasa bahagianya karena So Eun mau menciumnya.

"Wae? Tidak ada yang salah," kata So Eun memalingkan wajahnya ke arah lain. Jika Kim Bum melihat wajah So Eun saat ini mungkin gadis itu akan malu sekali.

"Tentu saja salah."

"Salah apanya?" So Eun menekuk kedua alisnya.

"Salah karena kau melakukannya terlalu cepat. Lakukan lagi." Kim Bum memonyongkan bibirnya siap menerima kecupan dari So Eun.  Tapi sayang So Eun terlanjur malu.

"Lebih baik kau makan. Aku membelikan makanan kesukaanmu. Sebelum ada yang datang kau harus menghabiskannya," ujar So Eun.

Dengan cepat So Eun berdiri berusaha menghindari Kim Bum namun pria itu dengan cepat menarik tangannya hingga So Eun kembali duduk di atas tempat tidur.

"Setidaknya berikan aku morning kiss."

"Mesum!" ujar So Eun membuat Kim Bum tertawa.
So Eun membuka makanan yang ia bawa, menyuapi Kim Bum pelan-pelan hingga semua makanan itu habis.

"Aku tidak bercanda dengan ucapanku tadi. Aku tidak ingin kau menyesal jika kita melanjutkannya. Rasanya akan semakin berat untuk melangkah, kau tahu aku tidak ingin kau merasa malu dengan keadaanku."

So Eun menggenggam kedua tangan Kim Bum,mengerti akan perasaan pria itu.

"So Eun, aku ingin kau hidup bahagia dengan atau tanpa diriku. Aku sudah gagal menjadi orang yang akan melindungi mu. Kau harus mencari kebahagiaan mu yang lain," ujar Kim Bum.

Dada So Eun terasa sesak, disaat ia yakin berpegangan pada sebuah tali bersama Kim Bum tapi pria itu mencoba melepaskannya.

"Aku pergi dulu, ibu akan datang menemanimu," kata So Eun cepat tanpa menimpali ucapan Kim Bum. Rasa sakit menghantam hatinya, tidak sanggup berlama-lama berada di sisi Kim Bum ia pun memutuskan keluar. So Eun merasa ditolak saat harapan baru mulai tumbuh. Apa Kim Bum menganggap So Eun tidak pantas menjaganya?

"So Eun, ada apa?" tanya Ji Eun saat melihat cucu satu-satunya bersandar di depan pintu ruang rawat inap Kim Bum.

"Dia menolakku. Dia ingin berpisah," ujar So Eun lirih.

"Biar aku yang bicara padanya."

Ji Eun masuk ke ruang Kim Bum meninggalkan So Eun yang mematung di luar. Bagaimana bisa ia berpisah dari Kim Bum jika ia sendiri mencintai pria itu.

***
"Bagaimana keadaan mu?" tanya Ji Eun saat melihat Kim Bum termenung.

"Tidak begitu baik," sahut Kim Bum.

"Aku sudah mendengar semuanya." Ji Eun menghela napas, wanita yang dipanggil nenek itu tersenyum getir.

"Mungkin berat untukmu tapi kau sudah menepati janjimu pada anakku."

Kim Bum menekuk kedua alisnya, bagaimana ia dikatakan berhasil menepati janjinya pada Tuan Kim.

"Kau berhasil melindungi apa yang selama ini dia lindungi. Kau tahu, So Eun adalah segalanya bagi anakku. Dia putri kesayangan apa pun akan dia lakukan demi membuat gadis itu tersenyum. Kim Bum, dia bahagia saat bersama mu. Jangan tinggalkan So Eun sendiri sampai kapan pun."

Kim Bum mengepalkan tangannya erat. "Tapi aku tidak bisa melindunginya lagi. Aku tidak bisa melakukan apa pun."

"Itu hanya pikiranmu saja. Percayalah  kalian bisa melewatinya." Ji Eun menepuk pundak Kim Bum pelan. Ada rasa ragu yang menyelinap di hati Kim Bum.

Apa aku bisa membahagiakan So Eun dengan keadaanku saat ini? batin Kim Bum.

"Aku ingin tinggal sendiri selama satu hulan. Aku butuh berpikir dengan tenang."

Ji Eun tersenyum. "Baiklah, aku akan mengabulkan keinginanmu."

"Tidak!"

Kim Bum dan Ji Eun tersentak saat mendengar suara So Eun. Gadis itu berdiri di depan pintu dengan mata memerah.

"Bagaimana bisa kita berpisah selama itu? Apa kau ingin mengakhiri sampai di sini?" Napas So Eun naik turun meredakan emosinya.

"Dia butuh sendiri, So Eun," ujar Ji Eun.

"Tapi aku membutuhkan dia."

So Eun menutup pintu ruang inap itu dengan kasar. So Eun pergi dengan amarahnya, langkah kakinya bergerak cepat menuju parkiran rumah sakit. Ia benci ditinggalkan, ia benci Kim Bum yang tidak mau berjuang bersamanya, dia benci pada dirinya sendiri.

"AARGGHH!" So Eun memukul stir mobilnya berulang kali meluapkan semua amarahnya.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro